Oleh : Ahmad Sastra
Secara sederhana, humanisme adalah pemikiran
filsafat yang sangat menghargai kapasitas manusia dalam mengukur dan menentukan
konsep kebenaran, kebaikan, dan keindahan dalam hidup ini. Jika ditarik jauh ke
belakang, benih pemikiran ini sudah dirintis sejak Socrates (399 SM).
Paham humanisme adalah suatu pandangan atau filosofi
yang menekankan pentingnya martabat dan kebebasan individu, serta nilai-nilai
kemanusiaan yang universal. Humanisme sering dianggap sebagai aliran pemikiran
yang berfokus pada pengembangan potensi manusia, baik secara intelektual,
moral, maupun sosial, dengan mengutamakan rasio, kebebasan, dan kebaikan
bersama.
Pada dasarnya, humanisme menempatkan manusia sebagai
pusat atau titik tolak dari segala hal, mengutamakan kebahagiaan dan
kesejahteraan manusia sebagai tujuan utama. Paham ini sering dikaitkan dengan
penerapan rasionalitas dan ilmu pengetahuan untuk memperbaiki kualitas hidup
manusia, serta menentang dogma-dogma yang membatasi kebebasan berpikir dan
bertindak.
Humanisme berkembang pesat pada zaman Renaisans, di
mana para pemikir mulai menolak pandangan yang terlalu menekankan otoritas
agama dan lebih mengedepankan pemikiran kritis dan independen. Dalam konteks
modern, humanisme sering dikaitkan dengan nilai-nilai sekuler dan pengakuan
terhadap hak asasi manusia.
Humanisme dapat ditelusuri kembali ke zaman Klasik,
yakni peradaban Yunani dan Romawi kuno. Pada masa ini, terdapat penekanan pada
pentingnya rasio, kebebasan berpikir, dan pengembangan potensi manusia. Filosofi
Yunani kuno, khususnya dari pemikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles,
menekankan pentingnya pencarian pengetahuan, etika, dan kebijaksanaan manusia.
Namun, paham humanisme modern yang kita kenal lebih jelas terbentuk pada masa
Renaisans.
Humanisme sebagai paham filosofis muncul dengan kuat
pada Renaisans, yang menandai kebangkitan minat terhadap budaya klasik dan
peningkatan penggunaan rasionalitas dalam pemikiran. Selama periode ini,
terjadi peralihan besar dari abad-abad pertengahan yang didominasi oleh dogma
agama dan otoritas Gereja, menuju pemikiran yang lebih bebas dan terbuka
terhadap pengetahuan yang bersifat sekuler.
Humanis Renaisans tertarik pada literatur, seni, dan
filsafat Yunani dan Romawi kuno. Mereka menganggap bahwa budaya kuno memiliki
nilai-nilai luhur yang bisa diadopsi dan diterapkan dalam kehidupan modern.
Humanisme menempatkan manusia sebagai pusat dari
segala pemikiran, dan menekankan pentingnya pengembangan diri dan pencarian
kebahagiaan melalui pendidikan dan kebudayaan. Ini berbeda dengan pandangan
abad pertengahan yang lebih fokus pada kehidupan setelah mati dan ketaatan
kepada agama.
Beberapa tokoh utama yang berperan dalam pengembangan
paham humanisme antara lain : Pertama, Petrarch (1304–1374). Sering
dianggap sebagai "Bapak Humanisme". Ia mempopulerkan minat terhadap
literatur klasik, khususnya karya-karya dari zaman Romawi kuno, dan menekankan
pentingnya studi terhadap bahasa Latin dan karya-karya sastra klasik.
Kedua, Giovanni Boccaccio (1313–1375). Seorang penulis
dan humanis yang menulis karya terkenal Decameron, yang menunjukkan
fokus pada pengalaman manusia dan kebebasan individu.
Ketiga, Desiderius Erasmus (1466–1536). Seorang
humanis Renaisans yang menulis banyak karya mengenai pendidikan, moralitas, dan
kritik terhadap gereja. Karya-karyanya, seperti In Praise of Folly,
menyoroti pentingnya rasionalitas dan pengembangan diri manusia.
Keempat, Niccolò Machiavelli (1469–1527). Salah
satu tokoh humanisme yang terkenal, terutama karena karya-karyanya seperti The
Prince, yang membahas politik dan kekuasaan dengan cara yang pragmatis dan
realistis, berbeda dengan pandangan idealistik zaman sebelumnya.
Humanisme Renaisans juga membawa pergeseran pemikiran
dari dominasi gereja dan agama yang ketat pada Abad Pertengahan. Pemikiran
manusia lebih diarahkan untuk memahami dunia melalui rasio dan ilmu pengetahuan,
ketimbang mengandalkan wahyu atau ajaran agama sebagai satu-satunya kebenaran.
Pada abad-abad setelah Renaisans, humanisme berkembang
menjadi lebih sekuler, di mana fokusnya lebih pada pencapaian kebahagiaan dan
kesejahteraan manusia di dunia ini, daripada persiapan untuk kehidupan setelah
mati. Aliran ini berfokus pada hak-hak individu, kebebasan berpendapat, dan
kemajuan sosial serta ilmiah.
