TUGAS INTELEKTUAL MUSLIM MENURUT ALI SYARIATI DAN MUHAMMAD IQBAL


 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Judul buku Ali Syariati yang secara spesifik membahas tugas kaum intelektual Muslim yang telah diterjemahkan adalah Tugas Cendekiawan Muslim dari judul aslinya The Responsibilities of Muslim Intellectuals. Pemikiran ini mengacu kepada konsep rausyanfikr. Buku ini membahas tanggung jawab intelektual Muslim sebagai agen perubahan sosial, pencerah masyarakat, dan pelopor perlawanan terhadap ketidakadilan.

 

Ali Syariati, seorang intelektual Muslim dan pemikir revolusioner dari Iran, menekankan bahwa tugas intelektual muslim melibatkan tanggung jawab besar terhadap masyarakat, agama, dan kemanusiaan secara keseluruhan.

 

Nama lengkap Ali Shariati Mazinani, dilahirkan pada tanggal 23 November 1933 di Kahak, dekat Mashhad, Iran. Pendidikan dasarnya ditempuh di Mashhad Iran, sementara pendidikan tingginya ditempuh di Universitas Mashhad untuk mendapatkan gelar sarjana dalam Sastra Persia. Universitas Paris Sorbonne mengantarkan Ali Syariati pada studi sosiologi dan sejarah agama. Mendapatkan gelar doktor dalam bidang Sosiologi dan Sosiologi Agama. Karier dan Aktivitas utama Ali Syariati adalah dosen dan penulis.

 

Menjadi dosen di Universitas Mashhad setelah kembali ke Iran. Fokus pada topik Islam, sosiologi, sejarah, dan pembaruan pemikiran Islam. Aktivis Sosial dan Politik Ali Syariati adalah saat mendukung perlawanan terhadap penindasan, baik dalam konteks domestik (rezim Shah Iran) maupun global (kolonialisme). Terlibat dalam gerakan-gerakan pemikiran Islam dan mendukung ideologi pembebasan sosial berdasarkan Islam.

 

Ali Syariati meninggal pada tanggal 19 Juni 1977 di Southampton, Inggris. Diduga diracun oleh agen-agen SAVAK (dinas intelijen rezim Shah Iran). Dimakamkan di Suriah, dekat makam Sayyidah Zainab.

 

Pemikiran Ali Syariati cukup revolusiner pada zamannya, diantaranya adalah memadukan nilai-nilai Islam dengan sosiologi modern. Menekankan bahwa Islam adalah agama yang membebaskan dan menolak penindasan. Konsep rausyanfikr yang menggambarkan peran intelektual Muslim sebagai pemimpin yang membawa masyarakat menuju kesadaran spiritual, sosial, dan politik.

 

Syariati menolak Islam yang ritualistik dan pasif, menekankan bahwa Islam adalah agama revolusioner yang mendukung perubahan sosial. Kritik tajam terhadap kolonialisme Barat, serta kediktatoran domestik yang menghambat kebangkitan Islam.

Pemikiran utama Ali Syariati mencakup berbagai aspek sosial, politik, agama, dan budaya, yang bertujuan untuk mereformasi masyarakat Muslim dan membebaskannya dari keterbelakangan, penindasan, dan ketergantungan.

 

Syariati memperkenalkan konsep rausyanfikr, yaitu intelektual yang memiliki tanggung jawab untuk membimbing masyarakat ke arah pencerahan dan kesadaran.

Intelektual tidak hanya bertugas memproduksi pengetahuan, tetapi juga memimpin perubahan sosial. Mereka harus memahami akar masalah masyarakat, baik secara spiritual maupun material, serta melawan penindasan dan kebodohan.

 

Syariati memandang Islam sebagai agama yang revolusioner dan berfungsi untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan, baik fisik, ekonomi, maupun spiritual. Ia mengkritik pemahaman Islam yang semata-mata ritualistik dan menekankan pentingnya penerapan nilai-nilai Islam untuk memperjuangkan keadilan sosial.

 

Syariati mengkritik Barat atas kolonialisme, imperialisme, dan materialisme, yang dianggapnya telah merusak nilai-nilai spiritual umat manusia. Namun, ia juga mengkritik masyarakat Muslim yang meniru Barat secara buta atau terjebak dalam tradisionalisme yang kaku. Ia menyerukan sintesis antara nilai-nilai Islam yang progresif dan pencapaian positif dari modernitas.

 

Jihad, menurut Syariati, adalah perjuangan untuk mengubah diri sendiri dan masyarakat ke arah yang lebih baik. Ini mencakup melawan kemiskinan, ketidakadilan, dan penindasan, baik di tingkat individu maupun kolektif. Syariati menekankan bahwa umat Islam harus memiliki kesadaran akan keadaan sosial mereka. Revolusi sosial diperlukan untuk menggantikan sistem yang menindas dengan sistem yang lebih adil berdasarkan nilai-nilai Islam.

 

Menggunakan teori-teori modern tentang alienasi, Syariati menyatakan bahwa manusia sering terasing dari dirinya sendiri, masyarakat, dan Tuhan. Islam, jika dipahami dan diterapkan dengan benar, dapat membantu manusia mengatasi keterasingan ini dan mencapai kebebasan sejati.

 

Syariati mengkritik sebagian ulama yang menurutnya telah menjadikan agama sebagai alat untuk mempertahankan status quo. Ia menolak pandangan agama yang formalistik dan berorientasi pada ritual, tetapi kehilangan semangat keadilan sosial.

Syariati percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk membebaskan masyarakat dari kebodohan dan ketergantungan. Ia menyerukan reformasi dalam sistem pendidikan untuk menciptakan generasi yang sadar dan bertanggung jawab.

 

Pemikiran Syariati mencerminkan upayanya untuk menjadikan Islam relevan di era modern dengan menekankan aspek-aspek pembebasan, keadilan sosial, dan perubahan masyarakat. Pemikirannya menginspirasi banyak gerakan Islam progresif di berbagai belahan dunia. Ali Syariati dianggap sebagai salah satu inspirator utama Revolusi Islam Iran 1979, meskipun ia meninggal sebelum revolusi itu terjadi. Pemikirannya terus memengaruhi diskursus Islam modern dan perjuangan sosial di dunia Muslim.

 

Syariati menekankan pentingnya menghubungkan ajaran Islam dengan realitas sosial, politik, dan budaya modern. Seorang intelektual Muslim harus mampu menafsirkan kembali Islam secara dinamis untuk menjawab persoalan kontemporer. Intelektual Muslim memiliki kewajiban untuk memperjuangkan keadilan sosial, melawan segala bentuk penindasan, baik itu kolonialisme, kapitalisme, atau despotisme domestik.

 

Menurut Syariati, umat Islam sering terjebak dalam pemahaman agama yang ritualistik tanpa makna yang mendalam. Tugas intelektual adalah menghidupkan kembali kesadaran akan nilai-nilai Islam yang autentik dan progresif. Syariati memperkenalkan konsep "rausyanfikr," yaitu seorang intelektual yang bertugas memberikan pencerahan kepada masyarakat. Peran ini melibatkan mengedukasi masyarakat agar sadar akan hak, tanggung jawab, dan potensi mereka untuk perubahan.

 

Bagi Syariati, Islam bukan hanya agama spiritual, tetapi juga ideologi pembebasan. Intelektual Muslim harus memimpin transformasi sosial menuju masyarakat yang lebih adil, berkeadilan, dan beradab. Syariati menekankan bahwa intelektual Muslim tidak boleh terpisah dari rakyat. Mereka harus berada di tengah-tengah masyarakat untuk memahami kebutuhan dan aspirasi mereka.

 

Syariati mengkritik praktik Islam yang pasif, yang hanya fokus pada ritual dan kehilangan semangat revolusionernya. Intelektual Muslim harus mengembalikan Islam ke perannya sebagai agama yang menggerakkan perubahan dan memotivasi perlawanan terhadap ketidakadilan. Syariati menyerukan kepada intelektual Muslim untuk menjadi agen perubahan yang tidak hanya membimbing umat Islam secara spiritual, tetapi juga memimpin perjuangan melawan ketidakadilan dalam skala global.

 

Kita beralih ke sosok lain, yakni Muhammad Iqbal, seorang filsuf, penyair, dan cendekiawan Muslim dari India, memiliki pandangan yang mendalam mengenai konsep intelektual dalam kerangka pemikiran Islam. Pandangannya terkait intelektual berakar pada filsafat dirinya tentang "khudi" (diri), evolusi spiritual, dan sinergi antara akal dan intuisi.

 

Buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam karya Muhammad Iqbal adalah kumpulan tujuh esai yang disusun berdasarkan ceramah-ceramahnya. Buku ini adalah karya monumental dalam filsafat Islam modern, di mana Iqbal mengajukan rekonstruksi pemikiran keagamaan Islam dengan menyelaraskannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan, filsafat, dan spiritualitas modern.

 

Dalam sub judul The Spirit of Muslim Culture (Semangat Kebudayaan Muslim) Iqbal menyoroti kontribusi peradaban Islam terhadap ilmu pengetahuan, filsafat, dan seni. Ia menjelaskan bahwa. Kebudayaan Islam bertumpu pada semangat penemuan dan kreativitas. Islam mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan dan rasionalitas, menjadikannya peradaban yang inklusif dan progresif. Iqbal mengkritik stagnasi intelektual dalam dunia Muslim modern dan menyerukan revitalisasi semangat kreatif ini.

 

Gagasan utama dalam buku adalah : pertama, Rekonstruksi Pemikiran Keagamaan, dimana Islam perlu direinterpretasi agar relevan dengan perkembangan zaman. Kedua, Pentingnya Ijtihad yakni kebebasan intelektual dan pembaruan hukum Islam adalah kunci untuk kemajuan umat. Ketiga, harmoni antara Ilmu dan Agama dimana Islam tidak menolak ilmu pengetahuan, tetapi justru mendorong eksplorasi ilmiah dalam kerangka spiritual.

 

Keempat, Tuhan yang dinamis dalam artian konsep ketuhanan dalam Islam bersifat progresif dan memotivasi manusia untuk bertindak. Kelima, manusia sebagai mitra kreatif tuhan yang artinya bahwa manusia memiliki tanggung jawab untuk merealisasikan potensi dirinya sebagai khalifah di bumi. Buku ini bukan hanya kritik terhadap stagnasi intelektual dunia Islam, tetapi juga seruan untuk membangun kembali pemikiran keagamaan dalam kerangka yang dinamis, rasional, dan kontekstual.

 

Iqbal menekankan bahwa akal atau rasio adalah salah satu aspek penting dari potensi manusia. Akal digunakan untuk memahami realitas, mengeksplorasi alam, dan memecahkan masalah-masalah praktis kehidupan. Namun, menurut Iqbal, akal saja tidak cukup untuk memberikan panduan moral atau spiritual yang memadai. Ia harus didukung oleh intuisi dan wahyu. "Akal memberikan kemampuan untuk memahami hukum-hukum alam, tetapi hati yang tercerahkan oleh iman memberikan makna kepada hukum-hukum itu."

 

Iqbal menolak dikotomi antara akal dan iman, menekankan pentingnya integrasi keduanya. Ia percaya bahwa intelektual yang sejati adalah mereka yang menggunakan akalnya untuk memahami alam semesta dan mencari hubungan dengan Tuhan. Dalam filsafatnya, Iqbal mengajarkan bahwa akal harus dipandu oleh spiritualitas, sehingga manusia dapat mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan dan Tuhan.

 

Iqbal mengkritik pendekatan filsafat Barat modern yang terlalu mengagungkan akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Menurutnya, akal yang tidak terhubung dengan wahyu dan intuisi sering kali bersifat reduksionis dan mekanistis, yang akhirnya dapat menyesatkan manusia. Ia menekankan bahwa akal harus digunakan secara kreatif dan disertai dengan iman.

 

Dalam filsafat khudi, Iqbal menekankan pentingnya pengembangan diri melalui usaha intelektual dan spiritual. Intelektual memiliki tanggung jawab untuk membangun "khudi" dengan mengasah pengetahuan, pemahaman, dan hubungan dengan Tuhan. Proses ini bukan hanya untuk pengembangan diri, tetapi juga untuk melayani umat manusia.

 

Iqbal memandang intelektual sebagai agen perubahan sosial. Mereka harus menggunakan pengetahuan dan pemikirannya untuk membangkitkan kesadaran umat dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan progresif. Intelektual menurut Iqbal adalah mereka yang tidak hanya mencari kebenaran, tetapi juga memperjuangkan keadilan.

 

Iqbal percaya bahwa kreativitas adalah inti dari aktivitas intelektual. Ia mendorong intelektual untuk terus mengeksplorasi ide-ide baru dan melampaui batas-batas pemikiran tradisional. Kreativitas ini, menurutnya, adalah refleksi dari sifat Tuhan yang Maha Pencipta.

 

Dalam pemikiran Muhammad Iqbal, intelektual memiliki tanggung jawab besar untuk menyelaraskan akal, intuisi, dan wahyu dalam pencarian kebenaran. Ia mengajak intelektual Muslim untuk menggali potensi penuh mereka, tidak hanya untuk memperkaya diri, tetapi juga untuk membawa perubahan yang positif bagi masyarakat.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 26/11/24 : 08.40 WIB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.