Oleh : Ahmad Sastra
Tempo.co merilis laporan World Happiness Report yang
menobatkan Finlandia menjadi
negara paling bahagia di dunia selama enam tahun berturut-turut. Laporan ini merupana sebuah pengakuan dari PBB
yang menyoroti tingginya kualitas hidup, kesejahteraan sosial, dan rasa saling
percaya antarwarga di negara tersebut. Apa yang menyebabkan Finlandia bisa
langganan menjadi negara paling bahagia di dunia?
Setidaknya ada dua contoh organisasi yang melakukan
pengukuran kebahagiaan dalam dunia sekuler. Pertama, World Happiness Report
yang mengukur kebahagiaan berdasarkan GDP, harapan hidup, dukungan sosial,
kebebasan memilih, dan tingkat korupsi. Kedua, Gross National Happiness
(Bhutan), walau bukan sekuler penuh, Bhutan mencoba mengukur kebahagiaan rakyat
sebagai indikator pembangunan, bukan cuma GDP
Dilansir dari USNews dan Business
Finlandia, berikut beberapa alasan Finlandia langganan
menjadi negara paling
bahagia di dunia.
Pertama, sistem perlindungan sosial yang kokoh. Finlandia secara konsisten mengalokasikan
miliaran euro setiap tahunnya untuk mendukung berbagai program kesejahteraan
sosial, termasuk pensiun, layanan kesehatan, tunjangan pengangguran, dan
bantuan sosial lainnya.
Lebih dari 20 persen dari produk domestik bruto (PDB)
negara ini dialokasikan untuk sektor tersebut—menjadikannya salah satu yang
tertinggi di antara negara-negara anggota Uni Eropa dan OECD (Organisasi untuk
Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi).
Kedua, komitmen terhadap kesetaraan gender. Finlandia
dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat kesetaraan gender tertinggi di
dunia. Menurut laporan Forum Ekonomi Dunia 2023, perempuan telah mencapai
representasi yang signifikan dalam politik, yakni 46 persen kursi di parlemen
dan 40 persen posisi di dewan kota hingga April 2023.
Negara ini juga menduduki peringkat kelima dalam
daftar Negara Terbaik untuk Perempuan versi U.S. News, dengan 98 persen
warganya mendukung kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki.
Ketiga, negara ramah keluarga. Berbeda dengan banyak
negara lain, orang tua baru menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan tanggung
jawab keluarga dan keuangan, Finlandia menyediakan salah satu sistem cuti
keluarga paling murah hati di dunia. Cakupannya meliputi cuti kehamilan
selama 40 hari kerja bagi ibu, serta 160 hari cuti orang tua yang dapat diakses
oleh semua wali anak, baik itu orang tua kandung maupun orang tua angkat.
Keempat, pemimpin dalam kesadaran lingkungan. Finlandia
memiliki serangkaian kebijakan lingkungan yang progresif, termasuk target untuk
mencapai netralitas karbon pada tahun 2035. Meski masih menghadapi tantangan
dalam memenuhi target tersebut, negara ini tercatat sebagai salah satu yang
memiliki tingkat polusi udara terendah di antara negara-negara OECD.
Selain itu, Finlandia juga masuk dalam 10 besar negara
paling ramah lingkungan dalam daftar Negara Terbaik versi U.S. News dan
dianggap sebagai pelopor dalam gaya hidup berkelanjutan.
Kelima, masyarakat yang berpendidikan tinggi. Finlandia
mengalokasikan dana pendidikan per siswa yang melebihi rata-rata negara-negara
anggota OECD. Negara ini juga memberikan perhatian khusus pada pendidikan
vokasional, di mana lebih dari dua pertiga siswa tingkat setara SMA memilih
jalur pendidikan dan pelatihan kejuruan, menurut laporan OECD.
Pendidikan di Finlandia diberikan secara gratis mulai
dari jenjang prasekolah hingga perguruan tinggi. Hanya sekitar 2 persen siswa
yang menempuh pendidikan di sekolah swasta yang dibiayai secara independen,
berdasarkan data Uni Eropa. Kebijakan ini berkontribusi pada rendahnya tingkat
utang mahasiswa lulusan di Finlandia dibandingkan dengan rata-rata
negara-negara OECD.
Keenam, kepercayaan meresap dalam kehidupan masyarakat
finlandia. Salah satu faktor utama yang menjadikan Finlandia secara konsisten
menempati peringkat pertama dalam daftar negara paling bahagia adalah tingginya
tingkat kepercayaan dan kebebasan dalam masyarakatnya—dua hal yang menurut
penelitian sangat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan dan
produktivitas.
