SISTEM ISLAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN BERSIH



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Presiden Prabowo Subianto memberikan kesempatan kepada para koruptor untuk bertobat dan mengembalikan uang rakyat yang telah dicuri. Prabowo mengatakan, dirinya akan memaafkan para koruptor apabila mereka mengembalikan uang rakyat.

 

"Saya dalam minggu-minggu ini, bulan-bulan ini, saya dalam rangka memberi apa istilahnya tuh memberi kesempatan, memberi kesempatan untuk tobat. Hai para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan, tapi kembalikan dong," kata Prabowo saat bertemu mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar Mesir, dilihat di Youtube Sekretariat Presiden, Kamis (19/12/2024). (Liputan6.com)

 

Pimpinan KPK periode 2024-2029 merespons soal Presiden Prabowo Subianto yang meminta para koruptor bertobat dan mengembalikan yang dicuri dari rakyat. Ketua KPK Setyo Budiyanto meyakini, jika ucapan Prabowo itu dilakukan, tidak untuk semua perkara. Setyo lebih dulu menyampaikan pendapatnya bahwa Prabowo berbicara dalam konteks umum. Jika nantinya akan diterapkan, perlu teknis yang lebih detail. (https://news.detik.com)

 

Sementara itu, Mendagri Tito menyebutkan, dari total 1.057 BUMD yang tersebar di seluruh negeri, hampir separuhnya mengalami kerugian. Salah satu faktor yang menjadi penyebab meruginya Badan Usaha Milik Daerah atau BUMD adalah maraknya pekerja yang merupakan titipan 'ordal' alias orang dalam dengan etos kerja yang tak profesional.

 

Pernyataan Tito soal 'ordal' ini menuai polemik. Anggota Komisi Bidang Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR RI Ahmad Irawan menepis faktor ‘ordal’ jadi penyebab utama kerugian. (Tempo.co)

 

Pemerintahan Kotor Akibat Pragmatisme Demokrasi

 

Maraknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tak kunjung usai mewarnai penyelenggaraan pemerintahan di negeri ini. Berbagai kasus korupsi dan nepotisme terjadi pada semua rezim yang pernah berkuasa di negeri ini. Bahkan fenomena KKN ini seolah telah menjadi budaya politik di negeri ini. Budaya artinya perbuatan yang diulang-ulang karena dianggap telah menjadi kebiasaan. Sistem demokrasi yang pragmatis transaksional jelas menjadi penyebab utama banyaknya kasus-kasus korupsi, ordal,  nepotisme, bahkan kolusi.

 

Penerapan sistem politik demokrasi yang berbiaya tinggi sangat membuka peluang bagi suburnya korupsi karena para kandidat membutuhkan dana besar, sehingga seringkali mencarnya secara ilegal dengan memanfaatkan kekuasaan.  Lemahnya institusi penegak hukum juga memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi dan kelompok. Dalam demokrasi transaksional, partai politik justru sering dijadikan mesin uang agar terus bisa mengikuti kontestasi pemilu lima tahunan atau untuk keuntungan pribadi dan kelompok (kolusi). 

 

Biaya politik demokrasi itu sangat tinggi juga bisa menjadi pemicu lahirnya para koruptor ketika berkuasa dalam rangka mengembalikan modal politik sebelumnya. Berdasarkan temuan Kementerian Dalam Negeri beberapa tahun lalu, anggaran yang harus disediakan calon kepala daerah bisa puluhan miliar rupiah, bahkan untuk level gubernur mencapai ratusan miliar rupiah.

 

Jika dilihat pendapatan setiap bulan, mustahil pimpinan daerah tersebut dapat mengembalikan modal yang telah dikeluarkan saat masa kampanye. Pada titik inilah praktik korupsi merajalela dan berhasil menyeret banyak kepala daerah ke jeruji besi.

 

Mencuatnya fakta korupsi kepala daerah memang bukanlah hal baru. Berdasarkan data di situs kpk.go.id, sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 tak kurang dari 22 Gubernur dan 148 bupati/wali kota telah ditindak oleh KPK. Jumlah itu tentu bisa lebih besar jika digabungkan dengan data dari Kejaksaan dan Kepolisian. ICW mencatat, sepanjang tahun 2010 – Juni 2018 tak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum.

 

Praktik rasuah yang mengemuka di awal tahun, sekali lagi ibarat fenomena gunung es. Sudah menjadi rahasia umum bahwa akar masalah dari maraknya korupsi kepala daerah salah satunya karena tingginya biaya politik. ICW mencatat (2018), mahalnya biaya politik setidaknya disebabkan dua hal yakni, politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying).

