Oleh
: Ahmad Sastra
Sudah
jamak diketahui bahwa sistem politik demokrasi adalah politik pragmatisme
transaksional yang sarat dengan orientasi materi atau uang. Hampir tidak ada
praktek politik yang tidak membutuhkan uang dalam sistem demokrasi ini.
Demokrasi adalah sistem politik dengan biaya besar. Pragmatisme politik dapat
menjadi salah satu faktor penyebab korupsi jika nilai-nilai pragmatis yang
diterapkan mengabaikan prinsip moral, etika, atau hukum demi mencapai tujuan
politik individu atau golongan serta partai.
Pergumulan
politik para petinggi negara dan petinggi partai yang saat ini sedang ramai
terjadi di negeri ini hanyalah fenomena gunung es yang mengindikasikan bahwa
hampir seratus persen para pejabat adalah para koruptor. Praktik korupsi dan
suap demi memperebutkan kursi kekuasaan dan setelah mendapatkan kekuasaan
selalu dilakukan oleh para maling uang rakyat. Pada saat ini para maling dan
garong uang rakyat sedang saling bertarung untuk saling menjebloskan ke
penjara.
Kunci
dari pertarungan para garong adalah presiden itu sendiri. Apakah presiden saat
ini benar-benar punya kemauan dan keberanian untuk memberantas korupsi yang
mungkin dilakukan oleh kelompoknya sendiri atau janji berates korupsi sekedar
omon-omon belaka. Ucapan Prabowo bahwa koruptor akan diampuni asalkan
mengembalikan uang hasil korupsi tentu saja niat baik tapi melanggar hukum.
Sebab koruptor meskipun mengembalikan uang hasil korupsi harus tetap dihukum,
jika perlu dihukum mati.
Pasal
2 ayat 1 UU Tipikor menyebutkan: “Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
Abdullah
Hehamahua, mantan penasehat KPK memberikan empat catatan atas pasal 2 ayat (1)
ini. Pertama, “setiap orang,” bermakna siapa saja, baik warga negara maupun
bukan. Laki-laki maupun perempuan. Pejabat (Presiden sampai Kades), ASN,
Penyelenggara Negara (PN), pengusaha, maupun rakyat jelata. Kedua “melawan
hukum.”
Maknanya,
suatu kebijakan atau tindakan yang dilakukan objek hukum di atas, jika
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang ada, makai a terkategori
sebagai tindak pidana. Peraturan Perundang-undangan tersebut, mulai dari UUD45,
UU, Peppres, Keppres, serta Keputusan Menteri / Gubernur / Bupati / Walikota.
Ketiga,
“melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi.” Kalimat ini dengan jelas menyebutkan bahwa, anda tidak terima uang
korupsi tersebut, tapi ia diperoleh orang lain atau korporasi. Olehnya, ada
yang “nekad” berpikir, daripada
dipenjara tanpa menikmati uangnya, lebih baik ambil uangnya sehingga dianggap
“impas” jika masuk terungku sekian tahun. Bahkan, sewaktu di penjara, koruptor
berubah menjadi orang saleh/salehah dan berperan sebagai sinterklas. Hasilnya,
setiap tahun, koruptor mendapat beberapa kali remisi sehingga hanya dalam waktu
singkat (setahun atau dua tahun) bisa bebas bersyarat.
Keempat,
“dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Perkataan “dapat” dalam kalimat ini bermakna
“potensi.” Artinya, kebijakan atau tindakan seorang PN tidak merugikan keuangan
negara secara kuantitatif seperti tertuang dalam APBN/APBD, tapi merugikan
perekonomian negara, seperti: banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, atau
runtuhnya jembatan dan bangunan perkantoran pemerintah.
Pragmatisme
transaksional yang menjadi karakter demokrasi dengan demikian menjadi sarang
dan kandangnya para koruptor. Dengan modal politik yang besar, hampir tidak
mungkin warga negara yang baik, namun tidak memiliki uang untuk menjadi
pejabat, hampir mustahil. Sebaliknya dengan karakteristik pragmatism
transaksional, maka kekuasaan di negeri ini hanya mungkin diraih oleh para
penjahat garong uang rakyat.
Pragmatisme
politik demokrasi sering kali berfokus pada hasil, seperti memperoleh kekuasaan
atau mempertahankan posisi politik, tanpa memperhatikan cara mencapainya. Hal
ini bisa membuka peluang untuk menggunakan cara-cara tidak etis atau ilegal,
termasuk korupsi, asalkan tujuan tercapai. Praktek ini sudah menjadi rahasia
umum di negeri ini. Bahkan ada yang mengatakan bahwa korupsi adalah budaya
bangsa ini. Hal ini disebabkan oleh sistem politik yang diterapkan di negeri
ini, yakni demokrasi sekuler.
Dalam
pragmatisme politik demokrasi, transaksi antara aktor politik sering kali
terjadi, seperti barter kekuasaan, pemberian jabatan, atau dana kampanye.
