Oleh : Ahmad Sastra
Gaya dakwah yang akhir-akhir ini mencuat dalam perbindangan publik adalah saat ada seorang yang dipanggil sebagai penceramah mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, yakni kata goblok kepada jamaahnya yang sedang berjualan es teh. Berjualan memang perbuatan yang baik dan mulia, namun berjualan di tengah jamaah pengajian juga salah satu perilaku yang kurang etis, sebab bisa mengganggu konsentrasi jamaah.
Ada juga penceramah yang justru sering mengucapkan kata-kata kotor dan jorok yang menjurus kepada hal-hal sensitif soal seksualitas. Banyak ucapan yang justru tidak etis diucapkan oleh seorang yang sedang berdakwah. Selain itu ada juga penceramah yang selalu mengandalkan candaan dengan tujuan jamaah terhibur dan tertawa. Penceramah seperti ini lebih mirip dengan pelawak dari pada berdakwah mengajak kepada jalan Islam.
Belum lagi masalah penceramah yang menetapkan tariff saat diundang untuk berceramah. Tarifnya juga cukup besar dan memberatkan jamaah yang mengundang. Masyarakat seringkali harus mengumpulkan sejumlah dana untuk memenuhi tarif yang ditetapkan oleh sang penceramah. Bahkan, kadang jamaah meminta-minta di jalan raya kepeda para pengendara dengan memasang photo yang penceramah.
Kasus-kasus di atas tentu saja tidak diajarkan dalam Islam, sebab tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Dakwah harus dikembalikan kepada maknanya, yakni kana tau seruan kepada jalan Allah atau jalan Islam. Dakwah adalah aktivitas amar ma'ruf nahi munkar yang sifatnya memberikan kabar gembira bagi kebaikan sekaligus peringatan bagi kemungkaran.
Hal ini sejalan dengan firman Allah : Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, dan pemberi peringatan, dan sebagai penyeru kepada (agama) Allah dengan izin-Nya dan sebagai cahaya yang menerangi. (QS. Al-Ahzab: 45-46).
Karena itu selain dengan adab dan ilmu, dakwah juga mesti jelas orientasi dan tujuannya. Dakwah dengan adab dan ilmu adalah pendekatan yang mengedepankan nilai-nilai etika dan kearifan dalam menyampaikan pesan Islam kepada individu atau masyarakat. Pendekatan ini sangat penting untuk memastikan dakwah menjadi efektif, diterima dengan baik, dan membawa dampak positif.
Adab dalam dakwah mencakup akhlak dan etika yang baik, baik terhadap objek dakwah maupun terhadap isi pesan yang disampaikan. Para pendakwah harus mengikuti contoh Nabi Muhammad SAW yang selalu mengedepankan kelembutan meskipun menghadapi orang-orang yang menolak dakwah. (QS. An-Nahl: 125).
Pendakwah perlu memahami latar belakang orang yang didakwahi dan tidak memaksakan pendapat. Dakwah juga harus menghindari celaan, ejekan, atau sikap merendahkan dalam berdakwah. Dakwah harus dilakukan dengan hikmah, yaitu bijaksana dalam memilih cara penyampaian, menghindari sikap kasar atau menyakiti hati orang yang didakwahi dan selalu berusaha merangkul, bukan memukul, sehingga Islam dipandang sebagai agama yang membawa rahmat.
Ilmu menjadi pondasi dakwah yang benar. Pendakwah harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang berbagai dasar ajaran Islam sekaligus persoalan yang ada. Di antara ilmu yang mesti dimiliki oleh seorang dai adalah ilmu aqidah, syariat, dan akhlak sesuai Al-Qur'an dan Sunnah. Dai juga perlu memiliki ilmu komunikasi agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh audiens. Tak ketinggalan, dai juga harus memiliki ilmu sosial dan budaya untuk memahami konteks masyarakat agar dakwah relevan dan aplikatif.
Dakwah dengan hikmah adalah menyampaikan kebenaran dengan bijaksana yang berbasis ilmu dan argumentasi melalui pendekatan yang tepat sesuai dengan kondisi dan pemahaman audiens. Ini sesuai dengan perintah Allah: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS. An-Nahl: 125)
Dakwah dengan adab dan ilmu adalah jalan dakwah yang meneladani metode Rasulullah SAW, yaitu menyampaikan pesan kebenaran dengan kelembutan, kecerdasan, dan kesabaran. Dakwah bukan sekadar menyampaikan, tetapi juga menyentuh hati dan pikiran, sehingga menghasilkan perubahan yang positif dan berkelanjutan di masyarakat menuju jalan Allah.
Dakwah juga sebagai sarana transformasi sosial berbasis nilai-nilai Islam yang kaffah (menyeluruh). Dakwah sebagai tugas utama setiap Muslim untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam hal ini, dakwah bukan hanya kewajiban individu, tetapi juga menjadi strategi transformasi masyarakat agar hidup sesuai dengan aturan Islam.
Karena itu dakwah harus menyentuh tiga dimensi. Pertama, dimensi individu yakni membentuk ketaqwaan dan kesadaran tauhid dengan kata lain membentuk kepribadian Islam. Kepribadian islam adalah gabungan dari pola pikir dan pola sikap islami. Kedua, dimensi sosial, komunitas atau masyarakat dengan tujuan membangun masyarakat yang berbasis nilai-nilai Islam. Ketiga, dimensi sistemik dengan mendorong penerapan syariat Islam dalam tatanan sosial, politik, dan ekonomi dalam institusi negara.
Hal ini sesuai dengan firman Allah: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran: 104)
Aktivitas dakwah Islam juga harus berbasis pada ideologi Islam yang murni, bebas dari pengaruh ideologi sekuler, liberal, atau kapitalis. Seorang penyeru Islam harus berani mengkritik kompromi-kompromi dakwah yang melunakkan nilai-nilai Islam demi diterima masyarakat. Islam harus disampaikan secara kaffah (menyeluruh), tidak hanya terbatas pada aspek spiritual, tetapi juga mencakup ekonomi, politik, hukum, dan budaya.
Dakwah harus menegaskan perbedaan antara Islam dan sistem-sistem buatan manusia yang bertentangan dengan ajaran Islam. Seorang dai tidak boleh membiarkan muslim terjebak pada ideologi atau paham yang bertentangan dengan Islam.
Gerakan dakwah sebagaimana yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul adalah membawa misi besar perubahan sistemik, yaitu mengembalikan kejayaan Islam melalui penerapan syariat Islam secara menyeluruh. Sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, hingga tegaknya Daulah Madinah dengan mengutus Mus'ab bin Umair berdakwah di Madinah.
Dakwah tidak hanya bertujuan mengubah individu, tetapi juga struktur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Dakwah harus mengajak umat untuk membangun kesadaran kolektif agar memahami bahwa Islam adalah solusi untuk semua persoalan kehidupan. Dakwah yang benar harus mengarah pada terwujudnya masyarakat Islam yang sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah.
Dengan demikian, aktivitas dakwah tidak hanya menekankan aspek ritual dan ibadah tanpa menyentuh dimensi sosial dan politik Islam. Dakwah yang terlalu lunak terhadap ideologi asing seperti liberalisme dan sekularisme, yang akhirnya mengaburkan nilai-nilai Islam juga telah menyimpang dari hakikat dakwah ila islam itu sendiri.
Dakwah di era teknologi ini, tidak ada salahnya juga jika pada dai menggunakan media sosial, tulisan, dan platform digital sebagai sarana dakwah. Dakwah juga berfungsi sebagai upaya untuk membendung pengaruh pemikiran-pemikiran yang menyesatkan, seperti sekularisme, kapitalisme, dan pluralisme agama. Dakwah harus diarahkan pada pembentukan generasi muda yang memahami Islam secara mendalam dan mampu menjadi agen perubahan di masyarakat dengan ideologi Islam dengan tegaknya daulah Islam.
Dengan demikian dakwah adalah seruan kepada Islam yang menyeluruh (kaffah), tegas dalam prinsip, tetapi dilakukan dengan adab dan hikmah. Dakwah sebagai sarana transformasi individu dan masyarakat menuju penerapan syariat Islam secara sempurna. Dakwah tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga harus ideologis dan strategis untuk menjawab tantangan zaman.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 14/12/24 : 21.48 WIB)