 

Menurut kajian Litbang Kemendagri tahun 2015, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp 20 – 100 miliar. Sementara, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode. (ICW, Tajuk Rencana, 07 February 2022).

 

Penyebab tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori utama, yaitu faktor individu, kelembagaan, sistem, dan budaya. Faktor Individu meliputi, pertama keserakahan (Greed) yakni dorongan pribadi untuk memperoleh keuntungan finansial atau materi yang berlebihan. Kedua, kurangnya integritas yang ditandai oleh rendahnya moralitas dan etika individu, termasuk kurangnya rasa tanggung jawab terhadap masyarakat.

 

Ketiga, keterdesakan kebutuhan ekonomi, biasanya karena adanya tekanan finansial atau kebutuhan mendesak bisa memotivasi seseorang untuk melakukan korupsi. Keempat, adanya kesempatan dan rasa aman, yakni saat individu atau pejabat merasa bahwa tindakannya tidak akan diketahui atau dihukum.

 

Sementara faktor kelembagaan meliputi, pertama pengawasan yang lemah berupa ketidakmampuan lembaga untuk mengawasi dan mengontrol karyawannya. Kedua, kurangnya transparansi dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan anggaran. Ketiga, lemahnya mekanisme untuk memantau, mengevaluasi, dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran.

 

Adapun faktor sistemik diantaranya adalah, pertama banyaknya aturan yang tumpang tindih menciptakan peluang untuk manipulasi. Kedua, gaji yang tidak memadai dapat mendorong pegawai untuk mencari keuntungan tambahan secara ilegal. Ketiga, sistem yang memungkinkan konsentrasi kekuasaan tanpa pengawasan menciptakan potensi penyalahgunaan. Keempat, sistem politik yang pragmatis transaksional yang akan memberikan peluang adanya korupsi.

 

Berikutnya adalah faktor budaya yang meliputi, pertama anggapan bahwa memberikan suap atau hadiah (uang pelican) adalah hal biasa untuk mempercepat urusan. Kedua, budaya permisif yang cenderung mentoleransi perilaku korupsi. Ketiga, kebiasaan buruk yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam sistem birokrasi atau masyarakat tertentu.

 

Terakhir adalah adanya faktor politik yang meliputi, pertama praktik politik yang melibatkan pemberian uang atau hadiah untuk mendapatkan dukungan politik (money politic). Kedua, ketidaktegasan dalam menghukum pelaku korupsi, terutama di kalangan pejabat tinggi, menciptakan efek domino di level bawah. Ketiga, penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok.

 

Sistem Islam Mewujudkan Pemerintahan Bersih

 

Dalam perspektif hukum Islam, tindak pidana korupsi dipandang sebagai tindakan yang melanggar syariat karena mencakup berbagai pelanggaran seperti pencurian, pengkhianatan amanah, suap, dan penyalahgunaan harta publik.

 

Dalam Islam, korupsi dapat dikategorikan sebagai ghulul (penggelapan harta), risywah (suap), dan bentuk lainnya yang mencerminkan pelanggaran terhadap amanah, keadilan, dan hak publik. Korupsi adalah tindakan haram karena melibatkan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, dengan merugikan masyarakat secara luas.

 

Islam mengutuk segala bentuk korupsi berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil..." (QS. Al-Baqarah: 188). Rasulullah SAW bersabda: "Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap." (HR. Abu Dawud).

 

Larangan penggelapan harta publik (ghulul): "Barang siapa yang mengkhianati amanah (ghulul), maka pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil pengkhianatannya itu..." (HR. Bukhari dan Muslim). "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Ma’idah: 64).

 

Korupsi dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori tindak pidana yang diatur dalam hukum Islam diantaranya adalah :  Menyelewengkan harta atau aset negara. Mengambil harta yang bukan miliknya. Memberikan atau menerima uang untuk memperoleh keuntungan yang tidak semestinya. Menggunakan jabatan atau otoritas untuk keuntungan pribadi.

 

Hukum Islam memberikan sanksi tegas terhadap pelaku korupsi berdasarkan tingkat kesalahan dan dampak yang ditimbulkan. Pertama, hudud (hukuman tetap). Jika korupsi masuk dalam kategori pencurian (sariqah), pelaku dapat dikenakan hukuman potong tangan sesuai syarat bahwa nilai harta yang dicuri mencapai batas minimum (nisab) dan tindakannya dilakukan secara sengaja dan sadar.

