Oleh : Ahmad Sastra
Filsafat fenomenologi Edmund Husserl memiliki prinsip
dasar yang berfokus pada pengalaman subjektif dan bagaimana dunia itu muncul
dalam kesadaran tiap pribadi manusia. Fenomenologi berusaha untuk menggali
esensi atau inti dari pengalaman manusia dan memahami bagaimana manusia mengalami
dunia tanpa prasangka atau konsep yang sudah ada.
Prinsip pertama filsafat fenomenologi Husserl adalah
Zurück zu den Sachen selbst atau "kembali kepada hal-hal itu sendiri",
yang berarti bahwa kita harus memulai penyelidikan filosofis dengan pengalaman
langsung yang kita miliki, bukan dengan konsep atau teori yang sudah ada.
Husserl ingin agar filsafat fokus pada bagaimana fenomena atau objek-objek itu
muncul dalam kesadaran manusia, tanpa distorsi dari pandangan dunia atau teori
sebelumnya.
Filsafat fenomenologi juga menekankan pada intentionalitas
sebagai karakteristik dasar dari kesadaran manusia. Intentionalitas adalah
sifat kesadaran yang selalu "terarah" pada sesuatu. Artinya, setiap
pengalaman atau kesadaran manusia selalu berkaitan dengan objek atau fenomena
tertentu. Misalnya, ketika manusia berpikir tentang sebuah meja, kesadaran kita
"terarah" pada meja tersebut.
Salah satu teknik yang digunakan dalam fenomenologi
Husserl adalah reduksi fenomenologis (atau epoché), yang merupakan proses menangguhkan
atau mengabaikan segala asumsi, prasangka, dan keyakinan manusia tentang dunia
luar. Dengan mengesampingkan pandangan dunia dan teori sebelumnya, manusia bisa
mengalami objek atau fenomena sebagaimana adanya, dalam bentuknya yang murni.
Tujuan dari reduksi fenomenologis adalah untuk mengungkap esensi dari
pengalaman itu sendiri tanpa gangguan dari pengetahuan atau interpretasi
sebelumnya.
Filsafat fenomenologi juga mengenal apa yamg disebut
dengan istilah Esensialisme (Essences). Dengan melakukan reduksi fenomenologis,
manusia berusaha mengidentifikasi esensi atau struktur dasar dari pengalaman
subjektif, yaitu aspek-aspek yang tetap ada dalam pengalaman kita meskipun
bentuk atau perwujudannya bisa berbeda-beda. Sebagai contoh, meskipun berbagai
meja memiliki bentuk yang berbeda, esensi dari "meja" tetap ada dalam
pengalaman kita.
Dalam filsafat fenomenologi, kesadaran bukanlah
sesuatu yang pasif atau sekadar mencerminkan dunia luar, tetapi kesadaran
adalah aktif dan membentuk dunia yang setiap pribadi manusia alami. Ini berarti
bahwa dunia manusia selalu terbentuk melalui cara manusia mempersepsi dan
memberi makna terhadapnya. Dengan kata lain, manusia selalu terlibat dalam
"membangun" realitas kehidupan melalui kesadaran.
Fenomenologi juga menekankan pentingnya perspektif
subjektif dalam memahami pengalaman manusia. Setiap individu memiliki cara khas
dalam mengalaminya dan menafsirkannya berdasarkan latar belakang, sejarah, dan
konteks pribadi. Husserl berusaha untuk menggali bagaimana kesadaran individu
memberi makna kepada dunia melalui pengalaman subjektif ini.
Filsafat fenomenologi memperkenalkan konsep temporalitas
sebagai aspek penting dalam fenomenologi. Baginya, kesadaran manusia tidak
terpisah dari waktu. Pengalaman kita selalu berkaitan dengan waktu, dan kita
mengalami fenomena dalam rangkaian waktu, baik itu masa lalu, sekarang, atau
masa depan. Selain itu, Husserl juga menunjukkan bahwa manusia selalu berada
dalam dunia lahiriah yang terstruktur, dan dunia ini juga menjadi bagian dari
pengalaman kita.
Filsafat Immanuel Levinas banyak dipengaruhi oleh
fenomenologi dan teori etika. Salah satu kontribusi utama Levinas dalam
filsafat adalah pemikirannya tentang wajah (the face) dan etika sebagai
pertama-tama. Prinsip dasar dari pemikiran Levinas terutama berfokus pada
hubungan antara individu dengan orang lain, yang dimulai dengan pengalaman
"wajah lain" (the other’s face).
Salah satu prinsip fundamental dalam pemikiran Levinas
adalah bahwa etika harus menjadi dasar dari seluruh filsafat, yang ia sebut
sebagai "filsafat pertama". Bagi Levinas, etika bukanlah sekadar
cabang dari filsafat, tetapi merupakan fondasi utama dari segala pemikiran
filosofis lainnya. Etika bagi Levinas dimulai dari tanggung jawab kepada "yang
lain" (the Other), yaitu individu yang berbeda dengan diri setiap individu
manusia.
Levinas berpendapat bahwa perjumpaan dengan "yang
lain" adalah titik awal dari pemahaman moral manusia, dan tanggung jawab
kepada orang lain adalah aspek yang mendalam dan mendasar dari eksistensi manusia.
Bagi Levinas, etika tidak dapat ditunda atau dibatasi oleh teori-teori lainnya,
seperti estetika atau metafisika.
Konsep paling terkenal dalam filsafat Levinas adalah "wajah"
(the face). Levinas memandang wajah sebagai panggilan moral yang mendalam dan
tidak dapat dihindari. Dalam karya utamanya, Totality and Infinity,
Levinas menjelaskan bahwa pertemuan dengan wajah orang lain adalah pengalaman
yang memaksa manusia untuk bertanggung jawab kepada orang lain. Wajah orang lain
menghadap kita dengan cara yang menuntut, yang membebani manusia dengan
tanggung jawab yang tak terbantahkan. Dalam hal ini, wajah bukan sekadar
penampilan fisik, tetapi lebih merupakan simbol dari ketidakmampuan manusia
untuk mengelola atau mengontrol orang lain.
Wajah itu mengungkapkan kerentanannya dan dengan
demikian memanggil manusia untuk berbuat baik, menghormati, dan memperhatikan
kebutuhan orang lain. Wajah adalah "panggilan yang tidak terelakkan"
untuk bertindak etis, yang menginginkan kita untuk bertanggung jawab terhadap
orang lain.
Bagi Levinas, hubungan dengan "yang lain"
dimulai dengan tanggung jawab yang tak terbatas. Tanggung jawab ini muncul
tanpa syarat atau batasan, dan tidak bergantung pada kemampuan kita untuk membalas
kebaikan. Kita tidak memiliki pilihan selain merespons panggilan yang datang
dari wajah orang lain. Ini berbeda dengan prinsip utilitarian atau
kontraktualis yang sering mendasarkan kewajiban moral pada keuntungan atau
perjanjian.
Levinas menggambarkan tanggung jawab ini sebagai "tanggung
jawab tanpa batas", karena manusia tidak dapat menghitung atau mengukur
apa yang harus kita lakukan dalam hubungan kita dengan orang lain. Tanggung
jawab itu datang pertama kali, tanpa prasyarat atau pertimbangan sebelumnya,
dan berlanjut tanpa akhir.
Levinas menekankan bahwa "yang lain" (the
Other) bukanlah bagian dari diri manusia, tetapi merupakan entitas yang
sepenuhnya terpisah dan berbeda. "Yang lain" adalah individu yang keterasingannya
harus diterima dan dihargai. Dalam pandangan Levinas, individu tidak dapat
sepenuhnya memahami atau menguasai orang lain karena mereka tetap berada dalam
keberbedaan mereka. Dalam hubungan ini, manusia tidak seharusnya mencoba untuk
menjadikan orang lain sebagai bagian dari "dirinya" atau mengubahnya
menjadi objek, tetapi harus menghargai keberbedaan dan kemandirian orang lain.
Levinas berpendapat bahwa banyak sistem filosofis atau
politik cenderung mengurung atau mendominasi "yang lain" dalam sebuah
totalitas yang dapat dipahami dan dikendalikan. Dalam filsafat Levinas, ini
disebut sebagai totalitas. Sebaliknya, pengalaman menghadapi "wajah
lain" adalah pengalaman yang menembus totalitas dan membawa setiap
individu manusia pada infinity (yang tak terhingga), yaitu kenyataan bahwa
manusia tidak akan pernah bisa sepenuhnya mengetahui atau menguasai "yang
lain". Individu manusia terlibat dengan orang lain dalam relasi yang tak
terhingga, yang tidak bisa diprediksi atau diselesaikan.
Bagi Levinas, Tuhan hadir dalam hubungan individu
dengan orang lain. Tuhan tidak langsung terlibat dalam pengalaman pribadi,
tetapi hadir dalam tanggung jawab individu terhadap "yang lain".
Dalam konteks ini, Levinas menganggap bahwa etika yang muncul dari respons
terhadap wajah orang lain adalah cara manusia menghubungkan dirinya dengan
Tuhan. Dengan bertanggung jawab terhadap orang lain, kita juga membuka diri
terhadap kehadiran ilahi.
Dalam pandangan Islam, hubungan antara manusia dengan
orang lain sangat ditekankan dan dijaga dengan prinsip-prinsip moral dan etika
yang tinggi. Islam mengajarkan pentingnya saling menghormati, tolong-menolong,
dan berbuat baik kepada sesama, serta menjaga hak-hak individu dalam
masyarakat. Momentum Ramadhan dengan kondisi fisik yang lapar adalah waktu yang
sangat baik untuk lebih meningkatkan kesadaran diri kaitannya dengan orang
lain.
Salah satu konsep utama dalam hubungan manusia dengan
orang lain adalah ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan seiman. Islam mengajarkan
bahwa semua umat Muslim adalah saudara, yang harus saling mendukung dan
membantu. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: "Sesungguhnya orang-orang
mukmin itu bersaudara..." (QS. Al-Hujurat: 10). Persaudaraan ini
menekankan pada pentingnya solidaritas, kesatuan, dan kerja sama dalam
masyarakat Muslim. Setiap Muslim memiliki kewajiban untuk menjaga keharmonisan,
berbagi kesulitan, dan bekerja bersama untuk kebaikan umat.
Islam sangat menekankan pentingnya tolong-menolong
dalam hal-hal yang baik dan sesuai dengan prinsip takwa (ketakwaan kepada
Allah). Hal ini tercermin dalam banyak ayat Al-Qur'an dan hadis. Misalnya,
dalam Al-Qur'an Allah berfirman: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam
kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan
permusuhan..." (QS. Al-Ma'idah: 2). Prinsip ini menunjukkan bahwa umat
Islam diharapkan untuk saling membantu dalam hal-hal positif, baik dalam
kehidupan sosial, pendidikan, ekonomi, maupun amal.
Islam mengajarkan bahwa setiap individu memiliki hak
dan kewajiban terhadap orang lain. Ini mencakup hak-hak yang lebih besar
seperti hak orang tua, hak anak, hak tetangga, hak pasangan, hak saudara
seiman, dan hak umat manusia secara umum.
Islam mengajarkan untuk menghormati, mengasihi, dan
berbakti kepada orang tua. Allah berfirman dalam Al-Qur'an: "Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya; ibunya
telah mengandungnya dengan susah payah yang bertambah-tambah..." (QS.
Luqman: 14)
Islam mengajarkan pentingnya hubungan suami istri yang
saling mengasihi, menghormati, dan memenuhi hak-hak satu sama lain. Dalam
Al-Qur'an Allah berfirman: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah
Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa
kasih dan sayang..." (QS. Ar-Rum: 21)
Islam juga mengajarkan untuk menjaga hubungan yang
baik dengan tetangga. Rasulullah SAW bersabda: "Jibril terus-menerus
berwasiat kepadaku tentang tetangga sehingga aku menyangka bahwa tetangga akan
mewarisi (harta) seseorang." (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam mengajarkan bahwa setiap orang memiliki hak
untuk diperlakukan dengan adil dan baik, tidak peduli agama atau rasnya.
Rasulullah SAW dalam khotbah terakhirnya di Arafah mengatakan: "Wahai umat
manusia, sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram bagi kalian,
sebagaimana haramnya hari ini, bulan ini, dan negeri ini. Ingatlah bahwa kalian
akan bertemu dengan Tuhan kalian, dan Dia akan menanyakan kepada kalian tentang
amal perbuatan kalian." (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam sangat menekankan pentingnya saling menghormati
dan menghargai orang lain, baik yang seiman maupun yang bukan. Rasulullah SAW
bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian hingga ia
mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri." (HR.
Bukhari dan Muslim). Ini berarti bahwa setiap Muslim seharusnya memperlakukan
orang lain dengan penuh rasa hormat dan keadilan, serta menghindari sikap
merendahkan atau mendzolimi orang lain.
Islam sangat memperingatkan tentang bahaya fitnah,
ghibah (menggunjing), dan dusta dalam hubungan antar manusia. Rasulullah SAW
bersabda: "Janganlah kalian saling ghibah. Apakah salah seorang di antara
kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentunya kalian merasa
jijik. Maka takutlah kalian kepada Allah." (QS. Al-Hujurat: 12). Oleh
karena itu, menjaga lisan dan tindakan agar tidak merugikan orang lain sangat
ditekankan dalam Islam. Menghindari fitnah, ghibah, dan dusta merupakan bagian
dari etika yang harus dijaga dalam hubungan sosial.
Islam mengajarkan untuk selalu saling memaafkan dan
menjaga kedamaian dalam hubungan antar sesama. Dalam Al-Qur'an, Allah
berfirman: "Dan jika kamu memaafkan, dan kamu menghindari (perbuatan yang
tidak baik), dan kamu memberi maaf, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (QS. Al-Imran: 134). Rasulullah SAW juga mencontohkan
sikap pemaaf dalam kehidupan sehari-hari, dan mendorong umatnya untuk saling
memaafkan kesalahan orang lain demi menjaga keharmonisan.
Islam mengajarkan bahwa kebaikan harus dilakukan tidak
hanya kepada sesama Muslim, tetapi juga kepada orang non-Muslim, terutama yang
tidak mengganggu atau menyakiti umat Islam. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: "Allah
tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian dari kampung
halaman kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil." (QS. Al-Mumtahanah: 8). Ini mengajarkan bahwa hubungan baik dan
saling menghormati harus dijaga dengan semua pihak, tanpa memandang perbedaan
agama atau keyakinan.
8Islam menekankan prinsip keadilan dalam segala bentuk
hubungan manusia, baik itu dalam keluarga, masyarakat, maupun negara. Dalam
Al-Qur'an, Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku
adil, berbuat kebajikan, dan memberi bantuan kepada kerabat..." (QS.
An-Nahl: 90). Keadilan mencakup pembagian hak dan kewajiban secara
proporsional, serta menegakkan hak-hak orang lain tanpa diskriminasi.
Mempelajari filsafat fenomenologi Edmund Husserl dan
filosofi wajah lain Immanuel Levinas boleh-boleh saja. Namun secara normatif,
Islam jauh lebih sempurna terkait konsep kesadaran diri dan kaitannya dengan
realitas kehidupan di luar dirinya. Hubungan manusia dengan orang lain dalam
Islam dilandasi oleh prinsip-prinsip kasih sayang, tolong-menolong, keadilan,
dan penghormatan terhadap hak-hak individu.
Islam mendorong umatnya untuk menjaga hubungan yang
baik dengan sesama, baik yang seiman maupun yang berbeda agama, dan menghindari
perbuatan yang merugikan orang lain seperti ghibah, fitnah, dan kebencian.
Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk menciptakan kedamaian, keharmonisan, dan
kesejahteraan dalam kehidupan sosial. Inilah kesempurnaan konsep Islam. nah,
bulan Ramadhan adalah bulan yang baik untuk merenungkan kembali keberadaan kita
di dunia ini, sudah sejauh mana memiliki peran sosial.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 04 Ramadhan 1446 H – 04 Maret
2025 M : 08.38 WIB)