Oleh : Ahmad Sastra
Secara pribadi, penulis tidak mengenal nama Islah Bahrawi. Mendengar namanya juga cukup jarang, mungkin karena penulis tidak mengikuti tulisan-tulisannya. Namun, ketika mendapatkan postingan dari WAG sebelah tentang komentar Islah terkait isi buletin Kaffah, edisi 373 – 13/12/24 (Islah salah menulis bulan, 13/10/24) berjudul Sistem Pemerintahan Khilafah Memang Menakjubkan, penulis terdorong untuk ikut urun rembug atau sekedar diskusi tipis-tipis.
Salah satu kutipan dalam buletin Kaffah itu membahas tentang bahwa khilafah adalah ajaran Islam. Selengkapnya tertulis : Siapapun yang mengkaji ajaran dan sejarah Islam dengan seksama dan ikhlas akan mengakui bahwa Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Para ulama salaf telah banyak membahas urgensi dan kewajiban mendirikan Khilafah. Menurut Dr. Mahmud al-Khalidi, dalam disertasinya di Universitas al-Azhar, Mesir, "Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia." (Al-Khalidi, Qawâ'id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226).
Nah ketika hulum syariah itu diterapkan secara kaffah, maka otomatis akan lahir kondisi ideal, sebagaimana terjadi dalam dalam sejarah kekhalifahan. Ditulis dalam buletin kaffah : Khilafah Islamiyah—termasuk Khilafah Utsmaniyah—memang pantas dikagumi bahkan diteladani. Belum pernah ada sistem pemerintahan yang berkuasa hampir 14 abad dominan dengan tinta emas. Bersih, adil dan mampu melebur umat manusia dalam satu wadah kesatuan. Kondisi ideal inilah yang kemudian disinggung oleh Prabowo dalam salah satu pidatonya dalam acara yang diadakan Muhammadiyah.
Nah dari sinilah nampaknya Islah memulai menulis komentar dengan mengaitkan antara ucapan Prabowo dengan tulisan dalam Buletin Kaffah dengan memberikan argumen tentang pembunuhan yang dialami oleh para khalifah dengan maksud bahwa peristiwa pembunuhan itu menunjukkan khilafah bukan sistem terbaik. Dari argumentasi ini pulalah Islah mengalami gagal paham atau bisa juga di katakan semacam logical fallacy.
Mengkaitkan antara terbunuhnya khalifah dengan penilaian buruk atas sistem khilafah adalah kesalahan fatal. Tentu saja berbeda antara peristiwa pembunuhan yang tentu saja ada sebabnya dengan khilafah sebagai sebuah sistem dan bagian dari ajaran Islam. Islah tidak bisa membedakan antara peristiwa dan sistem. Apakah jika ada seorang muslim terbunuh artinya Islamnya buruk ?. Apakah jika ada khalifah terbunuh, berarti khilafahnya buruk ?. Apakah jika ada para Nabi terbunuh, lantas Islamnya buruk ?.
Padahal dalam Al Qur'an ada para nabi yang terbunuh yang dikabarkan oleh Allah. Tentu saja dibunuh oleh orang-orang jahat. Begitu juga saat Rasulullah dimusuhi oleh orang-orang kafir Quraisy, apakah Islah juga akan mengatakan bahwa Islam yang dibawa Rasulullah itu buruk ?. Inilah logical fallacy pertama yang terdapat dalam tulisan Islah menanggapi isi buletin kaffah tentang sub bab khilafah sistem terbaik dan bagian dari ajaran Islam.
Coba perhatikan beberapa firman Allah tentang terbunuhnya para Nabi. Al-Qur'an menyebutkan secara umum bahwa ada Nabi dan Rasul yang dibunuh oleh umat mereka, tanpa menyebutkan nama-nama mereka secara spesifik.
Setidaknya ada tiga ayat : pertama, Surah Al-Baqarah (2:61) : "Mereka tidak hanya durhaka kepada Allah, tetapi juga membunuh nabi-nabi dengan cara yang tidak benar." Kedua, Surah Al-Baqarah (2:87) : "...Apakah setiap kali datang kepadamu seorang rasul yang tidak sesuai dengan keinginanmu, lalu kamu menyombongkan diri? Maka sebagian dari mereka kamu dustakan dan sebagian yang lain kamu bunuh."
