LIGA KORUPSI PEJABAT MUKA TEMBOK



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Jika seseorang tidak merasa malu, maka dia akan melakukan apa saja yang diinginkannya. (HR. Al-Hakim)

 

Indonesia sungguh sedang berduka, sebab makin maraknya kasus korupsi dan berbagai bentuk pelanggaran hukum yang justru dilakukan oleh para pejabat, pemimpin dan aparat keimanan. Padahal seharusnya mereka adalah orang yang terdepan dalam memberikan keteladanan yang baik kepada rakyat serta yang diberikan amanah untuk menciptakan ketertiban sosial.

 

Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun 2024 mengalami peningkatan, dengan skor naik menjadi 37/100 dari tahun sebelumnya yang berada di angka 34/100. Peningkatan ini juga mengangkat peringkat Indonesia ke posisi 99 dari 180 negara, lebih baik dibanding tahun sebelumnya di peringkat 115.

 

Indeks Persepsi Korupsi 2024 yang dirilis Transparency International mencatat bahwa Indonesia meraih skor 37, naik 3 poin dari skor yang diperoleh pada 2023. Merujuk pada indeksi persepsi korupsi ketika awal Jokowi menjabat pada 2014, skor Indonesia hanya naik 3 poin dalam satu dasawarsa. Di tengah periode kepemimpinan Jokowi, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mencabut independensi dan sebagian kewenangan lembaga antikorupsi itu.

 

Para koruptor adalah manusia bermuka tembok yang sudah tidak lagi punya rasa malu. Coba bayangkan jika ada seorang pejabat tertangkap KPK karena korupsi masih bisa tersenyum lebar sambil lambaikan tangan kepada wartawan dengan wajah yang sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah dan menyesal. Sungguh ironi negeri ini, banyak pejabat bermuka tembok yang seolah sedang berlomba menumpuk dosa, tanpa rasa malu.

 

Muka tembok artinya seseorang yang memiliki ekspresi wajah yang datar atau tidak menunjukkan emosi, seperti tembok yang tidak memiliki ekspresi. Seringkali, istilah ini digunakan dalam konteks negatif untuk menggambarkan seseorang yang terlihat tidak peduli atau tidak bisa menunjukkan perasaan mereka, baik dalam situasi yang serius maupun santai.

 

Karakter atau indikator pejabat yang disebut muka tembok biasanya merujuk pada sikap atau perilaku yang menunjukkan ketidakpedulian, ketegaran, atau kurangnya empati dalam menghadapi situasi atau orang lain.

 

Muka tembok artinya tidak menunjukkan emosi atau reaksi terhadap situasi apapun, baik itu situasi gembira, sedih, atau serius. Wajahnya cenderung datar, seakan tidak terpengaruh oleh keadaan sekitar. Muka tembok juga berarti tidak menunjukkan rasa simpati atau kepedulian terhadap masalah yang dihadapi orang lain, baik itu masalah personal atau masalah yang lebih besar terkait masyarakat atau negara.

 

Muka tembok biasanya menjaga jarak emosional dengan orang lain, sangat formal dalam setiap percakapan, dan tidak mudah membuka diri. Meskipun berada dalam situasi yang emosional atau penuh tekanan, mereka tetap tampak tenang, tidak terlihat terpengaruh atau tertekan.

 

Pejabat bermuka tembok terlihat tidak peduli terhadap pendapat atau masukan dari orang lain. Mereka cenderung menjaga pendirian dan tidak mudah goyah meskipun ada alasan atau bukti yang membenarkan kritik tersebut. Pejabat muka tembok menunjukkan gaya kepemimpinan yang terlalu kaku dan tidak fleksibel dalam mengambil keputusan, bahkan ketika situasi membutuhkan pertimbangan lebih atau penyesuaian.

 

Pejabat muka tembok adalah juga pejabat yang tidak lagi punya rasa malu saat terbukti melanggar hukum. Hilangnya rasa malu pada pejabat bisa disebabkan oleh berbagai faktor, baik itu terkait dengan aspek psikologis, sosial, atau bahkan sistem politik dan budaya yang ada.

 

Pejabat yang memiliki kekuasaan tinggi atau berada dalam posisi otoritas yang besar sering merasa kebal atau tidak terpengaruh oleh kritik. Mereka mungkin merasa tidak perlu mempertanggungjawabkan tindakan mereka atau tidak takut akan konsekuensi dari perilaku mereka, karena mereka merasa di atas aturan atau tidak ada yang bisa menantang mereka.

 

Dalam beberapa sistem pemerintahan atau masyarakat, pejabat yang melakukan kesalahan atau penyalahgunaan kekuasaan tidak mendapatkan hukuman yang setimpal. Ini menyebabkan mereka merasa bahwa mereka bisa bertindak tanpa rasa takut atau malu, karena mereka tahu bahwa mereka tidak akan dihukum atau dimintai pertanggungjawaban.

 

Dalam lingkungan yang penuh dengan korupsi dan ketidaktransparanan, pejabat sering kali merasa bahwa perilaku buruk mereka tidak akan terungkap atau tidak akan berdampak apa-apa. Korupsi yang merajalela dan kurangnya pengawasan mengurangi rasa malu karena pejabat merasa tidak ada yang bisa menilai atau menghukum mereka.

 

Pejabat yang sering menghadapi kritik atau serangan dari media dan masyarakat mungkin menjadi "tahan" terhadap kritik tersebut. Seiring waktu, mereka bisa kehilangan rasa malu karena sudah terbiasa dengan kondisi di mana mereka selalu diawasi atau dipermasalahkan.

 

Di banyak negara atau organisasi, pejabat mungkin tidak merasa perlu untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka karena tidak adanya mekanisme akuntabilitas yang kuat. Tanpa adanya pengawasan atau sistem hukum yang tegas, mereka merasa bebas melakukan kesalahan tanpa konsekuensi.

 

Beberapa pejabat mungkin merasa bahwa posisi mereka yang kuat memberikan mereka legitimasi untuk bertindak tanpa merasa malu. Mereka bisa terlalu percaya diri dan berpikir bahwa mereka lebih tahu atau lebih berhak daripada orang lain, sehingga tidak merasa perlu malu dalam mengambil keputusan kontroversial.

 

Jika pejabat terbiasa bekerja dalam lingkungan yang penuh dengan ketidakjujuran, manipulasi, atau ketidakadilan, mereka mungkin mulai menyesuaikan diri dengan budaya tersebut dan kehilangan rasa malu. Mereka mungkin menganggap perilaku tersebut sebagai hal yang wajar atau bahkan diperlukan untuk bertahan dalam sistem tersebut.

 

Dalam era digital dan media sosial, banyak pejabat yang merasa terbiasa dengan sorotan publik dan bisa saja menjadi kebal terhadap kecaman atau kritik. Mereka mungkin merasa bahwa setiap tindakan atau kebijakan mereka selalu dikritik, dan ini dapat menyebabkan hilangnya rasa malu karena mereka merasa bahwa hal tersebut sudah menjadi hal biasa.

 

Pendidikan karakter yang tidak memadai pada pejabat, atau kurangnya pembinaan moral dan etika dalam karier politik, dapat menyebabkan hilangnya rasa malu. Jika mereka tidak diajarkan untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka atau tidak diberikan pemahaman tentang pentingnya integritas dan moralitas, mereka bisa kehilangan rasa malu dalam menjalankan tugas mereka.

 

Lingkungan sosial dan politik yang korup atau tidak adil bisa mendorong pejabat untuk kehilangan rasa malu. Ketika pejabat merasa bahwa banyak rekan sejawatnya juga melakukan hal yang sama, mereka merasa bahwa mereka tidak perlu merasa malu karena tindakan mereka dianggap normal atau diterima dalam lingkaran tersebut.

 

Jadi sampai tulisan ini dibuat, siapa pemenang liga korupsi para pejabat muka tembok ?

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 21 Ramadhan 1446 H – 21 Maret 2025 M : 11.00 WIB)

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.