Transaksi ini bisa menjadi bentuk kolusi atau nepotisme yang melanggar hukum,
terutama jika melibatkan penyalahgunaan wewenang atau anggaran negara. Dalam
hal ini partai politik bisa menjadi sumber praktek suap dan korupsi. Apalagi
partai politik sekuler yang sejak awal berdiri telah berpaham pragmatisme.
Pragmatisme
politik demokrasi kadang menempatkan efisiensi di atas transparansi dan
akuntabilitas. Ini menciptakan celah untuk penyalahgunaan kekuasaan atau
penggelapan dana publik tanpa pengawasan yang memadai. Bahkan tidak jarang yang
namanya garong uang rakyat dilakukan bersama-sama dengan membuat legitimasi
hukum yang dibuat oleh para pejabat itu sendiri. Berkuasa artinya mendapatkan
uang banyak, dari orientasi inilah, demokrasi memberikan banyak peluang untuk
membuat kebijakan yang justru merugikan rakyat dan menguntungkan para penguasa.
Dalam
konteks pragmatism demokrasi, politikus dapat menggunakan sumber daya publik
untuk kepentingan pribadi atau kelompok mereka dengan alasan memperkuat posisi
politik. Contohnya termasuk alokasi anggaran tidak adil atau proyek fiktif yang
sering terjadi di negeri ini. Jadi sebenarnya para penguasa itu sudah saling
tahu soal praktek korupsi ini. Wajar jika pemberantasan korupsi yang
dikampanyekan saat jelang pemilu hanyalah omon-omon dan bualan semata.
Jika
pragmatisme politik menjadi budaya yang diterima dalam sebuah sistem, maka
norma yang mendukung kejujuran, integritas, dan kepentingan publik dapat
terkikis. Ini menciptakan lingkungan yang subur bagi korupsi untuk berkembang.
Demokrasi yang sarat biaya politik justru hanya akan mengakomodir calon
penguasa yang bermodal besar, bukan orang yang baik. Meskipun pancasila
mengatakan kemanusiaan yang adil dan beradab, namun pada prakteknya, para
koruptor itu justru yang lantang teriak : saya pancasila. Ironis bukan ?.
Pragmatisme
politik demokrasi juga dapat mendorong kompromi dengan pihak-pihak yang memiliki
kekuatan finansial atau politik, termasuk mereka yang terlibat dalam praktik
korupsi, demi memperoleh dukungan atau koalisi. Dalam hal ini para pihak adalah
para oligarki yang punya modal besar. Mereka memberikan dukungan finansial
kepada para calon penguasa dengan perjanjian proyek-proyek setelah berkuasa.
Akan lebih bahaya lagi jika para pengusaha menjadi penguasa, maka sempurnalah
negeri pancasila ini akan dikuasai oleh para garong uang rakyat.
Jika
sistem demokrasi sekuler masih diterapkan di negeri pancasila ini, maka korupsi
tidak akan pernah bisa diberantas. Semua usaha pemberantasan korupsi dalam
sistem demokrasi hanyalah bualan para penguasan untuk menipu rakyat. Sebab
sejak awal orientasi memperebutkan kursi kekuasaan telah salah, yakni untuk
memperkaya diri. Demokrasi dengan demikian, selain menjadi sarang para koruptor
juga menjadi kandangnya para pengkhinanat amanah rakyat.
Tidak
ada ketaqwaan individu yang menjadi modal awal dalam praktek politik demokrasi.
Ketaqwaan individu, kontrol masyarakat dan hukuman yang tegas hanya ada dalam
sistem Islam. Sistem Islam mengharamkan praktek suap-menyuap dengan ancaman
neraka, baik penyuap maupun yang disuap. "Rasulullah melaknat orang yang memberikan suap dan yang menerimanya
dalam perkara hukum." (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Hadis tentang dosa suap dalam keputusan hukum di tegaskan dalam
hadis Nabi Muhammad SAW : "Allah
melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara di antara keduanya. (HR.
Ahmad). Hadis ini menunjukkan bahwa bukan hanya pemberi dan penerima suap yang
berdosa, tetapi juga perantara yang memfasilitasi praktik suap tersebut.
Hadis tentang pengkhianatan amanah juga ditegaskan oleh
Rasulullah SAW melalui sabdanya : "Barang
siapa yang kami tunjuk untuk suatu pekerjaan dan kami telah memberikan gajinya,
maka apa yang diambilnya di luar itu adalah pengkhianatan." (HR.
Abu Dawud). Hadis ini menyinggung praktik suap yang dilakukan oleh pejabat atau
orang yang diberi amanah. Apa pun yang diterima di luar haknya dianggap sebagai
pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan oleh rakyat kepada mereka.
Dalam
Islam, kekuasaan dipandang sebagai amanah
(titipan) yang harus dijalankan dengan tanggung jawab, keadilan, dan kepatuhan
kepada hukum Allah. Konsep ini didasarkan pada prinsip bahwa segala sesuatu di
dunia ini adalah milik Allah, dan manusia hanya bertindak sebagai wakil atau
khalifah yang diberi tanggung jawab untuk mengelola kekuasaan demi kebaikan
umat.