Ketiga, Surah Ali Imran (3:21) : "Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar, serta membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka sampaikanlah kabar kepada mereka dengan azab yang pedih."
Meskipun Al-Qur'an tidak menyebutkan nama nabi-nabi yang terbunuh, beberapa riwayat dalam tafsir dan tradisi Yahudi-Kristen (Israiliyat) menyebutkan beberapa nama berikut: Pertama, Nabi Zakaria dalam riwayat bahwa Nabi Zakaria dibunuh oleh kaumnya. Sebabnya adalah karena beliau terus berdakwah kepada Bani Israil agar kembali ke jalan yang benar (Islam).
Kedua, Nabi Yahya, putra Nabi Zakaria, juga dibunuh dengan cara dipenggal atas perintah penguasa zalim pada masanya, karena menentang pernikahan haram seorang raja.
Ketiga, Nabi Isa, meski dalam Islam, Nabi Isa tidak benar-benar dibunuh, tetapi ada upaya dari kaum Yahudi untuk menyalibnya. Al-Qur'an menyatakan bahwa Allah menyelamatkannya dengan mengangkatnya ke langit : "Dan mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh adalah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka." (QS. An-Nisa: 157).
Kisah para nabi yang disakiti atau dibunuh ini menjadi pelajaran penting bagi umat Islam, yaitu: pertama, keteguhan iman dan perjuangan dalam menyampaikan kebenaran selalu dihadapakan dengan resiko. Kedua, peringatan agar tidak mengikuti jalan kaum yang menolak nabi dan wahyu Allah karena akan mendapatkan azab pedih dari Allah.
Ketika 3 dari 4 khalifah pasca Nabi (khulafaurrasyidin) terbunuh, Islah lantas bertanya secara retoris dalam tulisannya : apakah itu sistem terbaik ?. Pertanyaan ini sudah penulis jawab di awal tulisan ini sebagai gagal paham antara peristiwa terbunuhnya khalifah dengan sistem khilafah itu sendiri. Menjelekkan sistem khilafah adalah kesalahan, apalagi jika sampai menjelekkan empat khalifah pasca nabi, maka bisa dikatakan penghinaan. Tapi dalam hal ini tidak dilakukan oleh Islah.
Tapi ada hal penting juga yang harus dipahami bahwa keempat khalifah itu adalah orang-orang mulia yang mendapatkan keutamaan yang disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah. Nabi Muhammad ï·º memerintahkan umat Islam untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah para Khulafaurrasyidin, yang ditunjukkan dengan sabdanya : "Wajib atas kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi geraham kalian." (HR. Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, dan Ibnu Majah no. 42; shahih)
Bahkan, para Khulafaurrasyidin termasuk dalam sepuluh sahabat yang dijamin masuk surge, sebagaimana sabda Rasulullah : "Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga..." (HR. At-Tirmidzi no. 3747; shahih)
Pertama, keutamaan Abu Bakar dan Umar. Nabi Muhammad ï·º menyebutkan kedudukan Abu Bakar dan Umar secara khusus dalam beberapa kesempatan. "Seandainya aku menjadikan seorang kekasih selain Tuhanku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasihku, tetapi ia adalah saudaraku dan sahabatku." (HR. Al-Bukhari no. 3661, Muslim no. 2382). "Ikutilah dua orang setelahku: Abu Bakar dan Umar." (HR. At-Tirmidzi no. 3663; shahih). "Sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar." (HR. At-Tirmidzi no. 3682, Ahmad 1/56; shahih)
Kedua, keutamaan Utsman bin Affan. Nabi Muhammad ï·º memuji sifat pemalu dan kebaikan Utsman bin Affan."Sesungguhnya orang yang paling pemalu di antara umatku adalah Utsman bin Affan." (HR. Muslim no. 2401). Ketika Nabi ï·º sedang duduk, Abu Bakar dan Umar datang, dan Nabi tetap dalam keadaan santai. Namun, ketika Utsman datang, beliau merapikan pakaiannya dan duduk dengan sopan. Ketika ditanya alasannya, Nabi menjawab:"Tidakkah aku merasa malu kepada seseorang yang malaikat pun malu kepadanya?" (HR. Muslim no. 2402)
Ketiga, Keutamaan Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Nabi Muhammad ï·º:"Engkau (Ali) adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darimu." (HR. Al-Bukhari no. 2699, Muslim no. 2404)."Ali adalah wali (pemimpin) bagi siapa yang menjadikanku sebagai wali." (HR. Ahmad no. 18444, At-Tirmidzi no. 3713; hasan)
Tulisan Islah yang mengatakan bahwa gara-gara dalam milad Muhammadiyah Pak Prabowo mengatakan kagum terhadap Imperium Ottoman, orang-orang eks HTI makin kencang mengatakan Khilafah adalah ajaran terbaik juga merupakan narasi yang tidak punya dasar sama sekali, kecuali hanya sebuah narasi emosional belaka. Memilih diksi eks HTI cenderung bernada emosional dibandingkan intelektual. Sebab jika intelektual, mestinya fokus kepada gagasan, bukan identitas.
