Oleh : Ahmad Sastra
Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan
supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari
kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. (QS
Al Anfal : 39)
Kementerian Luar Negeri Arab
Saudi pada Kamis, 3 April 2025 mengecam eskalasi militer Israel
yang terus berlanjut di wilayah Palestina yang diduduki. Arab Saudi juga
mengutuk serangan terhadap tempat penampungan bagi warga sipil yang mengungsi
di Gaza.
Dalam sebuah pernyataan, Kerajaan Arab Saudi mengecam penargetan Sekolah Dar
Al-Arqam di Gaza, di mana puluhan pengungsi tewas.
Arab Saudi juga mengutuk penghancuran
gudang yang dioperasikan oleh Pusat Kebudayaan dan Warisan Saudi di daerah
Morag di sebelah timur Rafah. Fasilitas tersebut dilaporkan berisi pasokan
medis yang ditujukan untuk pasien dan yang terluka di Gaza.
Dilansir dari Arab News,
Kementerian Luar Negeri Arab Saudi turut menyoroti tidak adanya mekanisme
akuntabilitas internasional yang efektif telah memungkinkan pasukan Israel
untuk terus melanggar hukum internasional dan prinsip-prinsip
kemanusiaan.
Kementerian tersebut juga memperingatkan bahwa
impunitas yang sedang berlangsung berkontribusi pada intensifikasi kekerasan
dan menimbulkan ancaman bagi stabilitas regional dan global.
Sementara itu, menyikapi kekejaman israel atas muslim
Palestina, beberapa ulama Muslim terkemuka di dunia mengeluarkan fatwa yang
menyerukan seluruh Muslim dan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim
melancarkan jihad melawan Israel. Fatwa jihad ini diterbitkan untuk membela rakyat Gaza yang
diserang Israel selama 17 bulan terakhir.
Ali al-Qaradaghi, sekretaris jenderal Persatuan
Cendekiawan Muslim Internasional (IUMS), sebuah organisasi yang sebelumnya
dipimpin oleh Yusuf al-Qaradawi, menyerukan fatwa
jihad kepada semua negara Muslim pada Jumat pekan lalu, 4 April
2025. "Kegagalan pemerintah Arab dan Islam untuk mendukung Gaza saat
sedang dihancurkan dianggap oleh hukum Islam sebagai kejahatan besar terhadap
saudara-saudara kita yang tertindas di Gaza," katanya seperti dikutip dari
Middle East Eye, Selasa, 8 April 2025.
Qaradaghi adalah salah satu otoritas agama yang paling
dihormati di kawasan ini. Keputusannya memiliki bobot signifikan di antara 1,7
miliar Muslim Sunni di dunia. Ia menegaskan bahwa umat Islam dlarang mendukung
Israel.
Dalam sejarah peradaban Islam di bawah daulah
khilafah, jihad pembebasan Palestina, khususnya kota Yerusalem, melalui dua
tokoh besar Islam, yaitu Umar bin Khattab dan Salahuddin al-Ayyubi. Keduanya merupakan
bagian penting dalam sejarah jihad umat Muslim untuk mempertahankan dan
membebaskan tanah suci tersebut dari kekuasaan para penjajah kafir.
Umar bin Khattab, khalifah kedua dalam sejarah Islam,
memimpin jihad pasukan Muslim dan berhasil menaklukkan Yerusalem pada tahun 637
M. Saat itu, Yerusalem berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Bizantium. Setelah
penaklukan oleh pasukan Muslim, Umar bin Khattab memasuki kota Yerusalem dan
berjanji akan memberikan kebebasan agama bagi penduduknya, yang sebagian besar
adalah orang-orang Kristen.
Pada masa itu, pasukan Bizantium sedang menghadapi
kesulitan besar di beberapa front, dan umat Muslim berhasil memenangkan
beberapa pertempuran penting di wilayah Syam (sekarang Syria, Lebanon,
Palestina, dan Yordania).
Setelah perundingan dengan penguasa Yerusalem,
Sophronius, yang merupakan Patriarkus Kristen Ortodoks Yerusalem, Umar bin
Khattab diundang untuk memasuki kota dan menandatangani sebuah perjanjian
perdamaian yang dikenal dengan Perjanjian Umar.
Dalam perjanjian ini, umat Kristen di Yerusalem
dijamin kebebasan beragama, serta hak-hak mereka untuk menjalankan ibadah
mereka tanpa gangguan. Selain itu, Umar bin Khattab juga memberikan hak kepada
umat Yahudi untuk tinggal dan beribadah di Yerusalem setelah sebelumnya
dilarang oleh pihak Bizantium.
Salah satu momen terkenal dalam peristiwa ini adalah
ketika Umar bin Khattab pergi ke Gereja Makam Kudus dan melakukan shalat di
sana. Dia menolak untuk shalat di dalam gereja karena khawatir umat Muslim akan
menjadikannya tempat ibadah jika dia melakukannya di sana.
Pembebasan Yerusalem oleh Umar bin Khattab menandakan
dimulainya pemerintahan Islam di Palestina dan menetapkan prinsip toleransi
beragama serta perlindungan terhadap penduduk non-Muslim.
Salahuddin al-Ayyubi, salah seorang panglima besar masa
kekuasaan peradaban Islam, memainkan peran yang sangat penting dalam
membebaskan Yerusalem dari kekuasaan Salib, yang telah menguasai kota tersebut
selama hampir 100 tahun. Ia adalah pemimpin dari Dinasti Ayyubiyah yang
berbasis di Mesir.
Pada abad ke-12, Yerusalem dikuasai oleh tentara Salib
yang telah mendirikan Kerajaan Yerusalem setelah Perang Salib Pertama (1099 M).
