JANGAN JADI PENGUASA, JIKA TAK MAU DIKRITIK



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS An Nahl : 125)

 

Fir'aun adalah contoh penguasa yang sangat anti kritik dan menunjukkan sikap tirani serta kesombongan dalam memerintah. Dalam sejarah Islam, Fir'aun dikenal sebagai penguasa yang menindas dan tidak menerima bahkan satu pun bentuk kritik atau perlawanan terhadap kekuasaannya.

 

Fir'aun dikenal sebagai penguasa yang merasa dirinya sebagai Tuhan di bumi. Dalam Al-Qur'an, Fir'aun sering kali menyatakan kepada rakyatnya bahwa dia adalah Tuhan yang harus disembah, dan menganggap dirinya tidak terkalahkan. Ketika Nabi Musa (A.S.) datang untuk menyampaikan wahyu dari Allah dan memperingatkan Fir'aun agar meninggalkan kesombongannya dan membebaskan Bani Israil, Fir'aun menolak dengan keras.

 

Dia bahkan mengancam Musa dan menuduhnya sebagai seorang pembohong dan penyihir. Dalam Al-Qur'an surah Al-A'raf (7:127), Fir'aun menanggapi kritik dan peringatan dengan cara yang sangat arogan: "Apakah kamu datang kepada kami untuk mengusir kami dari negeri kami dengan sihirmu, hai Musa?"

 

Fir'aun tidak hanya menolak kritik, tetapi juga menindak siapa pun yang berani mengkritiknya. Ketika beberapa pengikut Nabi Musa mulai percaya dan menerima ajaran tauhid, Fir'aun dengan kejam menindas mereka. Fir'aun bahkan mengancam akan menyiksa mereka jika mereka tetap mengikuti Musa.

 

Dalam Al-Qur'an surah Ghafir (40:26-27), Fir'aun mengatakan: "Fir'aun berkata: 'Biarkan aku membunuh Musa, dan biarkan dia menyeru kepada Tuhannya. Sesungguhnya aku takut dia akan mengubah agama kamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.'"

 

Fir'aun sangat kejam terhadap siapa saja yang berbeda pendapat dengan dirinya. Ketika para pengikutnya (termasuk pembesar kerajaan) mulai merasa ragu dan mulai menyuarakan ketidaksetujuan terhadap tindakannya, Fir'aun tidak hanya menolak kritik mereka, tetapi juga menganggapnya sebagai pengkhianatan dan berusaha untuk mematahkan perlawanan mereka dengan kekerasan.

 

Fir'aun juga menunjukkan sikap tirani dengan cara menindas dan menyiksa umat Nabi Musa. Dia tidak segan-segan membunuh anak laki-laki Bani Israil dan menyiksa mereka yang tidak mau tunduk kepada kekuasaannya. Fir'aun, yang merasa dirinya sebagai penguasa absolut, menganggap segala bentuk kritik atau penolakan sebagai ancaman terhadap kekuasaannya, dan ia berusaha dengan segala cara untuk menghancurkannya.

 

Salah satu ciri utama dari Fir'aun adalah kesombongannya yang ekstrem. Ia merasa dirinya lebih tinggi dari segala sesuatu, termasuk Allah. Ketika Allah menurunkan berbagai azab untuk memperingatkan Fir'aun, dia tetap menutup telinga dan menantang takdir. Fir'aun bahkan menantang Nabi Musa dan meminta bukti-bukti yang lebih kuat tentang kebenaran wahyu yang dibawa Musa.

 

Dalam Al-Qur'an surah Ash-Shu'ara (26:29), Fir'aun berkata kepada Musa: "Jika kamu membawa sesuatu yang nyata, maka tunjukkanlah kepada kami, jika kamu termasuk orang yang benar." Fir'aun tidak hanya menolak kritik atau peringatan, tetapi juga menantang kebenaran yang dibawa oleh Nabi Musa.

 

Kekejaman dan penolakan Fir'aun terhadap kritik berakhir dengan kehancuran dirinya sendiri. Setelah terus menantang peringatan Allah dan tidak mau menerima perubahan, akhirnya Fir'aun tenggelam di Laut Merah ketika dia mengejar Bani Israil yang melarikan diri setelah dibebaskan oleh Musa.