Sebenarnya pada faktanya, dakwah khilafah sebagai ajaran Islam terus digaungkan, bahkan meskipun banyak penentangnya sekalipun. Jika mau membaca lebih teliti lagi, maka apa yang ditulis oleh Buletin Kaffah ingin mengingatkan bahwa seorang muslim jangan hanya terbatas mengagumi khilafah ajaran Islam, namun juga berusaha untuk memperjuangkannya. Islah dalam hal ini nampaknya kurang jeli, mungkin sedang buru-buru.
Sebelum lanjut, alangkah baiknya kita jeda sejenak untuk membaca dan mencermati pendapat pada cendekiawan Barat tentang khilafah dan kemajuan peradaban Islam, tentu mereka lebih kredibel pendapatnya yang bisa kita jadikan renungan. Para cendekiawan Barat secara umum mengakui bahwa peradaban Islam pada masa khilafah, khususnya selama periode Khilafah Umayyah, Abbasiyah, dan keemasan Andalusia, memberikan kontribusi besar bagi kemajuan peradaban dunia.
Pertama, Will Durant (Sejarawan Barat, The Story of Civilization) yang dengan jujur dan intelek mengakui pengaruh besar peradaban Islam terhadap Eropa dengan mengatakan : "Peradaban Islam selama lima abad (700–1200 M) berada di puncak dunia dalam hal kekuatan, disiplin, dan perluasan budaya... Sains dan filsafat Islam telah membawa cahaya kepada Eropa yang tenggelam dalam kegelapan Abad Pertengahan." Durant juga menyoroti bagaimana sarjana-sarjana Muslim menjaga dan mengembangkan ilmu pengetahuan Yunani, yang kemudian diterjemahkan kembali ke bahasa Latin dan menjadi dasar bagi Renaisans Eropa.
Kedua, Montgomery Watt (Orientalis dan Sejarawan Islam) dalam karyanya "The Influence of Islam on Medieval Europe", Watt menyatakan bahwa banyak aspek peradaban Eropa modern dipengaruhi oleh dunia Islam dengan menulis : "Tanpa peradaban Islam, dunia modern tidak akan muncul. Pengaruh Islam meliputi ilmu pengetahuan, kedokteran, filsafat, matematika, dan seni arsitektur. Dunia Islam adalah jembatan yang mentransfer warisan kuno kepada Eropa."
Ketiga, George Sarton (Bapak Sejarah Ilmu Pengetahuan) memuji ilmuwan Muslim dalam bukunya "Introduction to the History of Science" dengan mengatakan : "Kehidupan ilmiah berkembang luar biasa di dunia Islam, terutama dari abad ke-8 hingga ke-13. Ilmuwan Muslim seperti Al-Khwarizmi, Ibn Sina, dan Al-Biruni memengaruhi semua cabang ilmu pengetahuan, dari matematika hingga kedokteran." Sarton juga menyebut abad ke-9 sebagai "Zaman Al-Khwarizmi" dan abad ke-11 sebagai "Zaman Al-Biruni dan Ibn Sina", menandakan penghargaan besar terhadap sumbangan mereka.
Keempat, Bertrand Russell (Filsuf dan Matematikawan) dalam "History of Western Philosophy" menulis: "Para filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd memberikan pengaruh yang signifikan pada filsafat Eropa. Mereka tidak hanya menjaga tradisi filsafat Yunani, tetapi juga menambah wawasan baru yang kemudian diadopsi oleh sarjana-sarjana Kristen seperti Thomas Aquinas."
