IRONI MARAKNYA PREDATOR SEKSUAL DALAM PROFESI MEDIS DAN AKADEMIS



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Sungguh ironi di negeri pancasila ini. Bagaimana tidak, pancasila yang diagung-agungkan sebagai panjaga moral, namun pada faktanya justru terjadi banyak kasus amoral. Salah satu kasus yang saat ini mencuat adalah munculnya predator seksual di kalangan para dokter, polisi, tentara, dosen dan bahkan dalam keluarga terkecil. Pancasila gagal membawa bangsa ini menjadi bangsa yang adil dan beradab.

 

Kekerasan seksual di kampus mencuat ke permukaan akhir-akhir ini. Kampus yang seharusnya memberikan contoh implementasi moralitas, justru banyak dosen dan mahasiswa terlibat kejahatan seksual. Beberapa kasus kekerasan seksual di kampus sudah menjerat para pelaku dengan vonis dari putusan hukum.

 

Mahasiswa dari Universitas Brawijaya atau UB, NWR mengalami pelecehan seksual pada 2017 yang baru dilaporkan pada 2020. “Pada awal Januari 2020, NWR melaporkan kasus pelecehan seksual yang pernah dialaminya kepada Fungsionaris FIB UB," kata Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UB, Agus Suman, pada 5 Desember 2021.

 

Berdasarkan hasil pemeriksaan aparat Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumatera Selatan, Aditya Rol Azmi, Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) Unsri diduga melakukan pelecehan seksual terhadap korban DR dengan modus bimbingan skripsi.Kejadian tersebut berlangsung di Laboratorium Sejarah FKIP Unsri Indralaya, Ogan Ilir pada 25 September 2021.

 

Hasil investigasi Satgas PPKS UI menyatakan, Ketua BEM UI 2023, Melki Sedek Huang disebut melakukan kekerasan seksual. Berdasarkan Keputusan Rektor UI Nomor 49/SK/UI/2024 tentang penetapan sanksi administrasi terhadap pelaku kekerasan seksual, atas nama Melki Sedek Huang Fakultas Hukum UI mendapatkan sanksi administrasi skorsing selama 1 semester.

 

Unhas Makassar sedang mendalami dugaan pelecehan seksual dari beberapa mahasiswa perempuan terhadap tindakan Ketua Departemen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas. Laporan tersebut diserahkan kepada Satgas PPKS Unhas pada 10 Juni 2024. Korban mengaku telah mendapat pelecehan sejak 2023 ketika mengurus administrasi studi akhir.

 

Dosen yang diduga pelaku menjadi pembimbing tugas akhir. Adapun bentuk pelecehannya berupa kontak fisik, seperti elusan tangan, cipikacipiki, memegang leher tanpa persetujuan, mengelus pipi, dan tindakan lain yang tidak pantas.

 

Buntut terbitnya Majalah Lintas edisi Januari 2022, terbitan LPM Lintas IAIN Ambon yang membuat liputan khusus mengenai kekerasan seksual bertajuk “IAIN Ambon Rawan Pelecehan” membuat Rektor Institut Agama Islam Negeri atau IAIN Ambon membredel pers mahasiswa Lintas.

 

Dalam liputan tersebut, dilaporkan mengenai, 32 orang yang mengaku menjadi korban pelecehan seksual di IAIN Ambon, terdiri 25 perempuan dan 7 laki-laki. Jumlah terduga pelaku perundungan seksual itu 14 orang. Di antaranya 8 dosen, 3 pegawai, 2 mahasiswa, dan 1 alumnus. Liputan pelecehan ini ditelusuri sejak 2017. Kasus itu berlangsung sejak 2015-2021.

 

Tidak hanya di kampus, dalam profesi medispun ternyata banyak terjadi kasus pelecehan seksual yang menimpa pasien maupun perawat. Dalam dua minggu terakhir, kasus kekerasan dan pelecehan seksual oleh dokter terhadap pasien menjadi sorotan publik.

 

Bahkan di sosial media juga sering menjadi rumah bagi para predator seksual dengan cara mencari korban, diawali dengan perkenalan di sosial media. Tahun 2023, dua kasus rudapaksa menimpa siswi SMP di bawah umur,  korban mengatakan mengenali pelaku dari sosial media.

 

Menurut Riza Wahyuni praktisi psikolog klinis dan forensik Surabaya, kejahatan seksual dengan modus serupa bukan ini saja, sebab sejak lima tahun lalu peristiwa yang sama sudah terjadi. Riza menilai, permasalahan itu bisa terjadi karena generasi Z, yang paling banyak jadi korban, lebih banyak menghabiskan waktu bersosialisasi di dunia maya.

