Oleh : Ahmad Sastra
Dengan arah yang makin sekular, jelas kondisi bangsa ini ke depan akan makin terjerumus ke dalam jurang bahaya yang makin dalam. Tak terbayang kehancuran moral generasi mendatang. Saat ini saja, seks bebas di kalangan pelajar, misalnya, sudah sangat memprihatinkan. Belum lagi peredaran narkoba di kalangan pelajar, tawuran antarpelajar, dll. Tentu salah satunya karena kurangnya porsi pendidikan agama di sekolah-sekolah selama ini. Sebabnya, sejak awal kemerdekaan, meski telah lepas dari penjajahan, justru negeri ini mengambil sistem pendidikan ala Barat (penjajah) yang memang bertumpu pada sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Model pendidikan Barat memang relatif lebih diminati karena branding-nya bagus. Lulusannya mudah mendapatkan pekerjaan. Ada kesempatan membangun jejaring (networking). Didukung sarana dan prasarana terkini yang ramah teknologi modern dan kekinian. Model pendidikan Barat mengedepankan pengasahan daya analitik, berpikir kritis dan penggunaan bahasa asing (Inggris) sebagai lingua franca lintas negara.
Model pendidikan Barat juga cenderung membatasi topik spiritual/agama karena dianggap sebagai topik sensitif. Agama juga dianggap sebagai topik yang bersifat individual. Bukan kunci kemajuan peradaban Barat modern. Bahkan sebagian umat Islam juga memilih menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah yang mengadopsi model pendidikan Barat. Mereka ingin menghindari persengketaan penafsiran agama yang dianggap sebagai penghambat kemajuan. Selain itu mereka tentu menginginkan kemudahan untuk mengenyam pendidikan lanjutan dan mendapatkan pekerjaaan sebagai profesional.
Bagi bangsa yang sudah menetapkan jatidirinya sebagai bangsa yang mengadopsi sekularisme, pilihan terhadap pendidikan model Barat tentu merupakan pilihan yang tepat. Hal ini karena sekularisme tidak menjadikan wahyu sebagai bagian dari kehidupan yang perlu dipikirkan. Sekularisme sebagai jiwa model pendidikan Barat memastikan agar agama dan spiritualitas semacamnya tidak menjadi poros utama pendidikan. Agama cukup sebagai pengetahuan dan penunjang pencapaian kesuksesan dunia yang bersifat materialistis.
Namun, bagi bangsa yang masih menganggap bahwa kehidupan wajib berporos pada ketaatan kepada Sang Pencipta, maka model pendidikan Barat menjadi tantangan. Target pembelajaran tidak lagi menyiapkan lulusannya untuk mampu mengintegrasikan agama dalam kesehariannya. Targetnya justru membekali mereka agar mampu membatasi atau memisahkan agama dari kehidupan, juga memastikan agama sebagai sekadar pengetahuan dan nilai etika moral saja.
Kasus-kasus amoral remaja dan pelajar makin tinggi di negeri ini, akibat sistem pendidikan sekuler. Kompas.tv (15/01/2021) melaporkan bahwa Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Semarang berhasil membongkar jaringan narkoba yang melibatkan pelajar sebagai kurir narkoba jenis sabu. CNN Indonesia (14/02/2021) memberitakan bahwa aparat Kepolisian Resor Kabupaten Gresik Jatim menangkap pelajar yang menjadi pengedar narkoba jenis sabu.
Kasus keterlibatan pelajar di dunia narkoba sudah sangat mencemaskan. Survei dari Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan ada 2,3 juta pelajar atau mahasiswa di Indonesia pernah mengonsumsi narkoba (CNN Indonesia, 22/06/2019). Penggunaan narkoba di kalangan pelajar ini juga menjadi persoalan di skala global. World Drugs Reports 2018 dari The United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menemukan 5,6 persen penduduk dunia atau 275 juta orang pernah mengkonsumsi narkoba.
Tawuran antarpelajar juga sangat mengkhawatirkan. Mereka tidak hanya saling lempar batu , namun sudah menggunakan senjata tajam berbahaya. Tidak sekadar melukai, namun hingga membunuh. Misalnya seperti yang diberitakan CNN Indonesia (23/07/2020) terkait tawuran pelajar di Kota Bekasi. Pada tawuran tersebut Polres Metro Kota Bekasi menangkap delapan pelajar yang terlibat. Satu orang pelajar meninggal dunia dalam peristiwa tersebut. Dia ditabrak oleh para pelaku dan kemudian dibacok di bagian punggungnya menggunakan celurit. Sangat memprihatinkan. Pelajar berseragam putih abu-abu sudah bisa melakukan pembunuhan sesadis itu.