Kelima, Robert Briffault (Antropolog dan Sejarawan) dalam bukunya "The Making of Humanity", Briffault menyoroti bagaimana peradaban Islam memainkan peran vital dalam perkembangan sains dan budaya Barat dengan mengatakan : "Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Muslimlah yang menjadi dasar kebangkitan Eropa. Orang-orang Arab bukan hanya penerjemah, tetapi pencipta dan inovator."
Keenam, Edward Said (Cendekiawan Postkolonial) dalam "Orientalism" mengkritik bias orientalis Barat terhadap dunia Islam, namun juga menegaskan bahwa banyak intelektual Barat yang menghormati kontribusi Islam terhadap dunia menulis :"Peradaban Islam memiliki pengaruh mendalam pada kebudayaan Eropa. Sayangnya, pengakuan ini sering kali disembunyikan karena narasi kolonial yang meremehkan pencapaian Timur."
Menarik apa yang ditulis oleh Edward Said : Sayangnya, pengakuan ini sering kali disembunyikan karena narasi kolonial yang meremehkan pencapaian Timur. Nah apakah para penolak khilafah yang seringkali membuat narasi negatif telah keracunan narasi colonial ?. Entahlah, Tanya aja ke rumput yang bergoyang.
Yang pasti, para cendekiawan Barat yang lebih kredibel mengakui bahwa peradaban Islam pada masa khilafah memberikan kontribusi besar dalam membentuk dunia modern. Kemajuan dalam ilmu pengetahuan, budaya, dan filsafat selama era tersebut memainkan peran kunci dalam membawa Eropa keluar dari Abad Kegelapan (Dark Ages) menuju Renaisans. Pengakuan ini menunjukkan pentingnya peradaban Islam dalam daulah khilafah sebagai salah satu tonggak utama sejarah manusia.
Memang harus diakui bahwa ada sebagian masa, dimana praktek kekhilafahan tidak berjalan ideal, tentu hal ini karena kesalahan manusianya, bukan kesalahan sistemnya. Peristiwa yang disinggung oleh Islah terkait dengan musuh dan peperang masa khilafah adalah sebagai fakta sejarah, bukan sumber hukum. Fakta sejarah adalah obyek hukum yang harus dihukumi. Maka, jika ada praktek yang tidak ideal, bukan khilafahnya yang disalahkan, tapi perilaku penguasa saat itu yang harus dibaca dalam perspektif hukum syariah.
Inilah mengapa Allah memerintahkan kepada pemimpin itu untuk berbuat adil, yakni berhukum dengan hukum Allah. Artinya perintah ini bisa jadi tidak dipatuhi oleh seorang pemimpin. Maka, jika pemimpin tidak adil, bukan berarti Islamnya yang salah, tapi pemimpin itulah yang salah karena tidak taat kepada perintah Allah. Jadi fakta sejarah itu bukan sumber hukum, tapi fakta yang menjadi obyek hukum.
Allah memerintahkan pemimpin untuk selalu menegakkan keadilan, baik kepada rakyatnya maupun dalam urusan lainnya, hal ini termaktub dalam Surah An-Nisa (4:58): "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Allah juga menegaskan kewajiban menegakkan keadilan yang termaktub dalam Surah Al-Ma'idah (5:8): "Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang-orang yang menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan."
Ada juga dalil dari Hadits terkait masalah kepemimpinan dalam Islam. Pertama hadits tentang tujuh golongan yang mendapat naungan Allah. Nabi Muhammad ï·º menyebutkan bahwa pemimpin yang adil adalah salah satu dari tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat: "Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) Pemimpin yang adil..." (HR. Bukhari no. 660, Muslim no. 1031)
Kedua, pemimpin yang dicintai Allah. Pemimpin yang adil adalah pemimpin yang dicintai oleh Allah, sedangkan pemimpin yang zalim adalah pemimpin yang dimurkai-Nya: "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka membenci kalian..." (HR. Muslim no. 1855)
Ketiga, tanggung jawab besar seorang pemimpin. Nabi ï·º menegaskan bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya: "Seorang pemimpin adalah pemelihara, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipeliharanya." (HR. Bukhari no. 893, Muslim no. 1829)
Keempat, keutamaan keadilan seorang pemimpin. "Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil akan berada di atas mimbar-mimbar cahaya di sisi Allah... yaitu mereka yang berlaku adil dalam hukum, terhadap keluarga, dan terhadap orang-orang yang berada di bawah kekuasaan mereka." (HR. Muslim no. 1827).