 

Kedua, ta'zir (hukuman yang ditentukan khalifah). Untuk bentuk korupsi lain, seperti suap, penggelapan, atau penyalahgunaan kekuasaan, hukuman ta'zir dapat berupa denda berat untuk mengembalikan kerugian negara. Bisa juga dihukum penjara untuk menimbulkan efek jera dan bisa juga hukuman sosial, seperti pencabutan hak jabatan.

 

Dalam Islam, pelaku korupsi wajib mengembalikan seluruh harta yang dikorupsi sebagai bentuk tanggung jawab. Selain sanksi dunia, pelaku korupsi akan mendapatkan hukuman berat di akhirat, seperti yang ditegaskan dalam hadis tentang ghulul.

 

Dalam sistem pemerintahan Islam, hukuman harus diterapkan secara adil tanpa memandang status sosial pelaku. Sistem Islam bertujuan mencegah korupsi dengan membangun moral individu dan struktur pemerintahan yang bersih. Fokus pada pengembalian hak masyarakat dan pencegahan kerugian lebih lanjut.

 

Contoh penegakan hukum Islam adalah ketika Khalifah Umar bin Khattab yang terkenal dengan tindakan tegas terhadap pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan, termasuk mencopot jabatan dan memerintahkan pengembalian harta yang diambil secara tidak sah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz memberlakukan transparansi keuangan negara dan menindak keras praktik suap serta korupsi.

 

Dalam Islam, korupsi adalah dosa besar dan kejahatan serius yang merusak moral individu, masyarakat, dan negara. Hukum Islam memberikan sanksi tegas yang bertujuan untuk memberikan efek jera, memulihkan keadilan, dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Penegakan hukum yang konsisten, integritas pemimpin, dan kesadaran masyarakat menjadi kunci dalam memberantas korupsi

 

 

Sistem Islam menawarkan prinsip dan kerangka kerja untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi karena adanya ketaqwaan individu, pengawasan masyarakat dan kuatnya sistem negara dan sanksi. Dalam Islam, seorang pemimpin dipilih berdasarkan integritas, keadilan, dan kemampuannya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Allah.

 

Hal ini sejalan dengan firman Allah : Nabi mereka berkata kepada mereka, "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi raja kalian." Mereka menjawab, "Bagaimana Thalut memperoleh kerajaan atas kami, padahal kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?" Nabi (mereka) berkata, "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi raja kalian dan menganugerahkan kelebihan ilmu dan fisik kepadanya. Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah: 247).

 

Ayat ini mengajarkan bahwa pemilihan pemimpin adalah kehendak Allah berdasarkan kriteria-Nya, bukan semata-mata berdasarkan harta atau status sosial. Allah memilih Thalut karena ilmu dan fisiknya yang unggul, meskipun ia tidak kaya. Pemimpin dianggap sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa yang memanfaatkan jabatan untuk keuntungan pribadi.

 

Dalam ayat di atas, pemimpin yang ideal bukan hanya kaya atau memiliki status tinggi, tetapi memiliki keutamaan ilmu, kekuatan, dan keadilan. Kepemimpinan adalah amanah yang diberikan oleh Allah kepada orang yang sesuai dengan kehendak-Nya, bukan berdasarkan keinginan manusia. Pentingnya keikhlasan dalam menerima keputusan Allah, meskipun itu tidak sesuai dengan keinginan atau ekspektasi kita.

 

Dalam sistem Islam yang mewujudkan pemerintahan yang bersih kepemimpinan Islam akan dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Kesadaran bahwa setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah mendorong pemimpin untuk bertindak jujur dan adil. Ini salah satu yang menjadikan pemerintahan Islam bersih dari segala bentuk pelanggaran hukum.

 

Hukum atau syariah Islam yang tegas dan adil menjamin keadilan dengan memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku korupsi, tanpa memandang status sosialnya. Contohnya, Rasulullah menegaskan bahwa hukuman berlaku sama untuk semua, baik orang miskin maupun bangsawan.

 

Rasulullah ï·º bersabda: "Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah, ketika orang yang terhormat di antara mereka mencuri, mereka membiarkannya. Namun, jika orang lemah mencuri, mereka menegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku akan memotong tangannya." (HR. Bukhari, no. 3475; Muslim, no. 1688)

 

Sistem Islam melarang keras perilaku seperti suap (risywah) dan penyelewengan kekuasaan, sebagaimana firman Allah : "Dan janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan jalan yang batil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui." (QS Al-Baqarah: 188).

 

Sistem pemerintahan Islam juga sangat menekankan pada transparansi dan akuntabilitas. Dalam sejarah Islam, khalifah seperti Umar bin Khattab secara terbuka melaporkan kekayaannya kepada masyarakat untuk mencegah kecurigaan atau tuduhan korupsi.

 

Pemimpin Islam juga menerima kritik dari rakyat sebagai bentuk pengawasan.  Khalifah Umar bin Khattab pernah ditegur oleh rakyatnya terkait kebijakan distribusi pakaian. Dikisahkan, pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, ada pembagian kain kepada rakyat. Setiap orang mendapatkan jatah yang sama. Namun, ketika Umar memberikan khutbah di masjid, ia mengenakan pakaian yang terlihat lebih besar dari kain yang dibagikan.

 

Seorang rakyat kemudian berdiri dan berkata: "Wahai Umar, kami tidak akan mendengarkanmu sampai engkau menjelaskan dari mana kain yang kau kenakan ini berasal. Karena jatah kain yang dibagikan tidak cukup untuk membuat pakaian sebesar itu."

 

Respons Umar bin Khattab alih-alih marah, Umar dengan tenang menjawab: "Anakku, Abdullah, telah memberikan jatahnya kepadaku, sehingga aku dapat menjahit pakaian ini." Anaknya, Abdullah bin Umar, yang hadir di masjid, membenarkan perkataan tersebut.

 

Sistem ekonomi yang adil juga menjadi salah satu faktar yang menyebabkan pemerintahan Islam bersih. Dalam sistem Islam, distribusi kekayaan yang merata, seperti zakat, sedekah, dan pembagian hasil sumber daya alam dalam sistem Islam memastikan keadilan ekonomi sehingga mengurangi kesenjangan yang memicu korupsi.

 

Gaji yang layak untuk pegawai juga menjadi salah satu keunggulan sistem Islam sehingga tak akan sempat korupsi karena kebutuhannya telah tercukupi. Khalifah Umar bin Abdul Aziz memberikan gaji yang memadai kepada pegawai negeri untuk mencegah mereka tergoda melakukan korupsi. Umar bin Abdul Aziz, khalifah dari Dinasti Umayyah yang dikenal sebagai pemimpin yang adil, memahami bahwa salah satu cara mencegah korupsi adalah dengan memastikan kebutuhan dasar para pegawai negara terpenuhi.

 

Umar sendiri hidup dengan sangat sederhana meskipun ia adalah seorang khalifah. Beliau menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus bersih dari tindakan korupsi dan memberikan teladan kepada para pegawainya.

 

Sistem Islam juga sangat serius dalam menanamkan nilai kejujuran, keadilan, dan amanah sejak dini dalam masyarakat melalui pendidikan agama. Pemimpin Islam diharapkan menjadi teladan dalam berperilaku sederhana, jujur, dan bertanggung jawab, sebaimana pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

 

Islam menganjurkan pembentukan lembaga pengawasan (hisbah) yang bertugas memastikan kepatuhan terhadap hukum syariah dalam pemerintahan dan masyarakat. Sistem keuangan Islam mendorong transparansi dalam pengelolaan anggaran negara, sehingga penyalahgunaan dana dapat diminimalisasi.

 

Dalam sistem pemerintahan Islam, masyarakat didorong untuk aktif mengawasi pemerintah dan melaporkan penyimpangan sebagai bagian dari amar ma'ruf nahi munkar. Dalam Islam, memberi dan menerima suap adalah dosa besar yang merusak tatanan masyarakat.

 

Pemimpin Islam, seperti Rasulullah SAW dan para sahabat, menjalani kehidupan yang sederhana, jauh dari kemewahan yang dapat menimbulkan kesenjangan sosial.

Keadilan Sosial: Pemimpin bertugas memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan haknya tanpa diskriminasi.

 

Sistem Islam menekankan bahwa semua aktivitas pemerintahan adalah ibadah yang bertujuan untuk mencapai ridha Allah, sehingga korupsi, nepotisme, dan penyelewengan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Allah dan umat.

 

Pemerintahan yang bersih menurut Islam dibangun atas dasar ketakwaan, keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Sistem Islam menempatkan moralitas sebagai landasan utama, di mana pemimpin dan rakyat saling mendukung untuk menciptakan lingkungan yang adil, aman, dan sejahtera. Implementasi nilai-nilai ini membutuhkan komitmen kuat dari semua pihak serta penerapan hukum yang konsisten.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 31/12/24 : 17.58 WIB)

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.