Oleh : Ahmad Sastra
Dunia pers dan masyarakat dikejutkan adanya teror kepala babi dan tikus
yang ditujukan ke media nasional Tempo. Petugas
kebersihan Tempo menemukannya kardus berisi enam ekor tikus
pada Sabtu, 22 Maret 2025, pukul 08.00 WIB. Agus, petugas kebersihan Tempo,
menduga kotak kardus yang dibungkus dengan kertas kado bermotif bunga mawar
merah itu berisi mi instan. Kotak itu sedikit penyok. "Ketika dibuka,
isinya kepala tikus," kata dia.
Pemimpin Redaksi Tempo Setri Yasra mengatakan kiriman
bangkai tikus makin memperjelas teror untuk redaksi Tempo. Sebab,
sebelum bangkai tikus, redaksi Tempo menerima pesan ancaman melalui media
sosial melalui akun Instagram @derrynoah pada 21 Maret 2025. Pengendali akun
itu menyatakan akan terus mengirimkan teror “sampai mampus kantor kalian”.
Menurut Setri, kiriman kepala babi dan tikus adalah
teror terhadap kerja media dan kebebasan pers. “Pengirimnya dengan sengaja
meneror kerja jurnalis,” katanya. “Jika tujuannya untuk menakuti, kami tidak
gentar tapi stop tindakan pengecut ini.”
Banyak orang menduga hal ini karena laporan Tempo yang
sangat kritis tentang pengesahan revisi kontroversial undang-undang TNI pada
pekan lalu. Undang-undang ini mengizinkan perwira militer bertugas di pos
pemerintah lain tanpa mengundurkan diri dari angkatan bersenjata.
Revisi undang-undang tersebut disahkan oleh parlemen
dengan suara bulat, meskipun ditentang kelompok-kelompok pro-demokrasi dan hak
asasi manusia yang melihatnya sebagai ancaman terhadap demokrasi. Mereka
khawatir UU ini mengembalikan kediktatoran 31 tahun mantan ayah mertua Presiden
Prabowo Subianto, Suharto. Dia pernah melarang penerbitan Tempo pada
1994 dengan dalih ancaman terhadap stabilitas nasional. Majalah ini diterbitkan
kembali pada 1998 setelah Soeharto jatuh dari kekuasaan.
Pada laman media Katolik internasional, UCA News, menyoroti ancaman terhadap Cica, perempuan
jurnalis bergama Katolik yang menerima paket berisi kepala babi dari pengirim
yang tidak dikenal. Cica, tulis outlet itu, adalah salah satu dari tiga
jurnalis dari Indonesia yang menemani Paus Fransiskus di pesawatnya selama
kunjungannya ke negara-negara Asia-Oseania pada September tahun lalu.
Sekelompok 44 akademisi, aktivis, jurnalis, dan imam
Katolik dari Sekolah Filsafat Driyarkara yang berbasis di Jakarta juga
mengeluarkan pernyataan yang mengatakan, "Kami bersama Tempo dan
pekerja media." Pastor Otto Gusti Madung, rektor Institut Filsafat dan
Teknologi Kreatif Ledalero mengatakan bahwa "tindakan represif mulai
muncul" di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Demokrasi memang pada faktanya sering paradoks. Di satu
sisi diteriakkan kebebasan berpendapat, namun saat suara kritis rakyat makin
kritik kepada penguasa, namun sering terjadi upaya pembungkaman. Paradoks
demokrasi saat kebebasan pendapat dibungkam mencerminkan konflik yang mendalam
antara nilai-nilai dasar demokrasi dan kenyataan politik yang terjadi di lapangan.
Terlapas dari siapa pelakunya, teror kepala babi dan dugaan penyebabnya, maka
ini termasuk paradoks demokrasi.
Demokrasi, sebagai sistem pemerintahan, sangat
bergantung pada kebebasan berbicara dan berpendapat. Kebebasan ini memungkinkan
warga negara untuk menyuarakan pendapat mereka, mengkritik pemerintah, serta
berpartisipasi dalam dialog publik yang sehat. Namun, ketika kebebasan pendapat
dibungkam, prinsip-prinsip dasar demokrasi terganggu, dan ini menciptakan
paradoks.
Secara teoritis, dalam demokrasi, keputusan-keputusan
penting dibuat berdasarkan diskusi terbuka, debat, dan partisipasi warga
negara. Jika kebebasan untuk menyuarakan pendapat dibatasi, partisipasi
masyarakat akan terhambat. Masyarakat tidak dapat mengkritik kebijakan yang
tidak adil atau memberikan masukan yang diperlukan untuk perbaikan.
Salah satu pilar demokrasi adalah kontrol terhadap
kekuasaan. Kebebasan berpendapat memungkinkan media, kelompok masyarakat, atau
individu untuk mengawasi dan mengkritik tindakan pemerintah. Tanpa kebebasan
ini, pemerintah bisa bertindak tanpa ada mekanisme checks and balances yang
efektif.
Kasus di berbagai negara, jika pemerintah dapat
membungkam kebebasan berpendapat, mereka cenderung memperkuat kekuasaan mereka
tanpa adanya tantangan atau kontrol. Hal ini bisa menyebabkan tirani atau
otoritarianisme, yang bertentangan dengan prinsip demokrasi yang mengutamakan
pembatasan kekuasaan.
Demokrasi bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi
juga tentang terciptanya ruang bagi pemikiran, perbedaan pendapat, dan inovasi.
Jika kebebasan berpendapat dibatasi, masyarakat menjadi tidak mampu berdebat
atau berkembang secara kritis, dan ini menghambat kemajuan sosial.
Ketika kebebasan pendapat dibatasi, masyarakat mungkin
kehilangan kepercayaan pada sistem pemerintahan. Jika mereka merasa bahwa suara
mereka tidak didengar atau dibungkam, rasa keterlibatan dan kepercayaan pada
demokrasi bisa tergerus, dan ini bisa menyebabkan ketidakstabilan politik.
Paradoks ini muncul karena meskipun demokrasi
mengedepankan kebebasan individu, namun kebebasan tersebut justru dibatasi,
yang pada akhirnya mengurangi kualitas dan kelangsungan hidup demokrasi itu
sendiri. Demokrasi yang sehat membutuhkan ruang bagi berbagai pandangan dan
kritik untuk berkembang, dan ketika ruang itu dibatasi, maka fondasi demokrasi
pun akan goyah, berubah menjadi otoriterisme kekuasaan.
Demokrasi itu secara genetik adalah realisasi sistem
kapitalisme yang dihegemoni oleh kepentingan oligarki, jadi jika terjadi banyak
penindasan dan ketidakadilan merupakan sebuah keniscayaan. UU ITE ini juga sangat rawan disalahgunakan
oleh penguasa untuk membungkan dan menekan rakyat yang ingin menyuarakan
pendapat, khususnya kritik atas kebijakan penguasa dengan berbagai dalih soal
berita bohong hingga makar. UU ITE adalah paradoks negeri yang katanya
demokrastis ini.
Perbaikan mendesak adalah pemerintah agar memastikan untuk
menghentikan segala bentuk upaya pembungkaman kritik lewat kekerasan,
kriminalisasi dan menjamin kebebasan sipil warga negara, siapapun pelakunya. Pelaku
teror kepada tempo harus segera diungkap oleh aparat berwenang. Perbaikan
semestinya pada paradigma bahwa pendapat rakyat adalah untuk kebaikan penguasa.
Kedua, mestinya dilakukan pendekatan dialogis sehingga
terjadi dialektika, sebab penguasa bukan pihak yang selalu benar, sementara
rakyat selalu salah. Ketiga, mungkin
bisa juga berganti penguasa yang lebih pro rakyat, bukan pro oligarki. Keempat,
pentingnya juga perubahan sistem yang telah terbukti tidak pro rakyat, tapi pro
oligarki, yakni sistem demokrasi kapitalisme.
Sistem Islam bisa menjadi alternatif yang harus terus
didialogkan, bukan dipersekusi. Dalam
Islam, kedudukan rakyat begitu mulia, sehingga dibuka ruang yang luas untuk
menyampaikan pendapat sebagai sebuah aktivitas amar ma’ruf nahi munkar serta
muhasabah kepada penguasa yang dinilai telah melenceng dari hukum-hukum Allah
dalam mengemban amanah kekuasaan.
Selain tentu saja jaminan ketaqwaan individu dan
kekuatan sistem hukum yang adil. Ketiga aspek ini menjadikan masyarakat dalam
pemerintahan Islam sulit memunculkan penguasa yang zolim. Saatnya buang sistem
demokrasi kapitalisme yang dalam kekuasaan oligarki dan ganti dengan sistem
yang lebih baik, yakni sistem Islam, dimana menyuarakan kebenaran, bukan hanya
soal hak, namun suatu kewajiban dakwah bagi setiap muslim dan rakyat.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 24 Ramadhan 1446 H – 24 Maret
2025 M : 10.58 WIB)