Islah bertanya dalam tulisannya : apakah dalam khilafah tidak ada praktek korupsi, nepotisme, kejahatan negara dan burtalitas politik ? Banyak, Banyak sekali. Mari kita buka-bukaan sejarah. Nah, dalam tulisan ini Islah sudah benar mendudukkan peristiwa itu dalam kerangka fakta sejarah. Sekali lagi, fakta sejarah adalah peristiwa yang menjadi obyek hukum, bukan sumber hukum.
Bukan hanya di zaman khilafah, bahkan di zaman para Nabipun banyak terjadi pelanggaran dan bahkan kejahatan. Justru Islam datang untuk membawa misi kebaikan dan memberantas keburukan. Siapapun yang melanggar aturan Allah, di zaman apapun, maka dirinya harus mempertanggungjawabkan perilakunya itu di dunia maupun di akhirat. Jadi kesalahan bukan pada Islam dan khilafahnya.
Dalam Islam, setiap perbuatan sekecil apa pun akan diperhitungkan sebagaimana ditegaskan dalam Surah Az-Zalzalah (99:7-8) : "Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya juga."
Dalam Surah Al-Baqarah (2:286), Allah menyatakan bahwa setiap manusia hanya akan dibebani sesuai dengan kemampuannya, dan dia bertanggung jawab atas amalnya sendiri: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebaikan) yang diusahakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang dikerjakannya."
Sementara dalam Surah An-Najm (53:39-41) ditegaskan bahwa setiap orang hanya mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang dia usahakan: "Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. Dan usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna."
Dalam hadits, setiap Orang Bertanggung Jawab atas Amal Perbuatannya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad ï·º : "Tidaklah seorang hamba melangkah pada hari kiamat hingga ditanya tentang empat hal: (1) tentang umurnya untuk apa dia habiskan, (2) tentang ilmunya untuk apa dia amalkan, (3) tentang hartanya dari mana dia peroleh dan untuk apa dia belanjakan, dan (4) tentang tubuhnya untuk apa dia gunakan." (HR. At-Tirmidzi no. 2417; hasan shahih).
Hadits tentang Setiap Jiwa Bertanggung Jawab : "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. (HR. Bukhari no. 893, Muslim no. 1829)
Perbuatan Baik dan Buruk Diperhitungkan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad ï·º : "Sesungguhnya Allah telah menetapkan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan, lalu menjelaskannya. Barang siapa yang berniat melakukan kebaikan tetapi tidak melakukannya, maka Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan. Dan jika ia melakukannya, maka Allah mencatatnya sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat atau lebih. Namun, barang siapa yang berniat melakukan keburukan tetapi tidak melakukannya, maka Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan. Jika ia melakukannya, maka Allah mencatatnya sebagai satu keburukan saja." (HR. Bukhari no. 6491, Muslim no. 131)
Akhir dari tulisan Islah : orang-orang Hizbut Tahrir jika ingin berpolitik, gak usah pake modus-modus jualan agama dan Tuhan deh. Politik itu pelakunya pasti manusia, dan katarsis moral manusia itu akan terlihat ketika dia diberi tampuk kekuasaan – apapun sistem politiknya.
Akhir tulisan ini sebenarnya tidak layak untuk dikomentari, karena tidak jelas basis paradigmanya. Tapi sekilas, akhir tulisan ini hanya mengkonfirmasi bahwa penulisnya nampaknya punya pemahaman sekuler, yakni memisahkan antara politik dan Islam. Ya cuma itu saja. Sementara istilah modus jualan agama dan Tuhan adalah narasi gak penting untuk dikomentari. Sebab narasi itu tidak berbasis data dan fakta. Narasi itu hanya ilusi Islah aja.
Padahal Islam itu tidak bersifat sekuleristik, tapi integratif, itulah mengapa ada istilah politik islam, pendidikan islam, ekonomi islam, budaya islam, bahkan di kampus-kampuspun membuka jurusan-jurusan seperti ini. Apakah Islah juga berani menuduh bahwa kampus yang membuka jurusan politik Islam atau ekonomi Islam dengan menjual agama dan Tuhan ?.
Kesempurnaan Islam diantaranya adalah ajaran tentang politik dan pemerintahan ini. Sebab kehidupan manusia harus diatur oleh Islam, dimana Islam adalah hukum yang datangnya dari Allah dan Allah adalah Tuhan yang paling tahu urusan seluruh makhluknya. Tindakan dan kebijakan manusia tersebut tidak terlepas dari penilaian, dan penilaian ini dalam perspektif pemikiran politik Islam berdasarkan kriteria-kriteria yang tetap di dalam al-Qur`an dan Sunnah Nabi.
Atas dasar ini, maka negara Islam adalah instrumen yang dipergunakan untuk merealisasikan misi dan tujuan mulia, baik untuk jangka pendek ataupun untuk jangka panjang. Jangka pendek adalah di dunia ini, yaitu terciptanya kehidupan yang islami (damai, maju, berkah, beradab, adil, bahagia dan sejahtera) dengan penerapan syariah secara kaffah dan tujuan jangka panjangnya adalah di akhirat nanti, yaitu memperoleh ampunan dan ridha dari Allah.
Jadi negara Islam memiliki dua dimensi, yakni dimensi dunia dan akhirat. Berbeda dengan negara sekuler yang hanya berdimensi dunia saja, karenanya cenderung merusak manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan.
Konsepsi bahwa Islam adalah sistem kehidupan yang komprehensif adalah penting ditumbuhkan dalam pemikiran dan kesadaran kaum muslimin hari ini, jangan sampai larut dalam pemikiran sekuler. Islam tidak membagi dunia secara artifisial dan sewenang-wenang ke dalam sosial dan profan ( hal keduniaan ) atau ke dalam keagamaan dan sekular. Dalam Islam, agama dan pemerintahan adalah suatu organik yang melekat dalam kesatuan, sebagaimana dua sisi mata uang yang tidak mungkin dipisahkan.
Hakikat ini senada dengan apa yang ditegaskan al-Faruqi; Umat bagaikan suatu badan organik yang bagian-bagiannya saling bergantung antara satu dengan yang lainya secara keseluruhan. Agar bagian tersebut dapat bekerja untuk dirinya, maka ia sendiri harus bekerja untuk bagian-bagian lainya secara keseluruhan, dan agar keseluruhan dapat bekerja untuk dirinya, maka iapun harus bekerja untuk masing-masing bagian yang lain.
Dalam salah satu hadits, Nabi Muhammad saw. menggambarkan umat Islam sebagai suatu bangunan yang kokoh dan bersatu, masing-masing bagian dari bangunan tersebut menopang kepada bagian yang lainya. Di dalam hadits lain, Nabi menyamakan umat dengan sebuah badan atau jasad, di mana komponen badan yang lain akan merasakan gelisah dan demam panas, ketika bagian komponen yang lainya terkena sakit.
Kesadaran atau pemikiran politik Islam saat ini adalah sebuah kebutuhan mendesak bagi umat Islam pada umumnya dan ulama intelektual khususnya, mengingat kondisi umat Islam saat ini dalam kondisi terburuk. Pemimpin yang bercokol di negeri-negeri muslim adalah para antek penjajah yang sekuleristik. Hal ini salah satunya dikarenakan kaum intelektual muslim tidak lagi sadar dan komitmen dengan pemikiran Islam, mereka malah terjebak dalam disorientasi, yakni cinta dunia.
Relevan dengan kondisi di atas, Imam Al Ghazali mengingatkan : Sesungguhnya kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para pemimpinnya, dan kerusakan para pemimpin disebabkan oleh kerusakan para para Intelektualnya, kerusakan para intelektual disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan. Siapa saja yang dikuasai oleh ambisi duniawi, dia tidak mampu mengurus (mengelola) rakyat.
Urgensi politik (al-Siyasah) dalam pandangan al-Ghazali adalah karena negara Islam akan mengatur tindakan dan upaya memperbaiki kondisi manusia untuk diarahkan ke jalan yang benar (Islam) dalam rangka memperoleh keselamatan di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, pemahaman politik seperti ini, menurut al Ghazali terbagi ke dalam empat tingkatan, yaitu; Pertama, al-Siyasah al-Ulya (high politic); yaitu politik para Nabi (Siyasah al-Ambiya ). Kekuasaan dan otoritas mereka ditujukan kepada semua orang, baik yang khusus atau pun yang umum, yang zahir dan yang bathin.
