Oleh : Ahmad Sastra
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah
hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali
sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di
antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya
Allah sangat cepat hisab-Nya (QS Ali Imran : 19)
Demokrasi adalah bentuk sistem pemerintahan di mana
kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Dalam sistem ini, rakyat memiliki
hak untuk memilih pemimpin dan membuat keputusan politik, baik secara langsung
melalui pemungutan suara (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan yang
mereka pilih (demokrasi perwakilan).
Prinsip dasar dari demokrasi mencakup kebebasan
berbicara, hak asasi manusia, kesetaraan di depan hukum, dan partisipasi aktif
warga negara dalam proses pengambilan keputusan. Secara umum, demokrasi
bertujuan untuk memastikan bahwa pemerintah bekerja untuk kepentingan rakyat,
bukan sebaliknya, dan bahwa setiap individu memiliki suara dalam menentukan
arah kebijakan negara.
Demokrasi pertama kali berkembang di kota Athena,
Yunani, sekitar abad ke-5 SM. Di bawah kepemimpinan Pericles, Athena menerapkan
sistem demokrasi langsung di mana warga negara (pria bebas yang telah dewasa)
bisa langsung ikut serta dalam pengambilan keputusan di eklesia (majelis
rakyat).
Meskipun ini masih terbatas pada kelompok tertentu,
seperti tidak termasuk perempuan, budak, dan orang asing, ini merupakan langkah
awal bagi sistem pemerintahan yang lebih inklusif di kemudian hari.
Di Romawi, sistem pemerintahan yang lebih berbasis
pada perwakilan mulai muncul. Meskipun republik Romawi juga melibatkan
elemen-elemen demokrasi (seperti pemilihan magistrat dan konsul), hak politik
lebih terbatas dan hanya diberikan kepada warga negara Romawi yang memiliki
status tertentu.
Setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi, sistem monarki
mutlak lebih dominan di Eropa, di mana raja-raja memegang kekuasaan absolut.
Namun, selama Abad Pertengahan dan Renaisans, muncul gagasan-gagasan baru
mengenai hak individu dan pemerintahan yang lebih adil. Tokoh-tokoh seperti
John Locke dan Montesquieu mengembangkan ide-ide mengenai kebebasan individu
dan pembagian kekuasaan.
Revolusi Prancis (1789) dan Revolusi Amerika (1776)
menandai titik balik dalam sejarah demokrasi modern. Penciptaan Konstitusi
Amerika Serikat pada 1787 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara di
Prancis (1789) memberikan dasar hukum untuk pemerintahan yang berbasis pada
prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan pemerintahan yang dipilih
oleh rakyat.
Seiring berjalannya waktu, demokrasi berkembang di
banyak negara di seluruh dunia, meskipun ada tantangan seperti kolonialisme dan
kediktatoran yang mempengaruhi perkembangan demokrasi. Dalam abad ke-20,
setelah Perang Dunia II, banyak negara merdeka yang mengadopsi sistem demokrasi
sebagai bagian dari proses pembangunan negara yang lebih adil dan setara.
Demokrasi memiliki beberapa prinsip dasar yang
menjadikannya sistem pemerintahan yang adil dan berkeadilan. Pertama, Kedaulatan
Rakyat. Prinsip ini mengandung makna bahwa kekuasaan tertinggi ada di
tangan rakyat. Rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka dan menentukan
arah kebijakan negara melalui pemilihan umum yang bebas dan adil.
Kedua, Kesetaraan. Setiap warga negara, tanpa
memandang ras, agama, jenis kelamin, atau status sosial, memiliki hak yang sama
di hadapan hukum dan dalam proses pengambilan keputusan politik. ketiga, Hak
Asasi Manusia. Demokrasi menjunjung tinggi hak asasi manusia, seperti
kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul, kebebasan beragama, dan hak untuk
mendapatkan keadilan.
