Oleh : Ahmad Sastra
Neo-modernisme adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan perkembangan atau reaksi terhadap modernisme, yang muncul setelah
era modernisme klasik (akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20).
Gerakan ini lebih berfokus pada penggabungan beberapa
ideologi dan pendekatan yang berbeda dari berbagai aliran yang pernah ada
sebelumnya, termasuk modernisme, postmodernisme, dan bahkan tradisionalisme,
dengan tujuan untuk menciptakan suatu bentuk baru yang lebih relevan dengan
konteks sosial, politik, dan budaya kontemporer.
Neo-modernisme sering dianggap sebagai upaya untuk
memperbaharui atau mengadaptasi prinsip-prinsip modernisme agar lebih sesuai
dengan realitas zaman sekarang, yang banyak dipengaruhi oleh teknologi,
globalisasi, dan perubahan sosial yang sangat cepat. Gerakan ini cenderung
lebih inklusif dan tidak terikat pada aturan yang ketat seperti yang ditemukan
pada modernisme klasik.
Neo-modernisme seringkali berusaha untuk menggabungkan
elemen-elemen tradisional (seperti budaya, nilai-nilai lokal, atau agama)
dengan ide-ide dan teknologi modern. Hal ini terlihat dalam seni, arsitektur,
dan pemikiran yang berusaha menjaga relevansi tradisi tanpa menutup diri
terhadap inovasi dan kemajuan. Artinya, aliran ini tidak menolak modernitas,
tetapi mencoba mengintegrasikan aspek tradisional dengan cara yang lebih
harmonis.
Sementara postmodernisme sering kali dicirikan oleh relativisme, dekonstruksi,
dan ketidakpastian, neo-modernisme mencoba mengembalikan keyakinan pada
kemajuan, rasionalitas, dan kemampuan manusia untuk memecahkan masalah melalui
ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, berbeda dengan modernisme klasik,
neo-modernisme lebih terbuka terhadap pluralisme dan keberagaman perspektif.
Neo-modernisme memperhatikan dampak besar teknologi dan globalisasi terhadap
masyarakat dan budaya. Berbeda dengan modernisme yang sering kali lebih
terfokus pada ide-ide abstrak dan formal, neo-modernisme lebih realistis dalam
menghadapi tantangan dunia yang terhubung secara global. Ia mengadopsi
teknologi sebagai bagian integral dari kehidupan manusia, tetapi tetap
mempertahankan perhatian pada nilai-nilai kemanusiaan.
Seperti halnya modernisme, neo-modernisme menekankan
pentingnya kreativitas dan ekspresi individu, tetapi dengan pemahaman yang
lebih terbuka dan mengakomodasi berbagai bentuk ekspresi. Dalam seni dan
desain, neo-modernisme mengutamakan keberagaman estetika dan kemungkinan baru
dalam menciptakan karya, baik itu melalui penggunaan media digital, seni
kontemporer, atau bentuk inovatif lainnya.
Neo-modernisme muncul sebagai respons terhadap kegelisahan yang timbul dari
postmodernisme, yang sering dianggap membiarkan kekosongan nilai dan
kebingungan identitas. Dalam hal ini, neo-modernisme berusaha mencari kembali
makna yang lebih jelas dan sistem nilai yang lebih kokoh, meskipun tetap
mengakomodasi perkembangan zaman.
Dalam seni dan arsitektur, neo-modernisme dapat
dilihat sebagai pergerakan yang menyeimbangkan antara estetika fungsional dan
ekspresi artistik. Arsitektur neo-modernisme, misalnya, bisa mencakup desain
yang sederhana dan fungsional (seperti yang ditemukan dalam modernisme), namun
dengan sentuhan inovasi yang memperhitungkan konteks sosial dan budaya lokal.
Seniman neo-modernis lebih terbuka terhadap berbagai teknik dan media, tanpa
terikat pada gaya tertentu.
Dalam sastra dan filsafat, neo-modernisme lebih fleksibel dalam cara
menggambarkan pengalaman manusia dan dunia, mengakui keragaman perspektif dan
pengalaman. Ia menghindari dogma atau pandangan tunggal dan lebih menekankan
pada pencarian makna dalam kehidupan yang kompleks dan beragam. Dalam hal ini,
neo-modernisme berusaha untuk memperbaharui pendekatan terhadap realitas,
dengan menghargai keberagaman tanpa kehilangan rasa kemajuan dan pencarian
kebenaran.
