Oleh : Ahmad
Sastra
Filsafat
manusia dapat menjadi landasan yang sangat penting dalam memahami dan
mengembangkan konsep deep learning (pembelajaran mendalam) dari perspektif mindful.
Sebab pembelajaran deep learning dimulai dari sebuah proses berpikir tentang
segala realitas.
Dalam
konteks ini, ilmu filsafat (berbikir mendalam) dapat menghubungkan
konsep-konsep filosofis dengan prinsip-prinsip yang ada dalam deep learning
untuk menciptakan pemahaman yang lebih holistic dan fundamental melalui aktivitas
berpikir, baik rasional maupun santifik. Deep learning harus dimulai dari
pemahaman bahwa manusia adalah makhluk berakal atau makhluk berpikir.
Diantara filsafat
manusia adalah eksistensialisme, khususnya gagasan dari Jean-Paul Sartre dan
Martin Heidegger, mengajukan bahwa manusia hidup dalam dunia yang penuh
ketidakpastian dan harus mencari makna hidup secara sadar dan otentik. Dalam
deep learning, hal ini bisa diterjemahkan sebagai kemampuan sistem untuk tidak
hanya memproses data secara mekanis, tetapi untuk "memahami" konteks
data dan menciptakan representasi yang lebih mendalam berdasarkan pengalaman
atau data yang ada. Mindfulness, dalam hal ini, dapat mengarah pada
pengembangan algoritma yang lebih sadar akan bias, konteks, dan nuansa dalam
data yang diproses.
Filsafat
fenomenologi juga harus menjadi landasan bagi pengembangan pembelajaran deep
learning, terutama yang dipaparkan oleh Edmund Husserl dan Maurice
Merleau-Ponty, menekankan pentingnya pengalaman langsung dan kesadaran diri.
Dalam konteks deep learning, hal ini berhubungan dengan bagaimana sistem
"mengalami" data dan bagaimana model-model ini dapat dikembangkan
untuk memiliki pemahaman yang lebih "sadar" terhadap kompleksitas dan
kedalaman pengalaman manusia.
Konsep interdependensi
atau saling keterhubungan, bisa memberikan pandangan tentang bagaimana deep
learning bisa lebih peka terhadap hubungan antar data dan proses yang lebih
luas. Dalam mindfulness, diajarkan untuk hadir dan peka terhadap hubungan
antara pikiran, tubuh, dan lingkungan. Dalam deep learning, kita bisa
mengembangkan model yang tidak hanya memproses input secara terpisah, tetapi
memahami bagaimana setiap elemen saling berhubungan dan berinteraksi untuk
menciptakan hasil yang lebih holistik.
Filsafat
moral, terutama yang terkait dengan teori etika seperti utilitarianisme,
deontologi, dan etika kebajikan, dapat memberikan dasar untuk mempertimbangkan
implikasi moral dalam pengembangan teknologi deep learning. Dalam dunia yang
semakin terkoneksi, mindful yang dirancang dengan mempertimbangkan etika
manusia dan kesejahteraan sosial menjadi sangat penting. Keterlibatan kesadaran
dalam pengembangan deep learning memungkinkan kita untuk merancang sistem yang
lebih bertanggung jawab dan tidak hanya berfokus pada efisiensi teknis.
Dalam
filsafat kognitif, yang dipengaruhi oleh tokoh-tokoh seperti John Searle dan
Daniel Dennett, ada perdebatan tentang bagaimana pikiran manusia bekerja dan
apakah mesin bisa "berpikir" dengan cara yang sama. Dalam konteks
mindfulness, guru harus mengembangkan pemahaman
tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan dunia dan bagaimana perhatian
manusia bisa diarahkan untuk membangun pemahaman yang lebih dalam dan lebih
sadar.
Deep
learning, yang terinspirasi oleh cara otak manusia bekerja, bisa mendapat
manfaat dari filsafat ini untuk menciptakan sistem yang lebih selaras dengan
cara manusia "memahami" dunia dan proses-proses yang ada di dalamnya.
