SEJARAH PENGKHIANATAN PERJANJIAN DAMAI OLEH YAHUDI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Gencatan senjata merupakan kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai untuk menghentikan sementara atau secara permanen tindakan kekerasan dan permusuhan bersenjata. Istilah ini berasal dari kata "gencat" yang berarti berhenti dan "senjata" yang merujuk pada alat perang.

 

Dalam konteks hukum internasional, gencatan senjata didefinisikan sebagai perjanjian antara pihak-pihak yang berperang untuk menghentikan permusuhan selama jangka waktu tertentu atau tanpa batas waktu. Tujuan utamanya adalah mengurangi kekerasan dan membuka peluang untuk negosiasi perdamaian.

 

Beberapa poin penting terkait pengertian gencatan senjata: (1) Bersifat sementara atau permanen (2) Melibatkan kesepakatan antara pihak-pihak yang berkonflik (3) Bertujuan menghentikan tindakan kekerasan dan permusuhan (4) Dapat bersifat formal (tertulis) atau informal (lisan) dan (5) Membuka peluang untuk negosiasi lebih lanjut.

 

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akan memulai negosiasi mengenai tahap kedua gencatan senjata di Gaza ketika ia bertemu dengan Utusan Timur Tengah Presiden AS Donald Trump, Steve Witkoff, pada Senin 3 Februari 2025 di Washington. Hal ini diungkapkan kantor Netanyahu pada Sabtu malam seperti dilansir Reuters.

 

Netanyahu dijadwalkan meninggalkan Israel pada Ahad ke Washington, di mana ia akan bertemu pada Selasa 5 Februari 2025 dengan Trump di Gedung Putih. Keduanya akan membahas Gaza dan sandera Israel yang ditahan di sana. Selama pertemuannya dengan Witkoff, Netanyahu akan membahas posisi Israel sehubungan dengan gencatan senjata, kata kantor perdana menteri.

 

Witkoff kemudian akan berbicara dengan para pejabat dari Mesir dan Qatar, yang telah menjadi penengah antara Israel dan Hamas selama 15 bulan terakhir dengan dukungan dari Washington. Israel dan Hamas bulan lalu mencapai kesepakatan gencatan senjata yang kompleks, yang akan dilaksanakan dalam tiga tahap, yang telah menghentikan pertempuran di Gaza. (tempo.co)

 

Sementara itu, menteri Keuangan sekaligus tokoh ekstremis sayap kanan Israel, Bezalel Smotrich, meminta Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk mendorong penerapan “kedaulatan” Israel atas Tepi Barat yang diduduki selama kunjungannya ke Washington, Amerika Serikat. “Banyak hal yang dipertaruhkan – kemenangan penuh di Gaza, kehancuran Hamas dan kembalinya semua sandera kami, memperkuat keamanan kami di semua perbatasan – di Suriah, Lebanon, dan tentu saja melawan kepala gurita, rezim Iran dan ancaman nuklir. Bahaya ini harus dihilangkan,” kata Smotrich, pemimpin Partai Religius Zionisme, di akun X-nya. (tempo.co)

 

Gencatan senjata yang disepakati antara Israel dan Hamas mendapat sorotan karena diduga menjadi bagian dari strategi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk memindahkan warga Gaza ke wilayah lain. Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof. Hikmahanto Juwana, dalam acara Gelora Talks bertajuk “Gencatan Senjata, Pembebasan Sandera & Apa Tantangannya?” pada Rabu, 29 Januari 2025. (eramuslim.com)

 

Kelompok Palestina, Hamas, mengecam pernyataan berulang dari Amerika Serikat tentang pemindahan warga Palestina dari Gaza dengan menyebutnya tidak masuk akal dan tidak berarti. Pemimpin Senior Hamas, Sami Abu Zuhri, menyampaikan bahwa pengumuman berulang dari AS tentang pemindahan warga Palestina dari Jalur Gaza dengan dalih pembangunan kembali mencerminkan keterlibatan yang terus-menerus dalam kejahatan tersebut.

 

Pemimpin Hamas tersebut menganggap desakan pemerintahan AS terhadap rencana pemindahan warga Palestina dari Gaza sebagai “resep” untuk kekacauan dan ketegangan lebih lanjut di kawasan. Pada Jumat, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa dia yakin Mesir dan Yordania akan menerima warga Palestina dari Jalur Gaza, menekankan kembali pernyataan sebelumnya mengenai isu tersebut.

 

MUI mengkritik rencana Donald Trump untuk memindahkan warga Gaza ke Indonesia. Jika Gaza kosong, maka Tel Aviv akan mewujudkan Israel. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas angkat bicara ihwal rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk merelokasi warga Gaza, Palestina, ke Indonesia. Dia menyebut ada hal kurang baik di balik ide kemanusiaan Trump itu.

 

Anwar menduga Trump ingin melemahkan kekuatan Hamas dan kelompok perlawanan lain di Palestina. Sebab, berkurangnya penduduk Gaza membuat kelompok-kelompok perlawanan di Gaza kesulitan merekrut anggota. Dengan demikian, AS dan Israel bisa mengendalikan kelompok perlawanan yang ada di Palestina. Selain itu, Anwar menilai AS dan Israel juga tidak akan mengembalikan warga Gaza ke Palestina usai direlokasi. Dia menilai keberadaan warga Gaza menjadi ancaman bagi AS dan Israel. 

 

"Dengan kosongnya daerah Gaza, maka Israel akan semakin bersemangat mewujudkan negara Israel Raya yang mereka idam-idamkan karena wilayah negara Palestina sudah bisa mereka kuasai," ujarnya.

 

Tak sampai di situ, Anwar meminta pemerintah Indonesia agar menolak rencana Trump yang mau merelokasi warga Gaza ke Indonesia. "Karena di balik topeng kemanusiaan yang dia (Trump) pergunakan, ada rencana buruk yang tidak bisa kita terima, yaitu memperkuat dan memperluas negara Israel serta mengorbankan kemerdekaan dan kepentingan rakyat Palestina," tuturnya. (tempo.co)

 

Dalam sejarah, Israel sejak dulu dikenal sebagai entitas yang selalu melanggar perjanjian damai. Israel itu pengecut, sebab wataknya buruk sejak dahulu kala. Entah sudah berapa kali israel melanggar perjanjian damai dengan kaum muslimin. Wajar jika Rasulullah mengusirnya dari Madinah.

 

Pengusiran kaum Yahudi dari Madinah oleh Rasulullah Muhammad SAW terjadi dalam beberapa tahap yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah awal Islam. Ada tiga kelompok Yahudi utama yang tinggal di Madinah pada masa itu: Banu Qaynuqa, Banu Nadir, dan Banu Qurayza. Ketiga kelompok ini memiliki hubungan yang sangat kompleks dengan komunitas Muslim yang baru terbentuk di Madinah. Masing-masing kelompok Yahudi ini terlibat dalam konflik dengan Rasulullah dan umat Islam, yang akhirnya menyebabkan pengusiran mereka.

 

Sejarah pelanggaran perjanjian damai oleh Israel melibatkan berbagai peristiwa yang terjadi sejak berdirinya negara Israel pada 1948. Meskipun Israel telah menandatangani beberapa perjanjian damai dengan negara-negara Arab dan Palestina, ada beberapa kasus yang menunjukkan bahwa Israel tidak selalu mematuhi ketentuan yang disepakati.

 

Pada tahun 1978, Israel dan Mesir mencapai perjanjian damai yang terkenal sebagai Perjanjian Camp David, yang dimediasi oleh Presiden AS Jimmy Carter. Perjanjian ini berisi ketentuan tentang penarikan pasukan Israel dari Sinai, yang direbut selama Perang Enam Hari 1967. Mesir menjadi negara Arab pertama yang mengakui Israel.

 

Namun, setelah perjanjian ini, pelanggaran terhadap hak-hak Palestina terus terjadi. Israel tidak sepenuhnya memenuhi kewajibannya dalam hal pembatasan pemukiman dan aktivitas militer di wilayah Palestina yang terjajah. Konflik terus berlanjut, dan isu Palestina tetap menjadi masalah yang belum terselesaikan.

 

Perjanjian Oslo adalah kesepakatan penting antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang difasilitasi oleh Norwegia pada tahun 1993. Dalam perjanjian ini, Israel dan PLO sepakat untuk saling mengakui dan berusaha mencapai penyelesaian dua negara. Israel setuju untuk memberikan otonomi kepada wilayah Palestina di Tepi Barat dan Gaza.

 

Namun, pelanggaran Israel terhadap perjanjian ini terjadi dalam bentuk ekspansi pemukiman di Tepi Barat, yang dianggap ilegal oleh banyak pihak internasional, serta serangan militer yang terus berlanjut. Selain itu, banyaknya rintangan administratif dan kebijakan yang diterapkan oleh Israel membuat proses perdamaian tidak berjalan dengan lancar.

 

Perjanjian Wye River adalah lanjutan dari perjanjian Oslo yang ditandatangani pada 1998 antara Israel dan Palestina, yang bertujuan untuk mempercepat pelaksanaan kesepakatan Oslo, termasuk penarikan pasukan Israel dari sebagian Tepi Barat dan Gaza. Namun, perjanjian ini juga diwarnai dengan pelanggaran dari pihak Israel, termasuk pelaksanaan yang lambat dan kebijakan pemukiman yang terus berkembang di wilayah yang seharusnya menjadi bagian dari negara Palestina.

 

Perjanjian Annapolis adalah upaya baru untuk mencapai perdamaian antara Israel dan Palestina yang dimulai pada tahun 2007, tetapi seperti perjanjian-perjanjian sebelumnya, pelanggaran oleh Israel terhadap komitmen yang disepakati, terutama dalam hal pembangunan pemukiman, dan ketegangan politik yang terus meningkat, membuat perjanjian ini juga gagal memberikan hasil yang diinginkan.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 09/02/25 : 13.11 WIB)

 


__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.