MENAKAR MASA DEPAN SURIAH PASCA TUMBANGNYA REZIM BASHAR ASSAD


 

Oleh : Ahmad Sastra  

 

Mata dunia saat ini tertuju pada tumbangnya  kekuasaan dinasti bengis Bashar Assad oleh Hai'ah Tahrir ash-Sham dibawah kepemimpinan Abu Mohammed al-Jolani atau Ahmed al-Sharaa pada berasal dari Golan, Suriah. Proses revolusi penggulingan rezim Bashar Assad itu hanya memakan waktu 12 hari. Bashar al-Assad dan keluarganya dikabarkan kabur ke Moskow Rusia.

 

Serangan pertama dimulai di Aleppo 27 November. HTS sendiri memang merupakan kelompok yang menguasai sebagian besar wilayah barat laut Idlib dan beberapa bagian dari provinsi tetangga Aleppo, Hama, dan Latakia. Setelah Aleppo dikuasai, HTS mulai masuk ke Hama di 3 Desember dan menguasai kota itu 5 Desember. Di 7 November pemberontak menguasai kota Homs dan merebut Damaskus 8 Desember 2024.

 

Penggulingan dan serangan itu Serangan dipimpin oleh Kamar Operasi Al-Fath Al-Mubin, yang terdiri dari Hai'ah Tahrir Al-Sham (HTS), Front Pembebasan Nasional, dan Jaisyul Izzah. Selain itu, Tentara Nasional Suriah, koalisi faksi oposisi yang juga didukung oleh Turki, ikut terlibat. Mayoritas faksi yang terlibat adalah faksi-faksi pro-Turki.

 

Gejolak di Suriah dimulai dari perang saudara Suriah yang ditandai dengan tindakan bengis rezim Bashar al-Assad terhadap protes antipemerintah pada tahun 2011. Garis depan sebagian besar tidak berubah selama empat tahun terakhir, hingga oposisi melancarkan serangan besar-besaran.

 

Secara umum, revolusi Suriah yang dimulai pada 2011 sebagai bagian dari Arab Spring banyak dipandang oleh tokoh-tokoh Islam sebagai bentuk perlawanan sah terhadap kediktatoran Bashar al-Assad, yang dianggap represif dan tidak adil. Banyak ulama dan intelektual Muslim mendukung aspirasi rakyat Suriah untuk kebebasan, keadilan, dan kedaulatan, meskipun situasinya kemudian menjadi kompleks dengan keterlibatan berbagai kekuatan asing dan konflik internal di negara tersebut.

 

Apakah pascarevolusi, Suriah akan ada harapan lebih baik di masa depan ?. Hal ini tentu saja sangat bergantung kepada rakyat Suriah itu sendiri dan para pemimpinnya. Jika pemimpin oposisi benar-benar tidak diintervensi Amerika, maka ada kesempatan untuk menata Suriah menjadi lebih baik dan mandiri lagi. Tentu saja masa depan yang lebih baik untuk Suriah adalah dengan Islam, bukan sekulerisme.

 

Revolusi Suriah Dikendalikan Amerika ?

 

Namun demikian, di tengah euforia revolusi Suriah, ada hal penting bahwa sesungguhnya peristiwa ini dikendalikan oleh Turki dan AS dengan tujuan mendorong solusi politik baru di Suriah. Kemungkinan besar, mereka menginginkan pembentukan sistem pemerintahan koalisi di Suriah dengan beberapa wilayah memiliki otonomi khusus, seperti model Kurdistan Irak. Inilah mengapa, revolusi itu nampak begitu mudah dalam waktu yang sangat singkat.

 

Itulah mengapa Amerika tidak terkejut dengan serangan yang dilakukan oleh oposisi Suriah. Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan mengatakan: (Kami tidak terkejut dengan eksploitasi oposisi bersenjata Suriah terhadap keadaan baru ini. Al Jazeera Net, 12/1/ 2024), dan tidak menunjukkan ketidaknyamanan, menurut Apa yang dilaporkan oleh Al Jazeera Net, 12/1/2024, dari Gedung Putih mengatakan: (Kami memantau situasi di Suriah dan telah melakukan kontak dengan ibu kota regional selama 48 jam terakhir...)

 

Dalam konteks ini, ada tiga argumen yang memperkuat skenario Amerika dalam revolusi Suriah. Pertama, Pola Intervensi Amerika di Timur Tengah. Amerika dikenal memiliki sejarah panjang dalam mendukung perubahan rezim di wilayah-wilayah strategis demi kepentingan nasionalnya, seperti pengamanan sumber daya energi, stabilitas sekutunya (Israel), dan hegemoni global.

 

Kedua, Pemanfaatan Revolusi Arab Spring. Gerakan rakyat dalam Arab Spring, termasuk di Suriah, dimanfaatkan oleh kekuatan besar untuk melemahkan negara-negara tertentu, mendestabilisasi kawasan, dan menciptakan ketergantungan pada Barat, khususnya Amerika. Sebab semenjak runtuhnya khilafah Islam, negeri-negeri di Timur Tengah dipecah-pecah dan dihegemoni penjajah Barat, seperti Amerika, Perancis, Inggris.