Potret buram lainnya adalah perilaku seks bebas di kalangan pelajar. CNN Indonesia (28/12/2020) melaporkan bahwa berdasarkan hasil survei Komnas Perlindungan Anak terdapat 93,8 persen dari 4.700 siswi SMP/SMA di Depok, Jawa Barat, mengaku pernah berhubungan seksual di luar nikah. Survei tersebut juga mengungkap 97 persen responden mengaku pernah menonton pornografi.
Di Jambi diberitakan 37 pasangan remaja pelajar SMP menggelar pesta seks di kamar hotel. Mereka terjaring razia di hotel saat merayakan pesta ulang tahun (Tribuntimur.com, 9/7/2020). Pada akhir Februari 2021 lalu ramai juga diberitakan di berbagai media massa tentang pesta seks 5 pelajar di Sragen. Hal tersebut menjadi berita viral karena pesta seksnya tersebut dilakukan di Balai Desa.
Polsek Cidaun Polres Cianjur melakukan tindakan tegas dengan menindaklanjuti laporan masyarakat terkait adanya kelompok geng motor yang diduga hendak akan melakukan tawuran yang membuat resah warga setempat. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Minggu (22/09/2024) di Jalan Raya Cibuntu Desa Cisalak kecamatan Cidaun Kabupaten Cianjur. (https://globalinvestigasinews.com/2024/09/22)
Kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang baru-baru ini terjadi menimpa siswi sekolah menengah pertama (SMP) di Palembang kembali menarik perhatian. Peristiwa kriminal tersebut mirisnya melibatkan empat tersangka yang semuanya merupakan anak di bawah 18 tahun.
Dari data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan adanya peningkatan mulai dari tahun 2020 hingga 2023. Tercatat 2.000 anak berkonflik dengan hukum (ABH) per Agustus 2023, di mana 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan 526 anak lainnya menjalani hukuman sebagai narapidana. (https://www.kompas.id/baca/riset/2024/09/19/)
Visi pendidikan nasional tahun 2035 berbunyi : Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.
Pendidikan merupakan persoalan vital dan strategis bagi negara. Rusaknya pendidikan akan berpengaruh terhadap rusaknya suatu negara. Indonesia sebagai negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia tentu terancam bahaya jika pendidikannya minim atau bahkan nir agama (Islam).
Setidaknya ada tiga argumen bahwa peta jalan pendidikan nasional 2035 salah arah. Pertama: secara substansi PJPN itu bertentangan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pada UU Sisdiknas disebutkan bahwa agama menjadi bagian tidak terpisahkan dalam pendidikan nasional. Artinya, secara eksplisit frasa agama tercantum dalam UU Sisdiknas, namun kemudian frasa tersebut hilang di PJPN.
Kedua: Draft PJPN itu sangat minim idealisme dan lebih mengarusutamakan aspek pragmatis, yakni sekadar pertimbangan pasar dan ekonomi. Agama tidak mendapatkan perhatian secara semestinya. Misalnya disebutkan bahwa yang menjadi pertimbangan utama penyusunan PJPN itu adalah perubahan teknologi, perubahan sumber-sumber ekonomi Indonesia, kondisi demografi Indonesia, serta kondisi pasar kerja dunia global.
Ketiga: Cara pandang dalam draft PJPN itu terlihat sangat sempit. Melihat kemajuan suatu negara hanya sekadar berdasarkan kemajuan teknologinya. Padahal semestinya kemajuan suatu negara harus pula dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan, kebahagiaan, hingga ketinggian kepribadian warga negaranya.
Kebijakan publik suatu negara, termasuk pendidikan di dalamnya, akan sangat bergantung pada ideologi yang dianut. Di dunia saat ini ada tiga ideologi utama, yaitu kapitalisme-sekularisme, sosialisme-komunisme dan Islam. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Huntington, ketiga ideologi itulah yang akan menjadi pendorong utama benturan peradaban atau clash of civilizations (Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, 1996).
Pertama: secara mendasar ideologi sosialisme-komunisme bersandar pada materialisme. Ideologi ini bersikap anti-Tuhan atau anti-agama yang memandang segala sesuatu berasal dari materi semata. Berdasar ideologi ini, semua peraturan kehidupan yang dibuat oleh manusia harus mengikuti hukum materi, bukan mengikuti hukum Tuhan.
