Oleh : Ahmad Sastra
Homo Deus: A Brief History of Tomorrow adalah buku karya Yuval Noah Harari yang membahas masa depan manusia dalam konteks perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, dan perubahan sosial. Buku yang kini menjadi rujukan para ilmuwan kontemporer tentang masa depan manusia dan kehidupan ini penting untuk dikaji dalam sudut pandang Islam, khususnya ilmuwan muslim. Sebab saintisme Harari telah melampaui batas yang berpotensi menjerumuskan manusia menjadi ateis dan atau agnostik.
Harari dengan seluruh argumen ilmiahnya mencoba menjelaskan bagaimana manusia telah berhasil mengatasi tiga tantangan utama sepanjang sejarah. Pertama, masalah kelaparan. Revolusi agrikultur dan teknologi telah memungkinkan manusia memproduksi makanan lebih banyak daripada kebutuhan.
Kedua, masalah penyakit dimana kemajuan medis telah meningkatkan harapan hidup dan mengurangi ancaman epidemi besar. Ketiga masalah perang dengan argument bahwa dunia modern semakin damai dibandingkan masa lalu, dengan penurunan konflik global.
Setelah mengatasi tantangan ini, menurut Hariri, agenda besar manusia berikutnya adalah mengejar tujuan baru yakni kebahagiaan abadi, keabadian, dan peningkatan kekuatan hingga mendekati level homo deus (dewa atau tuhan).
Tantangan baru yang berupa keabadian, kebahagiaan, dan keilahian menurut Harari dipengaruhi oleh perkembangan dan Kemampuan teknologi modern saat ini. Teknologi bioteknologi misalnya bisa dijadikan sebagai proyek untuk memperpanjang umur manusia hingga menghapus kematian sebagai "proses alami."
Kecerdasan buatan menurut Harari akan mengubah cara manusia bekerja, membuat banyak pekerjaan manusia menjadi usang, dan bahkan dapat melampaui kemampuan manusia. Harari mengkritik pendekatan modern yang menggunakan teknologi, farmasi, dan psikologi untuk mencari kebahagiaan permanen.
Harari memperkenalkan konsep dataisme, sebuah pandangan bahwa aliran data dan informasi adalah kekuatan utama dalam dunia modern. Algoritma berbasis data diproyeksikan menjadi lebih baik dalam mengambil keputusan dari pada manusia. Dalam pandangan dataisme, nilai utama kehidupan adalah kemampuan untuk menghasilkan dan memproses data, bukan hal-hal tradisional seperti jiwa atau kemanusiaan.
Dalam buku Homo Deus, Harari memperingatkan beberapa risiko yang dihadapi manusia di era ini. Pertama, ketimpangan social dengan argumentasi bahwa teknologi canggih bisa menciptakan kelas "supermanusia" yang ditingkatkan secara biologis dan teknologi, meninggalkan mayoritas manusia lainnya.
Kedua, kehilangan relevansi manusia karena jika AI dan robotik menggantikan manusia dalam ekonomi dan pengambilan keputusan, manusia biasa mungkin kehilangan tempatnya di masyarakat. Ketiga, etika dan moralitas dimana kecepatan perkembangan teknologi melampaui pengembangan pemahaman etis yang memadai.
Dari sinilah, Harari lantas melontarkan pertanyaan saintismenya : apakah manusia akan tetap memegang kendali ?. Buku ini menantang pembaca untuk merenungkan beberapa pertanyaan fundamental : Apakah kehendak bebas masih ada jika algoritma memahami kita lebih baik daripada kita memahami diri sendiri?. Apakah manusia akan mampu mengendalikan AI, atau justru menjadi budak dari teknologi yang mereka ciptakan?
