Oleh : Ahmad Sastra
"Riviera Trump" merujuk pada
rencana kontroversial yang diusulkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald
Trump, untuk mengubah Jalur Gaza menjadi kawasan wisata mewah yang disebutnya
sebagai "Riviera Timur Tengah". Istilah "riviera" sendiri
berasal dari bahasa Italia yang berarti "pantai" atau "tepi
laut", dan sering digunakan untuk menggambarkan daerah pesisir yang indah
dan eksklusif, seperti French Riviera di Prancis atau Italian Riviera di Italia.
Trump menggambarkan Gaza sebagai "zona
kehancuran" yang perlu dibangun kembali dari nol. Dalam konferensi pers
bersama Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, Trump menyatakan bahwa
proyek ini bertujuan untuk membawa perdamaian dan kemakmuran bagi wilayah
tersebut.
Langkah awal dari proyek ini adalah membongkar bom-bom
tidak meledak dan senjata lainnya di Jalur Gaza, serta meratakan bangunan yang
hancur akibat konflik. Trump juga berjanji untuk menciptakan pembangunan
ekonomi guna menyediakan pekerjaan dan perumahan bagi penduduk setempat
Rencana ini memicu kontroversi dan kritik keras dari
banyak pihak. Beberapa pihak menilai bahwa proyek ini direncanakan dengan
memindahkan paksa jutaan warga Palestina dari tanah kelahiran mereka, yang sama
dengan melakukan pembersihan etnis di Gaza . Selain itu, kondisi politik dan
keamanan di Jalur Gaza yang tidak stabil juga menjadi tantangan besar bagi
kelancaran proyek ini.
Deplomasi Basa-Basi
Beberapa negara, termasuk Arab Saudi, menyatakan
dukungan terhadap gagasan pembangunan Riviera di Gaza, namun dengan syarat agar
tidak mengusir rakyat Palestina. Di sisi lain, kelompok Hamas menolak keras
rencana ini, dengan menyebutnya sebagai resep untuk menciptakan kekacauan dan
ketegangan di kawasan karena warga Gaza tidak akan mengizinkan rencana itu
terlaksana .
Pemerintah Arab
Saudi dan Turki kompak
menolak rencana pemindahan warga Gaza.
Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan, pada Jumat,
mengatakan pemerintahannya tegas menolak segala upaya relokasi paksa warga
Palestina dari Jalur Gaza, apa pun dalihnya.
Dalam konferensi pers setelah pertemuan Kelompok
Kontak Gaza yang diadakan di sela-sela Forum Diplomasi Antalya di Turki,
Pangeran Faisal juga mengutuk pembingkaian rencana tersebut sebagai migrasi
sukarela. Ia menekankan terminologi itu tidak bisa diterima dalam kondisi saat
ini.
Menteri luar negeri Turki Hakan Fidan
pada Jumat, 11 April 2025, juga menegaskan ketidaksetujuannya pada gagasan
memindahkan warga Palestina dari Gaza. Dikutip Anadolu, Fidan mengatakan saat ini
yang paling penting adalah mendesak gencatan senjata permanen di Gaza.
Fidan menekankan bahwa tidak ada rencana memaksa warga
Palestina meninggalkan tanah air mereka. "Kami menolak rencana apa pun
yang memaksa warga Palestina meninggalkan tanah air mereka," kata Hakan
Fidan setelah pertemuan Kelompok Kontak Gaza di kota Antalya, Turki selatan,
dengan tajuk "Solusi Dua Negara dan Perdamaian Abadi di Timur
Tengah."
Diskusi tersebut melibatkan menteri luar negeri
Palestina, Arab Saudi, Qatar, Mesir, Yordania, Bahrain, dan Indonesia.
Pertemuan dihadiri pula oleh Sekretaris Jenderal Organisasi Kerja Sama Islam
(OKI) dan Liga Arab, Perwakilan dari Uni Emirat Arab, Tiongkok, Rusia,
Irlandia, Spanyol, Norwegia, Slovenia, Nigeria, dan Uni Eropa juga turut ambil
bagian.
Pertemuan pada Jumat difokuskan pada situasi
kemanusiaan di Gaza, upaya membangun kembali gencatan senjata, dan perkembangan
di wilayah yang diduduki. Fidan khawatir atas meningkatnya agresi Israel dan
diskusi tentang langkah-langkah potensial yang dapat diambil komunitas
internasional untuk mencapai perdamaian abadi dan solusi dua negara.