Kedua: Ideologi kapitalisme-sekularisme tidak kalah berbahayanya dari ideologi sosialisme-komunisme. Ideologi yang didasarkan pada sekularisme ini memang mengakui keberadaan Tuhan, namun hanya dari sisi eksistensinya. Pengaturan kehidupan publik atau negara sepenuhnya diserahkan kepada manusia. Aturan Tuhan atau agama hanya dijadikan sebagai peraturan di ruang privat semata.
Atas dasar ini, ideologi kapitalisme-sekularisme kemudian melahirkan hukum dan aturan kehidupan (sosial, politik, ekonomi, hukum, dsb) yang jauh dari agama. Berbagai hukum dan aturan kehidupan tersebut semata-mata bersumber dari akal dan hawa nafsu manusia. Akibatnya, hukum hanya menjadi alat untuk menjamin kepentingan para elit pembuatnya, yakni dari elit legislatif, eksekutif hingga yudikatif.
Berdasarkan fakta tersebut, ideologi sosialisme-komunisme dan kapitalisme-sekularisme sebenarnya setali tiga uang dalam menyingkirkan Tuhan dan agama. Sosialisme-komunisme menihilkan Tuhan, sementara kapitalisme-sekularisme mengerdilkan Tuhan. Tidak ada nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan sosial karena agama dijadikan urusan privat, bukan lagi urusan publik dan negara.
Jelas sangat berbahaya apabila kebijakan pendidikan di negeri ini bertumpu pada ideologi kapitalisme-sekularisme maupun sosialisme-komunisme. Kedua ideologi tersebut akan mencetak para pelajar menjadi manusia yang mengerdilkan Tuhan atau bahkan menihilkan Tuhan. Kalau ini terjadi, tentu sebuah malapetaka bagi masa depan negeri ini.
Padahal ideologi kapitalisme sekuler justru semakin sekarat. Jean Ziegler, seorang ilmuwan di bidang sosial dan politik Eropa. Ziegler dalam bukunya, The Black Book of Capitalism, menggambarkan kapitalisme ekonomi global sebagai komunitas pembunuh yang akan dilawan dan diruntuhkan oleh masyarakat dunia. Oswald Spengler, ilmuwan Jerman, telah menerbitkan buku berjudul, The Decline of the West. Di antaranya Oswald meramalkan mengenai dekatnya kematian peradaban Barat setelah larut dalam berbagai peperangan global.
Patrick J. Buchanan, anggota tim penasihat utama pemerintahan Amerika, menyatakan hal yang sama dalam bukunya, The Death of the West: How Dying Populations and Immigrant Invasions Imperil Our Culture and Civilization. Dia berpendapat bahwa peradaban Barat (kapitalisme-sekularisme) saat ini sedang sekarat dan akan segera runtuh. Hal ini ditandai dengan terjadinya berbagai kemerosotan ekonomi, sosial dan politik di Eropa dan Amerika.
Ideologi Islam yang selama 1300 menjadi peradaban unggul yang memayungi dunia dengan berbagai kesejahteraan dan keagungan. Kemajuan pendidikan pada masa keemasan peradaban Islam bahkan telah terbukti menjadi rujukan peradaban lainnya. Misalnya hal tersebut diungkapkan oleh Tim Wallace-Murphy (WM) yang menerbitkan buku berjudul "What Islam Did for Us: Understanding Islam's Contribution to Western Civilization" (London: Watkins Publishing, 2006).
Buku WM tersebut memaparkan fakta tentang transfer ilmu pengetahuan dari Dunia Islam (Khilafah) ke Barat pada Abad Pertengahan. Disebutkan pula bahwa Barat telah berutang pada Islam dalam hal pendidikan dan sains. Utang tersebut tidak ternilai harganya dan tidak akan pernah dapat terbayarkan sampai kapan pun.
Keunggulan sistem pendidikan Islam adalah merupakan fakta sejarah. Di dalam Islam, menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim laki-laki dan perempuan. Orang yang berpengetahuan juga mendapat posisi yang tinggi di sisi Allah SWT. Dengan ilmu, seseorang dapat mempelajari manusia, alam semesta dan kehidupan. Dengan itu ia semakin dekat kepada Pencipta. Ia pun dapat memanfaatkan ilmunya secara efektif untuk memberikan kemaslahatan bagi umat manusia di berbagai bidang seperti pertanian, teknik, kedokteran, farmasi, dan astronomi. Karena itulah pendidikan menjadi salah satu perhatian utama para penguasa di masa pemerintahan Islam.
Di bidang teknologi dan industri, Khilafah saat itu telah mencapai kemajuan yang sangat tinggi. Donald R. Hill dalam bukunya, Islamic Technology: an Illustrated History (University of Cambridge, 1986), membuat sebuah daftar panjang berbagai industri yang pernah ada dalam sejarah Islam. Mulai dari industri mesin, bahan bangunan, pesenjataan, perkapalan, kimia, tekstil, kertas, kulit, pangan hingga pertambangan dan metalurgi.