 

Ketiga, Keterlibatan Aktor Asing. Konflik Suriah berkembang menjadi perang proksi, dengan Amerika mendukung kelompok oposisi tertentu, sementara Rusia dan Iran mendukung rezim Bashar al-Assad. Hal ini memunculkan narasi bahwa konflik tersebut bukan semata-mata perjuangan rakyat, tetapi juga menjadi ajang perebutan pengaruh kekuatan global di Timur Tengah, khususnya dalam konteks ini di Suriah.

 

Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS Sean Savitt mengatakan, "Amerika Serikat, bersama mitra dan sekutunya, mendesak deeskalasi, perlindungan warga sipil dan kelompok minoritas, dan dimulainya tindakan yang serius dan kredibel. proses politik yang dapat mengakhiri perang saudara ini untuk selamanya." Melalui penyelesaian politik yang sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan No. 2254.

 

Amerika, yang memegang kendali atas solusi tersebut, akan mewujudkan kepentingan kepentingan Yahudi, seperti yang dijamin Amerika kepada mereka dalam perjanjian gencatan senjata antara Yahudi dan Lebanon pada dini hari tanggal 27 November 2024, pada hari yang sama. memulai konfrontasi militer di Suriah, dan kemudian mencegah Iran kembali dengan momentum militer ke teater Suriah untuk mendukung partainya di Lebanon, yaitu memutus komunikasi militer darat antara Iran dan partainya di Lebanon. Hal-hal tersebut terindikasi dari pernyataan pejabat Amerika dan Turki yang diuraikan di atas terkait melancarkan serangan di Suriah.

 

Barat, khususnya Amerika selalu terlibat dalam gejolak politik di Timur Tengah dengan cara mendukung rezim antek yang sudi menjaga hegemoni Amerika. Sebenarnya langgengnya rezim-rezim diktator di dunia Arab itu karena diback up oleh barat, khususnya Amerika. Oleh karena itu naif bila kemudian Suriah saat menerima solusi kenegaraan dari barat. Muhammad al Jolani mestinya memahami kondisi ini, bukan malah ikut dalam gendang Amerika yang merupakan pendukung utama pendudukan Israel atas Palestina.

 

Padahal Allah melarang keras umat Islam untuk tunduk kepada orang-orang kafir. Dalam Surah Al-Maidah (5:51), Allah berfirman : "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin (auliya'); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu menjadikan mereka pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."

 

Dalam Surah An-Nisa' (4:141), Allah menegaskan larangan memberikan jalan kepada orang-orang kafir :  "...Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman."

 

Ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak meridhai orang kafir memiliki kekuasaan dominan atas kaum Muslimin, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial. Konteks ini mengajarkan umat Islam untuk berhati-hati dalam memberikan otoritas kepada pihak yang dapat melemahkan Islam, khususnya negara Barat Penjajah yang kini mengendalikan negeri-negeri muslim di Timur Tengah.

 

Masa Depan Suriah dengan Khilafah

 

Umat Islam pada umumnya bisa belajar dari peristiwa penting revolusi Suriah, bahwa menumbangkan rezim diktator Bashar Assad itu suatu kemajuan bagi kemenangan kaum muslimin di Suriah, namun jika upaya revolusi itu tidak diikuti oleh perubahan sistem, maka yang akan terjadi adalah perubahan semua karena masih dalam kendali Amerika. Tentu saja Amerika tidak menginginkan Suriah dibangun dengan sistem Islam. Jadi pada titik ini, umat Islam harus mewaspadai intervensi asing dalam setiap proses perubahan politik di negeri-negeri muslim.

 

Tumbangnya rezim bengis ini tentu saja suatu kebaikan untuk masyarakat Suriah yang selama ini sangat menderita karena kekejamannya. Ribuan rakyat Suriah dipenjara dengan berbagai penyiksaan yang tiada tara. Wajar jika rakyat Suriah merayakan kejatuhan rezim yang telah 50 tahun berkuasa ini, dimulai dari Hafez Al Assad, ayah dari Bashar Assad.

 

Suriah adalah bagian dari negeri Syam pada masa kejayaan khilafah Islam. Negeri ini diberkahi secara spiritual dan material. Keberkahan tersebut meliputi kekayaan iman, tempat para nabi, dan sejarah Islam. Negeri Syam adalah negeri yang diberkahi, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ bersabda: "Berbahagialah negeri Syam!" Para sahabat bertanya, "Mengapa, wahai Rasulullah?". Beliau menjawab: "Karena malaikat Rahmat mengembangkan sayapnya di atas negeri itu." (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan Hakim).

