[11] Tadarus Pemikiran PAHAM POSTMODERN DAN RELATIVISME IDENTITAS



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Postmodernisme adalah sebuah aliran atau gerakan dalam seni, arsitektur, filsafat, sastra, dan budaya yang muncul sebagai reaksi terhadap modernisme pada paruh kedua abad ke-20. Gerakan ini lebih sulit untuk dijelaskan karena cenderung bersifat pluralis, relativistik, dan tidak terikat pada satu aturan atau prinsip yang kaku.

 

Postmodernisme sering kali mengkritik ideologi besar atau narasi yang mendominasi budaya, seperti kemajuan, rasionalitas, atau universalitas yang dikemukakan oleh modernisme. Postmodernis cenderung lebih fokus pada pluralitas perspektif dan relativisme kebenaran.

 

Dalam seni dan arsitektur, postmodernisme sering kali menggabungkan berbagai gaya dan elemen, baik yang berasal dari masa lalu maupun masa kini, tanpa adanya hierarki atau aturan yang ketat.

 

Di bidang filsafat, salah satu tokoh penting dalam postmodernisme, Jacques Derrida, memperkenalkan konsep dekonstruksi yang menantang cara-cara tradisional dalam memahami teks dan makna. Dekonstruksi berusaha untuk membongkar struktur makna yang sering dianggap stabil dan menggali ketegangan-ketegangan dalam bahasa dan konsep-konsep.

 

Postmodernisme cenderung berpendapat bahwa kebenaran tidak bersifat universal atau objektif, melainkan bergantung pada konteks sosial, budaya, dan individu. Oleh karena itu, berbagai perspektif dianggap setara dan sah.

 

Postmodernisme sering menggunakan ironi, humor, dan permainan dalam seni dan budaya, yang kadang mengaburkan batas antara serius dan tidak serius. Ada kecenderungan untuk merayakan ketidakpastian dan keragaman interpretasi.

 

Postmodernisme dapat ditemukan dalam berbagai bidang seperti seni visual, musik, arsitektur (contohnya, gaya arsitektur postmodern yang melibatkan elemen-elemen historis dan simbolis), film, dan literatur. Pada dasarnya, postmodernisme menantang ide tentang "kebenaran tunggal" dan menerima bahwa kenyataan bisa dipahami melalui berbagai perspektif yang berbeda.

Ada aspek lain dari postmodernisme yang lebih terkait dengan teknologi, media massa, dan perubahan sosial yang lebih besar, yang memberi dampak pada cara kita memahami identitas, budaya, dan sejarah.

 

Postmodernisme lahir sebagai reaksi terhadap modernisme, yang berkembang pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Modernisme, dengan penekanannya pada rasionalitas, kemajuan, dan pencarian kebenaran universal, mengalami krisis dan kritik di pertengahan abad ke-20. Faktor-faktor sosial, politik, budaya, dan intelektual yang melatarbelakangi munculnya postmodernisme sangat kompleks.

 

Modernisme, yang puncaknya terjadi pada awal abad ke-20, berfokus pada kemajuan, rasionalitas, dan penolakan terhadap tradisi. Dalam seni, sastra, dan filsafat, modernisme mengusung ide-ide tentang inovasi, bentuk baru, dan pencarian kebenaran objektif.

 

Namun, pada pertengahan abad ke-20, banyak intelektual, seniman, dan filosof merasa bahwa modernisme telah gagal memenuhi janjinya. Perang Dunia I dan II, Holocaust, dan peristiwa-peristiwa tragis lainnya memunculkan keraguan besar terhadap ide-ide besar modernisme tentang kemajuan dan rasionalitas.

 

Eksistensialisme (dengan tokoh utama seperti Jean-Paul Sartre, Albert Camus, dan Martin Heidegger) menekankan pentingnya pengalaman individual, kebebasan, dan pencarian makna hidup dalam dunia yang absurd. Pandangan eksistensialisme tentang ketiadaan makna atau tujuan yang lebih tinggi mulai mempengaruhi pemikiran postmodernis.

 

Strukturalisme yang dipelopori oleh tokoh seperti Ferdinand de Saussure dan Claude Lévi-Strauss juga memberikan pengaruh besar. Strukturalisme berfokus pada analisis sistem tanda dan bahasa serta cara kita mengkonstruksi makna. Meskipun strukturalisme memberikan kontribusi penting dalam memahami budaya dan bahasa, ia dianggap terlalu fokus pada struktur tetap dan kurang memberikan ruang untuk kebebasan individu atau variasi dalam interpretasi.

 

Pada 1960-an, muncul post-strukturalisme, yang lebih radikal dalam kritiknya terhadap struktur dan makna tetap. Tokoh-tokoh seperti Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Roland Barthes menjadi penting dalam membentuk paham postmodernisme.

 

Derrida memperkenalkan konsep dekonstruksi, yang meruntuhkan ide bahwa makna dalam teks atau budaya adalah stabil dan dapat dipahami secara objektif. Menurutnya, makna selalu terpecah dan bergantung pada konteks dan relasi antar elemen.

 

Foucault mengembangkan konsep tentang kekuasaan, pengetahuan, dan cara sejarah membentuk pemahaman kita tentang kebenaran. Ia menekankan bahwa pengetahuan dan kebenaran selalu terkait dengan kekuasaan, dan tidak ada narasi sejarah atau kebenaran yang bersifat objektif dan tidak bias.

 

Barthes mengkritik ide bahwa penulis atau pembuat seni adalah sumber otoritatif dari makna. Ia mengusulkan bahwa pembaca atau penonton harus bebas untuk menginterpretasikan karya seni dan teks menurut perspektif mereka sendiri.

 

 

Pada periode ini, muncul banyak gerakan sosial yang menantang norma-norma tradisional, seperti gerakan hak-hak sipil, feminisme, dan gerakan mahasiswa. Reaksi terhadap otoritas, hierarki, dan narasi dominan juga merembet ke dunia budaya dan intelektual.

 

Revolusi budaya dan sosial ini mempengaruhi perkembangan postmodernisme dengan cara memperkenalkan lebih banyak pluralitas dalam hal identitas, gender, dan pengalaman sosial. Dalam konteks ini, postmodernisme lebih mengutamakan pandangan yang mengakui perbedaan dan pluralitas, serta menolak gagasan tentang kebenaran atau identitas yang tetap.

 

Di bidang seni dan arsitektur, postmodernisme menjadi dominan pada akhir abad ke-20. Seni visual, sastra, dan arsitektur postmodern cenderung menggabungkan elemen-elemen dari masa lalu, mencampur berbagai gaya, dan sering kali mengandung unsur humor, ironi, dan kritik terhadap budaya populer.

 

Arsitektur postmodern menolak desain fungsionalis modern dan justru menggabungkan ornamen, simbolisme, dan elemen visual yang lebih beragam. Tokoh seperti Robert Venturi dan Michael Graves adalah contoh arsitek yang mempopulerkan gaya postmodern.

 

Dalam seni visual, seniman seperti Andy Warhol dan Roy Lichtenstein menggabungkan seni tinggi dan seni pop, sementara dalam sastra, penulis seperti Thomas Pynchon dan Italo Calvino mengadopsi teknik narasi yang tidak linear dan penuh dengan referensi silang serta intertekstualitas.

 

Postmodernisme juga sangat mempengaruhi dunia media dan budaya populer. Dalam film, misalnya, sutradara seperti Quentin Tarantino dan David Lynch menggunakan teknik narasi non-linier dan sering mengaburkan batas antara realitas dan fiksi.

 

Dalam budaya populer, muncul tren "metafiksi", di mana karya-karya seperti film, buku, dan musik sering kali merujuk pada karya lain atau mencampurkan genre, menciptakan "realitas" yang bersifat lebih cair dan tidak tetap.

 

Apa kritik Ahmad Sastra terhadap paham post modernism, ChatGPT said : Dr. Ahmad Sastra, seorang pemikir dan intelektual Muslim, memberikan kritik terhadap paham postmodernisme dari perspektif Islam. Kritik beliau berfokus pada beberapa aspek penting dari postmodernisme yang dianggapnya bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dalam ajaran Islam.

 

Kritik Dr. Ahmad Sastra terhadap paham postmodernisme bahwa salah satu poin utama dalam postmodernisme adalah relativisme kebenaran, di mana kebenaran dianggap bergantung pada konteks dan perspektif individu. Postmodernisme menganggap bahwa tidak ada kebenaran tunggal dan setiap pandangan atau interpretasi dianggap sah.

 

Dalam Islam, kebenaran bersifat absolut dan berasal dari wahyu Tuhan (Allah) melalui Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad SAW. Kebenaran ini tidak bergantung pada subjektivitas individu atau konteks sosial, tetapi merupakan petunjuk yang jelas dan universal. Dalam perspektif Islam, ada kebenaran yang tetap dan berlaku untuk semua umat manusia, tanpa dipengaruhi oleh perbedaan budaya atau individu.

 

Postmodernisme sering kali menolak narasi besar atau ideologi besar seperti rasionalitas, kemajuan, dan bahkan narasi agama sebagai kebenaran mutlak. Postmodernisme lebih memilih pluralisme dan interpretasi yang beragam.

 

Islam memiliki pandangan yang kuat mengenai narasi besar yang ada dalam agamanya, seperti konsep kehidupan setelah mati, hukum Tuhan, dan tujuan hidup manusia yang bersifat universal. Dalam Islam, narasi tentang penciptaan alam semesta, kehidupan manusia, dan tujuan akhir hidup (yakni mencapai ridha Allah) merupakan kebenaran yang tidak bisa ditawar. Dr. Ahmad Sastra melihat penolakan terhadap narasi besar ini sebagai bentuk relativisme yang dapat merusak pemahaman umat Islam tentang tujuannya di dunia.

 

Postmodernisme mengedepankan skeptisisme terhadap otoritas, baik itu otoritas ilmiah, budaya, maupun agama. Hal ini sering kali berujung pada dekonstruksi terhadap konsep-konsep yang dianggap absolut atau otoritatif.

 

Dalam Islam, ada otoritas yang sangat dihormati, yaitu wahyu Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Al-Qur'an, serta sunnah Nabi yang dijadikan pedoman hidup umat Muslim. Otoritas ini tidak bisa direduksi atau digugat begitu saja oleh pandangan yang muncul secara kontekstual. Dr. Ahmad Sastra berpendapat bahwa postmodernisme cenderung mereduksi otoritas agama, yang bisa berisiko menciptakan keraguan atau kekacauan dalam praktik keagamaan dan moral umat Islam.

 

Dekonstruksi yang merupakan salah satu elemen penting dalam postmodernisme, yang diterapkan oleh tokoh seperti Jacques Derrida, berfokus pada pembongkaran struktur makna dan menekankan bahwa makna bersifat tidak pasti dan terus berubah. Hal ini menimbulkan ketidakstabilan dalam pemahaman dan interpretasi.

 

Dalam Islam, makna dari wahyu Tuhan, Al-Qur'an, adalah jelas dan tidak berubah meskipun cara penafsiran bisa bervariasi. Namun, inti dari wahyu tersebut tidak terpengaruh oleh perubahan waktu dan tempat. Bagi Dr. Ahmad Sastra, pendekatan postmodern yang mengutamakan ketidakpastian makna bertentangan dengan keyakinan Islam yang menegaskan bahwa makna wahyu Allah adalah jelas dan tidak berubah, serta mengandung petunjuk hidup yang pasti.

 

Postmodernisme sering kali mengarah pada relativisme identitas, di mana identitas dianggap sebagai konstruksi sosial yang dapat berubah sesuai dengan waktu dan situasi. Ini bisa menciptakan kebingungan identitas dan pengabaian terhadap nilai-nilai agama.

Islam mengajarkan bahwa identitas manusia tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya kepada Tuhan (tauhid) dan ajaran agama.

 

Identitas Muslim adalah identitas yang berlandaskan pada iman, ibadah, dan syariat Islam yang tetap. Dr. Ahmad Sastra berpendapat bahwa pengabaian terhadap nilai-nilai agama dalam postmodernisme dapat melemahkan fondasi moral dan spiritual umat Muslim.

 

Postmodernisme mengagungkan pluralisme dan relativitas, yang pada dasarnya menganggap semua pandangan, budaya, dan agama setara. Hal ini bisa mengarah pada pandangan bahwa tidak ada agama yang lebih benar atau lebih baik dari yang lain.

Islam, menurut Dr. Ahmad Sastra, memandang bahwa agama Islam adalah agama yang benar dan sesuai dengan wahyu Tuhan. Meski demikian, Islam juga mengajarkan untuk menghormati perbedaan dan berinteraksi dengan baik dengan umat agama lain, tetapi tidak menganggap semua agama adalah sama dalam hal kebenaran absolut.

 

Dalam Islam, pengakuan terhadap kebenaran agama lainnya harus didasarkan pada prinsip penghormatan, bukan pengakuan akan kesamaan absolut dalam ajaran-ajaran fundamental.

 

Dr. Ahmad Sastra mengkritik postmodernisme dari sudut pandang Islam karena postmodernisme dianggapnya merusak keyakinan terhadap kebenaran yang absolut, melemahkan struktur otoritas agama, dan menumbuhkan keraguan terhadap nilai-nilai yang sudah tertanam dalam ajaran Islam.

 

Dalam pandangannya, meskipun Islam menghargai perbedaan dan pluralisme, ia tetap mempertahankan bahwa ada kebenaran yang objektif, yaitu wahyu Tuhan, yang tidak dapat digugat atau digantikan dengan relativisme yang ditawarkan oleh postmodernisme.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 30 Ramadhan 1446 H – 30 Maret 2025 M : 19.45 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.