Dalam teori sosial dan politik, neo-modernisme dapat dilihat sebagai aliran
yang mencoba mencari keseimbangan antara kebebasan individu dan tanggung jawab
sosial, dengan mengakui pentingnya globalisasi dan teknologi dalam mengubah
tatanan sosial. Ini juga bisa mencakup kritik terhadap ketimpangan sosial,
serta pencarian untuk memperbarui ideologi-ideologi sosial agar lebih relevan
dengan kondisi dunia saat ini.
Neo-modernisme muncul sebagai respons terhadap
perkembangan paham modernisme klasik dan postmodernisme pada abad ke-20. Untuk
memahami sejarah lahirnya neo-modernisme, kita perlu melihat latar belakang
perubahan sosial, budaya, dan intelektual yang memengaruhi munculnya gerakan
ini.
Neo-modernisme bisa dianggap sebagai upaya untuk
merevitalisasi nilai-nilai modernisme, namun dengan penyesuaian yang lebih
fleksibel dan terbuka terhadap perkembangan zaman, tanpa meninggalkan kritikan
terhadap postmodernisme yang dianggap membawa relativisme dan dekonstruksi
berlebihan.
Modernisme, yang muncul pada akhir abad ke-19 hingga
awal abad ke-20, adalah gerakan yang menekankan rasionalitas, kemajuan, dan
pencarian bentuk-bentuk baru dalam seni, arsitektur, sastra, dan filosofi.
Modernisme berusaha menanggalkan tradisi dan mencari cara baru dalam
menggambarkan realitas. Namun, modernisme sering kali dianggap terlalu utopis
dan terfokus pada eksperimen yang murni rasional.
Setelah Perang Dunia II, muncul gerakan postmodernisme
pada akhir abad ke-20 yang secara kritis memandang modernisme. Postmodernisme
mengutamakan relativisme, dekonstruksi, dan pluralitas pandangan. Postmodernis
menolak gagasan-gagasan besar seperti "kemajuan" dan "kebenaran
universal" yang menjadi ciri khas modernisme. Di dunia seni, arsitektur,
dan sastra, postmodernisme mengutamakan gaya yang lebih eklektik, ironis, dan
skeptis terhadap otoritas atau narasi besar.
Namun, pasca-era postmodernisme, ada kesadaran akan
kebutuhan untuk mencari bentuk baru yang lebih relevan dan dapat
mengintegrasikan elemen-elemen dari tradisi, modernisme, dan postmodernisme. Neo-modernisme
lahir sebagai reaksi terhadap keterbatasan postmodernisme, yang dianggap sering
meruntuhkan makna dan arah yang jelas dalam kehidupan sosial dan budaya.
Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, dunia
menghadapi perubahan global yang sangat cepat: kemajuan teknologi, revolusi
informasi, globalisasi, dan munculnya tantangan-tantangan baru dalam politik
dan sosial. Dunia yang semakin terhubung ini menciptakan kebutuhan untuk
pendekatan yang lebih terbuka dan adaptif terhadap realitas yang terus berubah.
Di sisi lain, masyarakat juga mulai merasa bahwa
postmodernisme, dengan sifatnya yang cenderung meragukan semua nilai dan
tradisi, menciptakan rasa kekosongan atau kehilangan arah. Ada keresahan
tentang kehilangan makna dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam seni, budaya,
maupun pemikiran sosial dan politik.
Dalam konteks ini, neo-modernisme muncul sebagai
bentuk sintesis antara nilai-nilai tradisional yang memberi fondasi stabilitas
dan makna, serta kemajuan dan teknologi modern yang memberi peluang untuk
penciptaan baru dan transformasi. Neo-modernisme ingin mempertahankan prinsip-prinsip
rasionalitas dan kemajuan yang ada pada modernisme, tetapi dengan pengakuan
atas keragaman, pluralitas, dan konteks sosial yang lebih kompleks.
Salah satu faktor yang mempercepat lahirnya
neo-modernisme adalah dampak besar dari teknologi dan globalisasi yang merombak
hampir semua aspek kehidupan manusia. Dengan munculnya media sosial, internet,
dan teknologi digital, dunia menjadi lebih terbuka dan terhubung, mengarah pada
arus informasi yang lebih cepat dan melibatkan lebih banyak suara. Globalisasi
menciptakan dunia yang lebih plural, di mana berbagai kebudayaan dan ideologi
dapat saling berinteraksi dan bercampur.
