DUNIA DALAM ANCAMAN KRISIS EKONOMI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Krisis ekonomi global adalah kondisi ketika perekonomian global mengalami penurunan besar dan berdampak terhadap hampir seluruh negara di dunia.  Sepanjang sejarah dunia, telah terjadi beberapa kali kasus krisis ekonomi global. Adapun beberapa contoh kasus krisis ekonomi global adalah.

 

The Great Depression 1929-1939 adalah adalah satu contoh kasus krisis ekonomi global adalah The Great Depression, yakni bencana ekonomi terburuk di abad ke-20. Banyak orang menganggap bahwa penyebab The Great Depression tersebut terjadi akibat hancurnya Wall Street tahun 1929, sehingga pemerintah ASI membuat keputusan tidak tepat.

 

Contoh kasus krisis ekonomi global berikutnya adalah Krisis Kredit 1772. Kasus krisis ekonomi ini muncul pertama kali di London, Inggris dan cepat menyebar ke seluruh Eropa.

Pada awalnya, tahun 1760-an Inggris mempunyai ekonomi di masa puncak dan membuat banyak investor sekaligus bank memperluas bisnisnya dengan penuh optimis.

Informasi penting disajikan secara kronologis

 

Kasus krisis ekonomi global berikutnya adalah Krisis Asia 1997. Kasus ini pertama kali muncul di Thailand, kemudian menyebar ke Asia Timur serta mitra dagangnya. Hal ini dimulai ketika pemerintah Thailand mengubah nilai tukar mata uangnya terhadap dolar AS, sehingga membuat para investor panik. Alhasil, terjadi penurunan nilai mata uang di seluruh dunia. Indonesia pun turut merasakan dampak Krisis Asia ini pada 1998 dengan istilah Krisis Moneter 1998.

 

Kasus krisis ekonomi global lainnya adalah Krisis Minyak OPEC (Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak) tahun 1973. Hal ini bermula ketika negara-negara anggota OPEC berupaya membalas AS yang memberikan bantuan senjata kepada Israel. Alhasil, negara-negara OPEC memutuskan untuk menghentikan pengeksporan minyak kepada Amerika Serikat serta sekutunya. Hal itu membuat AS khawatir mengenai persediaan minyak dan kasus tersebut pun meluas ke negara maju lainnya.

 

Kasus krisis ekonomi global yang terakhir adalah Krisis Keuangan 2007-2008 atau krisis Subprime Mortgage. Krisis ekonomi tergolong paling paring pasca kasus The Great Depression. Hal ini bermula dari kehancuran pasar perumahan di AS karena Lehman Brothers, bank investasi terbesar di dunia mengalami kebangkrutan. Alhasil, lembaga keuangan serta bisnis lainnya pun turut terdampak.

 

Saat ini, banyak negara mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pengangguran, dan lonjakan biaya hidup. Dalam beberapa kasus, ini menyebabkan kesenjangan sosial dan ketidakstabilan politik di berbagai tempat.

 

Pandemi ini menyebabkan gangguan besar dalam rantai pasokan global, menutup banyak sektor industri, dan memicu resesi di banyak negara. Banyak bisnis yang tutup atau terpaksa mengurangi operasi, yang berdampak pada angka pengangguran dan pendapatan masyarakat.

 

Banyak negara mengalami lonjakan inflasi yang disebabkan oleh meningkatnya biaya barang dan jasa. Faktor seperti gangguan rantai pasokan akibat pandemi, lonjakan harga energi, dan permintaan yang meningkat setelah pembatasan sosial mulai dilonggarkan menjadi penyebab utama. Ini berdampak pada daya beli masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah.

 

Ketegangan seperti perang Rusia-Ukraina menyebabkan lonjakan harga energi, bahan baku, dan pangan. Sanksi ekonomi terhadap Rusia juga memperburuk kondisi ekonomi global, terutama di Eropa yang sangat bergantung pada energi dari Rusia.

 

Banyak negara yang menerapkan kebijakan moneter yang sangat longgar (misalnya, suku bunga rendah dan stimulus fiskal) untuk mendorong pertumbuhan selama pandemi. Namun, kebijakan ini memicu lonjakan utang dan inflasi yang tinggi, yang sekarang mulai dirasakan dampaknya.

 

Pandemi dan konflik global juga menyebabkan gangguan besar dalam produksi energi dan pangan. Kenaikan harga energi, terutama minyak dan gas, meningkatkan biaya hidup di seluruh dunia. Sementara itu, kelangkaan pangan di beberapa wilayah juga meningkatkan harga makanan.

 

Bencana alam yang lebih sering dan ekstrim, seperti banjir, kekeringan, dan badai, mempengaruhi produksi pangan dan distribusi barang, yang pada gilirannya menambah tekanan pada harga dan stabilitas ekonomi.

 

Banyak negara, terutama negara berkembang, memiliki tingkat utang yang sangat tinggi. Pembayaran utang yang meningkat, bersama dengan kesulitan dalam mendapatkan pendanaan, semakin memperburuk situasi ekonomi.

 

Gangguan pasokan global dalam barang dan bahan baku, yang terjadi sejak pandemi, masih berlanjut hingga kini, menyebabkan kelangkaan dan biaya produksi yang lebih tinggi.

 

Kebijakan tarif ekspor-impor yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump, terutama melalui kebijakan "America First" selama masa pemerintahannya (2017-2021), memiliki dampak yang cukup besar terhadap ekonomi global dan hubungan perdagangan internasional.

 

Salah satu kebijakan yang paling terkenal adalah perang dagang dengan China. Trump mengenakan tarif tinggi terhadap barang-barang impor asal China dengan tujuan mengurangi defisit perdagangan AS, melindungi industri dalam negeri, dan memaksa China untuk mengubah kebijakan perdagangan dan hak kekayaan intelektualnya. Sebagai respons, China juga memberlakukan tarif balasan pada produk-produk asal AS.

 

Tarif dagang yang dikenakan menyebabkan peningkatan harga barang impor, baik di AS maupun di negara mitra dagang, yang meningkatkan biaya produksi dan inflasi. Gangguan Rantai Pasokan terutama untuk industri yang bergantung pada bahan baku atau barang dari China, seperti elektronik dan otomotif, ada gangguan dalam rantai pasokan yang memperlambat produksi. Beberapa perusahaan AS memindahkan produksi mereka dari China ke negara lain, seperti Vietnam atau Meksiko, untuk menghindari tarif tinggi.

 

Kebijakan tarif impor terbaru era Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membuat banyak pihak khawatir akan berdampak pada krisis ekonomi global. Bahkan, kekhawatiran sudah mulai terlihat dari pasar global yang mulai berjatuhan. Pasar saham, kripto, mata uang, dan komoditas pun berjatuhan dalam beberapa hari setelah diumumkannya kebijakan tarif terbaru oleh Trump pada Rabu (2/4/2025) lalu. China, salah satu negara yang terdampak dari kebijakan tarif ini, pun dengan tegas menolak penerapan kebijakan tersebut.

 

China mengatakan "pasar telah berbicara" dalam menolak tarif Presiden Trump dan menyerukan Washington untuk "konsultasi yang setara" setelah pasar global anjlok sebagai reaksi terhadap pungutan perdagangan yang memicu pembalasan China. Kantor berita milik pemerintah China, Xinhua, juga menerbitkan sikap pemerintah China, yang mengatakan AS harus "berhenti menggunakan tarif sebagai senjata untuk menekan ekonomi dan perdagangan China".

 

China akan mengenakan tarif 34% untuk semua barang dari Amerika Serikat (AS) sebagai balasan usai Presiden AS Donald Trump mengenakan tarif tinggi ke barang asal negeri Tirai Bambu. Trump menganggap China bermain dengan cara yang salah.
"China bermain salah, mereka panik, satu hal yang tidak mampu mereka lakukan!" tulis Trump dengan huruf kapital di akun media sosialnya seperti dilansir Reuters, Sabtu (5/4/2025).

Menteri Hubungan dan Kerja Sama Internasional Afrika Selatan Ronald Lamola telah menyerang balik rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk memotong semua pendanaan ke Afrika Selatan. Trump telah meluncurkan investigasi terhadap kebijakan Afrika Selatan, dengan mengeklaim terjadinya pelanggaran HAM “besar-besaran” terhadap warga kulit putih, terkait pemberlakuan undang-undang baru pengambilalihan lahan.


Berbicara di Pretoria, Senin, Lamola mengatakan, “Kami ingin menyatakan bahwa kami adalah negara demokrasi konstitusional, dan undang-undang pengambilalihan yang telah dirujuk bukanlah sebuah pengecualian. Banyak negara di dunia memiliki undang-undang pengambilalihan yang digunakan untuk kepentingan dan tujuan publik.”

 

Kebijakan tarif juga memengaruhi hubungan AS dengan banyak negara. Selain China, Trump juga mengenakan tarif terhadap sekutu-sekutu dekat AS seperti Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko, terutama dalam sektor baja dan aluminium, dengan alasan masalah keamanan nasional.

 

Tarif ini menyebabkan ketegangan perdagangan dan politik antara AS dengan negara-negara mitranya. Banyak negara yang merasa diserang dan menganggap kebijakan ini proteksionis.

 

Kebijakan ini mendorong AS untuk renegosiasi perjanjian dagang, seperti perjanjian NAFTA yang kemudian digantikan dengan USMCA (United States-Mexico-Canada Agreement). Meskipun ini bertujuan untuk memberi keuntungan lebih bagi AS, proses negosiasi sering kali memperburuk hubungan bilateral.

 

Kebijakan tarif Trump berpotensi merugikan perekonomian global dengan mengurangi volume perdagangan internasional dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Negara-negara yang terlibat dalam perang dagang sering kali merasakan dampak negatif dalam hal pertumbuhan GDP dan stabilitas ekonomi.

 

Negara-negara yang bergantung pada ekspor ke AS atau China, seperti negara-negara berkembang, sering kali mengalami penurunan permintaan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Tarif yang dikenakan menambah ketidakpastian dalam pasar global, membuat banyak perusahaan ragu-ragu dalam membuat investasi jangka panjang atau perencanaan produksi.

 

Meskipun kebijakan tarif bertujuan untuk melindungi pekerjaan di AS, kenyataannya, banyak konsumen dan perusahaan AS yang juga terpengaruh. Konsumen AS mengalami kenaikan harga pada berbagai produk yang sebelumnya diimpor dengan tarif rendah, seperti elektronik, pakaian, dan barang konsumen lainnya. Perusahaan yang mengandalkan bahan baku atau barang dari luar negeri menghadapi biaya yang lebih tinggi dan tantangan dalam rantai pasokan.

 

Ketegangan perdagangan yang dihasilkan dari kebijakan tarif menyebabkan volatilitas di pasar keuangan, dengan investor khawatir tentang dampak jangka panjang dari perang dagang dan gangguan ekonomi global.

 

Ketegangan dagang dan tarif sering kali menyebabkan fluktuasi besar di pasar saham, karena investor khawatir akan dampaknya terhadap perusahaan global dan pasar. Banyak investor yang menahan investasi mereka atau memindahkan modal ke negara-negara yang dianggap lebih aman, yang memperlambat aliran modal ke negara-negara berkembang.

 

Perang tarif adalah situasi di mana dua atau lebih negara saling mengenakan tarif atau pajak tinggi pada produk impor satu sama lain sebagai respons terhadap kebijakan perdagangan yang dianggap tidak adil atau merugikan. Perang tarif sering kali dipicu oleh kebijakan proteksionis yang bertujuan untuk melindungi industri domestik dan mengurangi defisit perdagangan. Perang tarif yang terjadi pada masa pemerintahan Donald Trump, misalnya, adalah contoh besar yang mempengaruhi ekonomi global dalam berbagai cara.

 

 

Salah satu dampak langsung dari perang tarif adalah gangguan pada rantai pasokan global. Banyak perusahaan multinasional yang mengandalkan pasokan bahan baku atau produk jadi dari berbagai negara. Ketika negara-negara saling mengenakan tarif tinggi, biaya produksi meningkat dan menyebabkan gangguan dalam distribusi barang.

 

Contoh perusahaan elektronik yang memproduksi barang di China dan menjualnya ke AS atau Eropa harus menghadapi biaya yang lebih tinggi karena tarif, sehingga produk mereka menjadi lebih mahal. Ini bisa memperlambat produksi, menyebabkan kelangkaan barang, atau bahkan mendorong perusahaan untuk memindahkan pabrik mereka ke negara lain, yang sering kali mengarah pada pengurangan pekerjaan di negara asalnya.

 

Perang tarif cenderung mengurangi volume perdagangan antar negara. Ketika tarif dikenakan, produk dari negara yang dikenakan tarif menjadi lebih mahal, yang mengurangi daya tariknya bagi konsumen dan perusahaan di negara lain. Sebaliknya, negara yang terkena tarif juga mungkin mengenakan tarif balasan, yang berujung pada penurunan ekspor dan penurunan permintaan di pasar global.

 

Contoh ketika AS mengenakan tarif pada produk China, China juga membalas dengan tarif pada produk AS. Akibatnya, produk seperti kedelai, mobil, dan pesawat terbang AS menjadi lebih mahal di pasar China, mengurangi ekspor AS ke China. Penurunan perdagangan ini merugikan negara-negara yang bergantung pada ekspor, termasuk negara-negara berkembang yang ekonominya sangat bergantung pada perdagangan internasional.

 

Tarif yang dikenakan pada produk impor sering kali meningkatkan harga barang dan jasa, yang pada gilirannya dapat menyebabkan inflasi. Ketika tarif menyebabkan harga bahan baku naik, perusahaan sering kali akan menaikkan harga produk mereka untuk menutupi biaya tambahan tersebut. Hal ini dapat memperburuk inflasi global, yang mempengaruhi daya beli konsumen di banyak negara.

 

Contoh tarif pada baja dan aluminium yang dikenakan oleh AS berdampak pada industri manufaktur global, yang kemudian menaikkan harga barang-barang terkait, seperti mobil dan peralatan rumah tangga. Konsumen menghadapi biaya yang lebih tinggi, yang dapat mengurangi konsumsi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi, terutama di negara-negara yang mengalami inflasi tinggi.

 

Perang tarif menciptakan ketidakpastian ekonomi yang membuat perusahaan enggan berinvestasi atau melakukan ekspansi. Ketidakpastian tentang kebijakan perdagangan dapat membuat perusahaan menunda keputusan investasi, yang menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dampaknya adalah ketika negara-negara terlibat dalam perang tarif, perusahaan dan investor tidak tahu seberapa lama ketegangan perdagangan akan berlangsung atau bagaimana tarif ini akan memengaruhi pasar dan biaya operasional mereka. Ini menyebabkan penurunan investasi asing dan domestik, serta memperlambat inovasi.

 

Perang tarif dapat memengaruhi nilai tukar mata uang dan menyebabkan fluktuasi besar di pasar keuangan. Negara yang terlibat dalam perang tarif dapat mengalami penurunan dalam nilai mata uang mereka karena investor khawatir tentang dampak jangka panjang dari ketegangan perdagangan.

 

Hal ini dapat memperburuk ketidakpastian ekonomi global. Dampaknya misalnya, ketika AS mengenakan tarif tinggi pada China, mata uang China, yuan, cenderung melemah terhadap dolar AS, yang menyebabkan ketidakstabilan di pasar keuangan global. Ini juga dapat memengaruhi negara-negara berkembang yang memiliki utang luar negeri dalam dolar.

 

Negara-negara berkembang sering kali menjadi pihak yang paling rentan dalam perang tarif karena mereka bergantung pada ekspor barang komoditas atau manufaktur untuk pertumbuhan ekonomi. Ketika pasar utama mereka terkena tarif, permintaan untuk produk mereka dapat menurun, yang memperburuk kemiskinan dan ketimpangan.

 

Contohnya negara-negara di Afrika atau Asia Tenggara yang mengandalkan ekspor barang-barang seperti tekstil, elektronik, atau komoditas lain ke pasar AS atau China dapat terkena dampak langsung dari tarif yang dikenakan oleh negara-negara besar. Ini menghambat pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut dan dapat menyebabkan peningkatan pengangguran serta ketidakstabilan sosial dan politik.

 

Negara-negara yang terlibat dalam perang tarif dapat dipaksa untuk mengubah kebijakan ekonomi mereka sebagai respons terhadap dampak negatif. Misalnya, negara-negara dapat meningkatkan subsidi dalam negeri untuk melindungi industri mereka, atau menggunakan kebijakan moneter seperti menurunkan suku bunga untuk merangsang ekonomi.

 

Meskipun kebijakan ini dapat membantu dalam jangka pendek, dalam jangka panjang, mereka dapat menyebabkan ketegangan fiskal dan utang negara yang lebih tinggi, terutama jika negara harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk mendukung industri yang terdampak tarif.

 

Kondisi ekonomi Indonesia pada 2025 masih berada dalam fase pemulihan dari dampak pandemi COVID-19 dan menghadapi sejumlah tantangan yang mempengaruhi stabilitas ekonomi. Meskipun Indonesia mengalami beberapa pencapaian dalam pemulihan ekonomi, ada juga sejumlah hambatan yang perlu diperhatikan.

 

Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif, meskipun lebih lambat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2024, ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh sekitar 5-5,3%. Ini menunjukkan bahwa Indonesia berhasil keluar dari dampak buruk pandemi, namun tidak secepat beberapa negara lainnya, yang menunjukkan adanya tantangan dalam mempercepat pemulihan.

 

Sektor-sektor utama seperti industri pengolahan, perdagangan, dan jasa mengalami pemulihan yang signifikan. Infrastruktur juga terus diperbaiki, yang memberi dorongan pada sektor konstruksi dan logistik. Meskipun ada pertumbuhan, sektor pertanian dan ekspor non-migas belum sepenuhnya pulih, terutama terkait dengan fluktuasi harga komoditas global.

 

Inflasi di Indonesia menjadi salah satu perhatian penting. Meskipun relatif terkendali dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia masih menghadapi tekanan inflasi yang terutama dipengaruhi oleh harga barang-barang pokok, energi, dan pangan.

 

Faktor penyebabnya adalah inflasi global yang dipicu oleh kenaikan harga energi dan pangan berimbas pada Indonesia, memperburuk daya beli masyarakat. Di sisi lain, biaya transportasi dan logistik yang tinggi juga turut memperburuk situasi harga barang.

 

Pemerintah Indonesia melakukan intervensi harga untuk beberapa barang pokok dan memberikan subsidi, terutama di sektor energi (seperti BBM dan listrik), untuk meredam dampak inflasi terhadap masyarakat.

 

Tingkat pengangguran Indonesia pada 2025 telah mengalami penurunan dibandingkan dengan puncaknya pada masa pandemi. Namun, underemployment atau ketenagakerjaan tidak penuh masih menjadi masalah yang signifikan. Banyak tenaga kerja yang bekerja di sektor informal atau dalam pekerjaan dengan upah rendah, yang mempengaruhi produktivitas dan kualitas hidup mereka.

 

Kualitas pendidikan dan pelatihan keterampilan masih menjadi masalah besar dalam menciptakan tenaga kerja yang terampil dan siap bekerja di sektor-sektor yang membutuhkan keterampilan tinggi. Pemerintah tengah berfokus pada pengembangan sektor teknologi dan digital untuk menciptakan lapangan kerja baru, terutama untuk anak muda yang terampil di bidang teknologi.

Ekspor Indonesia dipengaruhi oleh fluktuasi harga komoditas global. Negara ini sangat bergantung pada ekspor minyak sawit, batu bara, dan produk-produk pertambangan lainnya. Namun, Indonesia juga mengalami kesulitan dalam mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas dan meningkatkan daya saing produk manufaktur.

 

Impor Indonesia juga mengalami peningkatan, terutama terkait dengan kebutuhan bahan baku untuk industri, alat-alat teknologi, serta barang-barang konsumsi. Upaya diversifikasi ekonomi untuk meningkatkan ekspor non-migas dan mengembangkan sektor manufaktur dan digital diharapkan dapat membantu mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas.

 

Utang negara Indonesia pada 2025 masih dalam batas aman menurut standar internasional, namun tetap menjadi isu yang harus diperhatikan. Peningkatan utang ini sebagian besar digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur besar-besaran dan program pemulihan ekonomi pasca-pandemi.

 

Jika pertumbuhan ekonomi melambat atau penerimaan negara dari pajak tidak sesuai harapan, utang bisa menjadi masalah jangka panjang. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengelola utang dengan hati-hati dan meningkatkan pendapatan negara melalui reformasi pajak.

 

Indonesia telah berupaya menarik investasi asing untuk mendorong pembangunan infrastruktur dan sektor-sektor ekonomi penting. Proyek infrastruktur besar seperti jalan tol, bandara, dan pelabuhan telah membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi lokal dan regional.

 

Investasi, baik domestik maupun asing, terutama dalam sektor energi terbarukan dan teknologi, menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemerintah juga memperkenalkan kebijakan untuk mempermudah investasi melalui Omnibus Law dan Kebijakan Ekonomi Hijau. Meskipun investasi terus tumbuh, beberapa masalah terkait birokrasi, regulasi yang kompleks, dan ketidakpastian politik masih menjadi hambatan bagi investor asing.

 

Ketimpangan ekonomi di Indonesia tetap menjadi masalah yang signifikan. Meskipun ada upaya pemerintah dalam mengurangi kemiskinan, ketimpangan pendapatan antara daerah perkotaan dan pedesaan serta antara sektor-sektor ekonomi masih cukup besar. Pemerintah sedang berfokus pada pembangunan ekonomi di luar Jawa, yang diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antar wilayah dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.

 

Indonesia juga tidak terhindar dari dampak ketidakpastian ekonomi global, termasuk perang dagang, ketegangan geopolitik, dan fluktuasi harga energi dan komoditas. Perubahan iklim juga dapat memperburuk ketahanan pangan dan meningkatkan biaya produksi. Indonesia perlu menjaga resiliensi ekonomi dengan memperkuat sektor-sektor strategis seperti energi terbarukan, teknologi, dan pertanian yang lebih berkelanjutan.

 

Dalam perspektif Islam, krisis ekonomi bukan hanya dipandang sebagai masalah keuangan atau perdagangan, tetapi juga sebagai ujian moral dan sosial yang mempengaruhi umat manusia. Solusi yang ditawarkan oleh Islam terhadap krisis ekonomi berfokus pada prinsip keadilan, distribusi kekayaan yang merata, dan penghindaran dari ketidakadilan serta eksploitasi.

 

Zakat, salah satu dari lima rukun Islam, adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu untuk memberikan sebagian dari hartanya kepada yang membutuhkan. Zakat bertujuan untuk mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi dengan memberikan bantuan kepada orang miskin dan yang membutuhkan.

 

Zakat dapat menjadi instrumen yang efektif untuk redistribusi kekayaan dan membantu mengurangi ketimpangan ekonomi. Dengan mengoptimalkan pengumpulan dan distribusi zakat, umat Islam dapat lebih efektif dalam mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, dan membantu mereka yang terdampak krisis ekonomi.

 

Dalam Islam, riba (bunga) dianggap sebagai bentuk ketidakadilan ekonomi yang dapat merugikan pihak yang lemah dan memicu ketimpangan kekayaan. Riba mengarah pada pengambilan keuntungan tanpa usaha yang seimbang dan dapat memperburuk ketidaksetaraan.

 

Islam mendorong sistem ekonomi tanpa bunga, seperti dalam praktik perbankan syariah, yang mengutamakan pembagian risiko dan keuntungan yang adil antara pihak-pihak yang terlibat. Sistem ini bisa mengurangi praktik pinjaman berbunga yang memberatkan, terutama bagi mereka yang kesulitan dalam membayar hutang.

 

Islam mengajarkan untuk selalu mencari maslahah (kebaikan umum) dalam setiap aktivitas ekonomi. Ekonomi yang adil adalah ekonomi yang memperhatikan kepentingan seluruh umat manusia dan bukan hanya keuntungan segelintir orang.

 

Dalam menghadapi krisis ekonomi, Islam mengajarkan agar kebijakan ekonomi tidak hanya menguntungkan sekelompok kecil, tetapi harus mempertimbangkan kesejahteraan seluruh masyarakat, termasuk kaum miskin dan rentan. Pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang layak, menyediakan akses kepada pendidikan dan kesehatan, serta memastikan distribusi kekayaan yang merata.

 

Islam mengajarkan konsep muamalat (transaksi ekonomi) yang melibatkan kejujuran, transparansi, dan kerja sama yang saling menguntungkan. Sistem ekonomi Islam mendorong umat untuk bekerja keras, berbisnis dengan jujur, dan tidak terlibat dalam kegiatan ekonomi yang merugikan orang lain, seperti penipuan dan spekulasi.

 

Pemberdayaan ekonomi umat melalui pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM), koperasi, dan pembiayaan berbasis syariah dapat menjadi jalan untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan. Dengan prinsip keadilan dan transparansi, sektor ekonomi yang berbasis pada prinsip syariah dapat memberikan solusi atas masalah ketimpangan dan pengangguran.

 

Islam menekankan pentingnya tanggung jawab sosial dan kewajiban untuk membantu sesama. Ini tercermin dalam konsep sadaqah (derma) dan waqaf (peruntukan harta untuk kepentingan umum), yang bisa membantu memperbaiki kondisi masyarakat yang terdampak krisis ekonomi.

 

Umat Islam diajarkan untuk secara aktif membantu mereka yang membutuhkan melalui sadaqah, waqaf, atau inisiatif sosial lainnya. Misalnya, penggunaan waqaf untuk mendirikan rumah sakit, sekolah, atau fasilitas umum lainnya dapat memberikan dampak yang positif dalam jangka panjang, membantu meringankan beban masyarakat dalam menghadapi krisis.

 

Islam mengajarkan untuk mengelola sumber daya alam dengan bijaksana dan tidak berlebihan. Kerusakan lingkungan atau eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab bisa memperburuk kondisi ekonomi, terutama dalam jangka panjang.

 

Islam mendorong pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan memastikan bahwa kekayaan alam digunakan untuk kesejahteraan seluruh umat manusia, bukan hanya untuk keuntungan individu atau kelompok tertentu. Penerapan prinsip ekonomi berkelanjutan dan ramah lingkungan dapat membantu memitigasi dampak negatif krisis ekonomi yang terkait dengan kerusakan lingkungan.

 

Ekonomi Islam, atau sistem ekonomi syariah, didasarkan pada prinsip-prinsip yang adil, bebas dari riba, dan tidak mengandung unsur penipuan atau eksploitasi. Dalam sistem ini, transaksi ekonomi harus saling menguntungkan dan tidak merugikan pihak manapun. Dalam islam, mata uang menggunakan dinar dan dirham yang berbasis emas dan perak yang memiliki tingkat stabilitas tinggi, karena memiliki nilai instrinsik, berbeda dengan uang kertas.

 

Penerapan sistem ekonomi syariah dalam sektor perbankan, pasar, dan perusahaan dapat membantu menciptakan ekonomi yang lebih stabil dan adil. Sistem ini berfokus pada investasi yang sah, berbasis pada proyek yang produktif, serta mencegah spekulasi dan investasi yang berisiko tinggi yang dapat menambah ketidakstabilan ekonomi.

 

Pendidikan ekonomi dalam Islam tidak hanya fokus pada aspek teknis atau keuangan, tetapi juga pada nilai etika dalam berbisnis dan bertransaksi. Islam mengajarkan prinsip kejujuran, keadilan, dan integritas dalam semua aspek kehidupan, termasuk ekonomi.

 

Untuk mengatasi krisis ekonomi, masyarakat perlu didorong untuk bertransaksi dengan prinsip moral yang kuat, yang mengutamakan kepentingan bersama, bukan hanya keuntungan pribadi. Pendidikan ekonomi yang berbasis pada nilai-nilai Islam dapat membantu menciptakan budaya ekonomi yang lebih sehat dan adil.

 

Solusi Islam atas krisis ekonomi tidak hanya berfokus pada aspek keuangan, tetapi juga pada keadilan sosial, pemberdayaan ekonomi, dan tanggung jawab moral. Islam lebih mengedepankan sektor real. Prinsip-prinsip seperti zakat, larangan riba, redistribusi kekayaan, mata uang emas dan perak, konsep kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam oleh negara dan haram diprivitasisasi dapat membantu mengatasi ketimpangan dan memastikan kesejahteraan bagi semua.

 

Dalam menghadapi krisis ekonomi global atau lokal, Islam mengajarkan pentingnya solidaritas sosial dan keadilan ekonomi untuk menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera dan harmonis. Semua ini hanya bisa diwujudkan jika sistem negaranya juga berlandasakan syariah, negara berbasis syariah kaffah inilah yang disebuat sebagai khilafah islamiyah.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 07/04/25 : 08.21 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.