Oleh : Ahmad Sastra
Eksistensialisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang terutama diasosiasikan dengan beberapa
filsuf Eropa abad ke-19 dan ke-20 yang sepaham (meskipun banyak
perbedaan doktrinal yang
mendalam) bahwa pemikiran filsafat bermula dengan subjek manusia, bukan hanya
subjek manusia yang berpikir, tetapi juga individu manusia yang melakukan, yang merasa, dan yang
hidup. Nilai utama pemikiran eksistensialis biasanya dianggap sebagai
kebebasan, tetapi sebenarnya nilai tertingginya adalah autentisitas (keaslian).
Dalam pemahaman seorang eksistensialis, seorang individu
bermula pada apa yang disebut sebagai "sikap eksistensial", yaitu
semacam perasaan disorientasi, bingung, atau ketakutan di
hadapan sebuah dunia yang tampaknya tidak berarti atau absurd. Ada pula beberapa filsuf eksistensialis yang
menganggap bahwa konten filsafat sistematis atau akademis tradisional terlalu
abstrak atau jauh dari pengalaman konkret manusia.
Salah satu pemikir
eksistensialisme adalah Heidegger. Filsafat eksistensialisme Martin Heidegger
memiliki prinsip dasar yang fokus pada konsep "ada" atau "being"
(dalam bahasa Jerman, "Sein"). Pemikiran Heidegger berusaha untuk
menjawab pertanyaan fundamental: "Apa itu keberadaan?" atau "Mengapa
kita ada?"
Paradigma Being-in-the-world
(keberadaan dalam dunia) Heidegger menekankan bahwa manusia (dasein) tidak bisa
dipahami sebagai entitas yang terpisah dari dunia. Dasein, istilah yang
digunakan Heidegger untuk manusia, selalu ada di dalam dunia, dan eksistensinya
terjalin dengan konteks sosial, budaya, dan lingkungan sekitar. Dalam pandangan
ini, eksistensi manusia tidak dapat dipahami tanpa mempertimbangkan
keterhubungannya dengan dunia.
Konsep keberadaan sebagai "menjadi" Heidegger
menolak pandangan bahwa eksistensi adalah sesuatu yang statis atau tetap.
Sebaliknya, ia memandang keberadaan sebagai proses menjadi (becoming). Dasein
adalah entitas yang selalu dalam proses, selalu mencari makna dan tujuan dalam
kehidupan. Keberadaan manusia dipahami dalam gerak menuju pencapaian potensi
dan pemahaman diri yang lebih dalam.
Konsep thrownness (Geworfenheit) Heidegger menggambarkan
eksistensi manusia sebagai terlempar ke dalam dunia. Manusia tidak memilih
kondisi dan situasi awalnya, namun terlahir dalam konteks tertentu yang
melibatkan waktu, tempat, dan kondisi sosial tertentu. Manusia
"terlempar" dalam arti bahwa mereka harus menghadapi kenyataan hidup
yang telah ada, dan tugas mereka adalah membuat makna dalam keterbatasan
tersebut.
Sementara konsep Being-toward-death (keberadaan menuju
kematian) adalah salah satu aspek sentral dalam pemikiran Heidegger adalah
pemahaman tentang kematian. Heidegger berpendapat bahwa untuk memahami
sepenuhnya keberadaan kita, kita harus menyadari keterbatasan waktu kita, yaitu
kematian yang pasti. Kesadaran akan kematian membantu kita untuk lebih otentik
dalam hidup, karena itu membuat kita lebih sadar dan berani dalam memilih dan
menentukan makna hidup kita.
Konsep otentisitas (authenticity) bagi Heidegger, bahwa
eksistensi yang otentik adalah hidup yang berhubungan dengan pemahaman akan
diri sendiri dan dunia, serta mampu membuat pilihan berdasarkan pemahaman ini,
bukan sekadar mengikuti rutinitas atau norma sosial yang ada. Otentisitas
berarti hidup sesuai dengan "kemungkinan terbaik" yang ada dalam diri
kita, bukannya hidup berdasarkan ekspektasi orang lain atau kebiasaan yang
diterima begitu saja.
Heidegger juga dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi Edmund
Husserl. Heidegger berusaha untuk menggali pengalaman manusia dari sudut
pandang pertama, dengan menekankan pentingnya pembacaan dan pemahaman terhadap
pengalaman hidup. Ia berusaha untuk mengungkap makna yang mendalam dalam
tindakan manusia melalui pemahaman tentang pengalaman tersebut.
Berbeda dengan pandangan filsafat Heidegger tentang
eksistensialisme manusia. Dalam
pandangan Islam, hakikat keadaan dan keberadaan manusia (eksistensi) terkait
dengan penciptaan, tujuan hidup, dan hubungan manusia dengan Allah SWT.
Pemahaman ini bisa dijelaskan dari berbagai perspektif yang terhubung dengan
ajaran-ajaran dasar dalam agama Islam.
