KETIKA ISRAEL DIMUSUHI DUNIA DAN WARGANYA SENDIRI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Dilaporkan oleh tempo.co, bahwa ribuan warga Israel melanjutkan protes di Yerusalem barat pada Kamis, 20 Maret 2025. Mereka memprotes penyerangan besar-besaran Israel di Jalur Gaza dan keputusan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memecat kepala Shin Bet.

 

Protes massal itu terjadi saat pemerintah akan mengadakan pemungutan suara pada hari Kamis mengenai pemecatan Ronen Bar, kepala badan keamanan dalam negeri Shin Bet. Warga Israel juga mengikuti serangan udara besar-besaran yang menewaskan lebih dari 700 orang dan melukai 900 lainnya di Gaza sejak Selasa. Penyerangan besar-besaran dilakukan meskipun ada gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan.

 

Menurut harian Israel Haaretz yang dikutip oleh Anadolu, ribuan pengunjuk rasa berdemonstrasi di dekat kediaman Netanyahu di Yerusalem barat di tengah bentrokan dengan polisi. Rekaman video menunjukkan polisi Israel menyerang pengunjuk rasa, termasuk Yair Golan, pemimpin Partai Demokrat oposisi dan mantan wakil kepala angkatan darat. Seorang polisi terlihat membantingnya ke tanah.

 

Dilansir oleh kompas, gencatan senjata di Jalur Gaza yang terwujud sejak 19 Januari 2025, secara de facto, telah buyar menyusul Israel kembali melancarkan serangan udara secara masif di berbagai titik di Jalur Gaza sejak hari Sabtu 15 Maret 2025.

 

Pesawat tempur Israel pada hari Sabtu 15 Maret 2025 menggempur sasaran di Beit Lahiya, Jalur Gaza Utara, yang membawa korban 9 orang tewas dari warga Palestina. Pada hari Minggu 16 Maret 2025, Israel kembali menggempur berbagai sasaran di Jalur Gaza yang membawa korban 12 orang tewas dari warga Palestina.

 

Tindakan israel yang didukung amerika telah menyulut amarah dunia dengan melakukan berbagai protes dan unjuk rasa, termasuk oleh warganya sendiri. Hamas, yang memerintah Gaza, mengatakan bahwa mereka memandang serangan Israel sebagai pembatalan sepihak atas gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari. "Netanyahu dan pemerintahan ekstremisnya membuat keputusan untuk membatalkan perjanjian gencatan senjata, membuat para tahanan di Gaza menghadapi nasib yang tidak diketahui," kata Hamas dalam sebuah pernyataan.

 

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Mao Ning mengatakan bahwa Beijing "sangat prihatin" dengan situasi ini, dan menyerukan kepada semua pihak untuk "menghindari tindakan apa pun yang dapat menyebabkan eskalasi situasi, dan mencegah bencana kemanusiaan berskala besar".

 

Kremlin memperingatkan adanya "spiral eskalasi" setelah serangan Israel. "Yang paling mengkhawatirkan tentu saja adalah laporan mengenai korban jiwa yang besar di kalangan penduduk sipil," kata juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov Rusia. "Kami memantau situasi ini dengan sangat cermat dan, tentu saja, kami menunggu situasi ini kembali ke arah yang damai."

 

Mesir, yang bertindak sebagai mediator bersama Qatar dan AS, menyebut serangan udara Israel sebagai "pelanggaran mencolok" terhadap kesepakatan tersebut. Serangan-serangan tersebut merupakan "eskalasi berbahaya yang mengancam akan membawa konsekuensi serius bagi stabilitas kawasan", kata kementerian luar negeri.

 

Mediator Qatar mengutuk keras serangan tersebut, dengan kementerian luar negerinya memperingatkan dalam sebuah pernyataan bahwa "kebijakan eskalasi [Israel] pada akhirnya akan menyulut wilayah tersebut dan merusak keamanan dan stabilitasnya".

 

Seorang juru bicara kementerian luar negeri Iran mengatakan bahwa AS bertanggung jawab langsung atas "berlanjutnya genosida di wilayah Palestina yang diduduki".

