Oleh : Ahmad Sastra
Tempo.co memberitakan bahwa Kepala Biro (Karo) Infohan
Setjen Kementerian
Pertahanan (Kemenhan) Brigjen TNI Frega Ferdinand Wenas Inkiriwang
mengatakan, TNI akan melakukan operasi informasi dan disinformasi untuk
menanggulangi ancaman kedaulatan negara di ruang siber. Operasi itu menargetkan
pihak-pihak yang memiliki motif melemahkan kepercayaan publik terhadap
institusi pertahanan dan pemerintah. "Hingga yang berpotensi memecah belah
bangsa," kata Frega saat dihubungi pada Ahad, 23 Maret 2025.
Frega menekankan, operasi informasi dan
disinformasi itu diarahkan untuk pihak yang menyebarkann hoaks. Operasi juga
dilakukan terhadap pihak yang memutarbalikkan fakta. Namun, Frega menegaskan,
operasi itu bukan diarahkan kepada pihak yang memberikan kritik.
Revisi Undang-Undang tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU
TNI telah disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR pada Kamis,
20 Maret 2025. Terdapat sejumlah perubahan dalam revisi UU TNI, di antaranya
mengenai kedudukan koordinasi TNI, penambahan bidang operasi militer selain
perang (OMSP) seperti penanggulangan ancaman siber, penambahan jabatan sipil
yang bisa diisi TNI aktif, serta perpanjangan masa dinas keprajuritan atau
batas usia pensiun.
Pengesahan revisi UU TNI dilakukan di tengah gelombang
penolakan berbagai kalangan, dari masyarakat sipil hingga mahasiswa. Kelompok
masyarakat sipil menganggap proses pembahasan RUU TNI terburu-buru dan minim
keterlibatan partisipasi publik. Mereka juga khawatir tentara dapat menduduki
jabatan sipil, sehingga meminta TNI tetap di barak.
Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum
mengatakan revisi tersebut mengancam ruang digital bagi masyarakat sipil.
Nenden menolak UU TNI ini karena berpotensi mengembalikan supremasi militer di
Indonesia.
“Menolak perluasan fungsi TNI dalam ranah sipil
termasuk ruang digital karena akan mengembalikan supremasi militerisme di
Indonesia,” kata Nenden dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 19 Maret 2025. Nenden
mengatakan, keterlibatan TNI di ruang siber berpotensi disalahgunakan untuk
membuka keran militerisasi ruang siber. Militerisasi itu akan melahirkan
kebijakan penyensoran hingga pengetatan regulasi.
“Militerisasi ruang siber dapat melahirkan
kebijakan-kebijakan yang koersif-militeristik seperti penyensoran, operasi
informasi, hingga pengetatan regulasi terkait ekspresi daring,” kata dia.
Meskipun Frega menegaskan, operasi itu
bukan diarahkan kepada pihak yang memberikan kritik, namun tentu saja penegasan
ini tetap belum bisa meredakan penolakan masyarakat terhadap revisi UU TNI ini.
Sebab sudah seperti menjadi kebiasaan tiap rezim selalu mengingkari janjinya
sendiri.
Mestinya penguasa bukan sibuk seolah-olah memata-matai
rakyat yang kritis, namun mestinya sibuk memperkuat kepercayaan rakyat kepada
pemerintah dengan berbagai program yang menguntungkan rakyat, bukan
menguntungkan oligarki. Penting dipahami, bahwa revisi UU TNI inilah yang
menjadikan rakyat semakin tidak peercaya kepada pemerintah.
Ada beberapa faktor yang dapat melemahkan kepercayaan
rakyat kepada penguasa atau pemerintah. Pertama, korupsi dan penyalahgunaan
kekuasaan. Ketika pemerintah terlibat dalam praktik korupsi atau penyalahgunaan
kekuasaan, rakyat merasa tidak ada keadilan dan transparansi. Ini dapat
mengurangi rasa percaya publik terhadap integritas pemerintah.
Kedua, ketidakadilan sosial dan ekonomi. Ketimpangan
sosial dan ekonomi yang besar dapat membuat rakyat merasa diabaikan atau tidak
diperhatikan. Ketika sebagian besar masyarakat merasa tertinggal dalam hal
akses terhadap pendidikan, kesehatan, atau pekerjaan yang layak, kepercayaan
terhadap pemerintah dapat menurun.
Ketiga, kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Jika
pemerintah tidak memberikan informasi yang jelas mengenai kebijakan dan
pengelolaan sumber daya negara, masyarakat akan merasa ada yang disembunyikan.
Kurangnya akuntabilitas dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan program
pemerintah juga bisa menciptakan ketidakpercayaan.
Keempat, pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran
hak asasi manusia oleh aparat negara, seperti penggunaan kekerasan terhadap
demonstran atau kelompok tertentu, dapat menyebabkan rakyat kehilangan
kepercayaan kepada pemerintah.
Kelima, kinerja pemerintah yang buruk. Ketidakmampuan
pemerintah dalam mengatasi masalah besar seperti krisis ekonomi, bencana alam,
atau masalah sosial lainnya dapat memperburuk citra pemerintah. Ketika rakyat
merasa pemerintah tidak efektif, mereka cenderung kehilangan kepercayaan.
Keenam, Politik Identitas dan Diskriminasi. Ketika
pemerintah memainkan politik identitas yang mengedepankan perbedaan suku,
agama, ras, atau golongan, ini bisa memicu polarisasi dan menurunkan
kepercayaan rakyat yang merasa tidak diperhatikan atau diperlakukan tidak adil.
Ketujuh, Penyebaran Berita Palsu (Hoaks). Penyebaran
informasi yang salah atau hoaks, yang sering kali digunakan untuk kepentingan
politik, dapat menyebabkan kebingungan di kalangan masyarakat. Ketika pemerintah
tidak cukup cepat atau efektif dalam menangani informasi yang salah ini,
kepercayaan rakyat bisa tergerus.
Kedelapan, pengabaian terhadap aspirasi rakyat. Ketika
pemerintah tidak mendengarkan atau merespons kebutuhan dan keinginan rakyat,
terutama kelompok masyarakat yang terpinggirkan, ini bisa menyebabkan perasaan
keterasingan dan penurunan kepercayaan.
Kesembilan, krisis ekonomi dan kemiskinan. Ketika
rakyat mengalami kesulitan ekonomi yang berat dan pemerintah gagal mengatasi
masalah tersebut dengan cara yang efektif, maka kepercayaan rakyat terhadap
penguasa bisa melemah.
Kesepuluh, penyalahgunaan media dan propaganda. Penggunaan
media untuk kepentingan politik atau propaganda untuk membenarkan kebijakan
tertentu, tanpa mengedepankan fakta yang objektif, bisa merusak kepercayaan rakyat
terhadap pemerintah. Kepercayaan rakyat kepada penguasa atau pemerintah sangat
bergantung pada sejauh mana pemerintah dapat menunjukkan integritas,
transparansi, dan kemampuannya dalam mengatasi permasalahan rakyat secara adil
dan efektif.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 26 Ramadhan 1446 H – 26 Maret
2025 M : 20.45 WIB)