Ia juga menegaskan bahwa Turki mendukung rencana
rekonstruksi Gaza yang telah disetujui oleh Liga Arab. "Kami mendukung
pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat berdasarkan perbatasan
tahun 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Kami menyerukan kepada
masyarakat internasional untuk memberikan semua dukungan yang memungkinkan guna
mencapai perdamaian," kata Fidan.
Gagasan pemindahan warga Gaza datang dari Presiden Amerika Donald Trump. Ia
mengusulkan pemindahan 2,1 juta warga Palestina dari Gaza dan mengubah daerah
kantong itu menjadi "Riviera." Sebelum bertolak ke Timur Tengah,
Presiden Prabowo Subianto juga mengatakan ingin mengevakuasi dan bersedia
menampung 1.000 warga Gaza ke Indonesia. Ia meminta dukungan dari lima negara
di Timur Tengah yaitu Uni Emirat Arab (UEA), Turki, Mesir, Qatar, dan Yordania.
Sayang, yang kita saksikan hari ini, para penguasa
Arab dan Dunia Islam bukan saja berdiam diri. Mereka bahkan menutup rapat pintu
perbatasan demi mencegah kedatangan pengungsi Gaza yang menderita. Ironinya,
para penguasa Muslim itu membiarkan negerinya menjadi tempat kedatangan pesawat
tempur AS untuk membantu zionis Yahudi. Mereka pun membuka pelabuhan untuk
kapal-kapal pembawa minyak ke negeri Yahudi. Mereka juga masih membuka hubungan
perdagangan dengan Yahudi.
Para penguasa Muslim itu sama sekali enggan
menggerakkan jutaan tentara mereka, ribuan tank baja dan kendaraan tempur,
pesawat jet dan pengebom serta drone militer yang mereka miliki. Mereka sedang
sibuk beretorika dan berdiplomasi basa-basi. Tak ada pertolongan yang mereka
berikan untuk Gaza dan balasan atas kekejaman militer zionis Yahudi secara
konkrit, yakni mengusir penjajah israel dari bumi Palestina. Padahal inilah
solusi paling tepat. Deplomasi, relokasi, dan dua negara bukanlah solusi,
melainkan bukti bahwa negeri-negeri muslim telah kalah dan menjadi buih di
tengah hegemoni penjajah israel dan amerika.
Solusi Syar’i
Derita Gaza akhirnya mengundang fatwa jihad melawan
zionis Yahudi. Sekretaris Jenderal Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional
(IUMS), Ali al-Qaradaghi, menyerukan kepada semua negara Muslim pada Jumat
(4/4) untuk: "Segera campur tangan secara militer, ekonomi dan politik
untuk menghentikan genosida dan penghancuran menyeluruh ini, sesuai dengan
mandat mereka."
Sekjen IUMS itu juga mengecam diamnya penguasa Arab
dan Dunia Islam terhadap krisis di Gaza sebagai kejahatan besar. Memang sudah
nyata bahwa satu-satunya solusi yang sesuai ajaran Islam untuk mengatasi krisis
Gaza adalah jihad fi sabilillah. Tidak lain dengan mengerahkan kekuatan militer
untuk melindungi warga Gaza dan mengusir entitas Yahudi. Bukan dengan jalan
diplomasi. Apalagi sekadar retorika basa-basi, yang selama ini dimainkan para
pemimpin Arab dan Dunia Islam. Tidak cukup juga hanya dengan memerintahkan para
imam dan khatib membacakan doa untuk kaum Muslim Gaza.
Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLâh, dalam
Kitab Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah Jilid 2, menyatakan bahwa jihad adalah
fardu ’ain saat kaum Muslim diserang oleh musuh. Dalam konteks Palestina, fardu
’ain ini bukan hanya berlaku untuk Muslim di sana, tetapi juga berlaku untuk
kaum Muslim di sekitar wilayah Palestina saat agresi musuh tidak bisa dihadang
oleh warga setempat.
Atas dasar itu, para penguasa negeri Muslim di sekitar
Palestina wajib mengerahkan pasukan militer untuk menolong Muslim Gaza. Sikap
berdiam diri para penguasa tersebut adalah kemaksiatan besar di hadapan Allah
SWT. Pengerahan pasukan militer mustahil diwujudkan jika tidak ada persatuan
diantara seluruh negeri-negeri muslim. Persatuan negeri muslim tidak akan
terwujud jika tidak ada institusi khilafah.
Allah berfirman : Siapa saja yang menyerang kalian,
seranglah ia secara seimbang dengan serangannya terhadap kalian (TQS al-Baqarah
[2]: 194). Perangilah mereka di mana saja kalian menjumpai mereka dan usirlah
mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian (TQS al-Baqarah [2]: 191).
Jihad dengan mengobarkan perang mengusir israel dari
bumi palestina adalah sikap untuk mengambil faktor-faktor kemenangan. Pertolongan
dan kemenangan kaum muslimin memang datang dari Allah, namun mesti ada
sebab-sebab kemenangan yang harus ditempuh oleh kaum muslimin, yakni persatuan,
jihad dan khilafah.
Pentingnya sistem sunnatullah faktor kemenangan dalam
perjuangan Islam, khususnya di Palestina telah ditegaskan oleh Allah dalam QS.
Ali Imran (3: 165): "Apakah kamu, ketika kamu ditimpa musibah (kekalahan),
padahal kamu telah menimpakan (kekalahan dua kali lipat) kepada musuh-musuhmu,
kamu berkata: 'Dari mana datangnya kekalahan ini?' Katakanlah: 'Itu dari dirimu
sendiri.' Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Allah juga berfirman dalam QS. Ali Imran (3: 152):
"Dan Allah telah menepati janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh
mereka dengan izin-Nya, sampai pada saat kamu lemah dan berselisih tentang
perintah (Rasul), dan kamu mendurhakai perintah itu setelah Allah
memperlihatkan kepadamu apa yang kamu ingini. Di antara kamu ada yang
menghendaki dunia dan di antara kamu ada yang menghendaki akhirat. Kemudian
Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu, dan sesungguhnya Allah
telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas
orang-orang yang beriman."
Kaum muslimin di seluruh dunia, khususnya para
pemimpin negeri-negeri muslim saat ini mestinya berpikir, merenung dan sadar
untuk mengambil pelajaran dari kekalahan perang Uhud. Pertama, Kemenangan tidak
terkait dengan jumlah Perang Uhud menunjukkan bahwa kemenangan tidak ditentukan
oleh jumlah pasukan, melainkan oleh pertolongan Allah dan ketaatan kepada-Nya.
Hal ini terlihat pada Perang Badar, di mana pasukan Muslim yang lebih sedikit
berhasil menang, sedangkan pada Perang Uhud, pasukan Muslim yang lebih banyak
mengalami kekalahan.
Kedua, pentingnya membersihkan barisan dari
orang-orang munafik Perang Uhud menyingkapkan pentingnya membersihkan barisan
Muslim dari orang-orang munafik dan beraqidah lemah, karena mereka dapat
membahayakan perjuangan. Ketiga, Sunnah kehidupan tidak dapat digantikan Kemenangan atau kekalahan ditentukan oleh
sebab-sebab yang diambil. Jika sebab-sebab kemenangan diabaikan, maka kekalahan
akan didapat.
Keempat, disiplin militer dan memegang teguh perintah
pemimpin Kekalahan Perang Uhud disebabkan oleh ketidakpatuhan pasukan pemanah
terhadap perintah Rasulullah. Ini menunjukkan pentingnya disiplin dan ketaatan
kepada pemimpin. Kelima, konsistensi dengan niat awal Perang Uhud juga mengajarkan pentingnya
konsisten dengan niat awal dan tidak terpedaya oleh harta rampasan perang atau
kepentingan duniawi.
Keenam, pahitnya kekalahan dapat menjadi pelajaran
Kekalahan dapat menjadi kesempatan untuk introspeksi diri dan memperbaiki
kekurangan, serta meningkatkan kesabaran dan ketabahan.
Dalam konteks ini, beberapa poin penting lainnya
adalah bahwa kemaksiatan dapat menyebabkan kekalahan. Kekalahan dapat disebabkan oleh kemaksiatan
dan ketidaktaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Menolak jihad mengusir kaum
yahudi dari bumi Palestina adalah kemaksiatan besar yang dilakukan oleh para
pemimpin negeri muslim. Karena itu
penting meyakini bahwa pertolongan Allah adalah kunci kemenangan. Kemenangan
sejati hanya dapat diraih dengan pertolongan Allah, yang diperoleh melalui
ketaatan dan kesabaran. Jihad adalah bagian dari ketaatan dan kesabaran itu.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 14/04/25 : 05.49 WIB)