Oleh : Ahmad Sastra
Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam
yang memimpin umat dengan menerapkan syariah secara menyeluruh (kaffah) dalam
segala aspek kehidupan—politik, hukum, ekonomi, sosial, dan hubungan luar
negeri. Bagi banyak umat Islam, khilafah adalah simbol persatuan, pelindung
Islam, dan pelaksana syariah secara utuh. Tanpa khilafah, umat Islam terpecah
dalam negara-bangsa dan sistem sekuler yang jauh dari nilai-nilai Islam.
Setidaknya ada tiga esensi khilafah yang bisa
dipahami. Esensi pertama khilafah dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat dan
hukum Allah secara sempurna di berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi kedua
khilafah adalah dakwah rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi
ketiga khilafah adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu
kepemimpinan.
Dunia saat ini dihegemoni ideologi kapitalisme dan
komunisme yang telah terbukti menimbulkan berbagai kerusakan dan krisis. Kapitalisme,
menciptakan kesenjangan sosial yang lebar, konsumerisme berlebihan, eksploitasi
sumber daya alam, dan dominasi korporasi atas kehidupan masyarakat. Di sisi lain,
komunisme dalam praktiknya terutama di bawah rezim-rezim otoriter telah
menyebabkan pelanggaran HAM serius, represi politik, dan kelangkaan ekonomi.
Sejarah krisis ekonomi akibat kapitalisme mestinya
menjadi pelajaran berharga bagi bangsa yang mau berpikir. Krisis kredit 1772
adalah krisis ekonomi yang pertama kali muncul di London, Inggris. Dengan
cepatnya menyebar ke seluruh Eropa. Pada 1760-an, perekonomian di Inggris
mengalami masa kejayaan. Hal ini membuat banyak investor dan bank
berlomba-lomba untuk memperluas bisnis mereka.
Hal ini menciptakan aura optimisme berlebihan, serta
pertumbuhan kredit yang sangat cepat. Namun, masa kejayaan itu berakhir pada 8
Juni 1772, ketika Alexander Fordyce yang merupakan salah satu mitra perbankan
‘Neal, James, Fordyce, and Down,’ kabur ke Prancis untuk menghindari pembayaran
utang.
Krisis ekonomi parah kedua adalah saat terjadi The Great
Depression, yakni bencana ekonomi terburuk yang pernah terjadi di abad ke-20. Banyak
pengamat yang percaya bahwa krisis ekonomi kala itu, disebabkan oleh kehancuran
Wall Street pada 1929 yang membuat pemerintah AS membuat keputusan buruk.
Krisis ekonomi selama 10 tahun itu, membuat investasi dan daya
beli atau konsumsi di Amerika Serikat turun drastis. Akibatnya, banyak
perusahaan yang gulung tikar dan merumahkan karyawannya. Perkiraan korban PHK
dari krisis ekonomi ini, mencapai 15 juta penduduk.
Krisis Minyak OPEC juga merupakan contoh
krisis parah, hal ini terjadi dimulai saat negara-negara anggota Organisasi
Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memutuskan untuk membalas Amerika
Serikat yang memberi bantuan persenjataan ke Israel, selama Perang Arab-Israel
ke-4, atau konflik Yom Kippur.
Tahun 1997, terjadi sebuah krisis Asia yang pertama
kali muncul di Thailand, kemudian menyebar cepat ke seluruh negara di Asia
Timur, dan mitra dagangnya. Krisis ini bermula saat pemerintah Thailand
mengubah nilai tukar mata uangnya terhadap dolar AS. Langkah ini membuat banyak
investor panik, dan memicu penurunan nilai mata uang di seluruh dunia. Kondisi
ini, menggerus cadangan mata valuta asing (valas) Thailand. Di Indonesia,
dampak krisis Asia ini baru terasa pada 1998, atau istilahnya Krisis
Moneter 1998.
Krisis Keuangan 2007 atau dikenal dengan nama krisis
Subprime Mortgage, merupakan krisis ekonomi terparah setelah The Great
Depression. Krisis ini, berawal dari hancurnya pasar perumahan di AS yang mengakibatkan
salah satu bank investasi terbesar di dunia, Lehman
Brothers, bangkrut.
