Oleh : Ahmad Sastra
Paham modernisme adalah sebuah aliran atau gerakan
budaya, seni, dan pemikiran yang muncul pada akhir abad ke-19 hingga awal abad
ke-20. Gerakan ini berusaha untuk merespons perubahan sosial, politik, dan
teknologi yang cepat pada masa itu. Modernisme menolak tradisi dan nilai-nilai
lama, serta mencoba mencari bentuk ekspresi baru yang lebih sesuai dengan zaman
modern.
Dalam seni dan sastra, modernisme sering ditandai
dengan eksperimen bentuk, penekanan pada subjektivitas, serta perasaan alienasi
atau ketidakpastian. Ini juga berfokus pada penyelidikan tentang realitas dan
persepsi manusia, seringkali mengabaikan narasi tradisional atau struktur yang
mudah dipahami.
Beberapa ciri khas modernisme meliputi: Pertama, Eksperimen
bentuk. Penggunaan bentuk baru dalam sastra, seni, dan arsitektur yang jauh
dari konvensi klasik. Kedua, Kritik terhadap tradisi. Penolakan terhadap
norma-norma budaya dan sosial lama.
Ketiga, Individualisme. Penekanan pada perspektif
pribadi dan pengalaman subjektif. Keempat, Kehilangan makna atau alienasi. Banyak
karya modernis menggambarkan perasaan keterasingan, ketidakpastian, atau krisis
identitas. Kelima, Pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi. Modernisme sering
kali berhubungan dengan kemajuan teknologi dan penemuan ilmiah yang
mempengaruhi cara orang berpikir tentang dunia.
Sejarah lahirnya paham modernisme dapat ditelusuri
melalui beberapa peristiwa dan perubahan besar yang terjadi di akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20. Modernisme bukanlah sebuah gerakan yang muncul secara
tiba-tiba, melainkan sebagai reaksi terhadap berbagai perubahan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya yang terjadi pada masa itu.
Revolusi Industri yang dimulai pada akhir abad ke-18
di Inggris menyebabkan perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk
cara kerja, ekonomi, dan teknologi. Dengan adanya mesin, produksi massal, dan
urbanisasi, cara hidup tradisional mulai tergantikan oleh cara-cara baru yang
lebih mekanis dan efisien.
Perubahan ini menciptakan ketidakpastian dan
ketegangan sosial, yang memicu kebutuhan untuk suatu bentuk ekspresi budaya
baru yang lebih sesuai dengan dunia modern.
Pada abad ke-19 dan ke-20, penemuan-penemuan besar
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (seperti teori relativitas oleh Albert
Einstein, teori evolusi oleh Charles Darwin, serta kemajuan dalam psikologi
oleh Sigmund Freud) memberikan pandangan baru tentang dunia dan manusia.
Pemikiran rasional dan ilmiah mengguncang pandangan
dunia tradisional yang didominasi oleh agama dan metafisika. Hal ini memicu
pencarian bentuk ekspresi seni dan sastra yang lebih cocok dengan pemikiran
rasional dan pemahaman baru tentang realitas.
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terjadi
perubahan sosial dan politik yang signifikan. Revolusi sosial, pergerakan kelas
pekerja, serta munculnya ideologi-ideologi baru seperti Marxisme dan
sosialisme, mengubah dinamika kekuasaan dan hubungan sosial.
Perang Dunia I, yang terjadi pada 1914-1918, juga
memengaruhi pemikiran budaya dan seni, karena perang besar ini meninggalkan
bekas luka sosial, psikologis, dan politik yang mendalam. Banyak seniman dan
penulis merasa dunia lama (yang dianggap stabil) telah runtuh, sehingga mereka
merasa perlu untuk mencari bentuk ekspresi yang lebih sesuai dengan realitas
yang berubah ini.
Modernisme muncul sebagai reaksi terhadap gerakan seni
dan sastra sebelumnya, yaitu Romantisisme dan Realisme. Romantisisme menekankan
ekspresi emosi dan imajinasi individu, sementara Realisme berfokus pada
penggambaran dunia secara objektif dan faktual.
Meskipun kedua gerakan ini memberikan kontribusi
penting terhadap perkembangan seni dan sastra, modernisme berusaha untuk
menanggalkan cara-cara lama tersebut dan mencari cara-cara baru yang lebih
radikal dan inovatif.
Pada awal abad ke-20, seniman dan penulis mulai mengeksplorasi
bentuk-bentuk baru dalam karya mereka. Mereka menolak konvensi artistik yang
sudah mapan, seperti narasi linear dan struktur yang jelas.
Dalam sastra, misalnya, teknik seperti aliran
kesadaran (stream of consciousness) yang digunakan oleh James Joyce dan
Virginia Woolf, serta karya-karya yang mempermainkan bahasa dan bentuk, seperti
puisi bebas dan ekspresionisme, mulai dikenal. Di dunia seni, seniman seperti
Pablo Picasso, Henri Matisse, dan Wassily Kandinsky mulai menggali bentuk
abstrak dan non-representasional.
Filsuf-filsuf seperti Friedrich Nietzsche, Martin
Heidegger, dan Jean-Paul Sartre mengajukan pandangan yang menantang terhadap
pemahaman tradisional tentang kebenaran, moralitas, dan eksistensi manusia.
Selain itu, pemikiran Sigmund Freud tentang alam bawah
sadar juga memberikan dampak besar terhadap seni dan sastra. Freud
memperkenalkan gagasan bahwa kehidupan manusia dipengaruhi oleh kekuatan bawah
sadar yang tidak sepenuhnya dapat dipahami, yang menjadi tema eksplorasi dalam
banyak karya seni modernis.
