Oleh : Ahmad Sastra
Di malam saat Gaza kembali terbakar
saat bayi-bayi menangis tanpa pelukan terakhir dari
ibunya
di saat bumi para nabi diselimuti debu dan darah
dimana-mana
para pengkhianat justru tertawa dan berpesta di
meja-meja kuasa
Mereka duduk di kursi empuk kekuasaan
berbicara tentang perdamaian dengan wajah tanpa rasa
sambil menyeruput kenikmatan dunia
sambil tutup telinga pada jerit anak-anak Palestina
yang kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan
Di layar kaca, mereka berjanji palsu
namun di belakang tirai, mereka jual tanah suci itu
Dengan tangan penuh emas dari penjajah
mereka tukar kehormatan dengan kehinaan yang menyayat
Wahai dunia, lihatlah siapa sejatinya musuh!
Bukan hanya mereka yang menjajah dengan senjata
tapi juga mereka yang diam saat saudara disiksa
Mereka yang menjual tanah umat demi seonggok nasi basi
Para pengkhianat itu tak menangis
bahkan saat darah suci menodai sajadah
Mereka tak peduli pada jasad kecil yang tak lagi
bernyawa
Yang mereka pikirkan hanyalah
kursi kekuasaan dan tepuk tangan penjajah
Di mana suara mereka saat Al-Aqsha diserang ?
Di mana tangan mereka saat anak-anak kelaparan ?
Mereka hanya muncul saat kamera menyala
berteriak bela Palestina namun itu semua sandiwara
Tapi sejarah tak akan lupa
umat tak akan selamanya tertidur tanpa suara
Akan datang hari di mana keadilan berdiri
dan para pengkhianat akan jatuh satu demi satu
dihukum oleh kebenaran yang tak bisa dibeli
Palestina mungkin bersimbah luka hari ini
namun esok, ia akan bangkit dalam kemuliaan hakiki
Dan para pengkhianat akan tercatat
bukan sebagai pemimpin, api sebagai noda dalam
perjuangan ini
Para pengkhianat berpesta
di tengah derita anak-anak Palestina
Tapi tangis mereka adalah doa
dan doa itu, tak kan pernah sia-sia
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 18/04/25 : 09.46 WIB)