 

Negeri Syam juga menjadi indikator kebaikan umat pada akhir zaman. Rasulullah ﷺ bersabda: "Apabila penduduk Syam telah rusak, maka tidak ada kebaikan lagi di antara kalian. Akan terus ada sekelompok umatku yang mendapatkan pertolongan (kemenangan). Tidak akan memudaratkan mereka siapa pun yang meninggalkan atau menentang mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka tetap berada dalam keadaan demikian." (HR. Tirmidzi, no. 2192; Ahmad, no. 5098).

 

Karena itu, pasca jatuhnya Rezim Bashar Assad, mestinya perubahan mendasar dirancang oleh para pemimpin baru Suriah, yakni perubahan yang tidak hanya perubahan rezim, tapi juga perubahan sistem, yaitu dari sistem sekuler yang ada, menjadi sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Sistem Khilafah inilah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan dilanjutkan oleh para Khalifahnya sesudah beliau, mulai dari Khalifah Abu Bakar Shiddiq (berkuasa tahun 632 M), hingga Khalifah terakhir di Turki, yaitu Sultan Abdul Majid II (lengser tahun 1924).

 

Umat Islam harus terus berjuang untuk menggagalkan solusi sekuler ini dan menegakkan kembali pemerintahan Islam.  Umat Islam harus yakin akan firman Alah Swt dalam surah As-Saff ayat 13 yang artinya, "Pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang beriman.

 

Berkaca dari sejarah, penaklukan Suriah oleh Muslim terjadi pada paruh pertama abad ke-7, di mana wilayah ini sudah dikenal sebelumnya dengan nama lain seperti Bilad al-Sham, Levant, atau Suriah Raya. Sebenarnya pasukan Islam sudah berada di perbatasan selatan beberapa tahun sebelum Nabi Muhammad meninggal dunia tahun 632 M, seperti terjadinya Pertempuran Mu'tah pada tahun 629 M, akan tetapi penaklukan sesungguhnya baru dimulai pada tahun 634 M di bawah perintah Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab, dengan Khalid bin Walid sebagai panglima utamanya.

 

Wilayah pertama yang berhasil ditaklukkan adalah Damaskus pada tahun 635 M, dan Yerusalem pada tahun 637 M. dipimpin oleh panglima Khalid bin Walid pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab. Pada saat menyerahnya Damaskus ke tangan Islam, penduduk dijamin keamanannya (harta, nyawa, bahkan gereja) dengan syarat mereka mau membayar upeti atau jizyah.

 

Perubahan ideal pasca runtuhnya Rezim Bashar Assad bagi Suriah adalah tegaknya khilafah Islamiyah yang menjadi pemersatu negeri-negeri muslim di dunia, sehingga akan mampu menyelamatkan kaum muslimin yang terus dalam keterjajahan. Suriah bisa ditegakkan khilafah dengan empat syarat utama yang harus dipenuhi.

 

Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullāh, ada 4 (empat) syarat bagi suatu negeri (al-quthr/al-balad) yang akan membaiat Khalifah dalam kondisi tiadanya Khilafah sama sekali. Empat syarat tersebut adalah sebagai berikut :

 

Pertama, kekuasaan (sulthān) yang ada negeri tersebut, haruslah merupakan kekuasaan yang mandiri (sulthān dzāty), yang bersandar kepada kaum muslimin semata, tidak bersandar kepada negara asing (kafir) atau orang asing (kafir).

 

Kedua, keamanan (al-amān) di negeri tersebut haruslah merupakan keamanan Islam, dalam arti perlindungan (al-ḥimāyah) bagi negeri tersebut, baik keamanan dalam negeri maupun kemanan luar negerinya, semuanya merupakan keamanan yang berada di tangan kaum muslimin.

 

Ketiga, negeri tersebut harus segera memulai penerapan Islam dengan penerapan yang sempurna dan menyeluruh (dalam segala aspek kehidupan) di dalam negeri, dan harus segera melakukan kegiatan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia di luar negeri.

 

Keempat, khalifah yang dibaiat harus memenuhi syarat-syarat baiat in'iqād, meskipun tidak memenuhi syarat-syarat afdholiyah (keutamaan), karena yang menjadi standar/patokan (al-'ibrah) adalah syarat-syarat in'iqād. ('Abdul Qadim Zallum, Nizhām Al-Ḥukm fī Al-Islām, 59-60; Taqiyuddin An-Nabhani, +Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah,_ Juz II, hlm, 26; Muqaddimat Al-Dustūr, Juz I, hlm. 125-130).

 

Untuk itu umat Islam harus punya kesadaran politik Islam dalam menyikapi setiap perkembangan politik di dunia dengan terus memberikan kesadaran akan pentingnya menegakkan Khilafah Islam yang akan menyatukan negeri-negeri muslim sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah. Khilafah Islamiyah inilah yang akan mewujudkan kemerdekaan hakiki bagi kaum muslimin di seluruh dunia dan mampu mengalahkan negara-negara penjajah Barat dan sekutunya.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 16/12/2024 : 21.10 WIB)

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.