Finlandia secara rutin berada di jajaran teratas dunia
dalam hal transparansi dan rendahnya tingkat korupsi. Warga Finlandia umumnya
memiliki rasa saling percaya yang kuat, baik terhadap sesama warga, pejabat
publik, maupun pemerintah. Negara ini juga meraih peringkat tinggi dalam kebebasan politik,
sipil, dan pers. Selain itu, baik individu maupun institusi menikmati tingkat
kebebasan yang luas dalam berbagai aspek kehidupan.
Diacu dari positivepsychology.com ada
3 poin penting untuk mendefinisikan kebahagiaan, yakni, bahagia berupa keadaan
yang cepat berubah, identik dengan rasa senang dan puas, serta bisa berupa
perasaan ataupun wujud tertentu. Kebahagiaan sulit didefinisikan secara ilmiah
karena sifatnya subjektif, namun para ahli sepakat untuk mengenal kebahagiaan
sebagai sesuatu yang ditandai dengan kepuasaan umum terhadap situasi
sekarang.
Namun ada yang ironis, meski dinobatkan sebagai negara
paling bahagia di seluruh dunia, namun terkait krisis Palestina, negara ini
justru tetap membeli senjata dari Israel dan tidak mengakui Palestina sebagai
negara merdeka. Presiden Finlandia Alexander Stubb membela keputusan
negaranya untuk membeli senjata dari Israel meskipun ada perang di Gaza, dan
mengatakan bahwa hal itu tidak ada hubungannya dengan keengganan Finlandia
untuk mengakui negara Palestina yang
merdeka saat ini.
Finlandia membeli sistem pertahanan
rudal yang berbasis di darat, di ketinggian, yang disebut David's Sling dari
Israel. Helsinki menganggap sistem ini sebagai prioritas utama untuk
pertahanannya sendiri karena serangan rudal Rusia yang sedang berlangsung
terhadap target sipil dan militer di Ukraina.
Stubb, yang mulai menjabat pada Maret, telah
mendefinisikan sikap kebijakan luar negeri yang baru bagi dirinya dan Finlandia
sebagai "realisme berbasis nilai", yang menurutnya adalah tentang
"mencapai sesuatu di dunia sebagaimana adanya", alih-alih "hanya
mempromosikan dunia sebagaimana yang saya inginkan".
Dalam sebuah wawancara dengan Reuters pada
Selasa, 17 September 2024, Stubb mengatakan bahwa saat ini bukanlah waktu yang
tepat untuk mengakui negara Palestina, meskipun negara-negara tetangga Nordik,
Swedia, Islandia, dan yang terbaru adalah Norwegia, telah melakukannya.
Kembali kepada tema kebahagiaan dengan ukuran paham
sekulerisme yang memisahkan antara agama dan kehidupan duniawi. Dalam pandangan
sekuler, kebahagiaan biasanya didefinisikan dan diukur dari aspek material,
psikologis, dan sosial, bukan spiritual atau ukhrawi. World Happiness Report
sebagai salah satu representasi pengukuran kebahagiaan dengan paham sekulerisme
yang menjadikan Finlandia sebagai negara paling bahagia di dunia.
Ukuran kebahagiaan dalam paham sekulerisme, salah
satunya mengacu kepada kepuasan individu (individual satisfaction). Fokus utama
sekulerisme adalah kebebasan individu dan hak untuk menentukan sendiri makna
kebahagiaan. Kebahagiaan diukur dari seberapa puas seseorang terhadap
kehidupannya, misalnya gaya hidup, hubungan sosial, kebebasan berekspresi dan pencapaian
pribadi.
Paham sekulerisme juga mengukur kebahagiaan
(happiness) dengan ukuran kesejahteraan materi (material well-being). Rumusnya jika
ekonomi kuat, maka akan lebih bahagia hidupnya, begitulah logika umum dalam
paham sekuler. Dalam hal ini ukuran kebahagiaan biasanya mencakup: pendapatan
tinggi, stabilitas finansial, akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan.
Sekulerisme juga mengukur kebahagiaan dengan sejauh
mana kebebasan dan hak asasi (freedom and rights) dijamin oleh negara. Dalam masyarakat
sekuler, kebebasan pribadi dianggap vital bagi kebahagiaan, semisal kebebasan
berpikir, kebebasan seksual dan pilihan gaya hidup. Selama seseorang bebas
membuat keputusan atas hidupnya, itu dianggap sebagai indikator kebahagiaan.