Keempat, Pemilu yang Bebas dan Adil. Pemilihan
umum adalah sarana utama bagi rakyat untuk memilih pemimpin mereka. Pemilu
harus dilaksanakan secara bebas, adil, dan transparan tanpa ada tekanan atau
kecurangan. Kelima, Pemisahan Kekuasaan. Untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan,
demokrasi menekankan pemisahan kekuasaan antara eksekutif (pemerintah),
legislatif (parlemen), dan yudikatif (pengadilan). Hal ini untuk memastikan
agar tidak ada lembaga yang memiliki kekuasaan yang terlalu besar.
Keenam, Kebebasan Berpendapat dan Media. Dalam
demokrasi, kebebasan untuk menyampaikan pendapat tanpa rasa takut akan
pembalasan adalah hak fundamental. Media juga berperan penting dalam menjaga
transparansi pemerintah dan memberikan informasi yang akurat kepada rakyat.
Ketujuh, Perlindungan Terhadap Minoritas. Demokrasi
tidak hanya memperhatikan suara mayoritas, tetapi juga memberikan perlindungan
terhadap hak-hak kelompok minoritas agar mereka tidak ditindas oleh mayoritas.
Kedelapan, Akuntabilitas dan Transparansi. Pemerintah
harus bertanggung jawab kepada rakyat atas keputusan dan kebijakan yang
diambil. Transparansi dalam pengambilan keputusan publik dan penggunaan sumber
daya negara sangat penting dalam demokrasi.
Dengan prinsip-prinsip ini, demokrasi bertujuan
menciptakan pemerintahan yang adil dan melibatkan partisipasi aktif warga
negara dalam kehidupan politik.
Apa kritik doktor ahmad sastra terhadap demokrasi, ChatGPT
said: Dr. Ahmad Sastra, seorang tokoh intelektual dan ahli filsafat politik
Indonesia, memberikan kritik terhadap konsep demokrasi, khususnya dalam konteks
penerapannya di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia.
Ahmad Sastra mengkritik bahwa demokrasi, khususnya
dalam bentuk liberal yang sering diterapkan di negara-negara berkembang, tidak
selalu sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan sejarah suatu bangsa. Di
Indonesia, misalnya, demokrasi sering kali dipaksakan tanpa mempertimbangkan
budaya kolektivisme dan nilai-nilai gotong royong yang lebih dominan dalam
masyarakat.
Demokrasi yang mengutamakan individualisme, seperti
yang sering ditemukan dalam sistem liberal, bisa bertentangan dengan
nilai-nilai lokal yang lebih menekankan pada keharmonisan dan kebersamaan.
Kritik lainnya adalah bahwa demokrasi seringkali hanya
dipahami sebagai prosedur pemilihan umum dan pengakuan hak-hak politik formal,
tanpa memperhatikan substansi pemerintahan yang adil dan kesejahteraan rakyat.
Menurut Ahmad Sastra, jika demokrasi hanya dilihat sebagai mekanisme pemilu
yang berlangsung setiap lima tahun, tanpa adanya perbaikan dalam kualitas
kehidupan politik, ekonomi, dan sosial masyarakat.
Dengan demikian, demokrasi akan kehilangan esensinya.
Demokrasi yang hanya mengandalkan prosedur pemilu bisa membuat negara terjebak
dalam sistem yang tampaknya demokratis tetapi tetap korup dan tidak berpihak
pada rakyat.
Salah satu kritik utama Ahmad Sastra terhadap
demokrasi adalah adanya dominasi elite politik yang cenderung memanfaatkan
sistem demokrasi untuk kepentingan mereka sendiri. Dalam konteks ini, meskipun
demokrasi memberi kebebasan dan hak kepada rakyat untuk memilih, sering kali
hanya kelompok elite yang memiliki pengaruh besar dalam proses politik. Hal ini
menyebabkan adanya ketimpangan dalam kekuasaan dan menjauhkan sistem demokrasi
dari tujuan aslinya, yaitu pemerintahan yang berpihak pada rakyat.
