SESAT PIKIR ISTILAH KHILAFAHISME



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Khilafahisme adalah sebuah istilah yang sering digunakan dalam diskusi politik dan keagamaan, terutama dalam konteks gerakan-gerakan Islam yang mendukung penerapan sistem khilafah sebagai bentuk pemerintahan. Istilah khilafahisme sendiri selain sebuah kesalahan epistemologi, juga tak pernah ditemukan dalam khasanah keilmuwan Islam.

 

Istilah khilafahisme tidak ditemukan dalam kamus apapun. Istilah khilafahisme cenderung ngawur, jika tidak hendak disebut sebagai sesat pikir. Adapun cognitive bias (sesat pikir) adalah distorsi sistematis dalam pemrosesan atau penilaian informasi yang dapat menyebabkan kesalahan dalam pengambilan keputusan.

 

Sesat pikir (bias kognitif) merujuk pada pola berpikir yang sistematis yang menyimpang dari norma atau rasionalitas dalam penilaian. Bias ini menyebabkan pelakunya membuat inferensi atau kesimpulan yang tidak logis tentang orang lain atau situasi tertentu. Bias kognitif sering dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, emosi, dan prasangka pelakunya, yang pada akhirnya mengarah pada kesalahan dalam pengambilan keputusan.

 

Beberapa contoh bias kognitif yang umum antara lain: Pertama, bias konfirmasi  yakni kecenderungan untuk mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi yang mengonfirmasi keyakinan yang sudah ada. Kedua, bias jangkar (anchoring) yakni mengandalkan informasi pertama (jangkar) yang diterima saat membuat keputusan.

 

Ketiga, heuristik ketersediaan (availability heuristic) yang artinya menilai kemungkinan suatu kejadian berdasarkan seberapa mudah contoh-contoh terkait muncul dalam pikiran. Keempat, bias manfaat belakang (hindsight bias) yang artinya sebuah kecenderungan untuk melihat kejadian sebagai sesuatu yang sudah bisa diprediksi setelah kejadian tersebut terjadi.

 

Khilafah merupakan bagian dari ajaran Islam yang diakui oleh para ulama. Bahkan secara historis sistem khilafah ini telah eksis dan telah juga memajukan peradaban Islam selama lebih dari 13 abad. Khalifah juga merupakan istilah yang bahkan tercantum dalam Al Qur’an. Jadi penggunaan istilah khilafahisme, selain tendensius, juga seolah tak mengerti konsepsi Islam tentang politik dan kenegaraan.

 

Akhiran "-isme" berasal dari bahasa Yunani, dan biasanya digunakan dalam bahasa Indonesia untuk merujuk pada suatu aliran, ideologi, sistem, atau paham tertentu. Secara umum, "-isme" mengindikasikan suatu gerakan atau konsep yang memiliki ciri khas atau prinsip-prinsip yang khas dalam suatu bidang tertentu, seperti politik, sosial, filsafat, atau budaya.

 

Berikut adalah beberapa contoh makna "isme" dalam konteks yang berbeda. Pertama ideologi atau aliran pemikiran seperti kapitalisme yakni Ideologi yang menekankan pada kepemilikan pribadi atas sumber daya dan produksi untuk keuntungan individu. Sosialisme yakni sistem ekonomi dan politik yang menekankan distribusi kekayaan dan sumber daya secara merata untuk seluruh masyarakat. Dan feminism yang artinya gerakan yang memperjuangkan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan.

 

Kedua, pendekatan atau ajaran dalam bidang filsafat, misalnya eksistensialisme yang maknya adalah aliran filsafat yang menekankan pada kebebasan individu, makna hidup, dan pengalaman pribadi. Kedua, rasionalisme, yakni sebuah aliran yang menekankan pada penggunaan akal dan logika sebagai sumber pengetahuan utama.

 

Ketiga merujuk kepada praktik atau perilaku tertentu misalnya nationalism yang artinya sebuah paham atau gerakan yang menekankan pentingnya identitas dan kepentingan bangsa atau negara. Berikutnya adalah misalnya istilah pragmatisme yang artinya pendekatan yang lebih mengutamakan solusi praktis dan hasil yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Dengan demikian, istilah khilahisme jelas merupakan kesalahan pikir atau kekacauan epistemologi. Terlepas dari apa motif pemakai istilah khilafhisme, yang jelas istilah "khilafahisme" akan cenderung mereduksi konsep khilafah yang memang menjadi bagian dari ajaran Islam sebagaimana telah dijelaskan oleh banyak ulama.

