IKHTIAR MERAIH KEMULIAAN LAILATUL QADAR



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Salah satu keistimewaan yang luar biasa Bulan Ramadhan adalah adanya lailatul qadar, yakni malam yang lebih baik dari seribu bulan. Lailatul Qadar adalah malam yang sangat mulia dalam agama Islam, yang disebutkan dalam Al-Qur'an sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan.

 

Setidaknya ada tiga makna lailatul qadar. Pertama, penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Penggunaan Qadar sebagai ketetapan dapat dijumpai pada surah Ad-Dukhan ayat 3-5: Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur'an) pada suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang penuh hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami

 

Kedua, kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Qur'an. Penggunaan Qadar yang merujuk pada kemuliaan dapat dijumpai pada surah Al-An'am (6): 91 yang berbicara tentang kaum musyrik: Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat

 

Ketiga, sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr. Penggunaan Qadar untuk melambangkan kesempitan dapat dijumpai pada surah Ar-Ra'd ayat 26: Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya)

 

Lailatul Qadar terjadi pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, namun tidak ada yang tahu pasti tanggalnya. Malam ini disebutkan dalam Surah Al-Qadr (Surah ke-97) dalam Al-Qur'an. Malam ini penuh dengan rahmat, ampunan, dan kasih sayang dari Allah SWT. Ibadah yang dilakukan pada malam tersebut, seperti sholat, doa, dan dzikir, pahalanya setara dengan ibadah sepanjang seribu bulan.

 

Pada malam tersebut, malaikat turun ke bumi untuk membawa keberkahan, dan malaikat tidak hanya datang dalam jumlah banyak, tetapi juga membawa kedamaian. Doa dan amal ibadah yang dilakukan pada malam ini diyakini lebih diterima oleh Allah. Oleh karena itu, umat Muslim dianjurkan untuk meningkatkan ibadah pada sepuluh malam terakhir Ramadan, dengan harapan bisa mendapatkan Lailatul Qadar.

 

Dikisahkan pada suatu malam di penghujung bulan Ramadhan, seorang pemuda duduk di majelis Imam Asy-Sya’bi, seorang tabi'in terkenal yang dihormati karena keluasan ilmunya. Pemuda itu tampak penuh harap, ingin mengetahui rahasia malam penuh keberkahan, Lailatul Qadar.

 

"Wahai Imam," tanyanya dengan penuh hormat, "bagaimana seseorang dapat memastikan bahwa ia telah mendapatkan Lailatul Qadar?" Asy-Sya’bi menatap pemuda itu dengan penuh kebijaksanaan. Ia tersenyum dan berkata, "Barang siapa yang menghidupkan sepuluh malam terakhir Ramadhan dengan shalat, dzikir, dan istighfar, maka kemungkinan besar ia telah mendapatkan keberkahan Lailatul Qadar, meskipun ia tidak menyadarinya."

 

Pemuda itu mengernyitkan dahi, seolah masih belum puas dengan jawaban tersebut. "Tetapi, wahai Imam, bagaimana jika seseorang tidak melihat tanda-tandanya secara langsung? Bukankah banyak orang yang mencari tanda-tanda seperti matahari tanpa sinar yang menyilaukan atau ketenangan malam yang luar biasa?"

 

Asy-Sya’bi menghela napas pelan, lalu menjawab, "Wahai anakku, apakah engkau mencari tanda atau mencari keberkahan? Banyak orang yang menghabiskan malam mereka mencari sesuatu yang kasat mata, tetapi melupakan ketenangan dan keberkahan yang Allah letakkan dalam hati mereka. Jika seseorang bersungguh-sungguh dalam ibadah, maka meskipun ia tidak menyadari, Allah telah memberinya anugerah dari malam tersebut."

 

Pemuda itu mengangguk perlahan. Ia mulai memahami bahwa Lailatul Qadar bukan hanya soal melihat tanda-tanda lahiriah, tetapi lebih kepada bagaimana seseorang mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati.

 

Allah berfirman : "Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. Al-Qadr: 4-5)

 

Rasulullah ï·º bersabda: "Barang siapa yang menghidupkan Lailatul Qadar dengan iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari, no. 1901, Muslim, no. 760)

 

Ibn Rajab dalam Latha’if al-Ma’arif menyebutkan perkataan Asy-Sya’bi bahwa seseorang yang menghidupkan malam-malam terakhir Ramadhan dengan ibadah tidak akan luput dari keberkahan Lailatul Qadar, meskipun ia tidak menyadari kapan tepatnya malam itu terjadi.

 

Ibnul Qayyim dalam Zad al-Ma’ad menegaskan bahwa hakikat Lailatul Qadar terletak pada bagaimana seseorang merasakan peningkatan iman dan kedekatan dengan Allah, bukan sekadar mencari tanda-tanda lahiriah.