Dalam Islam, keberadaan manusia dimulai dengan
penciptaan oleh Allah. Allah menciptakan manusia dari tanah (adama) dan
memberinya ruh-Nya, sehingga manusia menjadi makhluk yang istimewa. Dalam
Al-Qur'an, Allah berfirman: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berkata kepada
malaikat: 'Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat
seperti bentuk tanah liat yang kering." (QS. Al-Hijr: 28).
Tujuan utama penciptaan manusia, menurut Al-Qur'an,
adalah untuk beribadah kepada Allah. Dalam surat Az-Zariyat ayat 56, Allah
berfirman: "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku."
Ibadah di sini bukan hanya terbatas pada ritual
keagamaan seperti shalat dan puasa, tetapi juga mencakup segala aspek kehidupan
yang dilakukan sesuai dengan petunjuk Allah, yaitu menjalani hidup dengan
moralitas yang baik, bekerja untuk kebaikan, dan memenuhi tanggung jawab
sosial.
Dalam Al-Qur'an, Allah juga menyebutkan bahwa manusia
diciptakan sebagai khalifah (pemimpin) di bumi. Hal ini menunjukkan bahwa
manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara bumi serta semua
ciptaan Allah. Allah berfirman dalam Al-Qur'an: "Dan ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di bumi...'" (QS. Al-Baqarah: 30).
Sebagai khalifah, manusia diharapkan untuk memimpin
dan mengelola alam dengan bijaksana, adil, dan sesuai dengan prinsip-prinsip
keadilan yang diajarkan dalam agama Islam.
Manusia diberikan akal sebagai sarana untuk membedakan
yang baik dan buruk serta untuk menjalankan peran mereka sebagai khalifah di
bumi. Selain itu, Allah menciptakan manusia dengan fitrah (sifat dasar) yang
cenderung mengenal kebaikan dan keadilan serta mengakui adanya Tuhan.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
Rasulullah SAW bersabda: "Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan
fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani,
atau Majusi." (HR. Bukhari).
Fitrah ini menunjukkan bahwa pada dasarnya, setiap
manusia memiliki potensi untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah,
serta menjalani kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran.
Islam mengajarkan bahwa kehidupan dunia ini adalah ujian
bagi setiap individu. Manusia diberikan kebebasan berkehendak (ikhtiar) untuk
memilih jalan hidupnya, baik atau buruk. Setiap tindakan manusia akan
dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Allah
berfirman dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS. At-Tin: 4).
Kehidupan ini adalah kesempatan bagi manusia untuk
memilih jalan yang benar, mengikuti petunjuk Allah, dan berusaha mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Islam mengajarkan bahwa keberadaan manusia di dunia
ini bukanlah tujuan akhir, tetapi merupakan tempat ujian dan persiapan untuk
kehidupan setelah mati. Setiap manusia akan dihadapkan pada ujian, baik dalam
bentuk kesenangan maupun kesulitan.
Allah berfirman: "Kami telah menciptakan manusia
dalam keadaan yang serba berimbang." (QS. Al-Infitar: 6). Oleh karena itu,
hidup di dunia adalah kesempatan bagi manusia untuk menguji dirinya,
meningkatkan kualitas keimanan, dan berusaha memperbaiki diri melalui amal
baik.
Islam juga mengajarkan bahwa kehidupan dunia ini
bukanlah akhir dari segalanya. Setelah mati, manusia akan menjalani kehidupan
di akhirat yang kekal. Kehidupan di dunia adalah ujian yang akan menentukan
nasib seseorang di akhirat, apakah akan masuk surga atau neraka.
Allah berfirman dalam Al-Qur'an: "Dan barang
siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, baginya kehidupan yang
sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan
buta." (QS. Thaha: 124). Akhirat adalah tempat di mana segala perbuatan
manusia akan dibalas sesuai dengan amal perbuatannya.
Manusia juga diciptakan untuk saling berinteraksi,
berkolaborasi, dan menjalani kehidupan sosial. Islam mengajarkan pentingnya
persaudaraan, keadilan, tolong-menolong, dan menjaga hak-hak orang lain.
Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: "Dan
tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa..." (QS. Al-Ma'idah: 2). Oleh
karena itu, keberadaan manusia tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga
untuk memberikan manfaat kepada orang lain dan berkontribusi pada kesejahteraan
umat manusia.
Berbeda dengan perpektif filsafat eksistensialisme
Heidegger, hakikat keberadaan manusia menurut Islam adalah bahwa manusia
diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya, menjadi khalifah di bumi, dan
hidup dalam keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Manusia memiliki akal, fitrah yang baik, dan kebebasan
berkehendak, serta diberi ujian dan tanggung jawab sosial. Tujuan utama hidup
manusia adalah mencapai kebahagiaan abadi di akhirat dengan menjalankan
perintah Allah dan mengikuti petunjuk-Nya. Dari sinilah kita bisa memahami
bahwa Ramadhan bisa menjadi momentum untuk menyadari hakikat ketaqwaan yang
menjadi harapan bagi setiap mukmin yang berpuasa.
Allah berfirman dalam Al Qur’an : Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa (QS Al Baqarah : 183)
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 04 Ramadhan 1446 H – 04 Maret
2025 M : 11.02 WIB)