 

Fir'aun adalah contoh penguasa yang tidak hanya menolak kritik, tetapi juga sangat kejam terhadap siapa saja yang berani mengkritik atau menentangnya. Ia menunjukkan betapa bahaya sikap tirani dan kesombongan yang menutup mata terhadap kebenaran dan kritik konstruktif. Dalam konteks ini, Fir'aun menjadi contoh yang sangat kontras dengan penguasa-penguasa yang terbuka terhadap kritik, seperti yang dicontohkan oleh para khalifah dalam sejarah Islam.

 

Kritik memiliki banyak manfaat bagi penguasa, baik dalam konteks pemerintahan, kebijakan publik, maupun manajemen suatu negara atau organisasi.  Kritik yang konstruktif dapat membantu penguasa untuk mengenali kekurangan dalam kebijakan atau program yang dijalankan. Dengan demikian, penguasa dapat memperbaiki kesalahan atau kelemahan yang ada dan meningkatkan kinerjanya.

 

Kritik memberikan perspektif yang berbeda, yang mungkin tidak dipertimbangkan sebelumnya. Ini membantu penguasa untuk membuat keputusan yang lebih bijaksana dan lebih berpihak pada kepentingan rakyat atau masyarakat.

 

Kritik yang datang dari masyarakat atau pihak lain mendorong penguasa untuk lebih bertanggung jawab atas tindakan dan kebijakan yang diambil. Hal ini dapat mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan.

 

Dengan adanya kritik, penguasa lebih terdorong untuk menjalankan pemerintahannya secara lebih transparan. Masyarakat atau pihak terkait dapat mengawasi jalannya kebijakan dan memberi masukan untuk perbaikan.

 

Kritik yang diberikan secara terbuka membantu mengawasi dan mencegah adanya tindakan atau kebijakan yang tidak adil atau merugikan kelompok tertentu. Ini bisa berfungsi sebagai kontrol sosial yang efektif.

 

Kritik yang diterima dengan baik dari masyarakat menciptakan ruang untuk dialog dan diskusi yang produktif antara penguasa dan rakyat. Ini meningkatkan partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan.

 

Jika penguasa mendengarkan kritik dengan bijak dan melakukan perubahan yang diperlukan, mereka dapat memperoleh kepercayaan lebih dari masyarakat. Rakyat akan melihat bahwa penguasa tidak hanya mendengarkan, tetapi juga berusaha memenuhi harapan mereka.

 

Penguasa harus siap dan mau dikritik, karena kritik merupakan bagian penting dari proses pemerintahan yang sehat dan demokratis. Ketika penguasa terbuka terhadap kritik, mereka bisa mengetahui dan memperbaiki kesalahan yang mungkin terlewat. Kritik membantu mereka untuk lebih hati-hati dalam mengambil keputusan dan mencegah kesalahan yang sama di masa depan.

 

Penguasa yang dapat menerima kritik dengan bijak akan dilihat sebagai sosok yang lebih rendah hati dan terbuka. Hal ini dapat meningkatkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinannya, karena mereka tahu bahwa pemimpin mereka mendengarkan suara rakyat.

 

Kritik yang konstruktif dapat membantu penguasa memperbaiki kebijakan yang mungkin kurang efektif atau tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Ini memungkinkan adanya perubahan yang lebih positif dan relevansi kebijakan yang lebih tinggi terhadap kebutuhan rakyat.

 

Ketika penguasa tidak siap menerima kritik, mereka berpotensi mengabaikan masukan dari rakyat atau bahkan melakukan tindakan sewenang-wenang. Kritik berfungsi sebagai pengawasan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menjaga keadilan.

 

Penguasa yang menerima kritik dengan lapang dada menunjukkan kedewasaan dan kekuatan dalam kepemimpinan. Mereka tidak takut dengan pendapat orang lain dan justru berusaha untuk menjadi pemimpin yang lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih responsif.

 

Kritik yang diberikan dengan baik bisa menjadi pendorong untuk perubahan dan inovasi dalam sistem pemerintahan atau organisasi. Tanpa kritik, penguasa mungkin terjebak dalam rutinitas yang sama dan tidak melihat kebutuhan untuk perubahan.

 

Para khalifah dalam sejarah Islam, terutama yang memimpin pada masa Khulafa' al-Rasyidin, dikenal memiliki sikap terbuka terhadap kritik, yang menunjukkan kedewasaan dan kesiapan mereka dalam menghadapi pandangan berbeda.