 

Sebuah pernyataan kementerian luar negeri menyuarakan "kutukan dan kecaman keras Arab Saudi atas kembalinya agresi pasukan pendudukan Israel... dan pengeboman langsung mereka terhadap daerah-daerah yang dihuni oleh warga sipil tak bersenjata".

"Kami telah mengikuti sejak semalam pengeboman Israel yang agresif dan biadab di Jalur Gaza," kata juru bicara pemerintah Yordania Mohammed Momani, yang menekankan "perlunya menghentikan agresi ini".

 

Turki mengatakan bahwa serangan tersebut merupakan "fase baru dalam kebijakan genosida" terhadap warga Palestina. Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Turki menambahkan bahwa tidak dapat diterima jika Israel menyebabkan "siklus kekerasan baru" di wilayah tersebut, dan menambahkan bahwa "pendekatan permusuhan" pemerintah Israel mengancam masa depan Timur Tengah.

 

Kementerian Luar Negeri Prancis mengutuk serangan tersebut, dan menyerukan "penghentian segera permusuhan, yang membahayakan upaya pembebasan para sandera dan mengancam kehidupan penduduk sipil di Gaza".

 

Pemerintah Inggris meminta Israel dan Hamas untuk mengimplementasikan perjanjian gencatan senjata mereka di Gaza "secara penuh", dan menyerukan agar semua pihak "segera kembali berdialog". “Kami ingin melihat perjanjian gencatan senjata ini ditegakkan kembali sesegera mungkin,” kata juru bicara Perdana Menteri Keir Starmer, seraya menambahkan bahwa korban sipil yang dilaporkan akibat serangan Israel semalam sangat “mengerikan”.

 

Menteri Luar Negeri Belgia, Maxime Prevot menulis di X, "Saya menyerukan kepada para pihak untuk mengimplementasikan tahap kedua dari perjanjian ini, yang harus membuka jalan bagi rekonstruksi dan perdamaian untuk semua.

 

Kesepakatan gencatan senjata dilanggar oleh Israel dengan menggempur Gaza dari udara dan menewaskan ratusan orang. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pun memperingatkan bahwa gelombang serangan udara yang menewaskan ratusan warga Palestina di Gaza dalam semalam hanyalah "awal".

 

Dalam pidato yang disiarkan televisi pada Selasa malam, Netanyahu mengatakan bahwa pasukan Israel akan menyerang Hamas dengan "kekuatan yang semakin meningkat" dan negosiasi gencatan senjata di masa mendatang "hanya akan berlangsung di bawah tembakan".

 

“Hamas telah merasakan beratnya kekuatan kami dalam 24 jam terakhir, dan saya ingin meyakinkan Anda – dan mereka – ini baru permulaan,” kata pemimpin Israel tersebut.

“Kami akan terus berjuang untuk mencapai semua tujuan perang kami – pembebasan semua sandera kami, pemusnahan Hamas, dan janji bahwa Gaza tidak akan lagi menjadi ancaman bagi Israel.”

 

Pernyataan menantang Netanyahu muncul setelah serangan mematikan Israel di Gaza menghancurkan gencatan senjata yang rapuh dengan Hamas yang dimulai pada 19 Januari. Serangan udara tersebut menewaskan sedikitnya 404 warga Palestina, banyak di antaranya anak-anak, dan melukai lebih dari 560 lainnya, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.

 

Serangan tersebut menargetkan sebagian besar wilayah Gaza, termasuk Khan Younis dan Rafah di selatan, Kota Gaza di utara, dan wilayah tengah seperti Deir el-Balah, yang menewaskan seluruh keluarga dalam prosesnya.

 

Beberapa tindakan yang sering disebut sebagai pelanggaran hukum internasional oleh Israel meliputi. Pertama, Pembunuhan Warga Sipil dan Serangan terhadap Pemukiman Palestina. Israel sering kali dilaporkan melakukan serangan udara dan serangan militer lainnya yang menargetkan pemukiman sipil di Gaza dan Tepi Barat, yang menyebabkan banyak korban jiwa di kalangan warga Palestina. Serangan ini, meskipun sering kali dibenarkan dengan alasan keamanan, sering kali melibatkan kerusakan pada infrastruktur sipil, seperti rumah, sekolah, dan rumah sakit.