Sekulerisme juga mengukur kebahagiaan seseorang dengan
tingkat kesehatan mental dan emosional. Psikologi sekuler menempatkan emosi
positif (kesenangan, kepuasan, semangat hidup) sebagai indikator kebahagiaan. Beberapa
pendekatan mengukur kebahagiaan yang dikembangkan oleh Martin Seligman adalah life
satisfaction surveys, subjective well-being dan positive
psychology.
Kebahagiaan ala sekulerisme yang memisahkan antara
agama dan kehidupan bisa dikatakan bersifat subjektif dan duniawi. Sebab dalam
sekulerisme, kebahagiaan sama dengan perasaan senang serta tidak menderita. Makna
kebahagiaan diserahkan sepenuhnya kepada individu. Tidak ada ukuran
"ilahi" atau "akhirat"; yang penting adalah di sini dan
sekarang (here and now).
Dalam pandangan filsafat, Plato menyatakan bahwa orang
yang membuat segala sesuatu yang membawa kebahagiaan bergantung pada dirinya
sendiri, dan bukan pada orang lain, telah mengambil rencana terbaik untuk hidup
bahagia. Sementara, Aristoteles
menegaskan bahwa kebahagiaan bergantung pada diri kita sendiri."
Seneca menggambarkan bahwa kebahagiaan sejati adalah
menikmati saat ini, tanpa ketergantungan pada masa depan, tidak menghibur diri
dengan harapan atau ketakutan, tetapi merasa puas dengan apa yang kita miliki,
yang cukup, karena dia yang memilikinya tidak menginginkan apa pun.
Lao Tzu menyatakan bahwa jika Anda depresi, Anda hidup
di masa lalu. Jika Anda cemas, Anda hidup di masa depan. Jika Anda merasa damai,
Anda hidup di masa kini. Sementara itu, Immanuel
Kant menegaskan bahwa bukan kehendak Tuhan semata-mata agar kita bahagia, namun
kita harus membuat diri kita sendiri bahagia."
Friedrich Nietzsche bertanya apa itu kebahagiaan?
Perasaan bahwa kekuatan meningkat, bahwa perlawanan dapat diatasi, katanya. Sedangkan, Stuart Mill mengatakan saya telah
belajar mencari kebahagiaan dengan membatasi keinginan saya, bukan berusaha
memuaskannya.
Sementara dalam perspektif Islam, kunci kebahagiaan
sejati (sa‘ādah) tidak hanya terbatas pada kebahagiaan duniawi, tetapi juga
mencakup kebahagiaan akhirat. Islam memandang bahwa kebahagiaan yang hakiki
adalah ketika seseorang hidup dalam kedekatan dengan Allah dan memperoleh
ketenangan batin melalui iman dan amal saleh.
Pertama, kunci kebahagiaan dalam Islam adalah Iman dan
Taqwa. Hal ini sebagaimana Allah tegaskan dalam firmanNya : “Barangsiapa yang
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik…” (QS.
An-Nahl: 97).
Iman yang kuat membuat hati tenang karena percaya
bahwa segala sesuatu adalah kehendak Allah. Taqwa (takut dan taat kepada Allah)
menjaga seseorang dari dosa dan menuntunnya pada jalan yang diridhai. Hati yang
tenang (sakinah) karena kedekatan kepada Allah dan terhindar dari perbuatan
dosa karena berharap kepada ridho Allah adalah kunci paling fundamental untuk
meraih kebahagiaan.
Kedua, qana'ah (rasa cukup) juga merupakan ukuran
kebahagiaan dalam perspektif Islam. hal ini sejalan sabda Rasulullah SAW : “Sungguh
beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah
menjadikannya merasa cukup dengan apa yang diberikan-Nya.” (HR. Muslim).
Dalam konteks hadits ini, sesiapa yang tidak mengejar
dunia secara berlebihan dan menerima rejeki yang telah Allah tetapkan dengan
lapang dada, tidak iri, dan selalu bersyukur adalah cara mudah untuk
mendapatkan kebahagiaan hakiki. Salah satu kesyukuran seorang muslim dengan
hartanya adalah dengan membagikan kepada orang lain yang membutuhkan.
Ketiga, kunci kebahagiaan dalam perspektif Islam
adalah dengan syukur dan sabar. Syukur
atas nikmat sekecil apa pun membawa ketenangan dan rasa bahagia. Sabar dalam
menghadapi ujian hidup menjauhkan seseorang dari stres dan putus asa. Allah
menegaskan dalam firmanNya : “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS.
