Oleh
: Ahmad Sastra
Fir'aun adalah istilah dalam bahasa
Arab yang merujuk kepada raja-raja Mesir Kuno, khususnya yang hidup pada masa
kejayaan kerajaan Mesir. Dalam konteks agama Islam, Fir'aun sering
diasosiasikan dengan seorang penguasa zalim yang hidup pada zaman Nabi Musa AS.
Kehadiran fir’aun adalah musibah bagi
kehidupan masyarakat pada zaman itu. Hal ini disebabkan karena fir'aun kekuatan
kekuasaannya yang besar membawa dirinya menjadi penguasa sombong, angkuh, zolim
serta menolak ajaran tauhid yang dibawa oleh Nabi Musa.
Fir'aun menolak dakwah Nabi Musa dan
menuduhnya sebagai penyihir diterangkan Allah dalam Surah Taha (20:56-57): "Dan
sungguh, Kami telah memperlihatkan kepadanya (Fir‘aun) semua tanda (kekuasaan
Kami), tetapi dia mendustakan dan menolak. Dia (Fir‘aun) berkata, 'Apakah
engkau datang kepada kami untuk mengusir kami dari negeri kami dengan sihirmu,
wahai Musa?'
Fir'aun dikenal sebagai sosok yang
sangat sombong. Saking sombongnya sampai mengaku sebagai Tuhan. Dengan angkuh
dia menolak untuk tunduk kepada Allah sebagaimana didakwahkan oleh Nabi Musa.
Dia juga menindas Bani Israil dengan kerja paksa, pembunuhan bayi laki-laki,
dan perlakuan tidak manusiawi lainnya. Hal ini menyebabkan musibah dan penderitaan
besar bagi rakyatnya. Fir’aun adalah penguasa pembawa musibah.
Fir'aun mengaku sebagai Tuhan dan
menolak kebenaran yang dibawa Nabi Musa sebagaimana tercantum dalam dua firman
Allah : Surah An-Nazi'at (79:24):
"Lalu dia berkata, 'Akulah
tuhanmu yang paling tinggi.' Surah
Al-Qasas (28:38): "Dan
Fir‘aun berkata, 'Wahai para pembesar kaumku! Aku tidak mengetahui ada tuhan
bagimu selain aku.'
Surah Al-Baqarah
(2:49) menjelaskan tentang kekejaman fir’aun : "Dan
(ingatlah) ketika Kami menyelamatkan kamu dari (Fir‘aun) dan
pengikut-pengikutnya. Mereka menimpakan siksaan yang sangat berat kepadamu;
mereka menyembelih anak-anak lelaki kamu dan membiarkan hidup anak-anak
perempuan kamu. Dan pada yang demikian itu adalah cobaan yang besar dari
Tuhanmu."
Penolakan terhadap hukum Allah yang dibawa oleh Nabi Musa merupakan puncak
kesombongan kekuasaan fir’aun. Ketika
Nabi Musa datang dengan bukti-bukti kerasulan, fir'aun justru menolak dan
menantang mukjizat yang ditunjukkan. Akibatnya, berbagai musibah diturunkan
kepada kaumnya sebagai peringatan, seperti banjir, belalang, kutu, katak, dan
air yang berubah menjadi darah.
Sifat-sifat fir’aun ini kini melekat
pada sistem demokrasi, kapitalisme, sekulerisme dan komunisme yang secara
terang-terangan menolak kebenaran Islam karena ideologi ini berasal dari kaum penjajah
kafir barat. Selain menolak hukum Allah, ideologi kafir penjajah ini juga
menjadi musibah bagi rakyat. Itulah mengapa ideologi ini selalu menjadikan
rakyat sebagai korban, seperti penarikan pajak, sebagaimana dahulu di zaman
penjajah dengan penerapan upeti.
Upeti di masa penjajahan adalah salah
satu bentuk kewajiban yang harus dipenuhi oleh rakyat kepada penguasa kolonial,
misalnya penjajah Belanda yang memaksa pemungutan upeti kepada rakyat. Dalam
konteks penjajahan di Indonesia, upeti sering kali berupa hasil bumi, uang,
atau tenaga kerja. Upeti ini merupakan bagian dari sistem eksploitasi yang
dilakukan oleh penjajah untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari daerah yang
mereka kuasai.
Contoh sistem
upeti di masa penjajahan, pertama, sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diperkenalkan pada masa penjajahan
Belanda (1830-1870). Rakyat diwajibkan menanam tanaman ekspor seperti
kopi, tebu, dan nila di sebagian lahan mereka, dan hasilnya diserahkan kepada
pemerintah kolonial tanpa bayaran yang adil. Kedua, kerja paksa (rodi). Selain memberikan hasil bumi, rakyat
juga diwajibkan memberikan tenaga kerja untuk membangun infrastruktur seperti
jalan, jembatan, atau benteng. Kerja paksa ini sering kali dilakukan tanpa upah
atau dengan imbalan yang sangat minim.
Ketiga, pajak
dalam bentuk hasil bumi. Penduduk
desa diwajibkan menyerahkan sebagian hasil panennya sebagai bentuk pajak atau
upeti kepada penguasa kolonial atau penguasa lokal yang berafiliasi dengan
kolonial. Keempat, eksploitasi oleh
sistem feodal lokal. Dalam beberapa kasus, penguasa lokal yang bekerja
sama dengan penjajah juga memungut upeti dari rakyat untuk kepentingan pribadi
atau mendukung administrasi penjajahan.
Dampak sistem
upeti atau pajak meliputi, Pertama, kemiskinan dan kelaparan. Rakyat sering kehilangan sebagian
besar hasil pertanian mereka sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup.