Kedua, Politik para Khalifah, para Raja, para Sulthan. Kekuasaan dan otoritas merekaditujukan kepada orang-orang khusus dan juga umum, tetapi hanya yang berkaitan dengan halhal yang zahir atau yang real saja dan tidak pada hal-hal yang bathin atau spiritual mereka. Ketiga, Politik para Ulama (Siyasatul Ulama), yaitu pengaturan hubungan antara Allah dan agama-Nya, dimana mereka adalah para pewaris Nabi ( warasatul Ambiya ). Kekuasaan dan otoritas mereka pada bathinatau spiritual orang-orang secara khusus. Keempat, Politik para da`I dan para muballigh (al-Wu`az). Kekuasaan dan otoritas mereka diarahkan pada bathin atau spiritual orang-orang umum.
Ketika Al Qur'an menyebut kata khalifah, maka pemerintahan yang diwariskan Rasulullah kepada para sababat adalah khilafah dengan khulafaur rasyidin sebagai khalifahnya. Itulah mengapa para khalifah seperti Abu Bakar Syiddiq, Umar Bin Khathab, Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib memimpin sebuah institusi bernama khilafah. Begitupun khilafah bani Umayyah dan Usmaniyah. Inilah kesadaran awal yang harus dibangun kembali di tengah-tengah umat Islam hari ini. Umat Islam juga harus disadarkan bahwa menegakkan kembali khilafah Islam adalah sebuah kewajiban bagi kaum muslimin saat ini.
Esensi khilafah dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat dan hukum Allah secara sempurna di berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi kedua khilafah adalah dakwah rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi ketiga khilafah adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu kepemimpinan.
Imam Syamsuddin al-Qurthubi (w. 671 H) seorang ulama yang sangat otoritatif di bidang tafsir. Menjadikan ayat 30 surat al-baqarah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Kata beliau, "Ayat ini merupakan dalil atas kewajiban mengangkat seorang khalifah yang di patuhi serta di taati agar dengan itu suara umat Islam bisa bersatu dan dengan itu pula keputusan-keputusan khalifah dapat di terapkan. Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat dan tidak pula di antara para ulama atas kewajiban ini, kecuali apa yang di riwayatkan dari Al-'Ahsam yang benar-benar telah tuli (ashamm) terhadap syariah. Demikian pula siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya itu serta mengikuti ide dan mazhabnya."
Para ulama juga menjadikan as-Sunnah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Misalnya hadist Shahih Muslim nomer 567 tentang tawaran Istikhlaf (menunjuk Khalifah pengganti) kepada Umar bin Khattab ra. Menjelang saat beliau mendekati ajal. Imam al-Qadhi 'Iya di al-makin (w. 544 H) mengatakan dalam syarh -nya Ikmal al-mu'lim bi-Fawa id Muslim, "ini merupakan hujjah bagi apa yang telah menjadi ijmak kaum Muslim dimasa lampau tentang syariah pengangkatan seorang Khalifah.
Imam Syamsuddin At-Taftazani ( w. 791 H) dalam Syarh Al-'Aqa id Al-Nasafiyyah, dengan berdasarkan hadist tersebut, menegaskan bahwa khilafah itu wajib menurut syariah. Dalil yang semakin mengokohkan kewajiban menegakkan Khilafah adalah Ikmal Sahabat pasca Rasulullah saw. Untuk mengangkat seorang khalifah. Dalil ini disepakati oleh seluruh ulama Aswaja.
Imam Saifuddin al-Amidi (w. 631 H) mengatakan, "Ahlus Sunnah wal Jamaah (Ahlul Haq) berpendapat: Dalil qath'i atas kewajiban mewujudkan seorang khalifah serta menaatinya secara syar'i adalah riwayat mutawatir tentang adanya ijmak kaum Muslim (Ijmak Sahabat) pada periode awal pasca Rasulullah saw. Wafat atas ketidakbolehan masa dari kekosongan seorang khalifah..."
Khilafah sebagai ahammul wajibat juga di kemukakan oleh Sa'duddin At-Taftazani (w. 791 H), Jalaluddin al-Mahalli (w. 864 H), Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari (w.926 H), Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H), Ahmad bin Hijazi Al-Fasyani (w.978 H), Syamsuddin ar-ramli (w. 1004 H), Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H), Syamsuddin as-Safarini (w. 1188 H), Hasan bin Muhammad al-'Aththar (w. 1250 H), Ahmad bin Muhammad ash-sawi (w. 1241 H), Abu al Fadhal as-Sinuri (w.1411 H), dan lainya.
Sudah sangat jelas dalil dari al-Quran, hadist dan juga Ijmak Sahabat yang menunjukan kewajiban menegakkan Khilafah. Kita sebagai umat Islam jangan pernah ada lagi keraguan tentang kebenaran, Khilafah ajaran Islam yang musti harus kita perjuangkan bersama-sama (jamaah) semoga janji Allah yang akan menjadikan kita (kaum Muslim) sebagai penguasa di muka bumi ini segera terwujud.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib, karamallahu wajhah dalam Tafsir Al Quran karya Al Baghawi menjelaskan bahwa seorang imam atau pemimpin negara wajib memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT, serta menunaikan amanah. Jika dia melakukan itu, maka rakyat wajib untuk mendengarkan dan mentaatinya. Sebaliknya tidak wajib taat kepada kemimpin tidak memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT atau memerintahkan kemaksiatan kepada Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW laa thoata li makhluqin fii maksiatil kholiq Tidak ada ketaatan kepada makhluk yang memerintahkan kemaksiatan kepada Allah. (HR Ahmad).
Namun demikian, saat ini kesadaran politik umat Islam masih terlihat sangat jauh. Ada di antara umat yang memang awam masalah relasi agama dan negara ini dikarenakan keawaman ilmunya. Ada di antara kaum muslimin yang telah memiliki pemikiran politik Islam, namun belum memahami betul bagaimana thoriqah menegakkan kembali khilafah. Ada juga di antara kaum muslimin yang tidak mau tahu soal bentuk negara, karena hidupnya hanya terjebak pada urusan duniawi semata. Ada pula di antara kaum muslimin yang menolak khilafah Islam karena pemikirannya telah teracuni paham sesat dan haram sekulerisme liberalisme.
Ada juga di antara umat Islam yang menolak khilafah Islam karena mereka menjadi jongos paham kapitalisme dan komunisme, sebagaimana dialami oleh para pemimimpin negeri-negeri muslim. Ada juga di antara kaum muslimin yang menolak khilafah Islam justru karena sengaja menjadi agen Barat yang membiayai hidupnya, dengan kata lain mereka telah menjual Islam dengan harga sedikit. Mereka memang dibayar kaum kafir untuk merusak dan menghalangi kebangkitan Islam.
Klasifikasi di atas mungkin sejalan dengan klasifikasi yang dirumuskan oleh Imam Al Ghazali bahwa ada empat kriteria manusia : dia tahu bahwa dirinya tahu, dia tahu bahwa dirinya tidak tahu, dia tidak tahu bahwa dirinya tahu dan dia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Keempat kriteria ini tentu saja ada pada diri umat Islam saat ini. Jadilah orang pertama dan berdakwahlah untuk kebangkitan Islam, dengan sabar menerima semua resikonya.
Maka masukkan dalam golongan umat yang terus menyerukan kebangkitan Islam ini sampai mati atau kita mendapati kebangkitan peradaban Islam dengan tegaknya khilafah masa depan. Sebagaimana ditegaskan oleh Sayyid Qutub bahwa masa depan adalah milik Islam. Pejuang Islam harus yakin, berani, tangguh dan sabar dalam meniti jalan perjuangan ini. Sebab janji Allah adalah pasti, kita hanya diwajibkan ikhtiar untuk menyongsong kemenangan Islam ini.
( Sumber : [1] Ali Ibn Muhammad al-Mawardiy, al-Ahkam al-Sulthaniyahwa al Wilayah al-Diniyah ( Kairo: Isa al-Babiy al-Halabiy, 1960). [2] E.I,J. Rosenthal, Political Thought in Medival Islam ( Cambridge: Cambridge University Press, 1968). [3] Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibnu Taimiyah ( London: Islamic Book Foundation, 1983 ) [4] Sayyid Abul `Ala al-Maududiy, The Islamic Law and Constitution ( Lahore: Islamic Publication, 1967)
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 16/12/2024 : 00.30 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad