[14] Tadarus Pemikiran FEMINISME DAN LORONG GELAP PEREMPUAN



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Feminisme adalah gerakan sosial dan ideologi yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki. Intinya, feminisme menentang diskriminasi terhadap perempuan dan memperjuangkan hak-hak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Gerakan ini muncul sebagai respons terhadap ketidaksetaraan yang dialami perempuan sepanjang sejarah, di mana mereka sering dipandang sebagai warga kelas dua dan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki.

 

Feminisme memiliki berbagai gelombang atau fase yang menandai perkembangan gerakan ini, dan dapat diterapkan dalam banyak bentuk sesuai dengan konteks sosial dan budaya masing-masing negara. Ada banyak aliran dalam feminisme, seperti feminisme liberal, radikal, sosial, interseksional, dan lainnya, yang masing-masing memiliki pendekatan berbeda dalam mencapai kesetaraan gender.

 

Secara umum, feminisme berfokus pada kesetaraan hak. Memastikan perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan hak politik. Perjuangan agar perempuan mendapatkan gaji yang setara dengan laki-laki dalam pekerjaan yang setara dan kesempatan yang sama untuk kemajuan karier. Mengatasi kekerasan berbasis gender, seperti kekerasan domestik, pelecehan seksual, dan bentuk kekerasan lainnya. Menjamin hak perempuan untuk mengatur tubuh dan pilihan reproduksinya.

 

Sejarah lahirnya paham feminisme berawal dari ketidaksetaraan gender yang telah ada sejak lama, di mana perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki dalam banyak aspek kehidupan, mulai dari hak politik hingga hak pribadi. Gerakan feminisme muncul sebagai respons terhadap ketidakadilan ini.

 

Dalam sejarah awal peradaban, perempuan sering kali ditempatkan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki. Meskipun ada beberapa tokoh perempuan yang menonjol dalam berbagai bidang, secara umum hak-hak perempuan sangat terbatas, terutama di bidang pendidikan, politik, dan sosial. Di Eropa pada Abad Pertengahan, perempuan dianggap sebagai bagian dari keluarga atau rumah tangga, dan sering kali tak memiliki hak individu yang diakui secara hukum.

 

Feminisme mulai mengemuka pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, dipicu oleh pemikiran-pemikiran tentang hak asasi manusia dan kesetaraan dalam Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika. Mary Wollstonecraft, seorang penulis dan filsuf asal Inggris, adalah salah satu tokoh utama pada periode ini.

 

Dalam bukunya yang terkenal, A Vindication of the Rights of Woman (1792), Wollstonecraft mengajukan argumen bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

 

Pada masa ini, banyak perempuan mulai menuntut hak suara (hak pilih) dan hak-hak dasar lainnya, meskipun pergerakan ini masih terbatas pada kalangan elit dan tidak menyentuh kehidupan perempuan dari kelas sosial yang lebih rendah.

 

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan feminisme mulai berkembang di banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika Serikat. Gelombang kedua ini berfokus pada hak pilih perempuan (suffrage) dan kesetaraan politik.

 

Gerakan ini dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Susan B. Anthony dan Elizabeth Cady Stanton di AS, serta Emmeline Pankhurst di Inggris. Pada akhirnya, perjuangan mereka berhasil menghasilkan hak pilih bagi perempuan di banyak negara pada awal abad ke-20.

 

Selain itu, feminisme gelombang kedua juga berfokus pada hak-hak sosial dan ekonomi, seperti hak untuk bekerja, hak untuk mendapatkan upah yang setara, dan hak untuk mendapatkan akses ke pendidikan tinggi.

 

Pada akhir abad ke-20, feminisme gelombang ketiga muncul sebagai respons terhadap keterbatasan gelombang kedua, yang dianggap oleh beberapa kalangan terlalu fokus pada isu-isu perempuan kelas menengah putih di negara-negara Barat.

 

Feminisme gelombang ketiga mengedepankan keberagaman dan inklusivitas, dengan menekankan pentingnya perjuangan perempuan dari berbagai latar belakang, termasuk perempuan kulit hitam, perempuan pekerja, perempuan dari negara berkembang, dan perempuan dengan identitas seksual yang beragam.

 

Tokoh-tokoh seperti bell hooks dan Judith Butler berkontribusi pada perkembangan pemikiran feminisme yang lebih berfokus pada interseksionalitas, yaitu pemahaman bahwa pengalaman perempuan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ras, kelas sosial, seksualitas, dan lainnya.

 

Feminisme terus berkembang hingga abad ke-21, dengan fokus pada berbagai isu, seperti kesetaraan gaji, kekerasan berbasis gender, hak reproduksi, dan representasi perempuan dalam media dan politik. Gerakan feminisme modern juga berjuang untuk mengatasi seksisme, feminisme digital, dan hak-hak trans serta perempuan non-biner.

 

Feminisme kini tidak hanya terbatas pada gerakan perempuan, tetapi juga mencakup upaya untuk menciptakan kesetaraan gender di semua aspek kehidupan, termasuk keluarga, pekerjaan, politik, dan budaya. #MeToo adalah salah satu gerakan besar yang memunculkan kesadaran tentang pelecehan seksual dan ketidaksetaraan gender di berbagai sektor.

 

Apa kritik doktor Ahmad Sastra terhadap paham feminism, ChatGPT said : Dr. Ahmad Sastra, seorang intelektual dan pemikir Islam, memiliki pandangan kritis terhadap paham feminisme, terutama dalam konteks perspektif Islam. Dalam banyak tulisannya dan pemikirannya, beliau menyoroti beberapa isu utama yang terkait dengan feminisme, menghubungkannya dengan nilai-nilai dan ajaran Islam.

 

Dr. Ahmad Sastra sering menekankan bahwa dalam Islam, yang lebih penting adalah keadilan daripada sekadar kesetaraan. Menurutnya, feminisme sering kali mempromosikan kesetaraan dalam arti yang bisa saja bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Islam, menurutnya, memberikan hak dan kewajiban kepada laki-laki dan perempuan secara adil, tetapi tidak selalu sama, karena peran dan tanggung jawab mereka berbeda sesuai dengan fitrah dan ajaran agama.

 

Dalam Islam, laki-laki dan perempuan memiliki tugas yang berbeda dalam kehidupan sosial dan keluarga. Dr. Ahmad Sastra berpendapat bahwa feminisme, dalam beberapa interpretasinya, berusaha untuk menyamakan kedua peran ini secara total, yang dapat mengabaikan perbedaan hak dan kewajiban yang telah diatur oleh syariat.

 

Salah satu kritik utama Dr. Ahmad Sastra terhadap feminisme adalah pengaruh feminisme Barat yang sering diterapkan tanpa memperhitungkan konteks budaya dan agama tertentu.

 

Dalam pandangannya, feminisme yang berkembang di negara-negara Barat, yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sekuler, sering kali berbenturan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Misalnya, nilai-nilai yang dikembangkan oleh feminisme Barat, seperti kebebasan individu tanpa batas, dapat menyebabkan pergeseran dalam pemahaman tentang keluarga dan norma-norma sosial Islam.

 

Beliau juga menyoroti bahwa feminisme Barat seringkali tidak memperhitungkan perbedaan biologis dan psikologis antara laki-laki dan perempuan, yang merupakan dasar dari banyak ajaran Islam terkait peran gender dalam keluarga dan masyarakat.

 

Dr. Ahmad Sastra mengkritik cara feminisme, khususnya yang berkembang di Barat, memahami kebebasan perempuan. Menurutnya, feminisme sering mengedepankan kebebasan individu tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan moral yang bisa muncul akibatnya. Di dalam Islam, kebebasan perempuan adalah hak yang diakui, namun dalam batasan-batasan yang sesuai dengan ajaran agama dan etika moral.

 

Sebagai contoh, beliau mencatat bahwa dalam beberapa negara Barat, kebebasan perempuan dapat berujung pada eksploitasi tubuh perempuan melalui industri hiburan atau media, yang menurut Islam bertentangan dengan nilai-nilai kesucian dan kehormatan perempuan.

 

Dr. Ahmad Sastra menekankan bahwa Islam telah memberikan hak-hak perempuan yang sangat jelas dan sangat melindungi mereka. Dalam Islam, perempuan diberikan hak untuk mendapatkan pendidikan, berpartisipasi dalam kehidupan sosial, dan memperoleh perlindungan hukum dalam berbagai aspek kehidupan.

 

Namun, dalam pandangannya, feminisme sering kali mengabaikan atau tidak menghargai apa yang sudah diatur dalam syariat Islam. Misalnya, Islam memberikan hak kepada perempuan untuk memiliki harta, berpartisipasi dalam bisnis, dan memilih pasangan hidup mereka, namun ini seringkali dilihat sebagai hal yang tidak cukup dalam beberapa pemahaman feminisme.

 

Beliau berpendapat bahwa feminisme tidak selalu memahami atau menghargai prinsip-prinsip yang ada dalam Islam, yang dalam banyak hal sudah memberikan tempat yang mulia bagi perempuan.

 

Salah satu topik yang banyak dibahas oleh Dr. Ahmad Sastra adalah peran gender dalam keluarga. Islam memberikan posisi penting bagi perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah tangga, yang dianggap sebagai peran yang mulia dan dihormati.

 

Dr. Ahmad Sastra berpendapat bahwa feminisme sering kali mengabaikan pentingnya peran perempuan di dalam rumah tangga, dengan menekankan pentingnya perempuan bekerja di luar rumah dengan cara yang bisa mengabaikan tanggung jawab mereka sebagai ibu dan pengasuh keluarga.

 

Dalam pandangan Dr. Ahmad Sastra, feminisme seringkali menganggap peran domestik perempuan sebagai hal yang lebih rendah atau terbelakang, padahal dalam Islam, menjadi ibu dan mengurus keluarga adalah peran yang sangat dihargai dan diakui sebagai kontribusi besar terhadap masyarakat.

 

Dr. Ahmad Sastra juga menyoroti bagaimana feminisme kadang bertentangan dengan struktur keluarga Islam. Menurutnya, banyak ajaran feminisme yang mendesak kesetaraan dalam segala hal, termasuk dalam pembagian peran dalam rumah tangga. Hal ini, menurutnya, dapat menantang struktur keluarga Islam, di mana laki-laki memiliki kewajiban untuk menanggung nafkah keluarga, sementara perempuan, meskipun memiliki hak untuk bekerja, tidak diwajibkan untuk mencari nafkah.

 

Beliau berpendapat bahwa dalam kerangka Islam, pembagian peran ini memberikan stabilitas dan keharmonisan dalam keluarga. Feminisme yang mengedepankan kesetaraan mutlak bisa menciptakan ketegangan dalam hubungan antara suami dan istri, karena peran tradisional yang sudah diatur dalam Islam mungkin dianggap ketinggalan zaman oleh beberapa paham feminisme.

 

Kritik Dr. Ahmad Sastra terhadap feminisme dalam perspektif Islam berfokus pada penolakan terhadap beberapa prinsip feminisme Barat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Beliau menekankan pentingnya keadilan yang sudah diberikan dalam Islam dan mengkritik pandangan feminisme yang mengabaikan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang diatur berdasarkan syariat Islam.

 

Walaupun ia mendukung pemberdayaan perempuan, Dr. Ahmad Sastra lebih menekankan bahwa pemberdayaan tersebut harus dilakukan dalam bingkai ajaran Islam yang menjaga kehormatan, peran sosial, dan moralitas perempuan, bukan pemberdayaan dan kesetaraan ala barat sekuler. Feminisme itu semacam lorong gelap untuk perempuan yang justru menjerumuskan kepada kehinaan.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 30 Ramadhan 1446 H – 30 Maret 2025 M : 21.01 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.