Homo Deus adalah eksplorasi masa depan umat manusia yang menantang, memprovokasi, dan memaksa kita untuk mempertimbangkan konsekuensi dari kemajuan kita. Harari mengajak kita berpikir tentang apa artinya menjadi manusia di era dominasi teknologi dan data ini. Buku ini adalah peringatan bahwa meski kemajuan teknologi menawarkan banyak peluang, ia juga menghadirkan pertanyaan besar tentang etika, moralitas, dan masa depan eksistensi kita.
Di satu sisi, justru di balik semua realitas alam semesta yang jauh lebih kompeks dari apa yang diungkapkan dalam buku Homo Deus, seorang Albert Einstein meyakini adanya kekuatan dari luar realitas alam semesta, kehidupan dan manusia ini. Pernyataan Albert Einstein yang terkenal, "Tuhan tidak bermain dadu", adalah ungkapan metaforis yang mencerminkan pandangannya terhadap sifat fundamental alam semesta dan hukum-hukum fisika.
Pernyataan ini muncul dalam konteks perdebatan Einstein dengan fisikawan lain, seperti Niels Bohr, mengenai interpretasi mekanika kuantum. Yuval Noah Harari, penulis buku Homo Deus tentunya juga telah mengetahui akan hal ini. Terlepas dari definisi tuhan yang diungkap oleh Albert Einstein.
Mekanika kuantum, khususnya prinsip ketidakpastian Heisenberg, menunjukkan bahwa di level subatomik, terdapat elemen fundamental dari ketidakpastian atau probabilitas. Misalnya, tidak mungkin secara bersamaan mengetahui posisi dan momentum sebuah partikel dengan presisi absolut. Hasil dari pengamatan tertentu tidak bisa diprediksi secara deterministik, melainkan hanya dalam bentuk peluang.
Einstein, yang lebih condong pada pandangan deterministik (dunia bekerja melalui hukum-hukum yang pasti), merasa bahwa interpretasi probabilistik ini tidak lengkap. Dengan mengatakan "Tuhan tidak bermain dadu," ia menyatakan keyakinannya bahwa alam semesta diatur oleh hukum-hukum yang tetap dan dapat dipahami, meskipun manusia belum sepenuhnya memahaminya. Ungkapan ini tentu saja bisa membantah pikiran Harari yang seolah ingin mewujudkan manusia menjadi tuhan untuk dirinya sendiri.
Dalam pernyataan ini, "Tuhan" yang dimaksud Einstein tidak selalu merujuk pada entitas religius dalam arti teologis, tetapi lebih kepada keyakinan filosofis tentang keberadaan keteraturan di alam semesta. Einstein percaya pada alam semesta yang rasional dan koheren, di mana hukum-hukum alam tidak bekerja secara acak atau probabilistik. Baginya, mekanika kuantum yang probabilistik bertentangan dengan pandangan ini, karena tampak mencerminkan dunia yang tidak sepenuhnya teratur.
Pernyataan ini juga mencerminkan konflik antara dua pendekatan dalam memahami alam semesta. Determinisme (Einstein) menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki sebab dan akibat yang jelas, sehingga seluruh fenomena fisik dapat dijelaskan dengan pasti jika hukum-hukumnya dipahami. Sementara Probabilisme (Bohr dan Mekanika Kuantum) meyakini bahwa pada level kuantum, ketidakpastian adalah sifat mendasar alam semesta, dan tidak mungkin memprediksi hasil pengamatan dengan pasti.
Einstein merasa bahwa mekanika kuantum bukanlah teori yang final, melainkan teori yang belum lengkap. Ia percaya ada variabel tersembunyi yang belum ditemukan, yang dapat menjelaskan perilaku partikel subatomik secara deterministik. Dalam salah satu argumennya, Einstein, Podolsky, dan Rosen (EPR Paradox) menyatakan bahwa mekanika kuantum memiliki keterbatasan dalam menggambarkan realitas fisik. Namun, eksperimen kemudian (seperti Bell's Theorem) justru mendukung pandangan bahwa alam memiliki sifat non-deterministik di level kuantum.
Pernyataan Einstein ini sering diinterpretasikan dalam konteks yang lebih luas, termasuk diskusi filosofis dan teologis. Dalam dimenasi fisika menunjukkan keyakinan Einstein pada keberadaan prinsip-prinsip fundamental yang koheren, meskipun mekanika kuantum tampaknya menunjukkan dunia yang tidak pasti.
Dalam dimenasi teologi sering dikaitkan dengan konsep Tuhan yang menciptakan alam semesta yang teratur dan bisa dipahami oleh akal manusia, meskipun Einstein sendiri cenderung pada pandangan deistik (percaya pada Tuhan sebagai prinsip keteraturan, bukan Tuhan personal).
Pernyataan "Tuhan tidak bermain dadu" mencerminkan keyakinan Albert Einstein bahwa alam semesta diatur oleh hukum-hukum yang pasti dan tidak bekerja secara acak. Meskipun ditujukan untuk mengkritik interpretasi mekanika kuantum, ungkapan ini juga membuka diskusi mendalam tentang hubungan antara determinisme, probabilitas, dan keteraturan di alam semesta.
Einstein berpegang pada harapan bahwa fisika suatu hari akan memberikan penjelasan yang lengkap dan deterministik tentang realitas, meskipun perkembangan modern menunjukkan bahwa sifat probabilistik mungkin merupakan bagian fundamental dari alam.
Sekarang kita masuk pada paradigma Islam memandang saintime Harari. Kritik paradigma Islam terhadap gagasan dalam Homo Deus karya Yuval Noah Harari berpusat pada beberapa poin penting yang berkaitan dengan pandangan dunia (worldview) Islam tentang Tuhan, manusia, tujuan hidup, dan makna eksistensi.
Harari mengemukakan gagasan bahwa manusia sedang berupaya menjadi "dewa" melalui teknologi dan ilmu pengetahuan, yang ia sebut sebagai transisi dari Homo Sapiens ke Homo Deus. Paradigma ini bertentangan dengan akidah Islam yang menempatkan Allah sebagai pencipta, penguasa, dan pemilik mutlak alam semesta.
Dalam Islam, manusia diakui memiliki kemampuan dan kecerdasan, tetapi hal ini diberikan oleh Allah. Usaha manusia untuk "menjadi dewa" dianggap bentuk kesombongan (istighna), seperti yang dikritik dalam Al-Qur'an (QS. Al-'Alaq: 6-7) yang artinya : Karena dia melihat dirinya merasa cukup (tidak membutuhkan Allah). Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali.
Islam menegaskan bahwa manusia, meskipun memiliki potensi besar, tetap makhluk terbatas yang tidak mungkin mencapai sifat ketuhanan, seperti kekuasaan absolut atau pengetahuan yang sempurna. Manusia itu pada intinya lemah dan penuh keterbatasan dan parti membutuhkan yang tidak terbatas. Zat yang tak terbatas ini dalam Islam disebut Tuhan, Allah SWT.
Harari mempertanyakan eksistensi kehendak bebas dalam dunia yang dikuasai oleh algoritma dan data, bahkan meramalkan bahwa manusia akan kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Dalam Islam mengakui kehendak bebas manusia dalam batasan takdir Allah. Kehendak manusia bukanlah ilusi, tetapi bagian dari ujian untuk memilih antara kebaikan dan keburukan.
Takdir adalah batasan atau sifat-sifat realitas yang telah ditetapkan oleh Allah. Sementara qodho adalah peristiwa yang secara absolut berada dalam kekuasaan Allah, sementara manusia tidak punya kekuatan untuk mengintervensi. Berbeda lagi dengan konsep perbuatan yang memang manusia diberikan kebebasan untuk memilihnya.
Allah berfirman : Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa,) "Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami. Maka, tolonglah kami dalam menghadapi kaum kafir." (QS. Al-Baqarah: 286).
Gagasan Harari bahwa algoritma dapat memahami manusia lebih baik daripada manusia memahami dirinya sendiri dianggap menghilangkan peran akal, hati, dan petunjuk Ilahi sebagai sumber utama pengambilan keputusan.
Harari berargumen bahwa manusia modern mengarahkan usahanya untuk mencapai kebahagiaan melalui sains, teknologi, dan manipulasi biologis. Islam memberikan kritik terhadap pandangan ini. Dalam Islam, kebahagiaan tidak hanya bersifat material atau fisik kimiawi, tetapi juga spiritual. Kebahagiaan sejati diperoleh melalui hubungan dengan Allah dan pelaksanaan tugas sebagai khalifah di bumi (QS. Al-An'am: 162).
Islam menegaskan bahwa kebahagiaan duniawi adalah fana dan terbatas. Teknologi tidak dapat menggantikan kebutuhan manusia akan makna dan tujuan hidup yang lebih tinggi. Jika ada pertanyaan : dari mana asal manusia, untuk apa hidup di dunia dan hendak kemana setelah mati.
Saintisme berdasarkan data ChatGPT menjawab : ilmu pengetahuan, khususnya melalui teori evolusi, menjelaskan bahwa manusia (Homo sapiens) berevolusi dari nenek moyang primata selama jutaan tahun melalui proses seleksi alam. Studi genetika menunjukkan bahwa manusia modern muncul di Afrika sekitar 200.000 tahun lalu sebelum menyebar ke seluruh dunia.
Dataisme, sebagai paradigma baru yang Harari usulkan, menganggap data dan informasi sebagai elemen terpenting dalam kehidupan, bahkan lebih penting daripada manusia itu sendiri. Dalam Islam, manusia lebih dari sekadar penghasil dan pengolah data.
Manusia memiliki ruh yang berasal dari Allah (QS. Al-Isra: 85), yang memberikan dimensi transendental pada eksistensinya. Islam memperingatkan tentang taghut atau penyembahan selain Allah, termasuk penyembahan terhadap teknologi dan algoritma yang mengancam menggantikan nilai-nilai spiritual dan moral.
Harari jarang membahas implikasi etis dan moral dari kemajuan teknologi yang ia gambarkan, sementara Islam menekankan pentingnya nilai moral dalam setiap aspek kehidupan. Dalam Islam, ilmu pengetahuan harus digunakan untuk manfaat manusia dan makhluk lainnya, serta dalam kerangka akhlak Islam (QS. Al-Baqarah: 30).
Teknologi yang melampaui batas moral dianggap destruktif. Islam mengajarkan bahwa semua tindakan manusia akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Ini memberikan batasan moral pada penggunaan teknologi, sesuatu yang tidak dijelaskan dalam paradigma Dataisme.
Harari memandang bahwa salah satu tujuan besar manusia adalah mencapai keabadian melalui teknologi. Islam mengajarkan bahwa kematian adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan merupakan awal perjalanan menuju kehidupan akhirat (QS. Al-Imran: 185). Islam menegaskan bahwa keabadian hanya ada di akhirat, baik di surga maupun neraka. Upaya manusia untuk menghapus kematian di dunia dianggap sebagai bentuk penolakan terhadap ketetapan Allah.
Paradigma yang ditawarkan dalam Homo Deus bertentangan secara mendasar dengan pandangan Islam, yang menekankan keterbatasan manusia, ketergantungan pada Allah, dan tujuan spiritual sebagai esensi kehidupan.
Islam mengingatkan bahwa kemajuan teknologi harus tetap berada dalam kerangka moral dan akhlak, serta tidak boleh mengancam nilai-nilai dasar kemanusiaan atau menciptakan kesombongan yang melawan ketuhanan. Gagasan Harari menjadi refleksi penting bagi umat Islam untuk memperkuat posisi aqidah dan spiritual di tengah gelombang perubahan teknologi modern.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 02/12/24 : 21.25 WIB)
Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad