Oleh : Ahmad Sastra
Postmodernisme adalah sebuah aliran atau gerakan dalam
seni, arsitektur, filsafat, sastra, dan budaya yang muncul sebagai reaksi
terhadap modernisme pada paruh kedua abad ke-20. Gerakan ini lebih sulit untuk
dijelaskan karena cenderung bersifat pluralis, relativistik, dan tidak terikat
pada satu aturan atau prinsip yang kaku.
Postmodernisme sering kali mengkritik ideologi besar
atau narasi yang mendominasi budaya, seperti kemajuan, rasionalitas, atau
universalitas yang dikemukakan oleh modernisme. Postmodernis cenderung lebih
fokus pada pluralitas perspektif dan relativisme kebenaran.
Dalam seni dan arsitektur, postmodernisme sering kali
menggabungkan berbagai gaya dan elemen, baik yang berasal dari masa lalu maupun
masa kini, tanpa adanya hierarki atau aturan yang ketat.
Di bidang filsafat, salah satu tokoh penting dalam
postmodernisme, Jacques Derrida, memperkenalkan konsep dekonstruksi yang
menantang cara-cara tradisional dalam memahami teks dan makna. Dekonstruksi
berusaha untuk membongkar struktur makna yang sering dianggap stabil dan menggali
ketegangan-ketegangan dalam bahasa dan konsep-konsep.
Postmodernisme cenderung berpendapat bahwa kebenaran
tidak bersifat universal atau objektif, melainkan bergantung pada konteks
sosial, budaya, dan individu. Oleh karena itu, berbagai perspektif dianggap
setara dan sah.
Postmodernisme sering menggunakan ironi, humor, dan
permainan dalam seni dan budaya, yang kadang mengaburkan batas antara serius
dan tidak serius. Ada kecenderungan untuk merayakan ketidakpastian dan
keragaman interpretasi.
Postmodernisme dapat ditemukan dalam berbagai bidang
seperti seni visual, musik, arsitektur (contohnya, gaya arsitektur postmodern
yang melibatkan elemen-elemen historis dan simbolis), film, dan literatur. Pada
dasarnya, postmodernisme menantang ide tentang "kebenaran tunggal"
dan menerima bahwa kenyataan bisa dipahami melalui berbagai perspektif yang
berbeda.
Ada aspek lain dari postmodernisme yang lebih terkait
dengan teknologi, media massa, dan perubahan sosial yang lebih besar, yang
memberi dampak pada cara kita memahami identitas, budaya, dan sejarah.
Postmodernisme lahir sebagai reaksi terhadap
modernisme, yang berkembang pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Modernisme,
dengan penekanannya pada rasionalitas, kemajuan, dan pencarian kebenaran
universal, mengalami krisis dan kritik di pertengahan abad ke-20. Faktor-faktor
sosial, politik, budaya, dan intelektual yang melatarbelakangi munculnya postmodernisme
sangat kompleks.
Modernisme, yang puncaknya terjadi pada awal abad
ke-20, berfokus pada kemajuan, rasionalitas, dan penolakan terhadap tradisi.
Dalam seni, sastra, dan filsafat, modernisme mengusung ide-ide tentang inovasi,
bentuk baru, dan pencarian kebenaran objektif.
Namun, pada pertengahan abad ke-20, banyak
intelektual, seniman, dan filosof merasa bahwa modernisme telah gagal memenuhi
janjinya. Perang Dunia I dan II, Holocaust, dan peristiwa-peristiwa tragis
lainnya memunculkan keraguan besar terhadap ide-ide besar modernisme tentang
kemajuan dan rasionalitas.
Eksistensialisme (dengan tokoh utama seperti Jean-Paul
Sartre, Albert Camus, dan Martin Heidegger) menekankan pentingnya pengalaman
individual, kebebasan, dan pencarian makna hidup dalam dunia yang absurd.
Pandangan eksistensialisme tentang ketiadaan makna atau tujuan yang lebih
tinggi mulai mempengaruhi pemikiran postmodernis.
Strukturalisme yang dipelopori oleh tokoh seperti
Ferdinand de Saussure dan Claude Lévi-Strauss juga memberikan pengaruh besar.
Strukturalisme berfokus pada analisis sistem tanda dan bahasa serta cara kita
mengkonstruksi makna. Meskipun strukturalisme memberikan kontribusi penting
dalam memahami budaya dan bahasa, ia dianggap terlalu fokus pada struktur tetap
dan kurang memberikan ruang untuk kebebasan individu atau variasi dalam
interpretasi.
Pada 1960-an, muncul post-strukturalisme, yang lebih
radikal dalam kritiknya terhadap struktur dan makna tetap. Tokoh-tokoh seperti Michel
Foucault, Jacques Derrida, dan Roland Barthes menjadi penting dalam membentuk
paham postmodernisme.
Derrida memperkenalkan konsep dekonstruksi, yang
meruntuhkan ide bahwa makna dalam teks atau budaya adalah stabil dan dapat
dipahami secara objektif. Menurutnya, makna selalu terpecah dan bergantung pada
konteks dan relasi antar elemen.
Foucault mengembangkan konsep tentang kekuasaan,
pengetahuan, dan cara sejarah membentuk pemahaman kita tentang kebenaran. Ia
menekankan bahwa pengetahuan dan kebenaran selalu terkait dengan kekuasaan, dan
tidak ada narasi sejarah atau kebenaran yang bersifat objektif dan tidak bias.
Barthes mengkritik ide bahwa penulis atau pembuat seni
adalah sumber otoritatif dari makna. Ia mengusulkan bahwa pembaca atau penonton
harus bebas untuk menginterpretasikan karya seni dan teks menurut perspektif
mereka sendiri.
Pada periode ini, muncul banyak gerakan sosial yang
menantang norma-norma tradisional, seperti gerakan hak-hak sipil, feminisme,
dan gerakan mahasiswa. Reaksi terhadap otoritas, hierarki, dan narasi dominan
juga merembet ke dunia budaya dan intelektual.
Revolusi budaya dan sosial ini mempengaruhi
perkembangan postmodernisme dengan cara memperkenalkan lebih banyak pluralitas
dalam hal identitas, gender, dan pengalaman sosial. Dalam konteks ini, postmodernisme
lebih mengutamakan pandangan yang mengakui perbedaan dan pluralitas, serta
menolak gagasan tentang kebenaran atau identitas yang tetap.
Di bidang seni dan arsitektur, postmodernisme menjadi
dominan pada akhir abad ke-20. Seni visual, sastra, dan arsitektur postmodern
cenderung menggabungkan elemen-elemen dari masa lalu, mencampur berbagai gaya,
dan sering kali mengandung unsur humor, ironi, dan kritik terhadap budaya
populer.
Arsitektur postmodern menolak desain fungsionalis
modern dan justru menggabungkan ornamen, simbolisme, dan elemen visual yang
lebih beragam. Tokoh seperti Robert Venturi dan Michael Graves adalah contoh
arsitek yang mempopulerkan gaya postmodern.
Dalam seni visual, seniman seperti Andy Warhol dan Roy
Lichtenstein menggabungkan seni tinggi dan seni pop, sementara dalam sastra,
penulis seperti Thomas Pynchon dan Italo Calvino mengadopsi teknik narasi yang
tidak linear dan penuh dengan referensi silang serta intertekstualitas.
Postmodernisme juga sangat mempengaruhi dunia media
dan budaya populer. Dalam film, misalnya, sutradara seperti Quentin Tarantino
dan David Lynch menggunakan teknik narasi non-linier dan sering mengaburkan
batas antara realitas dan fiksi.
Dalam budaya populer, muncul tren
"metafiksi", di mana karya-karya seperti film, buku, dan musik sering
kali merujuk pada karya lain atau mencampurkan genre, menciptakan
"realitas" yang bersifat lebih cair dan tidak tetap.
Apa kritik Ahmad Sastra terhadap paham post modernism,
ChatGPT said : Dr. Ahmad Sastra, seorang pemikir dan intelektual Muslim,
memberikan kritik terhadap paham postmodernisme dari perspektif Islam. Kritik
beliau berfokus pada beberapa aspek penting dari postmodernisme yang
dianggapnya bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dalam ajaran Islam.
Kritik Dr. Ahmad
Sastra terhadap paham postmodernisme bahwa salah satu poin utama dalam
postmodernisme adalah relativisme kebenaran, di mana kebenaran dianggap
bergantung pada konteks dan perspektif individu. Postmodernisme menganggap
bahwa tidak ada kebenaran tunggal dan setiap pandangan atau interpretasi
dianggap sah.
Dalam Islam, kebenaran bersifat absolut dan berasal
dari wahyu Tuhan (Allah) melalui Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Kebenaran ini tidak bergantung pada subjektivitas individu atau konteks sosial,
tetapi merupakan petunjuk yang jelas dan universal. Dalam perspektif Islam, ada
kebenaran yang tetap dan berlaku untuk semua umat manusia, tanpa dipengaruhi
oleh perbedaan budaya atau individu.
Postmodernisme sering kali menolak narasi besar atau
ideologi besar seperti rasionalitas, kemajuan, dan bahkan narasi agama sebagai
kebenaran mutlak. Postmodernisme lebih memilih pluralisme dan interpretasi yang
beragam.