Al-Insyirah: 6).
Kunci keempat untuk mendapatkan kebahagiaan dalam
perspektif Islam adalah dengan mendawamkan shalat dan dzikir. Shalat adalah
sarana utama untuk berkomunikasi dengan Allah dan menenangkan jiwa. Dzikir
menenangkan hati, sebagaimana dalam, sebagaimana firman Allah : “Ingatlah,
hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Kunci kelima ukuran kebahagiaan dalam perspektif Islam
adalah jalinan atau hubungan baik dengan sesama. Berbuat baik kepada orang
lain, silaturahmi, dan menebar kasih sayang adalah bagian dari kebahagiaan.
Sabda Rasulullah : “Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kunci ketujuh untuk mengukur kebahagiaan dalam Islam
adalah menjaga hati dari penyakit, sebab bahagia itu hakikatnya dalam hati
manusia. Iri hati, dengki, sombong, dan
riya adalah penyakit hati yang menghalangi kebahagiaan. Hati yang bersih lebih
mudah menerima takdir dan lebih damai menjalani hidup.
Kebahagiaan dalam Islam adalah perpaduan antara
ketenangan hati, kedekatan dengan Allah, dan kehidupan yang penuh makna. Bukan
soal berapa banyak harta atau kesenangan dunia yang dimiliki, tapi bagaimana
seseorang mampu bersyukur, bersabar, dan terus memperbaiki hubungannya dengan
Allah dan manusia.
Dalam sejarah peradaban Islam, banyak ulama yang turut
memberikan rumusan dan ukuran kebahagiaan, utamanya ulama yang konsen di bidang
psikologi dan tasawuf. Abu Zayd al-Balkhi (850-934 M), misalnya yang sering
kali terlupakan padahal beliau pelopor ilmu psikologi Islam jauh sebelum para
psikolog modern muncul.
Al-Balkhi membahas kebahagiaan dalam karya terkenalnya
Masalih al-Abdan wa al-Anfus (Perbaikan Tubuh dan Jiwa) yang menulis dan
menjelaskan gabungan antara psikologi, kedokteran, dan spiritualitas. Menurut
beliau, kebahagiaan adalah hasil dari keseimbangan antara tubuh dan jiwa, serta
keseimbangan antara pikiran dan iman.
Al Balkhi menegaskan bahwa Keseimbangan antara Jasmani
dan Ruhani menjadi kunci kebahagiaan dengan asumsi bahwa Sebagaimana tubuh bisa
sakit, demikian pula jiwa. Dan sebagaimana tubuh butuh pengobatan, jiwa pun
demikian. Sebab gangguan fisik bisa mempengaruhi psikologi, sementara gangguan
jiwa bisa mengganggu kesehatan tubuh.
Mengelola emosi dan stress juga menjadi rumus
kebahagiaan yang ditulis oleh Al balkhi. Al-Balkhi membagi gangguan jiwa
menjadi tiga (1) Kesedihan (huzn), (2) Khawatir berlebih (waswas) dan (3) Kemurungan
(melankolia). Kunci kebahagiaan adalah
mengelola emosi negatif dengan kesabaran (ṣabr), tawakal, dzikir dan konsultasi
dan curhat dengan orang bijak atau ahlinya (semacam terapi zaman dulu).
Al-Balkhi juga sangat percaya bahwa iman dan hubungan
dengan Allah adalah penyejuk jiwa, dengan asumsi bahwa kedekatan kepada
Allah adalah penawar atas kegelisahan hati. Shalat, doa, dan dzikir adalah
“terapi spiritual” untuk menguatkan mental dan menenangkan batin.
Al Balkhi juga sangat percaya bahwa ilmu (terutama
agama dan logika) membentuk cara berpikir sehat dan mengusir kesedihan. Sebab baginya,
ilmu adalah obat bagi kebingungan pikiran dan jiwa.
Sementara Imam Al-Ghazali, seorang ulama dan filsuf
besar Islam, membahas konsep kebahagiaan (السعادة,
as-sa‘ādah) secara mendalam, terutama dalam karya-karyanya seperti Ihya'
Ulumuddin dan Kimiya as-Sa‘ādah (Kimia Kebahagiaan). Menurut
beliau, kebahagiaan sejati tidak terletak pada kesenangan duniawi, melainkan
pada penyucian jiwa dan kedekatan dengan Allah.
Rumus kebahagiaan menurut Imam Al-Ghazali adalah,
pertama, ma'rifatullah (mengenal Allah). Kebahagiaan yang hakiki adalah ketika
seseorang mengenal Tuhannya. Imam Al-Ghazali meyakini bahwa tujuan utama
manusia adalah mengenal Allah, dan dari ma’rifah inilah muncul cinta, ketaatan,
dan rasa damai. Semakin dekat seseorang dengan Allah, semakin besar pula
kebahagiaannya.
Kedua, tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Jiwa manusia
memiliki potensi mulia, tapi juga bisa dikotori oleh hawa nafsu. Ia menyarankan
mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu) dan riyadhah (latihan spiritual)
sebagai cara memperbaiki diri.
Ketiga, akal sebagai cahaya penuntun. Menurut
Al-Ghazali, akal yang bersih membantu mengenal hakikat kehidupan. Tapi akal
sendiri tidak cukup tanpa wahyu (ilmu agama). Keseimbangan antara akal dan ilmu
syar'i adalah kunci.
Keempat, ilmu dan amal. Ilmu tanpa amal adalah
kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Ilmu (terutama ilmu agama)
adalah fondasi untuk membimbing hati dan perilaku, sedangkan amal memperkuat
ilmu itu dalam kehidupan nyata.
Kelima, zuhud dan tawakal. Tidak menggantungkan hati
pada dunia, walaupun dunia di tangan. Berserah diri kepada Allah setelah
berusaha, membawa ketenangan dan menghindarkan dari stres dunia.
Ibn Sina (Avicenna), seorang filsuf dan ilmuwan Muslim
terkemuka, juga memiliki pandangan yang sangat mendalam tentang kebahagiaan (as-sa‘ādah),
yang ia bahas dalam karya-karya seperti Kitab al-Nafs dan Asy-Syifa’.
Berbeda dengan Al-Ghazali yang lebih sufistik, Ibn Sina melihat kebahagiaan
dari sisi falsafah rasional dan metafisik, namun tetap dalam bingkai Islam.
Menurut Ibn Sina, kebahagiaan adalah tujuan tertinggi (al-ghāyah
al-quswā). Ibn Sina berpendapat bahwa Kebahagiaan sejati adalah ketika jiwa
mencapai kesempurnaan dan kebersatuan dengan akal aktif (al-‘aql al-fa‘āl). Dalam
kata lain, tujuan tertinggi manusia adalah penyempurnaan jiwa melalui akal dan
ilmu, bukan sekadar kesenangan fisik atau materi.
Rumus sederhana versi Ibn Sina bahwa kebahagiaan
adalah memiliki Ilmu ditambah penyempurnaan
jiwa serta kedekatan dengan akal aktif. Ilmu adalah alat untuk menyempurnakan
jiwa. Semakin tinggi pengetahuan seseorang tentang hakikat realitas, semakin
dekat ia dengan kebahagiaan. Ibn Sina menganggap manusia bahagia jika ia mampu
mengenali hakikat dirinya, alam, dan Tuhan.
Sementara, jiwa harus dibersihkan dari sifat-sifat
rendah (syahwat, kemarahan, kebodohan). Dengan latihan akhlak dan filsafat,
jiwa akan menjadi "sempurna" dan siap menyatu dengan akal aktif. Akal
aktif adalah entitas spiritual yang menjadi sumber intelek manusia. Jiwa yang
telah disempurnakan akan mengalami “kebersatuan” dengan akal aktif, inilah
puncak kebahagiaan menurut Ibn Sina. Bagi Ibn Sina, kebahagiaan bukan terletak
pada duniawi (materi, kekuasaan, atau kesenangan fisik), tapi pada kesiapan
jiwa untuk kehidupan abadi, sesuai dengan fitrah akalnya.
Rumus kebahagiaan dalam pandangan Islam sangat relevan
dengan tujuan syariah (maqodis syariah). Imam Al-Ghazali dan Imam Asy-Syatibi
merumuskan 5 tujuan pokok syariat. Pertama, Hifzh al-Din (Menjaga Agama). Syariah
menjaga agar umat bisa beragama dengan benar tanpa paksaan atau gangguan.
Contoh: kewajiban shalat, larangan murtad, dakwah. Kedua, Hifzh al-Nafs
(Menjaga Jiwa). Syariah melindungi nyawa manusia. Contoh: larangan membunuh,
qishas, jaminan kesehatan.