Allah
SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan
apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya
dengan adil." (QS. An-Nisa: 58). Ayat ini menegaskan bahwa
kekuasaan adalah amanah yang harus dijalankan dengan keadilan dan diberikan
kepada orang yang layak menerimanya.
Rasulullah
SAW bersabda: "Jika amanah
disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya." Lalu ada yang bertanya,
'Bagaimana amanah itu disia-siakan?' Beliau menjawab, 'Jika suatu urusan
diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.' (HR.
Bukhari). Hadis ini mengingatkan bahwa kekuasaan harus diserahkan kepada orang
yang memiliki kemampuan, kejujuran, integritas, dan keadilan. Menyerahkan
kekuasaan kepada yang tidak ahli adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah.
Dalam
sistem politik Islam, yakni khilafah, seorang pemimpin disebut sebagai khalifah, yang memiliki tanggung jawab
besar untuk menjaga kesejahteraan umat dan menegakkan hukum Allah. Rasulullah
SAW bersabda: "Setiap kalian
adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa
yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan Muslim). Hal ini menunjukkan
bahwa kekuasaan tidak hanya hak, tetapi juga tanggung jawab yang akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Paradigma ini yang tidak ada dalam
demokrasi, karena demokrasi adalah sistem dari penjajah barat.
Dalam prinsip kekuasaan dalam Islam, seorang penguasa harus
berlaku adil kepada semua pihak, tanpa memihak kelompok tertentu. Keadilan
adalah inti dari pemerintahan yang Islami. Kekuasaan harus digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, bukan
untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Dalam
sistem khilafah, kekuasaan bukan alat untuk mencari keuntungan duniawi,
melainkan tanggung jawab besar yang harus dijalankan dengan integritas dan
transparansi. Dalam Islam, khalifah diwajibkan bermusyawarah dengan rakyat atau
yang mewakili atau para penasihatnya untuk mengambil keputusan yang bijaksana
sesuai dengan syariah Islam. Hal ini sejalan dengan perintah Allah : "Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mentaati) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka." (QS. Asy-Syura:
38)
Kekuasaan
dalam Islam adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh tanggung
jawab. Pemimpin tidak hanya bertanggung jawab kepada rakyatnya tetapi juga akan
dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT di akhirat. Oleh karena itu,
prinsip-prinsip seperti keadilan, kesejahteraan, dan akuntabilitas harus
menjadi landasan utama dalam menjalankan kekuasaan. Sistem pemerintahan Islam
akan melahirkan pemerintahan yang bersih dari praktek korupsi.
Dalam
Islam, pemimpin dipandang sebagai pelayan
rakyat yang bertugas untuk mengurus kepentingan dan urusan umat dan
memastikan kesejahteraan mereka. Kepemimpinan bukanlah sebuah keistimewaan atau
kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi, melainkan amanah besar yang harus
dijalankan dengan penuh tanggung jawab, keadilan, dan pengabdian.
Rasulullah
SAW bersabda: "Pemimpin suatu kaum
adalah pelayan mereka." (HR. Abu Nu'aim dan Al-Baihaqi). Hadis ini
menegaskan bahwa seorang pemimpin bertugas untuk melayani rakyatnya, bukan
memanfaatkan posisi kepemimpinannya untuk kepentingan pribadi atau berlagak
seperti bos.
Nabi
Muhammad SAW adalah teladan terbaik dalam kepemimpinan. Beliau menjalankan
tugas sebagai pemimpin dengan penuh kesederhanaan, kasih sayang, dan
pengorbanan demi kepentingan umat. Misalnya, dalam peristiwa menggali parit
saat Perang Khandaq, Nabi Muhammad ikut bekerja bersama para sahabat tanpa
memanfaatkan kedudukannya untuk mendapatkan keistimewaan.
Khalifah
Umar dikenal dengan prinsip kepemimpinannya yang sangat mengutamakan pelayanan
kepada rakyat. Beliau pernah berkata: "Seandainya
seekor keledai di Irak tersandung karena jalan yang buruk, aku khawatir Allah
akan meminta pertanggungjawaban dariku, mengapa aku tidak memperbaiki jalan
tersebut." Pernyataan ini menunjukkan betapa besar perhatian Umar
terhadap kesejahteraan rakyat, bahkan untuk hal-hal yang terlihat kecil
sekalipun.
Dalam
Islam, penguasa atau khalifah sejati adalah mereka yang mengabdikan dirinya
untuk melayani rakyat, menegakkan keadilan, dan memastikan kesejahteraan
masyarakat semata-mata karena Allah dengan menegakkan hukum Allah secara kaffah.
Islam
dengan tegas memandang bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus
dipertanggungjawabkan, baik kepada manusia maupun kepada Allah SWT di kahirat
kelak. Dengan prinsip ini, seorang penguasa dalam sistem Islam dapat
menjalankan tugasnya dengan penuh kejujuran, integritas dan keikhlasan yang
akan mengantarkan rakyat kepada kesejahteraan di dunia dan keselamatan di
akhirat.
(Ahmad
Sastra, Kota Hujan, 29/12/24 : 11.24 WIB)
Website
: https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1
Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage:
https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram :
https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad