Oleh : Ahmad
Sastra
Laporan
Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) tahun 2024 yang
mencantumkan nama mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu
pemimpin terkorup dunia telah menimbulkan polemik luas.
Diberitakan
Kompas.com sebelumnya, OCCRP yang berpusat di Amsterdam, Belanda, mengumpulkan
nominasi melalui Google Form yang dibagikan sejak 22 November 2024. Namun,
berdasarkan pantauan pada 31 Desember 2024, masa pengisian nominasi sudah
berakhir dan link Google Form milik OCCRP sudah tidak bisa diakses. "Who
is the Most Corrupt Person of 2024? Formulir Who is the Most Corrupt Person of
2024? Sudah tidak menerima jawaban lagi. Coba hubungi pemilik formulir jika
menurut Anda ini keliru," bunyi keterangan pada Google Form.
Selain Jokowi,
ada beberapa nama lagi yang dinominasikan sebagai pemimpin terkorup dunia tahun
2024. Pertama, William Ruto adalah sosok yang menjadi Presiden Kenya saat ini.
Lahir dari keluarga petani, Ruto berhasil lepas dari belenggu kemiskinan dan
menunjang kariernya dengan menjadi Wakil Presiden pada 2013. Dilansir dari CNN,
Ruto menjadi Presiden kelima di Kenya sejak negara tersebut menyatakan
kemerdekaannya.
Kedua, Bola Ahmed
Tinubu. Persaingan ketat kursi kepresidenan Nigeria berhasil dimenangkan Bola
Ahmed Tinubu. Sebelumnya, Tinubu telah menjabat sebagai Gubernur Lagos antara
tahun 1999 dan 2007. Tinubu dianggap berjasa membawa perubahan terhadap negara
bagian tersebut sehingga dijuluki sebagai salah satu pelopor reformasi. Namun,
Tinubu yang saat ini mengemban tugas sebagai pemimpin Nigeria memunculkan
banyak kritik atas tindakan kriminalitas yang dilakukannya.
Ketiga, Hasina
atau yang biasa disebut juga sebagai Sheikh Hasina merupakan
mantan Perdana Menteri Bangladesh. Hasina pertama kali memimpin partai Liga
Awami dan meraih kemenangan pada 1996. Setelah menjalani masa jabatan 5 tahun,
Hasina kembali memeroleh kekuasaan pada tahun 2009 dan tidak pernah kalah lagi.
Keempat, Gautam
Adani adalah konglomerat India yang berasal dari Gujarat, India. Awal mula
kesuksesan Gautam Adani tidak lepas dari kisah kedekatannya dengan Perdana
Menteri India, Narendra Modi. Hubungan bisnis yang terjalin antara kedua tokoh
penting India tersebut berlangsung sejak 2001. Gautam Adani berhasil tercatat
sebagai orang terkaya di Asia versi Bloomberg Billionaires Index pada Januari
2024 lalu. (tempo.co)
Siapakah OCCRP
itu ?. OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project) adalah sebuah
jaringan internasional yang terdiri dari jurnalis investigasi, analis data, dan
organisasi media yang bekerja sama untuk mengungkap dan memerangi korupsi,
kejahatan terorganisir, dan berbagai bentuk kegiatan ilegal di seluruh dunia.
OCCRP menggunakan jurnalisme investigasi untuk mengungkap cerita tentang
kejahatan finansial, korupsi politik, dan penyalahgunaan kekuasaan, seringkali
dengan menargetkan individu-individu ternama, perusahaan, dan pemerintah.
OCCRP memiliki
jangkauan yang luas, bekerja sama dengan jurnalis investigasi dari berbagai
negara. Mereka sangat fokus pada wilayah-wilayah di mana korupsi dan kejahatan
terorganisir memiliki dampak signifikan terhadap pemerintahan dan masyarakat.
OCCRP melakukan
penyelidikan mendalam, sering kali mengungkapkan skema finansial yang kompleks,
pencucian uang, dan jaringan tersembunyi yang terkait dengan korupsi. Penyelidikan
mereka didasarkan pada riset yang mendalam dan sering kali melibatkan pembocor
informasi, kebocoran data, dan analisis data.
OCCRP sering kali
menggunakan dataset besar, seperti dokumen finansial yang bocor, untuk melacak
aliran finansial ilegal dan mengungkapkan aset yang disembunyikan. Mereka
memiliki jurnalis data dan analis yang membantu memetakan hubungan antara
pemimpin politik, penjahat, dan bisnis.
Pekerjaan mereka
telah mendorong perubahan politik dan sosial yang signifikan. Investigasi
mereka telah memicu penyelidikan pemerintah, menyebabkan pengunduran diri
pejabat tinggi, dan mengungkap jaringan global yang terlibat dalam pencucian
uang dan korupsi finansial.
OCCRP bekerja
dengan berbagai mitra media di seluruh dunia, termasuk organisasi terkenal
seperti New York Times, The Guardian, dan BBC, serta outlet investigasi lainnya
di berbagai negara. Kolaborasi ini membantu memperluas jangkauan dan dampak
dari investigasi mereka.
Dengan
mengungkapkan korupsi dan kejahatan, OCCRP bertujuan untuk mendorong
transparansi, akuntabilitas, dan keadilan yang lebih besar dalam sektor politik
dan bisnis. Mereka sering fokus pada bagaimana elit mengeksploitasi sistem
hukum untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaan mereka.
Selain artikel
investigasi, OCCRP menghasilkan laporan mendalam, eksposé, dan alat untuk
membantu jurnalis dan aktivis di lapangan. Salah satu alat yang terkenal adalah
Database OCCRP, yang mengkonsolidasi dan membuat informasi penting tentang
orang-orang dan entitas yang terlibat dalam korupsi atau jaringan kriminal
tersedia.
Secara
keseluruhan, tujuan OCCRP adalah untuk menerangi kekuatan besar di balik
korupsi dan kejahatan terorganisir, serta mempromosikan dunia di mana
akuntabilitas dan keadilan dapat berkembang.
Jokowi sendiri
membantah dan menantang rilis yang ditulis oleh OCCRP. Direktur Eksekutif
Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti mengomentari pernyataan Presiden ke-7 RI
Joko Widodo yang menantang Organize Crime and Corruption Reporting Project
(OCCRP). Menurut Ray secara historis Indonesia tak punya sejarah mengadili
mantan kepala negara. Dinilainya Jokowi tahu betul hal tersebut. "Masalahnya adalah sejak kapan Indonesia
punya tradisi mengadili mantan pemimpin mereka. Tantangan Pak Jokowi agar
dibuktikan, secara historis itu nggak punya dasar," kata Ray dihubungi
Senin (1/1/2025).
Sementara
itu Firdaus Arifin, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan cenderung menolak
laporan OCCRP tentang nominasi pemimpin terkorup dunia tahun 2024 ini. Diantara
bantahannya adalah terkait kriteria pemeringkatan. Menurutnya OCCRP menggunakan indikator seperti
persepsi publik, dampak kebijakan, dan keterlibatan langsung atau tidak
langsung dalam korupsi. Namun, laporan tersebut tidak menyertakan bukti konkret
atas tuduhan terhadap Jokowi. Sebagai contoh, dalam laporan, proyek pembangunan
Ibu Kota Negara (IKN) disebutkan sebagai salah satu indikasi kebocoran
anggaran. Namun, audit BPK atas proyek ini tidak menemukan pelanggaran
signifikan.
Batahan kedua adalah
terkait dengan data yang tidak komprehensif. Laporan ini tampaknya mengabaikan
fakta bahwa sejumlah proyek besar yang dipimpin oleh Jokowi telah melalui
pengawasan ketat, termasuk audit internal oleh KPK dan BPK. Sebagai contoh,
proyek jalan tol trans-Jawa dan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung memang
menghadapi kendala pembengkakan anggaran, tetapi tidak ada bukti korupsi
langsung yang melibatkan Jokowi secara pribadi.
Bantahan ketiga
adalah adanya bias persepsi global. Dalam laporan OCCRP, persepsi internasional
tentang keterlibatan Tiongkok dalam proyek-proyek besar Indonesia menjadi salah
satu variabel penting. Namun, pendekatan ini bias terhadap kepentingan
geopolitik global, terutama dalam persaingan antara Barat dan Tiongkok.
Sementara Said
Didu menanggapi pernyataan klarifikasi yang disampaikan oleh mantan Presiden
Jokowi, yang menantang pihak-pihak untuk membuktikan tuduhan tersebut dengan
serius. Said Didu mencoba menganalisis dan merangkum dugaan korupsi di era
Jokowi berdasarkan lima klaster modus operandi.
Klaster 1:
Korupsi untuk Melanggengkan Kekuasaan. Modus pertama ini berakar pada upaya
mempertahankan kekuasaan dengan mengabaikan atau memanipulasi hukum. Salah satu
kasus yang mencolok adalah penghilangan data 3,3 juta hektar perkebunan sawit
ilegal. Alih-alih ditindak tegas, kasus tersebut justru “diredam,” diduga untuk
menjaga stabilitas kekuasaan. Kasus lainnya mencakup kriminalisasi terhadap
lawan politik. Dalam konteks ini, hukum sering kali digunakan sebagai alat
politik untuk melemahkan oposisi. Fenomena ini mengisyaratkan betapa kuatnya
pengaruh kekuasaan dalam mengontrol sistem hukum di Indonesia.
Klaster 2:
Korupsi di Lingkaran Menteri. Praktik korupsi di lingkaran menteri menjadi
sorotan lain. Beberapa kasus besar, seperti impor garam, minyak goreng, hingga
manipulasi data BPS, muncul ke permukaan. Sayangnya, banyak dari kasus ini
menguap tanpa penyelesaian yang jelas. Hal ini menunjukkan lemahnya komitmen
pemberantasan korupsi di tingkat elite pemerintahan. Yang tak kalah penting
adalah pengaruh politik dalam reshuffle kabinet. Contoh yang mencolok adalah
penggantian ketua umum Partai Golkar, yang diduga erat kaitannya dengan
kepentingan politik Presiden Jokowi untuk menjaga loyalitas partai-partai
koalisi.
Klaster 3:
Korupsi Berbalut Ambisi Pribadi. Klaster ini mencakup proyek-proyek besar yang
dipaksakan meskipun tidak mendesak, seperti pembangunan bandara dan
infrastruktur yang minim manfaat. Proyek ini sering kali menguras anggaran
negara secara besar-besaran, menyebabkan beban utang meningkat tajam. Dugaan
lain adalah keterlibatan keluarga dalam proyek-proyek strategis, seperti
monopoli ekspor nikel yang sempat diungkapkan oleh ekonom Faisal Basri. Hal ini
menunjukkan bagaimana ambisi pribadi bisa merusak prioritas pembangunan
nasional.
Klaster 4:
Korupsi dalam Pengelolaan Utang Negara. Utang negara dan BUMN melonjak tajam
selama era Jokowi. Banyak pihak menduga, dana tersebut digunakan untuk
kepentingan politik tertentu, seperti menyogok rakyat melalui program-program
populis yang minim keberlanjutan. Situasi ini menciptakan beban fiskal yang
berat bagi generasi mendatang.
Klaster 5:
Korupsi Melalui Hubungan dengan Oligarki. Klaster terakhir adalah hubungan erat
antara pemerintah dan oligarki. Oligarki menjadi aktor utama yang mendapatkan
keuntungan besar melalui proyek strategis nasional (PSN), konsesi tambang, dan
perkebunan. Hubungan ini diduga menjadi fondasi kekuasaan Jokowi selama satu
dekade, dengan imbalan berbagai fasilitas yang menguntungkan pihak tertentu.
Bagaimana kelanjutannya,
kita tunggu saja perkembangan yang masih terus dinamis, terlebih adanya perseteruan
terkait penetapan Hasto Kristianto sebagai tersangka. Sementara Harto sendiri
telah menitipkan data-data korupsi pejabat negara ke Rusia. Banyak yang menilai
bahwa data-data itu berkaitan dengan korupsi yang dilakukan oleh Jokowi dan
keluarganya. Entah benar atau salah, sekali lagi, kita tunggu aja
kelanjutannya.
(Ahmad Sastra, Kota
Hujan, 03/01/25 : 21.36 WIB)