Perang Dunia I (1914-1918) memiliki dampak besar pada
perkembangan paham modernisme. Kehancuran yang ditimbulkan oleh perang, serta
trauma dan alienasi yang dialami oleh banyak orang, mengubah pandangan tentang
kemajuan dan peradaban.
Banyak seniman dan penulis merasa bahwa nilai-nilai
lama yang mengarah pada peradaban yang rusak harus digantikan dengan bentuk
ekspresi baru yang lebih sesuai dengan kenyataan pahit pasca-perang.
Apa kritik Ahmad Sastra terhadap paham modernism, ChatGPT said : Dr. Ahmad Sastra, seorang
pemikir dan intelektual Islam, memberikan kritik terhadap paham modernisme,
khususnya dari perspektif Islam. Kritik ini muncul sebagai respons terhadap apa
yang dianggapnya sebagai pengaruh negatif dari modernisme terhadap nilai-nilai
tradisional dan spiritual dalam masyarakat Islam.
Dr. Ahmad Sastra mengkritik modernisme karena dianggap
telah menyebabkan pencarian identitas yang terasing dari nilai-nilai keislaman
yang sudah ada. Modernisme, menurutnya, cenderung menekankan rasionalitas dan
individualisme, yang bisa mengarah pada perasaan keterasingan dari nilai-nilai
agama dan tradisi yang lebih kolektif dalam masyarakat Islam.
Ia berpendapat bahwa dalam mencari kemajuan dan
modernitas, banyak masyarakat Islam yang kehilangan orientasi spiritual dan
nilai-nilai agama yang mendalam, yang seharusnya menjadi landasan hidup.
Modernisme sering kali mengutamakan rasionalisme,
logika, dan ilmu pengetahuan sebagai alat utama untuk memahami dunia. Dr. Ahmad
Sastra berpendapat bahwa ini mengabaikan aspek spiritualitas yang sangat
penting dalam ajaran Islam. Dalam pandangannya, pemisahan antara dunia materi
dan spiritual, yang terjadi dalam paham modernisme, tidak dapat diterima dalam
Islam, di mana keduanya seharusnya saling terintegrasi.
Islam mengajarkan bahwa pemahaman tentang dunia harus
mencakup dimensi spiritual, dan pendekatan ilmiah atau rasional tidak bisa
sepenuhnya menjelaskan makna kehidupan.
Dr. Ahmad Sastra juga mengkritik modernisme atas
dampaknya terhadap moral dan etika dalam masyarakat. Modernisme sering
dikaitkan dengan liberalisme dan sekularisme, yang menekankan kebebasan
individu tanpa batas, sering kali mengabaikan nilai-nilai moral dan etika yang
mendalam.
Dalam Islam, moralitas sangat penting dan terikat
dengan hukum syariah, yang memberikan pedoman hidup bagi umat Islam. Menurut
Dr. Ahmad Sastra, modernisme sering kali membawa masyarakat ke arah relativisme
moral, yang pada gilirannya bisa mengarah pada hilangnya pegangan moral dan
etika yang jelas.
Kritik lainnya yang disampaikan oleh Dr. Ahmad Sastra
adalah bahwa modernisme sering kali mengabaikan dan meremehkan warisan
kebudayaan Islam. Modernisme cenderung menilai tradisi dan kebudayaan lama
sebagai usang atau tidak relevan dengan kemajuan zaman.
Dalam perspektif Islam, tradisi dan kebudayaan yang
dibangun berdasarkan ajaran agama seharusnya tetap dihargai dan dilestarikan.
Dr. Ahmad Sastra menekankan bahwa Islam tidak mengajarkan untuk menanggalkan
tradisi, tetapi untuk mengembangkan dan memperbaharui tradisi tersebut sesuai
dengan perkembangan zaman, tanpa kehilangan esensinya.
Salah satu kritik utama Dr. Ahmad Sastra terhadap
modernisme adalah kecenderungannya untuk memisahkan agama dari kehidupan
sehari-hari, yang sering muncul dalam bentuk sekularisme. Dalam pandangannya,
sekularisme dapat mengarah pada pemisahan antara agama dan negara, serta
menjadikan agama hanya urusan pribadi, bukan bagian dari kehidupan publik.
Ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menganggap
agama sebagai pedoman hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan, baik pribadi
maupun sosial. Menurut Dr. Ahmad Sastra, pemisahan ini dapat mengancam keutuhan
moral dan spiritual masyarakat.
Meskipun mengkritik banyak aspek modernisme, Dr. Ahmad
Sastra juga menyadari bahwa ada beberapa elemen positif dalam perkembangan
modernisme, seperti kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat
dimanfaatkan untuk kebaikan umat manusia. Namun, ia menekankan bahwa modernisme
harus dihadapi dengan kehati-hatian, dan harus dipertimbangkan secara kritis
agar tidak merusak fondasi agama dan moralitas Islam.
Kritik Dr. Ahmad Sastra terhadap paham modernisme
berfokus pada bagaimana modernisme, dengan penekanannya pada rasionalisme,
individualisme, dan sekularisme, dapat mengancam nilai-nilai tradisional dan
spiritual dalam masyarakat Islam. Ia berpendapat bahwa modernisme sering kali
menyebabkan umat Islam teralienasi dari identitas agama dan mengabaikan
pentingnya dimensi spiritual dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, menurut Dr. Ahmad Sastra, modernisme
harus dilihat secara kritis dan disesuaikan dengan nilai-nilai Islam yang tetap
mengutamakan keseimbangan antara kemajuan duniawi dan kehidupan spiritual.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 30 Ramadhan 1446 H – 30 Maret
2025 M : 19.16 WIB)