Kehancuran Lehman Brothers berdampak ke berbagai
lembaga keuangan dan bisnis lain, sehingga memicu kekacauan yang sangat besar. Krisis
ini, terjadi selama satu dekade yang membuat jutaan orang kehilangan pekerjaan
dan mengeluarkan banyak dana.
Krisis ekonomi terparah di dunia yang terakhir adalah
krisis Pandemi
COVID-19 yang berlangsung hampir 2 tahun di seluruh dunia. Krisis
ini terjadi, setelah China mengumumkan adanya virus baru yang bernama COVID-19.
Untuk meminimalisir penyebarannya, China melakukan lockdown atau karantina
wilayah yang membuat banyak orang tidak dapat masuk atau keluar dari China.
Tapi sayangnya, China terlambat melakukan karantina
wilayah dan virus mulai
menyebar secara cepat ke berbagai negara di dunia. Akhirnya, banyak negara yang
memberlakukan lockdown demi kepentingan kesehatan dan keselamatan warga. Dampak
dari lockdown ini membuat pergerakan industri ekspor-impor terhambat, bisnis
pariwisata berkurang, dan masih banyak lainnya hingga membuat pergerakan
ekonomi dunia melambat. Banyak perusahaan yang merumahkan karyawan supaya
bisnisnya bisa berjalan. Akibatnya, tingkat pengangguran dan kemiskinan tidak
dapat terbendung.
Saat banyak masyarakat kehilangan pekerjaan, mereka
juga harus berusaha bertahan hidup dari paparan virus yang cukup
mematikan. Bahkan, International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia,
bahkan sudah mengatakan bahwa krisis ekonomi akibat COVID-19, merupakan yang
terburuk sejak Perang Dunia II.
Laporan terbaru IMF menyebutkan kondisi ekonomi tahun
2023 akan lebih suram. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya
3,2 persen. Hampir separuh lebih rendah dari tahun lalu yang mencapai 6,1
persen. Tahun depan diperkirakan hanya tumbuh 2,9 persen. Penyebabnya, tiga
negara motor penggerak ekonomi global—Cina, Amerika Serikat (AS) dan Uni
Eropa—mengalami tekanan yang cukup berat.
AS, yang menyumbang 25 persen ekonomi global,
tahun ini menghadapi masalah ekonomi yang cukup serius. Pada bulan Juli,
inflasi di negara itu mencapai 9,1 persen. Tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Kondisi ekonomi AS dalam enam bulan terakhir secara teknis sebenarnya telah
masuk ke dalam resesi. Pertumbuhan ekonomi negara itu negatif pada kuartal
pertama dan kuartal kedua tahun ini.
Masing-masing -1.9 persen dan 0,6 persen. Kenaikan
inflasi yang tinggi tersebut kemudian direspon oleh The Fed, Bank Sentral AS,
dengan menaikkan suku bunga Federal Fund Rate, hingga mencapai 2,5 persen pada
bulan Juli. Dalam beberapa bulan ke depan The Fed diperkirakan masih akan
menaikkan suku bunga hingga inflasi dapat dijinakkan ke level dua persen,
target inflasi ideal otoritas moneter itu.
Federal Fund Rate merupakan suku bunga acuan bagi
bank-bank di AS dalam memberikan kredit kepada nasabah mereka. Semakin tinggi
suku bunga The Fed, semakin tinggi pula suku bunga yang dikenakan sektor
perbankan kepada nasabah mereka. Dengan demikian mereka akan mengurangi
belanja dan berinvestasi, dan sebaliknya mendorong mereka untuk menyimpan
uang mereka di perbankan atau portofolio keuangan lainnya.
Demikian pula sebaliknya, semakin rendah suku bunga
The Fed, akan semakin tinggi pula minat masyarakat untuk berbelanja dan
berinvestasi, termasuk di sektor properti ataupun di pasar modal, baik di dalam
ataupun di luar negeri. Semakin ketat kebijakan moneter The Fed, semakin suram
pula proyeksi pertumbuhan ekonomi AS ke depan. Di tahun 2025 ini akibat ulah AS
soal tariff dagang, kini dunia terancam terjadi krisis ekonomi secara global. Mungkin
krisis ini akan sangat membahayakan perekonomian dunia.
Dalam konteks itu, banyak yang mulai mencari
alternatif yang bisa membawa keadilan sosial tanpa kehilangan arah spiritual dan
di sinilah ide khilafah seringkali muncul sebagai tawaran sistem alternatif
yang menjanjikan keadilan, persatuan umat, serta kehidupan berdasarkan wahyu,
bukan hanya logika materi. Kehadiran khilafah saat ini, bukan hanya rasional,
namun mendesak dan kebutuhan masyarakat dunia, karena akan membawa rahmat bagi
alam semesta dengan syariah.
Sementara, kapitalisme liberal yang saat ini
mendominasi dunia, termasuk negeri-negeri muslim berakar pada sekularisme,
yaitu pemisahan agama dari kehidupan publik. Dalam sistem ini, agama dianggap
urusan pribadi, sementara hukum dan kebijakan dibuat berdasarkan akal manusia
dan kepentingan. Islam justru menekankan bahwa seluruh aspek kehidupan harus
tunduk pada aturan Allah. Islam bukan sekadar agama ibadah, tapi juga sistem
hidup (din wa dawlah) yang mengatur ekonomi, sosial, pemerintahan, dan hukum.
Kapitalisme menganut prinsip kebebasan kepemilikan
mutlak, termasuk membolehkan praktik riba, spekulasi (gharar), monopoli, dan
eksploitasi. Negeri-negeri muslim kehabisan sumber daya alam karena telah
dirampok oleh para kapitalis dan oligarki yang bersembunyi dibalik kata
privatisasi. Pasar dibiarkan "bebas", yang akhirnya melahirkan
ketimpangan luar biasa antara si kaya dan miskin.
Islam membatasi kepemilikan agar tetap dalam kerangka
maslahat. Ada tiga kepemilikan dalam Islam, kepemilikan negara, umum dan
pribadi. Sumber daya alam adalah milik umum dalam pandangan Islam, yang tidak
boleh dikuasai asing. Dalam Islam, riba diharamkan, zakat diwajibkan,
penimbunan dilarang, dan distribusi kekayaan diatur agar tidak hanya berputar
di kalangan elite (QS. Al-Hasyr: 7). Islam memandang harta sebagai amanah,
bukan hak absolut.
Kapitalisme liberal mengusung kebebasan individu
absolut bebas berpikir, berperilaku, bahkan dalam moralitas sekalipun. Ini
membuka jalan untuk normalisasi LGBTQ+, pornografi, liberalisasi pasar, dan
lain-lain atas nama "hak asasi". Dalam Islam, kebebasan tetap diakui,
tapi dibingkai oleh tanggung jawab kepada Allah. Manusia bebas memilih, tapi
tetap terikat dengan halal-haram. Kebebasan tak boleh merusak tatanan moral dan
sosial.
Kapitalisme menempatkan kedaulatan di tangan rakyat,
artinya hukum bisa berubah sesuai keinginan mayoritas atau kepentingan politik.
sebagaimana demokrasi yang memuja kedaulatan manusia yang pada faktanya sangat
transaksional dan pragmatis. Islam
menegaskan bahwa kedaulatan ada pada syariah. Manusia boleh mengatur teknis
pemerintahan, tapi hukum dasar harus bersumber dari wahyu (Al-Qur’an dan
Sunnah).
Sementara komunisme berpijak pada materialisme
dialektika, yaitu keyakinan bahwa realitas hanya terdiri dari materi, tanpa
unsur spiritual. Dalam pandangan Marx dan Lenin, agama dianggap "candu
masyarakat" alat elite untuk menindas rakyat. Karena itu, banyak rezim
komunis menolak keberadaan Tuhan dan melarang praktik keagamaan.
Islam dibangun di atas fondasi tauhid (keesaan Allah)—yang
menjadi pusat dari seluruh aspek kehidupan. Manusia adalah makhluk spiritual
dan material, dan tujuan hidupnya adalah beribadah kepada Allah (QS.
Adz-Dzariyat: 56). Maka, menolak eksistensi Tuhan jelas bertentangan secara
mutlak dengan Islam.
Komunisme menganut prinsip penghapusan kepemilikan
individu atas alat produksi. Segala sesuatu dikolektifkan dan dikuasai oleh
negara. Ini bertujuan untuk menghapus kelas sosial dan menciptakan kesetaraan
penuh. Islam justru mengenal tiga jenis kepemilikan: individu, negara, dan
umum. Islam membolehkan individu memiliki harta secara halal, tapi dengan
batasan dan tanggung jawab sosial—seperti zakat, larangan riba, dan larangan
menimbun. Islam menolak penghapusan kepemilikan pribadi secara mutlak.