Paradigma manusia
sebagai makhluk berpikir merupakan pandangan yang melihat manusia sebagai
individu yang memiliki kapasitas unik untuk berpikir, merenung, dan memproses
informasi secara kompleks. Konsep ini tidak hanya menyentuh aspek intelektual
manusia, tetapi juga mencakup aspek eksistensial, filosofis, dan psikologis
dalam memahami peran manusia di dunia.
Menurut
paradigma ini, manusia dianggap sebagai makhluk yang memiliki kemampuan untuk
berpikir secara logis dan rasional. Filsafat Yunani kuno, terutama yang
diajarkan oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles, menekankan bahwa kemampuan
manusia untuk berpikir kritis dan menggunakan akal sehat adalah ciri khas yang
membedakan manusia dari makhluk lainnya.
Socrates
mengajarkan pentingnya dialog kritis dan pencarian kebenaran melalui pemikiran
rasional. Ia percaya bahwa berpikir adalah cara terbaik untuk mengenal diri
sendiri dan dunia. Plato menyarankan bahwa rasio adalah kekuatan utama dalam
mencapai kebajikan dan kebenaran, dan dengan berpikir secara rasional, manusia
dapat mencapai pemahaman yang lebih tinggi tentang realitas. Aristoteles, pada
gilirannya, lebih mendalam mengembangkan ide tentang logika formal dan pemikiran
ilmiah, yang menunjukkan bahwa akal dan penalaran adalah sarana utama manusia
untuk memahami dunia.
Dalam
paradigma ini, manusia dianggap memiliki kemampuan untuk mengatur,
merencanakan, dan membuat keputusan yang rasional, baik dalam kehidupan pribadi
maupun dalam konteks sosial. Selain berpikir rasional, manusia juga dikenal
sebagai makhluk yang mencari makna dalam kehidupan mereka. Pandangan ini
mengacu pada gagasan bahwa manusia tidak hanya berpikir untuk memperoleh
pengetahuan, tetapi juga untuk mencari makna dan tujuan hidup.
Viktor
Frankl, seorang psikoterapis dan pencipta logoterapi, berargumen bahwa
pencarian makna adalah dorongan utama dalam hidup manusia, dan bahwa berpikir
tentang tujuan hidup dan menghadapinya dengan sikap positif dapat membantu
mengatasi penderitaan. Dalam paradigma ini, berpikir tidak hanya dilakukan
untuk memecahkan masalah teknis atau praktis, tetapi juga untuk memahami tujuan
dan arti keberadaan seseorang di dunia.
Paradigma
manusia sebagai makhluk berpikir juga mencakup dimensi kreatif manusia. Albert
Einstein pernah berkata, "Imagination is more important than
knowledge" (Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan). Ini menunjukkan
bahwa berpikir manusia tidak terbatas hanya pada kemampuan logika atau analisis
rasional, tetapi juga pada kemampuan untuk membayangkan dan menciptakan sesuatu
yang baru.
Filsafat
refleksi, yang terkait dengan tokoh seperti René Descartes dan Immanuel Kant,
menekankan bahwa berpikir melibatkan kemampuan manusia untuk berpikir tentang
pemikiran itu sendiri. Descartes dengan ungkapannya "Cogito, ergo
sum" ("Saya berpikir, maka saya ada") mengemukakan bahwa
pemikiran adalah bukti keberadaan diri manusia yang paling dasar. Pemikiran
manusia tidak hanya tentang dunia luar, tetapi juga tentang diri sendiri,
tentang apa yang dipikirkan, dan bagaimana pemikiran itu berhubungan dengan
eksistensinya.
Kant mengembangkan
pandangan tentang bagaimana manusia tidak hanya menerima informasi dari dunia
luar, tetapi juga aktif membentuknya melalui kategori-kategori pemikiran. Hal
ini menunjukkan bahwa berpikir adalah proses aktif yang melibatkan interaksi
antara individu dan dunia eksternal.
Berpikir
juga terkait erat dengan pertimbangan etika dan moral. Manusia, sebagai makhluk
berpikir, tidak hanya memikirkan diri mereka sendiri, tetapi juga
mempertimbangkan bagaimana tindakan mereka memengaruhi orang lain. Immanuel
Kant, dalam filsafat moralnya, berpendapat bahwa manusia memiliki kewajiban
moral untuk bertindak berdasarkan prinsip-prinsip universal yang dapat diterima
oleh semua orang, terlepas dari hasil atau konsekuensinya.