 

Tak butuh waktu lama pendekatan melalui sosial media itu akan disudahi dengan bertemu secara langsung. Pelaku, akan melancarkan aksinya untuk merudapaksa korban. “Ketika terjebak, mereka secara emosional merasa dekat, sudah terikat seccara emosional, bergantung secara emosional, akhirnya bertemu lewat darat, dia sudah merasa nyaman, akhirnya tidak sadar masuk perangkap pelaku kejahatan predator seksual, itu yang mereka tidak pahami,” tambahnya.

 

Akibat Sekulerisme dan Pergaulan Bebas

 

Jika ditelusuri tempat kejadian pelecehan seksual, maka bisa dianalisa faktor penyebab terjadinya kasus pelecehan seksual, baik di kampus maupun di dunia media. Pertama, relasi Kuasa. Pelaku menggunakan posisi atau otoritasnya untuk menekan korban.

 

Kedua, Budaya Patriarki. Persepsi bahwa laki-laki lebih dominan, sehingga membenarkan kontrol terhadap perempuan. Ketiga, minimnya sistem perlindungan. Tidak ada sistem pelaporan yang aman, korban takut atau malu untuk bersuara.

 

Keempat, normalisasi kekerasan seksual. Dianggap "biasa saja", atau malah menyalahkan korban. Kelima, kurangnya pendidikan seksual dan gender. Banyak orang tidak paham batas-batas persetujuan atau bentuk pelecehan.

 

Dari faktor-faktor di atas bisa diambil kesimpulan bahwa ada paradigma yang salah terkait relasi antara laki-laki dan perempuan, termasuk interaksinya. Paradigma yang salah bersumber dari pandangan hidup yang salah pula. Pandangan hidup yang salah terkait relasi dan interaksi laki-laki dan perempuan inilah yang disebut sekulerisme. Paham ini memisahkan antara kehidupan dan agama.

 

Sekulerisme tidak mengenal peraturan khusus terkait interaksi lawan jenis. Pandangan tentang relasi kuasa ala sekulerisme itu tidak dikenal dalam Islam. Islam justru sangat memuliakan perempuan. Sementara dalam sistem sekulerisme ini mengakibatkan perempuan dalam kondisi tidak aman. Perempuan seolah selalu dijadikan obyek kekerasan.

 

Kekerasan seksual terhadap perempuan memang jadi persoalan nasional yang tak pernah selesai. Bahkan angkanya selalu naik, bukannya turun. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada laporan 2024 naik hampir 10 persen dari tahun 2023. Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyatakan kekerasan seksual sepanjang 2024 adalah kasus yang paling banyak dilaporkan, yakni mencapai 26,94%. Komnas Perempuan juga melaporkan bahwa kenaikan kekerasan seksual naik lebih dari 50 persen dibandingkan tahun 2023. Tercatat pada tahun 2024 mencapai 3.166 kasus. (https://prfmnews.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-139135834/laporan-tahunan-komnas-perempuan-ungkap-angka-kekerasan-terhadap-wanita-meningkat).

 

Pola manusia yang menyelurkan dorongan seksual dalam dirinya tanpa mengikuti adab dan nilai agama telah terjangkiti virus sekulerisme. Virus sekulerisme memandang dorongan seksual adalah alamiah dan harus disalurkan secara alamiah pula tanpa harus terikat dengan nilai-nilai agama. Pandangan seperti ini berkembang pesat di dunia Barat yang memang sekuler. Tokoh pencetus sekulerisasi seksualitas adalah Sigmund  Freud dengan teori psikoanalisanya. Manusia, dalam pandangan filsafat komunisme tak ubahnya sebagai binatang ekonomi [economic animals].

 

Psikoanalisa Freud mengawali asumsinya  tentang hukum kausalitas atau psychological determination. Teori ini menyatakan bahwa segala sebab pasti ada akibatnya dan segala akibat pasti ada sebabnya. Tidak ada suatu aktivitas yang dibuat oleh manusia kecuali ada sebab yang mendorongnya melakukan tindakan tersebut. Mungkin sebab itu nyata dan bisa jadi tidak nyata. Mungkin sebab itu logis dan bisa jadi tidak logis.