Demokrasi yang diterapkan di negara-negara berkembang
juga sering kali tidak mampu mengatasi masalah ketidaksetaraan sosial dan
ekonomi. Ahmad Sastra berpendapat bahwa meskipun secara politik negara tersebut
"demokratis," sering kali kebijakan ekonomi yang diterapkan tidak
menguntungkan bagi mayoritas rakyat. Alih-alih memberikan kesejahteraan,
demokrasi justru memperbesar kesenjangan sosial, dengan banyaknya kelompok yang
tidak mendapatkan akses terhadap sumber daya ekonomi yang adil.
Kritik lainnya yang disampaikan oleh Ahmad Sastra
adalah tentang manipulasi opini publik melalui media. Demokrasi yang sehat
seharusnya diimbangi dengan media yang bebas dan independen. Namun, dalam
banyak kasus, media justru digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mempengaruhi
opini publik demi kepentingan politik mereka.
Hal ini, menurut Ahmad Sastra, dapat merusak
prinsip-prinsip demokrasi karena informasi yang diterima oleh rakyat bisa
dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi dan politik, bukan berdasarkan fakta yang
objektif. Ahmad Sastra menyuarakan pandangan bahwa demokrasi, meskipun memiliki
potensi besar untuk menciptakan pemerintahan yang lebih adil dan inklusif,
sering kali gagal dalam pelaksanaannya di banyak negara berkembang, termasuk
Indonesia.
Ia mengkritik bahwa penerapan demokrasi sering kali
lebih bersifat formalitas dan prosedural, tanpa adanya perhatian yang cukup
terhadap substansi pemerintahan yang mampu meningkatkan kualitas hidup rakyat
dan mengurangi ketimpangan sosial.
Kritik Dr. Ahmad Sastra terhadap demokrasi dalam
perspektif Islam berkaitan dengan beberapa aspek fundamental, baik dari segi
prinsip dasar demokrasi itu sendiri maupun penerapannya dalam konteks
negara-negara Muslim, khususnya Indonesia. Dr. Ahmad Sastra, seorang
intelektual Muslim dan pemikir politik, menyoroti beberapa kelemahan demokrasi
yang menurutnya bertentangan dengan ajaran dan prinsip-prinsip Islam.
Salah satu kritik utama Ahmad Sastra terhadap
demokrasi adalah konsep kedaulatan rakyat yang menjadi dasar dari sistem
demokrasi. Dalam demokrasi, kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat, yang
berhak menentukan keputusan politik melalui pemilu. Namun, dalam Islam, menurut
Dr. Ahmad Sastra, kedaulatan sejati adalah milik Allah. Semua keputusan dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus sesuai dengan hukum syariat Islam
yang merupakan petunjuk dari Tuhan, bukan semata-mata berdasarkan kehendak
manusia.
Demokrasi, dengan mengutamakan kehendak rakyat sebagai
sumber kekuasaan tertinggi, dianggap tidak sesuai dengan prinsip tauhid dalam
Islam, di mana segala sesuatu harus tunduk kepada Allah. Islam mengajarkan
bahwa negara harus berlandaskan pada hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah
(syariat), bukan hanya pada keputusan mayoritas yang bisa saja bertentangan
dengan ajaran agama.
Demokrasi, khususnya dalam bentuk liberal, memberikan
kebebasan yang sangat besar kepada individu, termasuk kebebasan berbicara,
berpendapat, dan bertindak. Namun, Dr. Ahmad Sastra mengkritik bahwa kebebasan
ini sering kali tidak terkendali dan dapat berujung pada perilaku yang
bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama. Dalam Islam, kebebasan
individu dibatasi oleh prinsip-prinsip moral dan agama, yang menekankan
pentingnya menjaga kehormatan, kesejahteraan umum, dan kesucian ajaran agama.
Dalam perspektif Islam, kebebasan yang diberikan
kepada individu tidak dapat mengabaikan kewajiban moral dan agama. Misalnya,
kebebasan berbicara dalam demokrasi bisa digunakan untuk menyebarkan fitnah
atau ajaran yang bertentangan dengan ajaran Islam, sedangkan dalam Islam
kebebasan harus diimbangi dengan tanggung jawab terhadap Allah dan sesama
manusia.
Dr. Ahmad Sastra juga mengkritik sistem demokrasi
perwakilan yang ada di banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam demokrasi,
rakyat memilih wakil mereka melalui pemilu, dan wakil-wakil tersebut bertugas
membuat kebijakan yang mengatur kehidupan masyarakat.
Namun, dalam pandangan Islam, prinsip yang lebih utama
adalah kepemimpinan berdasarkan kebenaran wahyu dan ahlul halli wal aqdi
(kelompok ahli yang dapat memutuskan persoalan-persoalan agama dan negara).
Menurut Dr. Ahmad Sastra, wakil rakyat dalam sistem demokrasi sering kali lebih
dipilih berdasarkan kepentingan politik atau popularitas, bukan berdasarkan
kompetensi dan kemampuan untuk mengimplementasikan hukum-hukum Islam.
Dalam Islam, pemimpin negara (seperti khalifah)
seharusnya dipilih berdasarkan kualifikasi keilmuan agama dan kemampuan untuk
menerapkan syariat Islam secara benar, bukan hanya atas dasar pilihan rakyat
semata. Demokrasi, menurutnya, cenderung memprioritaskan pemimpin yang populer
daripada yang memiliki kapasitas dalam pemahaman agama dan moral.
Demokrasi seringkali menuntut adanya pengakuan
terhadap pluralisme atau keberagaman dalam masyarakat, termasuk dalam hal
keyakinan agama. Dalam demokrasi, setiap orang bebas untuk memilih agama atau
ideologi mereka, dan hak tersebut dijamin oleh sistem. Namun, dalam pandangan
Dr. Ahmad Sastra, Islam mengajarkan konsep tauhid, yaitu keyakinan bahwa hanya
ada satu Tuhan yang harus disembah, yaitu Allah, dan segala aspek kehidupan
harus tunduk pada prinsip ini.
Pluralisme dalam demokrasi bisa menimbulkan masalah
dalam konteks negara Muslim, karena ajaran Islam menganggap bahwa hanya
Islamlah agama yang benar dan wajib diterima oleh umat manusia. Oleh karena
itu, menurut Dr. Ahmad Sastra, sistem demokrasi yang memberikan kebebasan untuk
menganut agama atau ideologi apa saja bisa bertentangan dengan ajaran Islam
yang mengutamakan kebenaran wahyu.
Demokrasi, khususnya yang berkembang di dunia Barat,
mengedepankan prinsip separasi antara agama dan negara, di mana urusan agama
dianggap sebagai urusan pribadi yang tidak perlu diintervensi oleh negara.
Dalam pandangan Dr. Ahmad Sastra, ini adalah masalah besar, karena dalam Islam,
agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Negara harus menjalankan fungsi untuk
menegakkan hukum-hukum Islam dan memastikan bahwa kehidupan masyarakat berjalan
sesuai dengan ajaran agama.
Pemikiran ini berlawanan dengan demokrasi yang
cenderung memisahkan agama dari urusan negara, sehingga dalam sistem demokrasi,
kebijakan publik sering kali tidak mencerminkan nilai-nilai agama. Dr. Ahmad
Sastra berpendapat bahwa negara Islam seharusnya tidak hanya menjamin kebebasan
beragama tetapi juga menjadikan syariat Islam sebagai dasar hukum negara.
Kritik Dr. Ahmad Sastra terhadap demokrasi dalam
perspektif Islam menyoroti beberapa ketegangan antara prinsip dasar demokrasi,
seperti kedaulatan rakyat, kebebasan individu, dan pluralisme, dengan
ajaran-ajaran fundamental Islam.
Menurutnya, demokrasi sering kali tidak sejalan dengan
ajaran Islam, terutama dalam hal kedaulatan Tuhan, penerapan syariat, dan
integrasi agama dengan negara. Ia berpendapat bahwa sistem pemerintahan yang
ideal bagi umat Islam adalah yang berlandaskan pada syariat Islam dan menegakkan
prinsip tauhid, bukan sekadar demokrasi formal yang lebih mengutamakan kehendak
manusia.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 27 Ramadhan 1446 H – 27 Maret
2025 M : 21.00 WIB)