Dalam sistem komunis, partai adalah pusat kekuasaan
tertinggi. Tidak ada sistem check and balance seperti dalam demokrasi, dan
tidak ada sumber hukum selain keputusan partai/negara. Islam meletakkan kedaulatan
di tangan syariah. Hukum berasal dari wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah), bukan dari
manusia. Penguasa dalam Islam hanyalah pelaksana, bukan pembuat hukum. Ini
sangat bertolak belakang dengan komunisme yang menolak wahyu dan hukum ilahi.
Di negara-negara komunis seperti Uni Soviet, Cina, dan
Albania, Islam (dan agama lain) pernah ditekan habis, seperti masjid ditutup,
para Uulama ditangkap dan dibunuh, peredaran Al-Qur’an dilarang hingga pelembagaan
pendidikan agama dilarang keras. Ini semua menunjukkan bahwa komunisme bukan
hanya berbeda dengan Islam, tapi aktif memusuhinya.
Islam tidak cuma bicara soal ibadah ritual, tapi juga
sistem hidup yang menyeluruh (kaffah) mengatur hubungan manusia dengan Allah,
sesama manusia, dan alam semesta. Banyak orang meyakini bahwa dunia yang
dilanda krisis spiritual, sosial, ekonomi, dan lingkungan butuh nilai-nilai
Islam sebagai penyeimbang.
Islam mengedepankan keadilan ('adl) dalam semua lini
kehidupan—baik dalam hukum, ekonomi, maupun hubungan antarmanusia. Zakat,
larangan riba, dan distribusi kekayaan adalah contoh konkret bagaimana Islam
ingin mencegah akumulasi kekayaan pada segelintir orang. Di tengah krisis moral
global, Islam menawarkan nilai-nilai akhlak yang kokoh—jujur, amanah, peduli
sesama. Ini jadi kunci membangun masyarakat yang sehat secara jiwa dan hubungan
sosial.
Berbeda dari ideologi materialistik, Islam nggak
mengabaikan dunia tapi juga nggak menjadikannya tujuan utama. Konsep ini bisa
mengatasi kehampaan spiritual yang banyak dirasakan orang hari ini. Dalam
sistem pemerintahan, Islam memberikan panduan yang bisa membentuk kepemimpinan
yang bertanggung jawab kepada Tuhan dan rakyat. Ini menantang sistem yang hanya
tunduk pada kepentingan elite atau kekuatan modal.
Islam tidak terbatas pada ruang dan waktu tertentu.
Prinsip-prinsipnya seperti keadilan, kasih sayang, persaudaraan umat manusia,
kebebasan berpendapat dalam kebenaran, dan tanggung jawab sosial bersifat
universal dan bisa diterapkan di berbagai konteks budaya. Dengan demikian,
hukum Islam akan tetap relevan dalam kehidupan global saat ini.
Di era digital, AI, dan globalisasi, manusia butuh
kompas moral. Islam menawarkan nilai-nilai akhlak dan etika yang kuat dalam
setiap lini: dari bisnis yang jujur, teknologi yang bertanggung jawab, sampai
hubungan sosial yang adil. Sistem ekonomi Islam menolak riba, spekulasi
ekstrem, dan monopoli—yang justru banyak jadi biang krisis ekonomi global.
Konsep seperti zakat, wakaf, dan perdagangan halal menunjukkan cara mewujudkan
ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan semua pihak.
Islam tidak menghapus identitas budaya, tapi
menghargainya selama tidak bertentangan dengan nilai tauhid. Konsep rahmatan
lil ‘alamin adalah tawaran Islam untuk menciptakan perdamaian global
berbasis keadilan. Pemerintahan Islam (khilafah) mendorong pencarian ilmu dan
eksplorasi alam. Di masa keemasan peradaban Islam, kemajuan dalam sains,
matematika, kedokteran, dan filsafat luar biasa. Spirit inilah yang bisa
membimbing kembali arah kemajuan hari ini agar tidak kosong dari nilai.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 12/04/25 : 10.55 WIB)