Kedua, perlawanan
rakyat. Beban upeti yang
berat memicu berbagai bentuk perlawanan, seperti Perang Diponegoro (1825–1830)
dan pemberontakan lokal lainnya. Ketiga, krisis sosial dan ekonomi: Sistem ini memperdalam ketimpangan
sosial antara rakyat jelata dan penguasa kolonial serta lokal.
Penguasa yang menyusahkan rakyat
sering merujuk pada pemimpin atau pihak berwenang yang menggunakan kekuasaan
mereka untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu tanpa memperhatikan
kesejahteraan rakyat. Dalam sejarah Indonesia, terutama di masa penjajahan dan
masa feodal, banyak contoh penguasa yang membebani rakyat dengan kebijakan yang
tidak adil.
Penguasa colonial seperti VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang memonopoli
perdagangan rempah-rempah dan memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil bumi
mereka dengan harga murah. Mereka juga memberlakukan kerja paksa yang membuat
rakyat menderita. Gubernur Jenderal
Johannes van den Bosch menginisiasi sistem tanam paksa (Cultuurstelsel),
yang menyebabkan penderitaan luas di kalangan petani karena mereka dipaksa
menanam tanaman ekspor seperti kopi dan tebu.
Penguasa lokal
yang berkolaborasi dengan penjajah juga merupakan penguasa yang menyusahkan
rakyat dan kehadirannya menjadi musibah bagi rakyat. Beberapa raja atau kepala daerah lokal
bekerja sama dengan penjajah untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Mereka
memungut pajak atau upeti yang berat dari rakyat demi memenuhi tuntutan
penjajah atau kepentingan pribadi. Misalnya, penguasa lokal yang mendukung
sistem tanam paksa turut mendapatkan keuntungan dari penderitaan rakyat.
Raja feodal
yang otoriter juga merupakan penguasa yang menyusahkan rakyat dan menjadi
musibah bagi rakyat. Dalam
sistem feodal, rakyat sering kali dianggap sebagai milik penguasa. Banyak
penguasa lokal yang memaksakan pajak tinggi, kerja rodi, atau kontribusi
lainnya tanpa memikirkan dampaknya pada kehidupan rakyat. Misalnya, beberapa
kerajaan lokal memanfaatkan tenaga kerja rakyat untuk membangun istana atau
proyek pribadi lainnya.
Dan yang
terjadi saat ini (pasca-kolonial) adalah penguasa yang menyalahgunakan
kekuasaan juga sebagai penguasa yang menysahkan rakyat dan kehadirannya menjadi
musibah bagi rakyat. Penguasa pembawa musibah pasca kolonial adalah para
penguasa kapitalis sekuler karena menerapkan sistem kapitalisme demokrasi
sekuler.
Bahkan setelah era penjajahan, ada
pemimpin-pemimpin yang memberlakukan kebijakan tidak adil, korupsi, atau
menindas rakyat demi kekuasaan. Contoh ini terlihat dalam beberapa pemerintahan
otoriter yang menekan hak-hak rakyat atau memanfaatkan kekayaan negara untuk
kepentingan pribadi.
Kebijakan yang tidak adil sering kali
menyebabkan rakyat kehilangan mata pencaharian atau penghasilan.Ketidakadilan
memicu berbagai bentuk perlawanan, baik dalam bentuk demonstrasi maupun
pemberontakan bersenjata. Rakyat yang tertindas sulit mendapatkan akses
pendidikan, kesehatan, dan kemajuan ekonomi.
Dalam banyak kasus, rakyat akhirnya
bangkit melawan penguasa yang tidak adil melalui perlawanan rakyat, perjuangan
diplomasi, atau reformasi pemerintahan. Salah satu contoh penting adalah
perjuangan kemerdekaan Indonesia untuk mengakhiri eksploitasi kolonial.
Para penjajah dan penguasa zalim adalah
cermin sosok fir’aun sebagaimana dahulu terjadi zaman Nabi Musa. Puncak musibah
terjadi ketika Fir'aun dan tentaranya tenggelam di Laut Merah saat mengejar
Nabi Musa dan pengikutnya. Kejadian ini menunjukkan akhir yang tragis bagi
seorang pemimpin yang sombong dan zalim.
Allah menenggelamkan Fir'aun dan
pasukannya di Laut Merah karena kedurhakaannya digambarkan Allah dalam tiga
ayat. Pertama, Surah Al-Qasas (28:40):
"Maka Kami menghukum dia
(Fir‘aun) dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka
lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim."
Kedua, Surah
Yunus (10:90-92): "Dan Kami selamatkan Bani Israil
melintasi laut, kemudian Fir‘aun dan bala tentaranya mengikuti mereka untuk
menzalimi dan menindas (mereka). Hingga ketika Fir‘aun hampir tenggelam dia
berkata, 'Aku percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai
oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.' (Allah
berfirman), 'Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu
telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat
kerusakan?'
Ketiga, Surah Al-Fajr (89:10-13): "Dan
(terhadap) Fir‘aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang
berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka banyak berbuat kerusakan
dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan cemeti azab kepada
mereka."
Kisah fir'aun menjadi pelajaran bagi
umat manusia tentang bahaya kesombongan, kekejaman, dan penolakan terhadap
kebenaran. Dalam Al-Qur'an, kisah ini diulang-ulang untuk mengingatkan manusia
agar menjauhi sifat-sifat buruk yang ditunjukkan oleh fir'aun.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 31/12/24 :
20.15 WIB)