 

Imam Ghazali berkata, "Sesungguhnya lailatul qodar itu dapat dikenali dari hari awal Ramadhan. Jika awal Ramadhan diawali hari Ahad atau hari Rabu maka malam qodar jatuh pada malam tanggal 29. Atau awal Ramadhan di hari Senin maka malam qodar jatuh pada tanggal 21. Atau awal Ramadhan hari Selasa atau Jumat maka malam qodar jatuh pada malam tanggal 27. Atau awal Ramadhan di hari Kamis maka malam qodar jatuh pada malam tanggal 25. Atau awal Ramadhan di hari Sabtu maka malam qodar jatuh pada malam tanggal 23." (I'anatut Thalibin juz 2, hal 257).

 

Sebenarnya kapan lailatur qadar itu hadir pada setiap bulan Ramadhan, hanya Allah Yang Tahu, sementara manusia hanyalah berikhtiar untuk meraihnya. Yang paling penting adalah bagaimana pada sepuluh malam terakhir Ramadhan ini, kita melipatgandakan ibadah dan amal-amal shalih dibandingkan dengan malam-malam yang lain pada bulan Ramadhan. Paling tidak dengan banyak beri'tikaf di masjid. Tentu dengan lebih banyak lagi mendirikan shalat malam, tilawah al-Quran dan berzikir, lebih banyak lagi bersedekah; lebih semangat lagi dalam menghadiri majelis-majelis ilmu; lebih giat lagi berdakwah; dst.

 

Karena itu untuk ikhtiar meraih lailatul qadar adalah dengan terus meningkatkan amal ibadah sepanjang waktu Ramadhan, sebab datangnya malam mulia itu dirahasikan oleh Allah. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh ulama : Bagi seorang ‘arif (orang yang mengenal Allah SWT), setiap malam kedudukannya sama dengan Lailatul Qadar (Abu Thalib al-Makki, Quut al-Quluub, 1/119).

 

Artinya, ibadah mereka setiap malam--dan sepanjang tahun--senantiasa berlipat ganda sebagaimana ibadah mereka pada (malam) Lailatul Qadar. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Abul ‘Abbas: Seluruh waktu kami adalah "Lailatul Qadar". Artinya, ibadah kami setiap waktu senantiasa berlipat ganda (Abul ‘Abbas, Iqâzh al-Himam Syarh Matan al-Hikam, 1/62).

 

Inilah yang ditunjukkan antara lain oleh Imam Ali Zainal Abidin ra., yang bernama asli Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Beliau adalah cicit Nabi Muhammad saw. Beliau dikenal dengan julukan “Zayn al-Abidîn (Hiasan Para Ahli Ibadah)” karena kemuliaan pribadi dan ketakwaannya. Ia pun digelari dengan “As-Sajjaad” karena begitu banyaknya ia beribadah dan bersujud kepada Allah SWT, baik siang maupun malam (Muhammad Uwaydhah, Fashl al-Khithaab, 1/702).

 

Beliau pun tidak pernah meninggalkan shalat malam, baik saat muqim ataupun dalam keadaan safar (Asy-Sya'rani, Thabaqaat al-Kubraa, 1/27).

 

Imam Ali Zainal Abidin juga dikenal sebagai orang yang amat dermawan karena kegemarannya dalam bersedekah. Beliau, misalnya, sering bolak-balik memikul tepung dan roti di punggungnya untuk disedekahkan kepada keluarga-keluarga miskin di Madinah. Menurut adz-Dzahabi dalam Siyar al-A'lam an-Nubalaa', hal itu sering beliau lakukan secara sembunyi-sembunyi pada malam hari (Lihat juga: Muhammad Uwaydhah, Fashl al-Khithaab, 1/711).

 

Imam Ali Zainal Abdin juga termasuk ulama yang gemar melakukan amar makruf nahi mungkar. Baik siang ataupun malam. Terkait ini, beliau pernah berkata, “Siapa saja yang meninggalkan amar makruf nahi mungkar, ia seperti melemparkan al-Quran ke balik punggungnya.” (Muhammad Uwaydhah, Fashl al-Khithaab, 1/709).

 

Teladan lain dari generasi salafush-shalih dalam hal kesungguhannya beribadah dan beramal shalih adalah Sayyid al-Musayyib rahimahulLaah. Beliau adalah salah seorang kibaar (tokoh) Taabi'iin. Beliau tak pernah putus shalat lima waktu berjamaah di masjid selama kurang-lebih dari 40 tahun. Selama kurang-lebih dari 40 tahun pula beliau tidak pernah putus menegakkan shalat malam, zikir dan membaca al-Quran. Bahkan saking jarangnya tidur malam kecuali sangat sebentar (karena banyak begadang untuk shalat malam, zikir dan membaca al-Quran), beliau sering shalat shubuh dengan wudhu yang sama yang digunakan untuk shalat isya sebelumnya (Abu Nu'aim, Hilyah al-Awliyaa', 2/162).

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 21 Ramadhan 1446 H – 21 Maret 2025 M : 09.24 WIB)

 


__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.