 

Penerapan Aturan Islam Solusinya

 

Islam adalah agama sempurna dengan hukum syariahnya karena melingkupi seluruh aspek kehidupan, termasuk peraturan tentang interaksi antara laki-laki dan perempuan. Sebab, jika tak diatur, pergaulan antara pria dan wanita akan menimbulkan berbagai problem. Itulah mengapa interaksi lawan jenis ini memerlukan pengaturan dengan suatu peraturan (nizham) tertentu. Sementara sistem sekuler, sama sekali tak memiliki aturan terkait interaksi lawan jenis ini.

 

Pergaulan pria wanita itu pulalah yang melahirkan berbagai interaksi yang memerlukan pengaturan dengan suatu peraturan tertentu. Maka peraturan pergaulan pria-wanita seperti inilah yang sering disebuat dengan istilah  an-nizhâm al-ijtimâ‘î. Alasannya, sistem inilah yang pada hakikatnya mengatur pergaulan antara dua lawan jenis (pria dan wanita) serta mengatur berbagai interaksi yang timbul dari pergaulan tersebut.

 

Karena itu, pengertian an-nizhâm al-ijtimâ‘î dibatasi hanya untuk menyebut sistem yang mengatur pergaulan pria-wanita dan mengatur interaksi/hubungan yang muncul dari pergaulan tersebut, serta menjelaskan setiap hal yang tercabang dari interaksi tersebut.

An-nizhâm al-ijtimâ‘î tidak mengatur interaksi yang muncul dari kepentingan pria wanita dalam masyarakat. Maka aktivitas jual-beli antara pria dan wanita atau sebaliknya, misalnya, termasuk ke dalam kategori sistem sosial (anzhimah al-mujtama‘), bukan termasuk dalam an-nizhâm al-ijtimâ‘î.

 

Sementara itu, larangan ber-khalwat (berdua-duaan antara pria dan wanita), kapan seorang istri memiliki hak mengajukan gugatan cerai, atau sejauh mana seorang ibu memiliki hak pengasuhan anak, termasuk dalam kategori an-nizhâm al-ijtimâ‘î.

 

Atas dasar inilah, an-nizhâm al-ijtimâ‘î didefinisikan sebagai sistem yang mengatur pergaulan pria dan wanita atau sebaliknya serta mengatur hubungan/interaksi yang muncul dari pergaulan tersebut dan segala sesuatu yang tercabang dari hubungan tersebut. Inilah kesempurnaan syariah Islam, dibandingkan sistem ideologi kapotalisme sekuler dan atau komunisme ateis yang cenderung memberikan ruang kebebasan pergaulan lawan jenis.

 

Karenanya kekerasan seksual terhadap perempuan hanya akan selesai total; perubahan cara pandang hubungan pria dan wanita, budaya pergaulan keduanya, serta hukum yang melindungi warga serta memberikan efek jera pada pelaku.

 

Aturan seperti itu hanya ada pada sistem kehidupan Islam. Ajaran Islam memiliki cara pandang dan perlindungan yang paripurna untuk masyarakat, terutama kaum perempuan. Dalam Islam, perempuan setara kedudukannya dengan pria. Kaum perempuan juga mendapatkan perlindungan secara utuh mulai dari ekonomi, sosial dan hukum pidana.

 

Islam melarang berbagai konten yang mengandung unsur pornografi, serta hubungan bebas pria dan wanita seperti ikhtilat, khalwat termasuk perzinaan. Ada sanksi keras bagi pelanggaran tersebut. Semuanya bertujuan melindungi masyarakat dan menciptakan kehidupan yang sehat secara sosial dan biologis seperti dari rusaknya nasab, aborsi, juga penyebaran penyakit kelamin.

 

Dalam kasus kekerasan seksual maka korban diberikan perlindungan. Bagi para pelaku dijatuhkan sanksi keras. Bila terbukti terjadi pemaksaan hubungan badan, maka pelaku mendapatkan sanksi jilid 100 kali bagi kategori ghayr muhshon/belum menikah. Sementara pelaku yang telah menikah dijatuhkan sanksi rajam hingga mati.

 

Sanksi itu bisa ditambahkan lagi jika terjadi unsur penculikan, pemberian obat bius/minuman keras, penganiayaan, dsb. Mekanismenya untuk pelaku muhson/telah menikah akan dijatuhkan dulu sanksi-sanksi tersebut sebelum eksekusi rajam hingga mati. Maka, hanya Islam yang benar-benar menjamin perlindungan bagi perempuan. Mereka punya ruang aman yang luas dalam naungan syariat Islam.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 17/04/25 : 15.10 WIB)

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.