Salibis menguasai kota ini dengan kekerasan dan menindas umat Muslim serta
Yahudi yang tinggal di sana.
Salahuddin al-Ayyubi, yang terkenal dengan kebijakan
toleransi dan kepemimpinannya yang bijaksana, memulai perjuangan untuk merebut
kembali Yerusalem dari tangan Salib. Salahuddin berhasil menyatukan dunia
Muslim di wilayah tersebut dan memimpin pasukan untuk mengalahkan tentara Salib
dalam beberapa pertempuran besar, seperti Pertempuran Hattin pada tahun 1187.
Setelah kemenangan di Hattin, Salahuddin memimpin
pasukan Muslim untuk mengepung Yerusalem. Kota tersebut kemudian menyerah tanpa
perlawanan besar pada bulan Oktober 1187.
Salahuddin memberi jaminan keamanan bagi penduduk
Kristen dan Muslim di Yerusalem. Sebagian besar penduduk yang tinggal di kota
tersebut diberi kebebasan untuk memilih apakah mereka ingin tetap tinggal atau
meninggalkan kota dengan aman.
Tidak seperti penaklukan Salib yang brutal, pembebasan
oleh Salahuddin al-Ayyubi relatif damai. Salahuddin menghormati tempat-tempat
suci, baik untuk umat Muslim, Yahudi, maupun Kristen.
Salahuddin al-Ayyubi menunjukkan kebijakan toleransi
beragama dengan mengizinkan umat Kristen untuk terus beribadah di Gereja Makam
Kudus dan mengembalikan kebebasan beragama kepada umat Muslim dan Yahudi yang
sebelumnya tertindas oleh pasukan Salib.
Khilafah dan Otoritas Jihad adalah dua konsep penting
dalam sejarah Islam, terutama terkait dengan struktur kepemimpinan dan
perjuangan umat Muslim untuk membela agama dan tanah mereka. Kedua konsep ini
saling terkait dan memiliki makna yang luas dalam konteks historis, politik,
dan teologi Islam.
Khilafah berasal dari kata "khalifah" yang
berarti "pengganti" atau "wakil." Dalam konteks sejarah
Islam, Khilafah merujuk pada lembaga kepemimpinan yang berfungsi sebagai
pengganti atau penerus kepemimpinan Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat.
Khilafah memiliki tanggung jawab untuk menjaga agama Islam, menegakkan
hukum-hukum syariat, serta membela umat Muslim di seluruh dunia.
Khalifah sebagai pemimpin umat Muslim berfungsi
sebagai otoritas tertinggi dalam pemerintahan Islam. Tugas utama khalifah
adalah : Memimpin umat dalam urusan agama dan dunia, Menjaga kesatuan umat
Islam, Menegakkan keadilan dan hukum Islam (syariat) dan Membela umat Muslim
dan melindungi tanah Islam dari ancaman luar.
Khilafah memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas
politik dan sosial umat Islam, serta melindungi hak-hak umat Muslim di seluruh
dunia. Khalifah bertanggung jawab atas pemeliharaan hubungan internasional,
termasuk peran dalam menjaga perdamaian dan memimpin jihad jika diperlukan
untuk membela umat Islam.
Jihad dalam konteks Islam sering dipahami sebagai
"perjuangan di jalan Allah," yang memiliki banyak dimensi, termasuk
perjuangan batin (melawan hawa nafsu) dan perjuangan fisik (untuk membela agama
Islam atau tanah Islam). Konsep jihad yang sering dibahas dalam sejarah adalah jihad
fisik atau perang suci, yang dilakukan untuk melindungi umat Muslim atau tanah
umat Islam dari ancaman luar.
Jihad dalam Islam bukanlah tindakan yang dapat
dilakukan sembarangan oleh individu atau kelompok tanpa otoritas yang sah.
Otoritas untuk melaksanakan jihad harus berada di tangan pemimpin yang sah, yakni
Khalifah atau pemimpin negara Islam yang berhak memutuskan apakah perang suci
(jihad) perlu dilakukan.
Jihad hanya sah jika dilakukan untuk membela agama
Islam, menjaga umat Muslim, atau mengusir penjajah yang menindas umat Islam.
Pemimpin yang sah (khalifah atau penguasa Muslim) berhak untuk menyerukan jihad
jika terjadi ancaman terhadap umat Islam. Ini mengandung prinsip bahwa jihad
adalah perintah negara Islam dan tidak boleh dilakukan secara sembarangan oleh
individu atau kelompok.
Sepanjang sejarah, lembaga Khilafah memiliki peran
yang sangat penting dalam merumuskan kebijakan jihad. Misalnya: (1) Umar bin
Khattab sebagai Khalifah kedua mengatur jihad untuk memperluas wilayah Islam
dan membela umat Muslim, terutama dalam menghadapi ancaman dari Kekaisaran
Bizantium dan Persia.
(2) Salahuddin al-Ayyubi adalah contoh pemimpin yang
mengerahkan jihad untuk membebaskan Yerusalem dari pasukan Salib pada abad
ke-12. Ia bertindak atas nama Khilafah dan menjalankan jihad untuk memulihkan
tanah suci bagi umat Islam.
Karena itu fatwa jihad yang dikeluarkan oleh otoritas
ulama yang bergabung dalam Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional (IUMS)
akan mendapat kendala dalam merealisasikannya jika tanpa institusi otoritatif
khilafah. Dengan khilafah, maka jihad melawan israel akan sangat dengan mudah
direalisasikan. Semoga khilafah segera tegak di muka bumi ini, menyatukan umat
Islam seluruh dunia dan segera direalisasikan jihad mengusir penjajah israel
dari bumi Palestina.
Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang
dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu
bangunan yang tersusun kokoh (QS As Saff : 4)
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 09/04/25 : 10.07 WIB)