 

 

Pemilihan istilah "khilafahisme" sering kali digunakan untuk merujuk pada kontra gerakan politik tertentu yang menginginkan pendirian kembali khilafah Islam. Hal ini bisa menyederhanakan dan memberi kesan bahwa konsep khilafah itu hanya milik satu golongan tertentu. Padahal konsep khilafah adalah konsep Islam dalam bidang politik dan pemerintahan. Artinya khilafah adalah konsep yang harus diakui oleh seluruh kaum muslimin, bukan hanya milik golongan tertentu.

 

Dalam banyak kasus, istilah "khilafahisme" digunakan dalam konteks yang lebih negatif, seringkali diasosiasikan dengan gerakan-gerakan radikal atau ekstremis yang menginginkan perubahan sosial-politik dengan cara kekerasan. Ini bisa mengarah pada stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok yang memang sedang memperjuangkan Islam dengan dakwah pemikiran tentang pentingnya penerapan Islam secara kaffah.

 

Sebagaimana firman Allah : Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan; sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah: 208)

 

Masuk Islam secara kaffah (secara menyeluruh) adalah ajakan untuk menerima dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh dan lengkap, tanpa memilih-milih atau hanya mengikuti bagian-bagian tertentu saja. Dalam konteks ini, kaffah berarti bahwa seseorang tidak hanya mengakui kalimat syahadat atau menjalankan ritual ibadah yang terbatas seperti salat dan puasa, tetapi juga mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam seluruh aspek kehidupan, baik itu dalam keluarga, sosial, ekonomi, hukum, politik, maupun dalam hubungan dengan Tuhan dan sesama.

 

Menjadi Muslim yang kaffah berarti mengikuti semua perintah Allah dalam Al-Qur'an dan Hadis, tanpa ada seleksi terhadap hukum atau ajaran mana yang harus diikuti. Hal ini termasuk dalam aspek ibadah seperti salat, zakat, puasa, dan haji, serta dalam kehidupan sehari-hari seperti akhlak, muamalah (interaksi sosial), dan etika.

 

Islam mengajarkan agar seseorang tidak hanya beribadah di masjid atau dalam ritual tertentu, tetapi juga menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Islam. Ini termasuk bersikap jujur, adil, menghargai hak-hak orang lain, berusaha mendamaikan perselisihan, dan menjaga hubungan baik dengan sesama.

 

Islam memiliki sistem hukum yang meliputi hukum ibadah, hukum keluarga, hukum pidana, hukum ekonomi, dan lainnya. Mengikuti Islam secara kaffah berarti menerima dan menghormati hukum-hukum tersebut dalam kehidupan, baik dalam skala pribadi maupun sosial.

 

Seseorang yang masuk Islam secara kaffah akan berusaha menghindari perilaku atau pemahaman yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti budaya atau praktik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

 

Mengamalkan Islam secara kaffah berarti berusaha konsisten dalam mengikuti ajaran Islam dalam berbagai situasi dan kondisi. Ini mencakup komitmen untuk selalu berusaha meningkatkan diri, belajar lebih dalam tentang agama, dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Islam.

 

Secara singkat, masuk Islam secara kaffah adalah ajakan untuk menerima keseluruhan ajaran Islam, tidak hanya dalam aspek ritual, tetapi juga dalam aspek hukum, budaya,  sosial, dan politik, agar kehidupan umat Islam menjadi lebih seimbang dan bermakna sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

 

Melaksanakan syariat Islam secara kaffah tentu saja tidak mungkin dilakukan hanya oleh individu atau kelompok. Sebab syariah Islam ada yang memang bisa di lakukan oleh individu, namun ada juga yang hanya kewenangan oleh negara. Nah, untuk menerapkan Islam secara kaffah inilah Rasulullah mendirikan negara Madinah yang kemudian dilanjutkan dengan sistem khilafah.