Islam memiliki pandangan yang kuat mengenai narasi besar
yang ada dalam agamanya, seperti konsep kehidupan setelah mati, hukum Tuhan,
dan tujuan hidup manusia yang bersifat universal. Dalam Islam, narasi tentang
penciptaan alam semesta, kehidupan manusia, dan tujuan akhir hidup (yakni
mencapai ridha Allah) merupakan kebenaran yang tidak bisa ditawar. Dr. Ahmad
Sastra melihat penolakan terhadap narasi besar ini sebagai bentuk relativisme
yang dapat merusak pemahaman umat Islam tentang tujuannya di dunia.
Postmodernisme mengedepankan skeptisisme terhadap
otoritas, baik itu otoritas ilmiah, budaya, maupun agama. Hal ini sering kali
berujung pada dekonstruksi terhadap konsep-konsep yang dianggap absolut atau
otoritatif.
Dalam Islam, ada otoritas yang sangat dihormati, yaitu
wahyu Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Al-Qur'an, serta
sunnah Nabi yang dijadikan pedoman hidup umat Muslim. Otoritas ini tidak bisa
direduksi atau digugat begitu saja oleh pandangan yang muncul secara
kontekstual. Dr. Ahmad Sastra berpendapat bahwa postmodernisme cenderung
mereduksi otoritas agama, yang bisa berisiko menciptakan keraguan atau
kekacauan dalam praktik keagamaan dan moral umat Islam.
Dekonstruksi yang merupakan salah satu elemen penting
dalam postmodernisme, yang diterapkan oleh tokoh seperti Jacques Derrida,
berfokus pada pembongkaran struktur makna dan menekankan bahwa makna bersifat
tidak pasti dan terus berubah. Hal ini menimbulkan ketidakstabilan dalam
pemahaman dan interpretasi.
Dalam Islam, makna dari wahyu Tuhan, Al-Qur'an, adalah
jelas dan tidak berubah meskipun cara penafsiran bisa bervariasi. Namun, inti
dari wahyu tersebut tidak terpengaruh oleh perubahan waktu dan tempat. Bagi Dr.
Ahmad Sastra, pendekatan postmodern yang mengutamakan ketidakpastian makna
bertentangan dengan keyakinan Islam yang menegaskan bahwa makna wahyu Allah
adalah jelas dan tidak berubah, serta mengandung petunjuk hidup yang pasti.
Postmodernisme sering kali mengarah pada relativisme
identitas, di mana identitas dianggap sebagai konstruksi sosial yang dapat
berubah sesuai dengan waktu dan situasi. Ini bisa menciptakan kebingungan
identitas dan pengabaian terhadap nilai-nilai agama.
Islam mengajarkan bahwa identitas manusia tidak dapat
dipisahkan dari keyakinannya kepada Tuhan (tauhid) dan ajaran agama.
Identitas Muslim adalah identitas yang berlandaskan
pada iman, ibadah, dan syariat Islam yang tetap. Dr. Ahmad Sastra berpendapat
bahwa pengabaian terhadap nilai-nilai agama dalam postmodernisme dapat
melemahkan fondasi moral dan spiritual umat Muslim.
Postmodernisme mengagungkan pluralisme dan
relativitas, yang pada dasarnya menganggap semua pandangan, budaya, dan agama
setara. Hal ini bisa mengarah pada pandangan bahwa tidak ada agama yang lebih
benar atau lebih baik dari yang lain.
Islam, menurut Dr. Ahmad Sastra, memandang bahwa agama
Islam adalah agama yang benar dan sesuai dengan wahyu Tuhan. Meski demikian,
Islam juga mengajarkan untuk menghormati perbedaan dan berinteraksi dengan baik
dengan umat agama lain, tetapi tidak menganggap semua agama adalah sama dalam
hal kebenaran absolut.
Dalam Islam, pengakuan terhadap kebenaran agama
lainnya harus didasarkan pada prinsip penghormatan, bukan pengakuan akan
kesamaan absolut dalam ajaran-ajaran fundamental.
Dr. Ahmad Sastra mengkritik postmodernisme dari sudut
pandang Islam karena postmodernisme dianggapnya merusak keyakinan terhadap
kebenaran yang absolut, melemahkan struktur otoritas agama, dan menumbuhkan
keraguan terhadap nilai-nilai yang sudah tertanam dalam ajaran Islam.
Dalam pandangannya, meskipun Islam menghargai
perbedaan dan pluralisme, ia tetap mempertahankan bahwa ada kebenaran yang
objektif, yaitu wahyu Tuhan, yang tidak dapat digugat atau digantikan dengan
relativisme yang ditawarkan oleh postmodernisme.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 30 Ramadhan 1446 H – 30 Maret
2025 M : 19.45 WIB)