Oleh :
Ahmad Sastra
Buntut aksi tolak kenaikan PPN 12 persen berujung
ricuh, satu mahasiswa dikabarkan alami luka. Aksi demonstrasi menolak
kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang digelar oleh
ratusan mahasiswa di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Jumat (27/12).
Aksi tolak PPN 12 persen patut didukung, sebab tahun
2025 yang tinggal menghitung hari, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan
memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dari sebelumnya 11
persen menjadi 12 persen.
Pemberlakuan yang akan dilaksanakan mulai 1 Januari
2025 didasari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan (HPP). Kenaikan PPN tersebut mendapatkan beragam respon termasuk
dari kalangan industri.
Bahkan tidak sedikit yang mengkhawatirkan dengan
pemberlakuan kenaikan PPN tersebut akan memberatkan masyarakat selaku konsumen
produk mereka. Tidak menutup kemungkinan akan membuat turunnya minat beli
masyarakat. Tahun baru 2025 adalah awal kesengsaraan rakyat kecil.
Pajak
Penambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap transaksi jual
beli barang atau jasa kena pajak (BKP/JKP) di Indonesia. PPN adalah jenis pajak
tidak langsung yang dibebankan kepada konsumen akhir. Produsen atau penjual
bertugas untuk memungut PPN dari pembeli dan kemudian menyetorkannya kepada
pemerintah.
Dalam PPN yang dimaksud objek
pajak adalah Barang
Kena Pajak (BKP) yakni barang berwujud maupun tidak berwujud yang dikenakan
PPN. Jasa Kena Pajak (JKP)
adalah jasa yang dikenakan PPN. Sementara
yang dimaksud subjek pajak adalah penjual atau penyedia jasa (Pengusaha
Kena Pajak/PKP) yang bertanggung jawab memungut dan menyetor PPN. Subyek pajak juga adalah pembeli atau
konsumen akhir sebagai pihak yang membayar PPN.
Jika Anda
membeli barang dengan harga Rp 1.000.000, maka PPN yang dikenakan adalah : PPN = 12% x Rp 1.000.000 = Rp 120.000.
Total harga yang harus dibayar: Rp 1.110.000. PPN bertujuan untuk menambah
penerimaan negara dan membiayai kebutuhan pembangunan. Pemungutannya diatur
dalam UU Pajak Pertambahan Nilai dan peraturan turunannya.
Ini
artinya negara ini sedang bangkrut alias tak punya uang. Lantas untuk apa
memiliki sumber daya alam yang kaya raya yang sering dibanggakan oleh para
pejabat di negeri ini, kalau justru pajak naik terus ?. yang pasti pajak adalah
ciri khas sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di negeri ini.
Pajak,
termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang naik 12 persen, dapat memiliki
dampak buruk terhadap rakyat miskin, terlebih di tengah keterpurukan ekonomi
dan gelombang PHK saat ini. Rakyat miskin menghabiskan sebagian besar
pendapatannya untuk kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, dan transportasi.
Ketika barang atau jasa ini dikenai kenaikan pajak, mereka harus membayar lebih
mahal, yang mengurangi daya beli mereka. Jadi PPN 12 persen hanya akan menambah
beban berat rakyat yang sudah miskin.
Contoh jika PPN diterapkan pada bahan makanan pokok, keluarga miskin
harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk kebutuhan sehari-hari.
Pajak
konsumsi seperti PPN bersifat regresif, artinya persentase beban pajak terhadap
pendapatan lebih besar bagi rakyat miskin dibandingkan dengan yang kaya. Beban
pajak yang tinggi dapat memaksa rakyat miskin mengurangi pengeluaran untuk
kebutuhan penting seperti pendidikan, kesehatan, atau gizi, yang dapat
memperburuk kualitas hidup mereka dalam jangka panjang.
Jika
hasil pajak tidak dialokasikan secara adil untuk mendukung program
kesejahteraan sosial, rakyat miskin akan semakin tertinggal dibandingkan dengan
kelompok kaya yang mungkin mendapat manfaat lebih dari investasi pemerintah
seperti infrastruktur atau insentif pajak.
Ketika pajak
seperti PPN 12 persen diterapkan atau tarifnya dinaikkan, harga barang dan jasa
di pasar juga naik. Hal ini dapat memperburuk kondisi rakyat miskin yang tidak
memiliki pendapatan tambahan untuk menutupi kenaikan harga tersebut. Dengan
kebijakan ini, maka retorika dalam kampanye untuk mensejahterakan rakyat
menjadi omon kosong belaka.
(Ahmad
Sastra, Kota Hujan, 27/12/24 : 22.48 WIB)