Neo-modernisme mengakui bahwa teknologi dan
globalisasi adalah bagian integral dari dunia modern yang tidak dapat
dihindari. Sebagai gerakan yang fleksibel, neo-modernisme berusaha
menyelaraskan kemajuan teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan, serta
menghindari dominasi sekuler atau materialisme sempit yang hanya mengutamakan
efisiensi dan keuntungan.
Pada awal abad ke-21, pemikiran neo-modernisme mulai
berkembang dalam banyak bidang seperti seni, arsitektur, sastra, teori sosial, dan
politik. Dalam arsitektur, misalnya, neo-modernisme mencoba mengintegrasikan
aspek fungsionalitas modern dengan elemen-elemen lokal dan tradisional,
menciptakan bentuk-bentuk yang inovatif tetapi tetap menghormati sejarah dan
konteks budaya.
Di bidang seni dan sastra, neo-modernisme berfokus
pada pluralisme dan inovasi. Seniman dan penulis yang terpengaruh oleh
neo-modernisme lebih terbuka terhadap eksperimen dan penggunaan teknologi baru,
tetapi tetap mencari makna dan tujuan yang lebih jelas, yang hilang dalam
pendekatan dekonstruktif postmodernisme.
Secara keseluruhan, neo-modernisme merupakan upaya
untuk mencari keseimbangan antara kemajuan teknologi dan rasionalitas dengan
kebutuhan manusia untuk memiliki makna dan identitas yang lebih stabil dalam
dunia yang semakin kompleks. Gerakan ini tidak hanya sekadar mencoba
melanjutkan proyek modernisme, tetapi juga berusaha menciptakan dunia yang
lebih inklusif, terbuka, dan menghargai keberagaman, sambil tetap mengutamakan
pencapaian kemajuan dan kebijaksanaan.
Apa kritik Ahmad Sastra terhadap paham neo modernism, ChatGPT
said: Dr. Ahmad Sastra, sebagai seorang pemikir dan intelektual yang
memperhatikan pandangan Islam terhadap perkembangan pemikiran modern,
memberikan kritik terhadap paham neo-modernisme dari perspektif Islam. Meskipun
neo-modernisme mengusung ide pembaruan dan integrasi antara kemajuan teknologi
dengan nilai-nilai tradisional.
Dr. Ahmad Sastra mengkritik neo-modernisme yang,
meskipun mencoba menggabungkan elemen-elemen tradisional dan modern, sering
kali mengedepankan rasionalitas dan teknologi tanpa memperhatikan dimensi
spiritual yang sangat penting dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Islam,
kehidupan manusia tidak hanya ditentukan oleh rasionalitas dan teknologi,
tetapi juga harus berlandaskan pada prinsip-prinsip spiritual dan agama.
Neo-modernisme, dengan segala penekanannya pada kemajuan duniawi, kadang
dianggap mengabaikan pentingnya hubungan manusia dengan Tuhan dan aspek moral
dalam menjalani kehidupan.
Dr. Ahmad Sastra berpendapat bahwa setiap kemajuan
yang dicapai dalam bidang ilmu dan teknologi seharusnya tidak hanya dipandang
dari sisi material dan rasional semata, tetapi juga harus memperhatikan
bagaimana hal tersebut dapat berkontribusi pada pembentukan akhlak yang baik
dan mendekatkan diri kepada Allah. Tanpa dimensi spiritual ini, kata Dr. Ahmad
Sastra, kemajuan yang dicapai bisa berisiko menciptakan kerusakan dalam
masyarakat
Salah satu kritik besar Dr. Ahmad Sastra terhadap
neo-modernisme adalah bahwa gerakan ini berpotensi mengarah pada sekularisasi,
yaitu pemisahan agama dari kehidupan publik dan sosial. Meskipun neo-modernisme
mengklaim berusaha untuk menggabungkan tradisi dengan kemajuan, namun dalam
praktiknya sering kali berisiko memisahkan dimensi agama dari berbagai aspek
kehidupan.
Dalam perspektif Islam, agama harus menjadi panduan
utama dalam segala aspek kehidupan, baik dalam pribadi individu maupun dalam
tatanan sosial. Dr. Ahmad Sastra berpendapat bahwa pemisahan agama dari
kehidupan sosial yang semakin kuat, seperti yang dikhawatirkan dalam neo-modernisme,
dapat merusak moralitas masyarakat dan mengguncang tatanan sosial yang sudah
lama dibangun berdasarkan nilai-nilai Islam.
Neo-modernisme, meskipun mengusung pluralisme dan
inklusivitas, juga cenderung menonjolkan relativisme dalam banyak hal, terutama
dalam hal nilai dan kebenaran. Hal ini bertentangan dengan pandangan Islam yang
menganggap bahwa kebenaran mutlak ada dalam wahyu Tuhan dan ajaran agama. Dalam
pandangan Islam, ada pedoman yang jelas dalam hidup yang harus diikuti oleh
umat manusia, sedangkan neo-modernisme cenderung membiarkan kebenaran dan
nilai-nilai menjadi relatif dan bergantung pada perspektif individu atau
budaya.
Dr. Ahmad Sastra menganggap bahwa relativisme ini
dapat menyebabkan masyarakat kehilangan arah dalam pencarian makna hidup yang
sebenarnya. Dalam Islam, pencarian makna hidup harus berorientasi pada
pencapaian tujuan spiritual, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dan mengikuti
petunjuk-Nya. Sementara itu, neo-modernisme yang berfokus pada kebebasan
pribadi dan relativisme berisiko menyebabkan kebingungan tentang tujuan hidup
dan moralitas.
Dr. Ahmad Sastra menganggap bahwa salah satu
kekurangan besar dari neo-modernisme adalah penekanannya pada kemajuan
teknologi dan materialisme yang berlebihan. Meskipun ia mengakui bahwa
teknologi membawa banyak manfaat, namun tanpa memperhatikan dimensi moral dan
sosial, teknologi dapat membawa dampak negatif bagi umat manusia, seperti
alienasi, pengabaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan kesenjangan sosial
yang lebih besar.
Dalam pandangan Islam, kemajuan teknologi harus selalu
diimbangi dengan tanggung jawab moral dan sosial. Dr. Ahmad Sastra berpandangan
bahwa neo-modernisme, meskipun mencoba untuk menerima kemajuan teknologi,
sering kali gagal untuk mengaitkan perkembangan tersebut dengan pemahaman etis
dan spiritual. Islam mengajarkan bahwa dunia dan teknologi adalah amanah yang
harus digunakan untuk kebaikan umat manusia dan bukan untuk keuntungan material
semata.
Neo-modernisme sering kali dianggap terlalu berfokus
pada integrasi antara modernitas dan tradisi tanpa memberikan tempat yang cukup
bagi warisan budaya Islam yang sangat kaya. Dalam pandangan Dr. Ahmad Sastra,
warisan ini meliputi tidak hanya tradisi keilmuan Islam yang telah terbukti
memberikan kontribusi besar kepada peradaban dunia, tetapi juga prinsip-prinsip
sosial dan moral yang harus tetap menjadi landasan bagi pembangunan masyarakat
Islam.
Dr. Ahmad Sastra berpendapat bahwa dalam upaya
menggabungkan elemen modern dan tradisional, neo-modernisme harus lebih
menekankan pada pemanfaatan dan pelestarian warisan budaya Islam, yang memiliki
prinsip-prinsip yang sangat relevan dengan kehidupan masa kini. Tanpa dasar
yang kuat dari warisan ini, neo-modernisme mungkin kehilangan arah dan jatuh ke
dalam pengaruh kebudayaan Barat yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Kritik Dr. Ahmad Sastra terhadap neo-modernisme dari
perspektif Islam berfokus pada beberapa aspek penting, antara lain:
kecenderungannya mengabaikan dimensi spiritual, potensi sekularisasi,
relativisme nilai, pengaruh berlebihan dari materialisme dan teknologi, serta
kurangnya penghargaan terhadap warisan budaya Islam.
Bagi Dr. Ahmad Sastra, modernitas dan tradisi
seharusnya tidak dipisahkan, tetapi harus berjalan beriringan dengan dasar
spiritual dan moral yang kuat dalam Islam. Neo-modernisme, meskipun berusaha
menggabungkan modernitas dan tradisi, harus lebih hati-hati agar tidak
mengorbankan prinsip-prinsip dasar Islam yang menjadi pedoman hidup umat
manusia.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 30 Ramadhan 1446 H – 30 Maret
2025 M : 19.30 WIB)