 

Abu Bakar as-Siddiq, khalifah pertama setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, terkenal karena kesederhanaan dan ketawadhuannya. Dia sering meminta nasihat dan kritik dari sahabat-sahabatnya. Salah satu contoh terkenal adalah ketika dia memimpin pasukan untuk memerangi orang-orang yang murtad setelah wafatnya Nabi.

 

Salah satu sahabat, yaitu Umar bin Khattab, memberikan kritik dengan mengatakan bahwa perintahnya terlalu berat. Abu Bakar menerima kritik ini dan terus mengedepankan prinsip keadilan dalam memimpin, meskipun sering kali menghadapi tantangan besar.

 

Umar bin Khattab adalah contoh lain dari pemimpin yang sangat terbuka terhadap kritik. Dia dikenal sangat tegas dalam menjalankan hukum dan keadilan, tetapi juga sangat menghargai nasihat dan kritik dari sahabat-sahabatnya, bahkan dari rakyat biasa. Salah satu contoh terkenal adalah ketika seorang wanita mengkritiknya terkait kebijakannya mengenai pembagian harta di pasar.

 

Wanita itu mengingatkan Umar bahwa ada hak-hak tertentu yang harus diberikan kepada kaum perempuan, dan Umar menerima kritik tersebut dengan lapang dada serta langsung memperbaiki kebijakannya. Umar juga sering berkata, "Jika ada yang melihat kesalahan padaku, maka perbaiki aku!" dan bahkan menerima teguran dari rakyat biasa tanpa merasa tersinggung.

 

Utsman bin Affan, khalifah ketiga, juga dikenal dengan sikap sabar dan tanggap terhadap kritik, meskipun masa pemerintahannya lebih penuh dengan tantangan politik dan sosial. Beberapa sahabat memberikan kritik terhadap kebijakannya, terutama terkait pengangkatan pejabat dan pengelolaan kekayaan negara. Utsman menerima beberapa kritik ini, meskipun sering kali kebijakannya menuai kontroversi.

 

Ali bin Abi Talib, khalifah keempat dan terakhir dari Khulafa' al-Rasyidin, sangat terkenal karena kesediaannya untuk menerima kritik dan nasihat. Meskipun masa pemerintahannya penuh dengan konflik politik, terutama dengan perpecahan antara kelompok yang mendukungnya (Shii) dan mereka yang menentangnya (Khawarij), Ali selalu terbuka terhadap kritik yang membangun.

 

Ali bahkan menyatakan bahwa jika ada yang melihatnya melakukan kesalahan, dia akan mendengarkan dan siap diperbaiki. Salah satu peristiwa yang mencerminkan kesediaan Ali untuk menerima kritik adalah ketika seorang dari kelompok Khawarij mengkritik cara Ali memimpin dan menganggapnya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Ali tidak marah, tetapi justru merespons kritik tersebut dengan dialog terbuka.

 

Meskipun bukan bagian dari Khulafa' al-Rasyidin, Umar bin Abdul Aziz, khalifah Umayyah yang terkenal dengan kebijakan-kebijakan reformisnya, juga dikenal sangat terbuka terhadap kritik. Ia berusaha mengembalikan prinsip-prinsip Islam yang lebih sederhana dan lebih adil dalam pemerintahannya.

 

Suatu ketika, seorang pria datang mengkritiknya terkait dengan kebijakan tertentu yang ia buat, dan Umar bin Abdul Aziz tidak hanya menerima kritik tersebut, tetapi juga memperbaikinya sesuai dengan prinsip keadilan Islam.

 

Khalifah-khalifah ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam Islam tidak hanya soal kekuatan atau kontrol, tetapi juga soal mendengarkan suara rakyat dan menerima kritik sebagai bagian dari proses perbaikan.

 

Dengan menerima kritik, mereka menunjukkan bahwa mereka bukan hanya pemimpin yang bijaksana, tetapi juga manusia yang siap belajar dan memperbaiki diri demi kebaikan umat. Ini adalah contoh yang sangat penting bagi para pemimpin masa kini tentang pentingnya keterbukaan terhadap kritik dalam menjaga keadilan dan kebaikan dalam kepemimpinan.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 29 Ramadhan 1446 H – 29 Maret 2025 M : 19.34 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.