 

Kedua, Pelanggaran Terhadap Hak-hak Pengungsi Palestina. Pengungsi Palestina yang terpaksa melarikan diri dari rumah mereka akibat pendudukan militer Israel sering kali hidup di kamp-kamp pengungsi dengan kondisi yang sangat buruk. Israel telah dituduh menghalangi pengungsi untuk kembali ke tanah mereka, yang menurut banyak pihak adalah pelanggaran terhadap hak untuk kembali menurut hukum internasional.

 

Ketiga, Pembangunan Pemukiman di Tepi Barat. Pembentukan pemukiman Yahudi di wilayah Tepi Barat yang dijajah sejak Perang Enam Hari pada tahun 1967 dianggap ilegal menurut hukum internasional. Meskipun demikian, Israel terus melanjutkan pembangunan pemukiman tersebut, yang memperburuk ketegangan dan mempersempit ruang hidup bagi warga Palestina.

 

Keempat, Blokade Gaza. Blokade yang diberlakukan Israel terhadap Gaza sejak 2007, yang bertujuan untuk membatasi akses ke barang dan bahan penting (termasuk makanan, obat-obatan, dan bahan bangunan), telah menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah di Gaza. Blokade ini juga menghalangi warga Palestina di Gaza untuk bergerak bebas, baik untuk pekerjaan, pendidikan, atau pengobatan.

 

Kelima, Penggunaan Kekuatan Berlebihan. Dalam beberapa tahun terakhir, Israel sering dilaporkan menggunakan kekuatan yang berlebihan terhadap protes-protes damai yang dilakukan oleh warga Palestina, terutama di sepanjang perbatasan Gaza. Tindakan ini sering melibatkan tembakan langsung yang menyebabkan banyak korban jiwa di kalangan warga sipil Palestina, termasuk anak-anak.

 

Keenam, Penahanan Anak-Anak Palestina. Salah satu catatan kejahatan lainnya adalah penahanan anak-anak Palestina oleh pasukan Israel. Laporan-laporan menunjukkan bahwa banyak anak-anak yang ditangkap oleh militer Israel, sering kali tanpa persidangan yang adil, dan dihadapkan pada kondisi penahanan yang buruk.

 

Ketujuh, Disposesi Tanah dan Penggusuran Paksa. Israel telah terlibat dalam penggusuran paksa keluarga Palestina dari rumah mereka, terutama di wilayah-wilayah yang diinginkan untuk pembangunan pemukiman atau untuk alasan keamanan. Penggusuran ini sering dilakukan tanpa pemberitahuan sebelumnya, dan banyak keluarga yang dipindahkan secara paksa.

 

Dalam sejarah, oleh Rasulullah, kaum yahudi diusir dari Madinah. Sejarah pengusiran kaum Yahudi dari Madinah terkait dengan beberapa peristiwa penting yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. Pada saat itu, di Madinah terdapat beberapa suku, termasuk suku-suku Yahudi, yang tinggal di sana sebelum kedatangan Nabi Muhammad. Namun, seiring dengan perkembangan Islam, hubungan antara Nabi Muhammad dan beberapa suku Yahudi mulai memburuk, yang berujung pada pengusiran beberapa suku Yahudi dari Madinah.

 

Pada awal kedatangannya di Madinah, Nabi Muhammad SAW membuat sebuah perjanjian yang dikenal sebagai Piagam Madinah, yang mencakup berbagai suku yang ada di Madinah, termasuk suku-suku Yahudi. Piagam Madinah bertujuan untuk menciptakan kedamaian dan kerjasama antara kelompok-kelompok yang berbeda, seperti suku Aus, Khazraj (suku-suku Arab), serta suku-suku Yahudi (Banu Qaynuqa, Banu Nadir, dan Banu Qurayza).

 

Suku pertama yang diusir dari Madinah adalah Banu Qaynuqa, yang merupakan salah satu suku Yahudi di Madinah. Pada tahun 624 M, suku Banu Qaynuqa terlibat dalam konflik dengan umat Islam. Ceritanya berawal ketika seorang wanita Muslim dihina oleh seorang pria Yahudi dari suku Banu Qaynuqa. Ketika umat Islam menuntut agar pelaku dihukum, suku Banu Qaynuqa menolaknya dan situasi menjadi tegang.

 

Karena pelanggaran terhadap Piagam Madinah dan ketegangan yang meningkat, Nabi Muhammad memutuskan untuk mengepung suku Banu Qaynuqa dan akhirnya mereka menyerah. Mereka diusir dari Madinah dan harus meninggalkan kota. Suku Banu Qaynuqa tidak diizinkan untuk kembali ke Madinah dan sebagian besar dari mereka pergi ke Khaibar.

 

Setelah kejadian dengan Banu Qaynuqa, suku Banu Nadir yang juga merupakan salah satu suku Yahudi besar di Madinah terlibat dalam konflik lebih lanjut. Pada tahun 625 M, suku Banu Nadir mencoba untuk membunuh Nabi Muhammad dengan menyusun rencana untuk melemparkan batu dari atas rumah mereka ketika Nabi Muhammad sedang berkunjung ke mereka.

 

Setelah mengetahui rencana tersebut, Nabi Muhammad memerintahkan pengepungan terhadap suku Banu Nadir. Mereka akhirnya menyerah dan diusir dari Madinah. Mereka meninggalkan kota dan banyak di antara mereka yang pergi ke Khaibar, sebuah daerah yang terkenal dengan pemukiman Yahudi.

 

Peristiwa penting lainnya yang berujung pada pengusiran suku Yahudi dari Madinah adalah Perang Khandaq (Perang Parit) pada tahun 627 M. Pada perang ini, suku Banu Qurayza, salah satu suku Yahudi terbesar di Madinah, melakukan pengkhianatan dengan bersekutu dengan pasukan Quraisy yang datang untuk mengepung Madinah. Mereka melanggar Piagam Madinah yang telah disepakati dengan Nabi Muhammad.

 

Setelah pasukan Quraisy mundur, Nabi Muhammad menanggapi pengkhianatan ini dengan mengepung benteng Banu Qurayza. Setelah beberapa minggu pengepungan, Banu Qurayza menyerah dan dihukum sesuai dengan keputusan Sa'd bin Mu'adh, seorang sahabat Nabi yang dipilih untuk memberikan keputusan hukum. Keputusan ini adalah bahwa pria-pria Banu Qurayza yang terlibat dalam pengkhianatan dihukum mati, sementara wanita dan anak-anak mereka diambil sebagai tawanan dan dijadikan budak.

 

Setelah peristiwa tersebut, sebagian besar suku Yahudi yang tinggal di Madinah diusir, terutama Banu Qaynuqa dan Banu Nadir. Sebagian besar dari mereka pergi ke Khaibar, sebuah daerah yang terletak lebih jauh ke utara Madinah, yang menjadi tempat bagi banyak suku Yahudi setelah mereka diusir dari Madinah. Suku Banu Qurayza juga diusir, tetapi tidak seluruhnya, karena banyak dari mereka yang mati akibat hukuman yang dijatuhkan.

 

Maka, solusi paling rasional dan tepat saat ini, ketika melihat kejahatan entitas yahudi kepada bangsa Palestina adalah diusir dari israel, sebagaimana dahulu juga telah diusir. Adalah logis, jika penjajah diusir dari tanah jajahan, sebagaimana dahulu penjajah belanda diusir dari negeri ini. Solusi dua negara dalah bukan solusi sama sekali, sebab sampai kapanpun israel akan terus menjajah palestina.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 21 Ramadhan 1446 H – 21 Maret 2025 M : 22.14 WIB)

 

 

 

 

 

 

 


__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.