 

Dengan demikian, penggunaan istilah khilahah, selain merupakan sesat pikir, pengguna istilah ini juga mungkin sedang mengidap islamophobia. Sebab pada faktanya, pengguna istilah khilafahisme adalah mereka yang menolak sistem khilafah di terapkan di seluruh dunia untuk menyatukan umat islam seluruh dunia, menerapkan syariah kaffah dan untuk menyebarkan Islam ke seluruh penjuru diunia.

 

Padahal banyak ulama yang justru berpendapat bahwa sistem khilafah adalah kewajiban dalam Islam. Pertama, Al-Mawardi (W. 450 H) dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Al-Mawardi menyatakan : "Imamah (kepemimpinan) ditetapkan untuk menggantikan fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Mengangkat seseorang untuk menjalankan tugas ini di tengah umat adalah kewajiban berdasarkan ijma' (konsensus)."

 

Kedua, Ibn Khaldun (W. 808 H) dalam kitabnya Muqaddimah, Ibn Khaldun menulis: "Imamah adalah kepemimpinan yang menggantikan Rasul dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengannya. Hal ini wajib atas umat berdasarkan syariat, sebagaimana ijma' sahabat dan tabiin atas kewajibannya."

 

Ketiga, Imam An-Nawawi (W. 676 H) dalam kitabnya Raudhatu Ath-Thalibin, beliau berkata: "Menegakkan kepemimpinan adalah kewajiban, dan kaum muslimin telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam adalah kewajiban."

 

Keempat, Abu Ya’la Al-Farra (W. 458 H) dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, ia menyatakan: "Khilafah adalah wajib berdasarkan ijma' umat, dan hukumnya adalah fardhu kifayah."

 

Kelima, Imam Al-Ghazali (W. 505 H) dalam kitabnya Al-Iqtisad fi Al-I’tiqad, Al-Ghazali berkata: "Manusia pasti membutuhkan seorang imam yang menegakkan hukum-hukum mereka, melaksanakan hudud, dan menjaga harta mereka."

 

Pendapat-pendapat ini menunjukkan bahwa banyak ulama menganggap sistem khilafah atau kepemimpinan dalam Islam sebagai kewajiban berdasarkan dalil syar'i dan ijma' ulama

 

Mayoritas ulama yang membahas tentang imam dalam konteks politik Islam merujuk kepada khalifah. Dalam kitab-kitab klasik, istilah imam dan khalifah sering digunakan secara bergantian untuk merujuk kepada pemimpin tertinggi umat Islam yang bertugas menjaga agama dan mengatur urusan dunia berdasarkan syariat Islam.

 

Istilah imam secara bahasa berarti pemimpin atau seseorang yang diikuti. Dalam konteks politik Islam, istilah ini merujuk kepada pemimpin umat Islam yang bertanggung jawab atas pelaksanaan hukum Islam, menjaga stabilitas masyarakat, dan melindungi umat.

 

Sementara istilah khalifah secara harfiah berarti "pengganti" atau "penerus". Dalam konteks ini, khalifah berarti penerus Rasulullah ï·º dalam fungsi kepemimpinan umat Islam.

 

Para ulama sering menggunakan istilah ini untuk fungsi yang sama, yaitu kepemimpinan dalam menjaga agama (hirasat ad-din) dan mengatur urusan dunia (siyasat ad-dunya). Para ulama sepakat bahwa imam atau khalifah adalah istilah untuk pemimpin umat Islam yang memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan syariat Islam dalam masyarakat. Fungsi ini tidak hanya bersifat administratif tetapi juga spiritual, yang membedakan dengan kepemimpinan biasa.

 

Jadi, ketika para ulama berbicara tentang imam, mereka merujuk pada khalifah dalam konteks kepemimpinan umat Islam. Istilah ini mencerminkan konsep kepemimpinan yang menyeluruh dan bertujuan untuk memastikan pelaksanaan syariat Islam secara kolektif dalam institusi khilafah islamiyah. Jika ada yang menggunakan istilah khilafahisme, berarti tidak paham atau mengidap islamophobia.

 

(Ahmad Sastra, 24/01/25 : 08.41 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.