Ketiga, Hifzh al-‘Aql (Menjaga Akal). Syariah
memuliakan akal dan melarang hal yang merusaknya. Contoh: larangan
khamr/narkoba, anjuran menuntut ilmu. Keempat, Hifzh al-Mal (Menjaga Harta). Syariah
menjaga kepemilikan yang sah dan melarang pencurian, riba, korupsi. Juga
mewajibkan zakat untuk distribusi kekayaan. Kelima, Hifzh al-Nasl (Menjaga
Keturunan). Syariah melindungi kehormatan dan generasi. Contoh: nikah, larangan
zina, hukum had.
Mewujudkan lima tujuan syariah ini tidak bisa
dilakukan oleh individu muslim. Sebagaimana kebahagiaan yang dirasakan oleh
rakyat Finlandia karena ada peran negara disana. Negara hadir untuk mengurus
urusan rakyatnya. Nah, demikian pula dalam Islam, untuk mewujudkan kebahagiaan
hakiki mesti ada peran negara agar lima tujuan syariah itu terpenuhi dengan
sempurna.
Dalam perpektif Islam, negara tidak hanya bertugas
mengurus urusan dunia rakyat (ekonomi, keamanan, hukum), tapi juga membimbing
mereka menuju kebahagiaan hakiki, yaitu ridha Allah dan keselamatan akhirat.
Jadi, pendekatannya komprehensif, yakni spiritual, sosial, dan material.
Dalam Islam, negara wajib menerapkan syariah secara
kaffah. Seluruh hukum, baik pidana, ekonomi, pendidikan, maupun sosial, diatur
sesuai syariat Islam. Tujuannya adalah untuk menciptakan keadilan, ketertiban,
dan moralitas dalam masyarakat. Dalam Islam, hukum tidak sekadar “aturan”, tapi
cara hidup yang membawa ketenangan dan keberkahan.
Dalam Islam, negara harus mewujudkan keadilan sosial
dan ekonomi bagi seluruh rakyatnya. Umar bin Khattab pernah berkata: "Andai
seekor keledai tersandung di Irak, aku takut Allah akan menanyakan kenapa aku
tidak meratakan jalan."
Dalam Islam, negara harus mendistribusikan kekayaan
diatur adil. Kepemilikan dalam Islam ada tiga, milik negara, milik umum dan
milik individu. Sumber daya alam adalah harta milik bersama yang haram diprivatisasi
apalagi dikuasai oleh asing. Larangan riba, manipulasi pasar, dan penumpukan
kekayaan di segelintir elit juga menjadi ciri khas syariah Islam bidang
ekonomi. Jaminan kebutuhan pokok rakyat
seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan menjadi prioritas negara
dalam pandangan Islam. kesehatan, pendidikan dan keamanan gratis bagi rakyat
dalam Islam. Negara menjamin jaminan
sosial (kifayah) bagi yang tidak mampu. Sebab kebahagiaan lahir dari hilangnya
kesenjangan dan rasa aman hidup.
Negara mendidik rakyat agar menjadi insan beriman dan
berilmu. Tujuannya bukan sekadar mencetak “tenaga kerja”, tapi hamba Allah yang
sadar tujuan hidup. Dalam Islam, pendidikan berbasis tauhid menjadikan manusia
rakyatnya berakhlak, tenang jiwanya, serta produktif dan kontributif.
Dalam Islam, negara harus dipimpin oleh pemimpin yang amanah dan takwa. Khalifah bukan penguasa
absolut, tapi pelayan umat. Dalam Islam, pemimpin wajib menjalankan hukum Allah,
tidak korup, tidak zalim dan siap dikritik, transparan, dan adil.
Rasulullah ﷺ
bersabda: “Imam (pemimpin) adalah penggembala dan dia bertanggung jawab atas
gembalaannya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Islam menjamin kebebasan yang terarah bagi semua
rakyatnya. Rakyat bebas berpendapat, berkreasi, dan berdakwah selama tidak
melanggar syariat. Harus ada keseimbangan antara hak individu dan hak
masyarakat.
Intinya, kebahagiaan dalam negara yang bersyariah
kaffah akan terwujud di tengah-tengah masyarakat, karena Pertama, negara akan memenuhi kebutuhan akal,
lewat pendidikan Islam. kedua, menenangkan jiwa lewat hukum dan akhlak Islam. ketiga,
memenuhi kebutuhan fisik lewat jaminan sosial dan ekonomi syariah. Dan keempat,
mengantarkan pada surga lewat dakwah dan penerapan syariat.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 21/04/25 : 22.24 WIB)