Oleh : Ahmad Sastra
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa (QS Al Baqarah : 183)
Kata "intensi" dalam bahasa Indonesia
merujuk pada tingkat kekuatan atau kedalaman suatu perasaan, aktivitas, atau
pengaruh. Biasanya, intensi digunakan untuk menggambarkan sejauh mana sesuatu
dilakukan dengan penuh perhatian, semangat, atau keseriusan. Sebagai contoh,
bisa digunakan dalam konteks "intensi latihan" yang berarti seberapa
keras atau berat latihan tersebut dilakukan.
Secara umum, "intensi" juga bisa diartikan
sebagai sesuatu yang dilakukan dengan tingkat konsentrasi atau fokus yang
tinggi. Kata intensi dengan demikian bermakna memiliki perhatian penuh kepada
sesuatu. Dengan istilah lain, kata intensi bisa bermakna keterarahan kesadaran.
Dalam kajian filsafat, istilah intensi diperkenalkan
oleh Immanuel Levinas. Intensionalitas dalam pemikiran Emmanuel Levinas merujuk
pada cara pandangnya mengenai hubungan antara subjek (diri) dan orang lain,
serta bagaimana kita memahami dan berinteraksi dengan dunia melalui kedalaman
etika dan tanggung jawab.
Levinas mengembangkan konsep intensionalitas dalam
konteks fenomenologi, yang dipengaruhi oleh pemikiran Edmund Husserl dan Martin
Heidegger. Dalam fenomenologi, intensionalitas merujuk pada hubungan kesadaran
dengan objek yang ada di luar dirinya, yaitu bagaimana pikiran atau kesadaran
memiliki "arah" atau "tujuan" terhadap objek.
Namun, Levinas mengkritik pendekatan tradisional ini,
yang lebih memfokuskan pada objek atau dunia sekitar sebagai hal yang harus
dipahami atau dikuasai. Menurutnya, intensionalitas seharusnya tidak hanya
berfokus pada hubungan subjek dengan objek, tetapi juga pada hubungan subjek
dengan "Lain" (the Other).
Untuk Levinas, intensionalitas adalah bentuk perhatian
etis yang mendalam terhadap orang lain, di luar hanya pemahaman rasional atau
kategorisasi objektif. Sebagai contoh, ketika kita berhadapan dengan orang
lain, kita tidak hanya melihat mereka sebagai objek atau bagian dari dunia yang
bisa kita kuasai, tetapi lebih sebagai individu yang memanggil kita untuk
bertanggung jawab, yang mendesak kita untuk memberikan perhatian moral dan
etis.
Dengan demikian, intensionalitas Levinas adalah
tentang meletakkan diri kita dalam hubungan dengan orang lain dalam cara yang
melampaui objektifikasi atau analisis intelektual semata. Fokus utamanya adalah
pada etika dan tanggung jawab yang kita miliki terhadap "Lain," yang
dalam pandangannya adalah inti dari pengalaman manusia dan hubungan sosial yang
sahih.
Apa hubungan intensi dengan Ramadhan ? Intensi atau eterarahan
kesadaran seorang muslim selama bulan Ramadhan dapat dipahami sebagai fokus dan
perhatian yang diarahkan pada tujuan spiritual, ibadah, dan refleksi diri yang
lebih dalam.
Selama Ramadhan, umat Muslim berusaha untuk menjaga
kesadaran mereka tetap terfokus pada ibadah, seperti salat, puasa, membaca
Al-Qur'an, dan dzikir. Kesadaran ini berusaha untuk menanggalkan
distraksi-distraksi duniawi dan mengarahkan perhatian pada hubungan dengan
Tuhan (Allah).
Puasa bukan hanya soal menahan diri dari makan dan
minum, tetapi juga tentang mengendalikan nafsu, perasaan, dan pikiran.
Kesadaran selama Ramadhan diarahkan untuk menghindari perilaku yang tidak baik
seperti bergunjing, berbohong, atau berbuat dosa lainnya, serta untuk
meningkatkan kesabaran, ketenangan, dan kedamaian batin.
Ramadhan adalah waktu untuk introspeksi dan perbaikan
diri (tazkiyah). Kesadaran diarahkan untuk merenung tentang diri sendiri, untuk
memperbaiki kualitas iman, dan untuk mengidentifikasi kekurangan dalam diri
agar dapat menjadi pribadi yang lebih baik.
Di samping ibadah personal, Ramadhan juga mendorong
umat Muslim untuk lebih peduli pada sesama, baik melalui sedekah, zakat, atau
tindakan baik lainnya. Keterarahan kesadaran pada kepedulian sosial ini
bertujuan untuk memperkuat rasa solidaritas dan empati terhadap orang yang
kurang beruntung.
Dalam pandangan beberapa pemikir atau ulama, bulan
Ramadhan adalah kesempatan untuk menyucikan jiwa dari dosa dan kekotoran hati.
Keterarahan kesadaran pada pengampunan Allah dan penyucian diri dari segala
keburukan menjadi sangat penting selama bulan ini.
Kesadaran ini, dalam arti yang lebih mendalam, bisa
dipandang sebagai bentuk "intensionalitas" dalam beragama, di mana
seluruh aktivitas selama bulan Ramadhan hendaknya diarahkan menuju pencapaian
kedekatan dengan Allah, perbaikan diri, dan tanggung jawab sosial. Dengan
demikian, Ramadhan bukan hanya soal puasa fisik, tetapi juga soal meningkatkan
kualitas kesadaran spiritual dan etis dalam menjalani kehidupan, yakni mencapai
derajat taqwa.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 05 Ramadhan 1446 H – 05 Maret
2025 M : 19.14 WIB)