Oleh : Ahmad Sastra
Feminisme adalah gerakan sosial dan ideologi yang
bertujuan untuk mencapai kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki.
Intinya, feminisme menentang diskriminasi terhadap perempuan dan memperjuangkan
hak-hak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti hak politik, ekonomi,
sosial, dan budaya. Gerakan ini muncul sebagai respons terhadap ketidaksetaraan
yang dialami perempuan sepanjang sejarah, di mana mereka sering dipandang
sebagai warga kelas dua dan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki.
Feminisme memiliki berbagai gelombang atau fase yang
menandai perkembangan gerakan ini, dan dapat diterapkan dalam banyak bentuk
sesuai dengan konteks sosial dan budaya masing-masing negara. Ada banyak aliran
dalam feminisme, seperti feminisme liberal, radikal, sosial, interseksional,
dan lainnya, yang masing-masing memiliki pendekatan berbeda dalam mencapai
kesetaraan gender.
Secara umum, feminisme berfokus pada kesetaraan hak. Memastikan
perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam hal pendidikan,
pekerjaan, dan hak politik. Perjuangan agar perempuan mendapatkan gaji yang
setara dengan laki-laki dalam pekerjaan yang setara dan kesempatan yang sama
untuk kemajuan karier. Mengatasi kekerasan berbasis gender, seperti kekerasan
domestik, pelecehan seksual, dan bentuk kekerasan lainnya. Menjamin hak
perempuan untuk mengatur tubuh dan pilihan reproduksinya.
Sejarah lahirnya paham feminisme berawal dari
ketidaksetaraan gender yang telah ada sejak lama, di mana perempuan dianggap
lebih rendah dari laki-laki dalam banyak aspek kehidupan, mulai dari hak
politik hingga hak pribadi. Gerakan feminisme muncul sebagai respons terhadap
ketidakadilan ini.
Dalam sejarah awal peradaban, perempuan sering kali
ditempatkan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki. Meskipun ada
beberapa tokoh perempuan yang menonjol dalam berbagai bidang, secara umum
hak-hak perempuan sangat terbatas, terutama di bidang pendidikan, politik, dan
sosial. Di Eropa pada Abad Pertengahan, perempuan dianggap sebagai bagian dari
keluarga atau rumah tangga, dan sering kali tak memiliki hak individu yang
diakui secara hukum.
Feminisme mulai mengemuka pada akhir abad ke-18 dan
awal abad ke-19, dipicu oleh pemikiran-pemikiran tentang hak asasi manusia dan
kesetaraan dalam Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika. Mary Wollstonecraft,
seorang penulis dan filsuf asal Inggris, adalah salah satu tokoh utama pada
periode ini.
Dalam bukunya yang terkenal, A Vindication of the
Rights of Woman (1792), Wollstonecraft mengajukan argumen bahwa perempuan
memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan yang
layak.
Pada masa ini, banyak perempuan mulai menuntut hak
suara (hak pilih) dan hak-hak dasar lainnya, meskipun pergerakan ini masih
terbatas pada kalangan elit dan tidak menyentuh kehidupan perempuan dari kelas
sosial yang lebih rendah.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan
feminisme mulai berkembang di banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika
Serikat. Gelombang kedua ini berfokus pada hak pilih perempuan (suffrage) dan kesetaraan
politik.
Gerakan ini dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Susan B.
Anthony dan Elizabeth Cady Stanton di AS, serta Emmeline Pankhurst di Inggris.
Pada akhirnya, perjuangan mereka berhasil menghasilkan hak pilih bagi perempuan
di banyak negara pada awal abad ke-20.
Selain itu, feminisme gelombang kedua juga berfokus
pada hak-hak sosial dan ekonomi, seperti hak untuk bekerja, hak untuk
mendapatkan upah yang setara, dan hak untuk mendapatkan akses ke pendidikan
tinggi.
Pada akhir abad ke-20, feminisme gelombang ketiga
muncul sebagai respons terhadap keterbatasan gelombang kedua, yang dianggap
oleh beberapa kalangan terlalu fokus pada isu-isu perempuan kelas menengah
putih di negara-negara Barat.
Feminisme gelombang ketiga mengedepankan keberagaman
dan inklusivitas, dengan menekankan pentingnya perjuangan perempuan dari
berbagai latar belakang, termasuk perempuan kulit hitam, perempuan pekerja,
perempuan dari negara berkembang, dan perempuan dengan identitas seksual yang
beragam.
Tokoh-tokoh seperti bell hooks dan Judith Butler
berkontribusi pada perkembangan pemikiran feminisme yang lebih berfokus pada interseksionalitas,
yaitu pemahaman bahwa pengalaman perempuan dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti ras, kelas sosial, seksualitas, dan lainnya.
Feminisme terus berkembang hingga abad ke-21, dengan
fokus pada berbagai isu, seperti kesetaraan gaji, kekerasan berbasis gender, hak
reproduksi, dan representasi perempuan dalam media dan politik. Gerakan
feminisme modern juga berjuang untuk mengatasi seksisme, feminisme digital, dan
hak-hak trans serta perempuan non-biner.
Feminisme kini tidak hanya terbatas pada gerakan
perempuan, tetapi juga mencakup upaya untuk menciptakan kesetaraan gender di
semua aspek kehidupan, termasuk keluarga, pekerjaan, politik, dan budaya. #MeToo
adalah salah satu gerakan besar yang memunculkan kesadaran tentang pelecehan
seksual dan ketidaksetaraan gender di berbagai sektor.
Apa kritik doktor Ahmad Sastra terhadap paham feminism,
ChatGPT said : Dr. Ahmad Sastra, seorang intelektual dan pemikir Islam,
memiliki pandangan kritis terhadap paham feminisme, terutama dalam konteks
perspektif Islam. Dalam banyak tulisannya dan pemikirannya, beliau menyoroti
beberapa isu utama yang terkait dengan feminisme, menghubungkannya dengan
nilai-nilai dan ajaran Islam.
Dr. Ahmad Sastra sering menekankan bahwa dalam Islam,
yang lebih penting adalah keadilan daripada sekadar kesetaraan. Menurutnya,
feminisme sering kali mempromosikan kesetaraan dalam arti yang bisa saja
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Islam, menurutnya,
memberikan hak dan kewajiban kepada laki-laki dan perempuan secara adil, tetapi
tidak selalu sama, karena peran dan tanggung jawab mereka berbeda sesuai dengan
fitrah dan ajaran agama.
Dalam Islam, laki-laki dan perempuan memiliki tugas
yang berbeda dalam kehidupan sosial dan keluarga. Dr. Ahmad Sastra berpendapat
bahwa feminisme, dalam beberapa interpretasinya, berusaha untuk menyamakan
kedua peran ini secara total, yang dapat mengabaikan perbedaan hak dan kewajiban
yang telah diatur oleh syariat.
Salah satu kritik utama Dr. Ahmad Sastra terhadap
feminisme adalah pengaruh feminisme Barat yang sering diterapkan tanpa
memperhitungkan konteks budaya dan agama tertentu.
Dalam pandangannya, feminisme yang berkembang di
negara-negara Barat, yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sekuler, sering
kali berbenturan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Misalnya, nilai-nilai
yang dikembangkan oleh feminisme Barat, seperti kebebasan individu tanpa batas,
dapat menyebabkan pergeseran dalam pemahaman tentang keluarga dan norma-norma
sosial Islam.
Beliau juga menyoroti bahwa feminisme Barat seringkali
tidak memperhitungkan perbedaan biologis dan psikologis antara laki-laki dan
perempuan, yang merupakan dasar dari banyak ajaran Islam terkait peran gender
dalam keluarga dan masyarakat.
Dr. Ahmad Sastra mengkritik cara feminisme, khususnya
yang berkembang di Barat, memahami kebebasan perempuan. Menurutnya, feminisme
sering mengedepankan kebebasan individu tanpa mempertimbangkan dampak sosial
dan moral yang bisa muncul akibatnya. Di dalam Islam, kebebasan perempuan
adalah hak yang diakui, namun dalam batasan-batasan yang sesuai dengan ajaran
agama dan etika moral.
Sebagai contoh, beliau mencatat bahwa dalam beberapa
negara Barat, kebebasan perempuan dapat berujung pada eksploitasi tubuh
perempuan melalui industri hiburan atau media, yang menurut Islam bertentangan
dengan nilai-nilai kesucian dan kehormatan perempuan.
Dr. Ahmad Sastra menekankan bahwa Islam telah
memberikan hak-hak perempuan yang sangat jelas dan sangat melindungi mereka.
Dalam Islam, perempuan diberikan hak untuk mendapatkan pendidikan,
berpartisipasi dalam kehidupan sosial, dan memperoleh perlindungan hukum dalam
berbagai aspek kehidupan.
Namun, dalam pandangannya, feminisme sering kali
mengabaikan atau tidak menghargai apa yang sudah diatur dalam syariat Islam.
Misalnya, Islam memberikan hak kepada perempuan untuk memiliki harta,
berpartisipasi dalam bisnis, dan memilih pasangan hidup mereka, namun ini
seringkali dilihat sebagai hal yang tidak cukup dalam beberapa pemahaman
feminisme.
Beliau berpendapat bahwa feminisme tidak selalu
memahami atau menghargai prinsip-prinsip yang ada dalam Islam, yang dalam
banyak hal sudah memberikan tempat yang mulia bagi perempuan.
Salah satu topik yang banyak dibahas oleh Dr. Ahmad
Sastra adalah peran gender dalam keluarga. Islam memberikan posisi penting bagi
perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah tangga, yang dianggap sebagai peran
yang mulia dan dihormati.
Dr. Ahmad Sastra berpendapat bahwa feminisme sering
kali mengabaikan pentingnya peran perempuan di dalam rumah tangga, dengan
menekankan pentingnya perempuan bekerja di luar rumah dengan cara yang bisa
mengabaikan tanggung jawab mereka sebagai ibu dan pengasuh keluarga.
Dalam pandangan Dr. Ahmad Sastra, feminisme seringkali
menganggap peran domestik perempuan sebagai hal yang lebih rendah atau
terbelakang, padahal dalam Islam, menjadi ibu dan mengurus keluarga adalah
peran yang sangat dihargai dan diakui sebagai kontribusi besar terhadap
masyarakat.
Dr. Ahmad Sastra juga menyoroti bagaimana feminisme
kadang bertentangan dengan struktur keluarga Islam. Menurutnya, banyak ajaran
feminisme yang mendesak kesetaraan dalam segala hal, termasuk dalam pembagian
peran dalam rumah tangga. Hal ini, menurutnya, dapat menantang struktur
keluarga Islam, di mana laki-laki memiliki kewajiban untuk menanggung nafkah
keluarga, sementara perempuan, meskipun memiliki hak untuk bekerja, tidak
diwajibkan untuk mencari nafkah.
Beliau berpendapat bahwa dalam kerangka Islam,
pembagian peran ini memberikan stabilitas dan keharmonisan dalam keluarga.
Feminisme yang mengedepankan kesetaraan mutlak bisa menciptakan ketegangan
dalam hubungan antara suami dan istri, karena peran tradisional yang sudah
diatur dalam Islam mungkin dianggap ketinggalan zaman oleh beberapa paham
feminisme.
Kritik Dr. Ahmad Sastra terhadap feminisme dalam
perspektif Islam berfokus pada penolakan terhadap beberapa prinsip feminisme
Barat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Beliau menekankan
pentingnya keadilan yang sudah diberikan dalam Islam dan mengkritik pandangan
feminisme yang mengabaikan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang
diatur berdasarkan syariat Islam.
Walaupun ia mendukung pemberdayaan perempuan, Dr.
Ahmad Sastra lebih menekankan bahwa pemberdayaan tersebut harus dilakukan dalam
bingkai ajaran Islam yang menjaga kehormatan, peran sosial, dan moralitas
perempuan, bukan pemberdayaan dan kesetaraan ala barat sekuler. Feminisme itu
semacam lorong gelap untuk perempuan yang justru menjerumuskan kepada kehinaan.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 30 Ramadhan 1446 H – 30 Maret
2025 M : 21.01 WIB)