Pada abad ke-18 dan ke-19, paham humanisme semakin
berkembang dengan munculnya gerakan Pencerahan (Enlightenment), yang menekankan
pentingnya rasionalitas, kebebasan, dan hak asasi manusia. Pemikir-pemikir
seperti Voltaire, Jean-Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant berperan penting
dalam menyebarkan ide-ide humanisme modern yang lebih terpisah dari doktrin
agama dan lebih mendalam mengenai hak dan kebebasan individu.
Apa kritik doktor ahmad sastra terhadap paham humanism,
ChatGPT said: Doktor Ahmad Sastra adalah seorang pemikir dan akademisi
Indonesia yang sering memberikan kritik terhadap berbagai paham atau ideologi,
termasuk paham humanisme. Namun, kritik-kritiknya lebih mengarah pada humanisme
sekuler, yang mengutamakan rasionalitas dan kebebasan individu, serta
mengurangi peran agama dalam kehidupan manusia.
Ahmad Sastra mengkritik paham humanisme yang bersifat
sekuler karena lebih menekankan dimensi rasional dan materi daripada aspek spiritual
dan agama. Dalam pandangannya, manusia tidak hanya harus dipandang dari sisi
rasionalitas dan kebebasan individu, tetapi juga perlu diperhitungkan dimensi
rohani yang menjadi bagian penting dari esensi kemanusiaan.
Bagi Ahmad Sastra, manusia adalah makhluk yang
memiliki hubungan dengan Tuhan dan alam semesta, dan bahwa manusia seharusnya
tidak hanya berfokus pada pencapaian kebahagiaan duniawi, tetapi juga pada kesejahteraan
spiritual yang lebih mendalam. Humanisme yang menolak dimensi agama dan
kepercayaan spiritual dianggap kurang memadai dalam mengakomodasi keseluruhan
potensi dan tujuan manusia.
Humanisme sekuler, menurut Ahmad Sastra, bisa
memunculkan relativisme moral, di mana kebenaran dan nilai-nilai moral hanya
bersifat subjektif dan tergantung pada pandangan individu. Dalam pandangan ini,
tidak ada standar moral yang tetap atau absolut, yang bisa berisiko menyebabkan
kebingungan moral dan bahkan kehancuran dalam tatanan sosial.
Ahmad Sastra sering menunjukkan bahwa tanpa adanya
prinsip moral yang jelas, yang mungkin didasarkan pada wahyu agama, masyarakat
bisa kehilangan arah dalam menentukan kebaikan dan keadilan. Ia percaya bahwa
manusia membutuhkan pedoman moral yang lebih dari sekadar rasionalitas dan
kesepakatan sosial.
Kritik lain yang diajukan oleh Ahmad Sastra adalah
bahwa humanisme seringkali memupuk individualisme berlebihan, yang dapat
mengarah pada egosentrisme atau pengabaian terhadap kepentingan kolektif.
Dengan menempatkan kebebasan individu sebagai nilai utama, manusia mungkin
lebih cenderung mengejar kepentingan pribadi tanpa mempertimbangkan dampak
sosialnya
Ahmad Sastra melihat paham humanisme cenderung
menempatkan manusia sebagai pusat dari segala hal, mengutamakan rasio dan
kebebasan individual tanpa mempertimbangkan dimensi spiritual dan moral. Dalam
pandangannya, hal ini dapat menciptakan budaya yang materialistik dan
mengabaikan aspek religius atau spiritual yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Hal ini bisa berpotensi menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan,
karena manusia hanya akan dipahami dari sudut pandang rasional dan fisik saja.
Kritik lainnya adalah bahwa humanisme sering kali
bertentangan dengan nilai-nilai tradisional dan religius yang mengajarkan
pentingnya harmoni antara manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama. Bagi Ahmad
Sastra, pandangan humanistik yang terlalu menekankan pada kemandirian manusia
bisa mengarah pada pandangan yang egoistik, dimana manusia merasa tidak perlu
bergantung pada nilai-nilai yang lebih tinggi selain dirinya sendiri.
Dalam pemikiran Ahmad Sastra, humanisme yang berfokus
pada individu dan kebebasan pribadi, cenderung mengabaikan nilai-nilai kolektif
dan pentingnya kerja sama dalam masyarakat. Pandangan ini bisa memunculkan
sikap individualistik yang merusak jalinan sosial dan solidaritas yang
seharusnya ada dalam kehidupan berkomunitas.
Kritik lainnya yang sering disampaikan Ahmad Sastra
adalah bahwa humanisme cenderung menolak atau mengabaikan keyakinan terhadap
kehidupan setelah mati, yang merupakan dimensi penting dalam banyak tradisi
agama. Pandangan yang sangat rasional dalam humanisme, menurutnya, bisa membawa
manusia ke arah sekularisme, yang mengabaikan dimensi transenden dan mempersempit
pandangan manusia terhadap eksistensi yang lebih luas.
Secara keseluruhan, Dr. Ahmad Sastra mengkritik
humanisme karena ia merasa paham ini seringkali mengarah pada sekularisme dan
materialisme yang menyingkirkan dimensi spiritual, moral, dan sosial yang
sangat penting dalam membentuk manusia seutuhnya. Humanisme justru akan
menjerumuskan kepada kemanusiaan yang tidak manusiawi.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 28 Ramadhan 1446 H – 28 Maret
2025 M : 20.30 WIB)