Teori etika
utilitarianisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill
mengajukan bahwa berpikir secara etis melibatkan perhitungan akibat tindakan
terhadap kebahagiaan atau kesejahteraan terbesar bagi banyak orang. Etika
deontologi menekankan pentingnya kewajiban moral dan prinsip-prinsip yang harus
dihormati, tanpa memperhatikan hasilnya. Berpikir moral manusia mencakup
kapasitas untuk mengevaluasi tindakan dan keputusan berdasarkan nilai-nilai
yang lebih besar
Sementara ilmu
psikologi, dengan fokus pada aspek joyful (kebahagiaan dan kesejahteraan),
dapat berperan sebagai landasan yang menarik dalam mengembangkan konsep deep
learning, terutama dalam menciptakan proses pembelajaran yang dapat
meningkatkan kualitas hidup dan memberikan dampak positif pada kebahagiaan dan
kesenangan siswa. Dalam hal ini, kita bisa mengaitkan beberapa prinsip
psikologi dengan prinsip-prinsip dalam deep learning yang menekankan
kebahagiaan, kepuasan, dan rasa syukur pada diri siswa.
Positive psychology (psikologi positif) yang
dikembangkan oleh Martin Seligman, berfokus pada studi tentang kekuatan
manusia, kebahagiaan, dan kesejahteraan. Deep learning dapat dirancang untuk
tidak hanya fokus pada pencapaian efisiensi atau akurasi semata, tetapi juga
untuk mempromosikan tujuan yang berhubungan dengan kebahagiaan siswa dalam
belajar. Model deep learning dapat diprogram untuk mengenali dan mengembangkan
pola yang mendukung pemenuhan tujuan positif dan perkembangan diri setiap
siswa. Psikologi juga bisa digunakan untuk merumuskan deferensiasi bakat pada
tiap siswa.
Dengan landasan
ilmu psikologi, guru dapat lebih memperhatikan kekuatan dan kelebihan setiap individu siswa (misalnya, dalam pembelajaran atau
pengembangan karier), deep learning bisa memfasilitasi individu siswa untuk
meraih kebahagiaan yang lebih besar melalui pencapaian potensi terbaik mereka.
Teori Kebutuhan Maslow (Maslow's Hierarchy of Needs)
juga bisa menjadi landasan psikologis dalam pembelajaran dengan pendekatan deep
learning. Teori ini mengemukakan bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup
bergantung pada pemenuhan kebutuhan manusia yang berjenjang, dari kebutuhan
dasar (seperti makanan dan keamanan) hingga kebutuhan lebih tinggi (seperti
aktualisasi diri).
Pendekatan
deep learning dapat dirancang untuk mengenali kebutuhan individu, dari
kebutuhan dasar hingga aspirasi pribadi, dan menyesuaikan pengalaman siswa
untuk menciptakan kondisi yang lebih optimal untuk kebahagiaan. Deep learning bisa digunakan untuk membantu
individu mencapai potensi penuh mereka dengan mendukung pembelajaran yang
sesuai dengan kemampuan dan minat tiap siswa, meningkatkan rasa percaya diri
dan kepuasan pribadi.
Teori Flow oleh Mihaly Csikszentmihalyi juga bisa
menjadi landasan psikologis untuk mencapai joyfulness dalam pembelajaran deep
learning. Flow adalah keadaan mental di mana seseorang sepenuhnya
tenggelam dalam aktivitas yang menyenangkan dan menantang, dengan tingkat
keterlibatan yang tinggi.
Psikologi Flow
dalam deep learning dapat dioptimalkan untuk menciptakan pengalaman yang
membawa para siswa ke dalam keadaan flow. Misalnya, dalam permainan
(game) atau platform pembelajaran, deep learning dapat digunakan untuk
menyesuaikan tingkat kesulitan atau tantangan sehingga pengguna tetap merasa
tertantang tetapi tidak merasa kewalahan, menciptakan pengalaman yang sangat
memuaskan. Pembelajaran matematika dengan model permainan juga bisa dilakukan
dalam konteks ini.
Emosi positif
dan pembelajaran emosional bisa menjadi landasan untuk menumbuhkan aspek joyful
learning. Psikologi juga menunjukkan bahwa emosi positif, seperti kebahagiaan,
rasa terima kasih, dan kegembiraan, dapat mempercepat pembelajaran dan
meningkatkan keterlibatan.
Deep
learning berbasis psikologi bisa dirancang untuk mengenali dan merespons emosi siswa.
Sehingga guru dapat mendeteksi emosi seperti kebahagiaan atau frustrasi dan
menyesuaikan responsnya untuk menciptakan pengalaman yang lebih menyenangkan.
Pendekatan
psikologis yang dapat diterapkan untuk membuat proses belajar menjadi
menyenangkan sangat penting untuk meningkatkan motivasi dan keterlibatan
peserta didik. Jika pembelajaran dilakukan dengan cara yang menyenangkan, maka
siswa akan lebih terlibat, lebih mudah memahami materi, dan lebih termotivasi
untuk belajar.
Kognitivisme
berfokus pada bagaimana informasi diproses dan disimpan dalam pikiran.
Pendekatan ini menekankan pentingnya struktur pengetahuan dan pemahaman dalam
proses belajar. (1) Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning) mengajak
siswa untuk belajar melalui penyelesaian masalah nyata. Dengan cara ini, siswa
tidak hanya belajar konsep, tetapi juga cara mengaplikasikan pengetahuan mereka
dalam situasi yang relevan. Ini bisa sangat menyenangkan karena siswa merasa
bahwa pembelajaran mereka langsung berhubungan dengan kehidupan nyata.
(2) Penggunaan
Visual dan Alat Peraga seperti grafik, diagram, atau video dapat membantu siswa
memahami konsep secara lebih jelas. Ini dapat meningkatkan minat dan
keterlibatan karena memanfaatkan berbagai saluran pembelajaran (visual,
auditori, kinestetik).
Teori
Pembelajaran Sosial (Behaviorisme & Sosial Kognitif) juga bisa dijadikan
landasan pembelajaran deep learning untuk menciptakan belajar yang
menyenangkan. Teori ini berfokus pada pentingnya penguatan positif dan modeling
dalam proses pembelajaran. Dalam konteks pembelajaran yang menyenangkan,
penguatan positif sangat penting.
Menggunakan
pujian dan penguatan positif ketika siswa mencapai prestasi atau usaha yang
baik dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka. Ini menciptakan lingkungan
yang mendukung dan menyenangkan, di mana siswa merasa dihargai atas usaha
mereka. Belajar melalui Peran Model (Modeling) dengan menunjukkan contoh atau
"role model" yang positif dapat memotivasi siswa untuk meniru dan
mengikuti perilaku yang diinginkan. Jika guru atau pembimbing memberikan contoh
yang menyenangkan dalam belajar, siswa akan lebih termotivasi untuk mengikuti.
Teoari konstruktivisme
menekankan bahwa siswa aktif membangun pengetahuan mereka sendiri berdasarkan
pengalaman. Pendekatan ini sangat relevan dengan menciptakan pembelajaran yang
menyenangkan, karena mendorong keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar. Belajar
bersama teman sekelas melalui diskusi atau proyek kelompok dapat membuat
belajar menjadi lebih menyenangkan. Ketika siswa saling berbagi pengetahuan dan
pengalaman, mereka merasa lebih terhubung dan mendapatkan lebih banyak
pemahaman.
Pembelajaran
yang menyenangkan sangat dipengaruhi oleh faktor emosional. Ketika siswa merasa
bahagia, tertarik, atau termotivasi secara emosional, mereka lebih cenderung
terlibat dalam proses pembelajaran. Suasana yang ramah, mendukung, dan bebas
dari rasa takut membuat siswa merasa lebih nyaman untuk belajar. Pembelajaran
yang menyenangkan sering kali dihasilkan dari lingkungan yang membuat siswa
merasa diterima dan dihargai.
Teori pembelajaran
berbasis minat (interest-based learning) yakni pembelajaran yang menyenangkan
sangat bergantung pada minat pribadi siswa. Ketika pembelajaran dikaitkan dengan
minat atau passion siswa, mereka akan lebih terlibat dan merasa senang untuk
terus belajar.
Menyesuaikan
topik pembelajaran dengan minat siswa, seperti menghubungkan pelajaran
matematika dengan olahraga atau seni, dapat membuat materi lebih relevan dan
menarik bagi mereka. Jika siswa merasa bahwa pembelajaran tersebut berkaitan
dengan kehidupan mereka, mereka akan lebih termotivasi untuk terlibat. Menggunakan
metode interaktif, seperti kuis, diskusi, dan permainan peran, membantu menjaga
minat siswa tetap tinggi. Ketika mereka aktif berpartisipasi, mereka merasa
lebih terlibat dan menikmati proses pembelajaran.
Salah satu
aspek penting dari pembelajaran yang menyenangkan adalah kemampuan untuk
mengelola emosi dan membangun hubungan sosial yang positif selama proses
belajar. Menciptakan hubungan yang baik antara siswa dan guru, serta antar
sesama siswa, sangat penting untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan.
Ketika siswa merasa didukung dan dihargai dalam kelompok, mereka lebih mungkin
merasa nyaman dan senang dalam proses belajar.
Pembelajaran
yang menyenangkan harus mengurangi kecemasan atau stres yang dapat menghalangi
pemahaman siswa. Dengan mengurangi tekanan dan membuat pembelajaran lebih
menyenangkan, siswa akan merasa lebih santai dan lebih siap untuk belajar.
Budaya
literasi memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan pemahaman siswa
atas realitas. Literasi bukan hanya sekedar kemampuan membaca dan menulis,
tetapi juga mencakup kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan menggunakan
informasi dengan cara yang kritis dan bermakna.
Budaya
literasi yang berkembang dengan baik dapat membantu siswa menghubungkan
pengetahuan yang mereka peroleh di sekolah dengan dunia nyata, memberikan
mereka wawasan yang lebih dalam tentang realitas, dan memperkuat keterampilan
berpikir kritis mereka.
Budaya
literasi yang baik mendorong siswa untuk tidak hanya menerima informasi begitu
saja, tetapi untuk memprosesnya secara kritis. Melalui keterampilan literasi,
siswa diajarkan untuk menganalisis teks, situasi, dan informasi secara lebih
mendalam, serta mengevaluasi relevansi dan kebenaran informasi tersebut dalam
konteks kehidupan nyata.
Keterampilan
berpikir kritis yang dibangun melalui budaya literasi memungkinkan siswa untuk
menilai argumen, membedakan fakta dan opini, dan membuat keputusan yang lebih
baik berdasarkan bukti dan pertimbangan rasional. Refleksi pribadi juga menjadi
bagian dari literasi, di mana siswa dihadapkan pada cara berpikir yang lebih
mendalam dan menyeluruh mengenai dunia yang mereka alami, serta bagaimana
mereka bisa berkontribusi dalam dunia tersebut.
Siswa yang
memiliki budaya literasi yang kuat dapat mengaitkan materi yang mereka pelajari
dengan kondisi sosial dan budaya yang ada di sekitar mereka. Literasi
memperkenalkan siswa pada berbagai perspektif—baik dalam teks sastra, artikel
berita, atau informasi ilmiah—yang memungkinkan mereka untuk melihat dunia dari
sudut pandang yang lebih luas.
Melalui
pembacaan dan pemahaman terhadap berbagai kisah dan narasi budaya, siswa dapat
mengembangkan empati terhadap orang lain, memahami isu-isu sosial, politik, dan
ekonomi, serta melihat keterkaitan antar berbagai budaya. Siswa yang terbiasa
dengan budaya literasi akan lebih mampu memahami isu-isu global, seperti
perubahan iklim, ketimpangan sosial, atau konflik internasional, dan melihat
relevansi topik-topik tersebut dalam kehidupan mereka sendiri.
Dengan
memperkenalkan berbagai jenis bacaan—mulai dari teks fiksi, nonfiksi, hingga
artikel ilmiah atau sejarah—budaya literasi dapat memperkaya wawasan siswa
tentang dunia. Ini membantu mereka memahami realitas lebih holistik, tidak
hanya terbatas pada pengalaman atau pengetahuan yang ada di sekitar mereka.
Literasi
membantu siswa untuk terbuka terhadap berbagai topik dan bidang ilmu yang
mungkin belum pernah mereka temui sebelumnya. Ini memperluas horizon mereka
tentang apa yang mungkin terjadi di dunia dan bagaimana hal itu mempengaruhi
kehidupan mereka.
Budaya
literasi juga membantu siswa untuk menghubungkan informasi yang mereka pelajari
di satu bidang dengan bidang lainnya. Misalnya, dengan memahami sejarah, mereka
dapat lebih mengerti konteks sosial atau politik saat ini. Atau dengan
mempelajari ilmu pengetahuan, mereka bisa lebih memahami teknologi dan
dampaknya terhadap kehidupan manusia.
Budaya literasi
juga berhubungan erat dengan kemampuan berkomunikasi secara efektif, baik dalam
bentuk lisan maupun tulisan. Kemampuan ini penting untuk membantu siswa
memahami realitas sosial mereka, terutama dalam konteks interaksi sosial dan
penyampaian ide atau argumen di masyarakat.
Siswa yang
terlatih dalam budaya literasi dapat mengungkapkan pemikiran mereka dengan
lebih baik, baik secara tertulis maupun verbal. Ini membantu mereka dalam
berinteraksi dengan orang lain, mengungkapkan pandangan mereka tentang isu-isu
yang terjadi di masyarakat, dan mengembangkan argumentasi yang lebih kuat.
Kemampuan
untuk menulis atau berbicara dengan baik juga mengembangkan kemampuan berpikir
secara sistematis dan logis, yang sangat membantu siswa dalam memahami dunia
sekitar mereka dan mengambil tindakan yang tepat.
Siswa yang
tumbuh dalam budaya literasi akan lebih cenderung memiliki rasa ingin tahu yang
tinggi terhadap dunia di sekitar mereka. Mereka akan lebih aktif mencari
informasi dan mengajukan pertanyaan untuk memperdalam pemahaman mereka tentang
realitas.
Budaya
literasi memberikan kemampuan untuk berpikir secara mandiri, yang memungkinkan
siswa untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka tanpa bergantung
sepenuhnya pada sumber dari luar. Ini adalah keterampilan yang sangat berguna
dalam menghadapi tantangan dunia nyata.
Di era
informasi saat ini, kemampuan untuk menilai dan menyaring informasi yang
relevan dan benar sangat penting. Budaya literasi membantu siswa mengembangkan
keterampilan ini, sehingga mereka bisa memahami dan menyaring informasi yang
beredar di masyarakat dengan bijak.
Literasi
tidak hanya mengacu pada kemampuan untuk memahami teks, tetapi juga pada
kemampuan untuk merefleksikan diri dan terus berkembang sebagai individu. Dengan
budaya literasi, siswa tidak hanya menguasai pengetahuan, tetapi juga lebih
mampu memahami diri mereka sendiri dalam konteks masyarakat yang lebih luas.
Literasi
mengajarkan siswa untuk berpikir kritis terhadap nilai-nilai, norma, dan
struktur sosial yang ada. Hal ini mendorong mereka untuk lebih sadar akan peran
mereka dalam masyarakat dan bagaimana mereka dapat berkontribusi dalam
perubahan yang positif. Siswa yang terlibat dalam budaya literasi juga lebih
mungkin untuk memahami isu-isu sosial yang relevan dengan hidup mereka, seperti
ketidakadilan, perubahan sosial, dan kesenjangan ekonomi. Hal ini memotivasi
mereka untuk tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga agen perubahan
dalam masyarakat.
Budaya
literasi juga dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dan
mengambil keputusan yang cerdas. Dengan mengembangkan kemampuan membaca,
menulis, dan berpikir kritis, siswa dapat lebih mudah menghadapi tantangan
dunia nyata. Siswa yang terbiasa dengan budaya literasi cenderung memiliki
pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana menyusun solusi untuk masalah yang
mereka hadapi, baik itu masalah pribadi, sosial, atau akademik.
Budaya
literasi yang mendalam juga mendorong siswa untuk berpikir kreatif dan
fleksibel dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada di dunia nyata,
sehingga mereka dapat mengembangkan pendekatan yang lebih inovatif.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 26/02/25 : 15.10 )