Pada masa Khilafah Abbasiyah, ilmu kedokteran juga berkembang pesat sejalan dengan perkembangan pelayanan kesehatan yang disediakan gratis. Salah satunya melalui pembangunan pelayanan kesehatan Bimaristan (bahasa persia, bimar yang berarti sakit dan satan berarti tempat atau rumah), yang merupakan rumah sakit lengkap dengan layanannya.
Bimaristan ini, selain sebagai tempat pengobatan, juga memiliki sekolah kedokteran, ruang-ruang kuliah, perpustakaan medis yang penuh dengan buku, dan layanan lainnya. Salah satu Bimaristan yang paling terkenal adalah Bimarastan ar-Rashid. Pelayanannya diberikan secara gratis. Ada pula Bimaristan Ahmad bin Thulun yang didirikan di Kairo pada tahun 259 H/873 M, yang terdiri dari rumah sakit dan fakultas kedokteran, serta perpustakaan yang berisi lebih dari seratus ribu jilid buku dalam berbagai spesialisasi.
Karena itu, justru sebaliknya, Peta Jalan Pendidikan Indonesia sejatinya harus memperkuat aspek agama (Islam). Bukan malah makin menyingkirkan agama (Islam). Sebabnya, mayoritas penduduk negeri ini—termasuk tentu anak-anak didik dari jenjang pendidikan rendah sampai tinggi—adalah Muslim. Sejarah pun telah mencatat kegemilangan pendidikan Islam, khususnya pada era Kekhilafahan Islam selama berabad-abad.
Pemahaman terhadap agama (Islam) sangat penting dimiliki oleh peserta didik selain penguasaan sains dan teknologi. Agama berperan penting dalam pembentukan pola pikir ('aqliyyah) dan pola sikap (nafsiyyah) seseorang. Sebagai contoh, lihatlah para koruptor yang telah merusak negeri ini. Tentu penyebabnya bukan karena mereka tidak menguasai sains dan teknologi. Titik rusaknya terletak pada pola pikir dan pola sikap mereka yang kemudian mendorong mereka untuk melakukan kejahatan korupsi secara terencana.
Saat ini perlu adanya kesadaran kolektif bagi umat untuk menemukan kembali jatidirinya dan membangun generasi yang berpendidikan, terlepas dari keterbatasan yang ada. Umat juga perlu memahami kembali bahwa porsi 'agama' dalam mata kuliah 'agama Islam' bukan sekadar aktivitas ritual saja. Umat perlu menggali kembali aspek kehidupan non-ritual seperti aspek ekonomi, aspek politik, aspek kesehatan masyarakat yang berbasis pada ketaatan kepada Allah 'Azza wa Jalla.
Pembeda pendidikan Barat dan Islam adalah visi misinya, prioritasnya dan ukurannya. Visi sistem pendidikan sangat mengutamakan lahirnya generasi yang memiliki ketaatan kepada Sang Pencipta, Allah SWT yang akan mewujudkan peradaban maju dan mulia.
Luaran dari pendidikan Islam melahirkan lulusan yang mampu mengintegrasikan Islam dalam kehidupannya, pola pikir dan pola sikapnya sekaligus. Sistem pendidikan Islam juga tidak berdiri sendiri, namun dibarengi dengan lahirnya sistem kesehatan, politik dan ekonomi. Semuanya bersinergi sehingga apa yang dipelajari di sekolah juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan pada masa keemasan tidak berdiri sendiri. Ada sistem ekonomi, sistem kesehatan, sistem politik yang saling berkaitan. Pendidikan sains, misalnya, tidak terpisah dari agama sehingga tidak ada lagi jargon 'kita butuh sains bukan fatwa'. Kehalalan prosedur kesehatan tidak lagi dibahas secara terpisah. Literatur sains dan filsafat juga terserap ke dalam Bahasa Arab sebagaimana bahasa fikih. Dengan itu para ilmuwan Islam yang juga polymath (menguasai beberapa bidang keilmuan sekaligus) sudah tahu untuk tidak melakukan yang haram atau menggunakan yang haram dalam melakukan eksperimen (tajribah).
Ada dua visi pendidikan tinggi dalam sistem pendidikan Islam. Pertama: Memperdalam kepribadian Islam, untuk menjadi pemimpin yang menjaga dan melayani problem vital umat, yakni Khilafah; memperjuangkan penegakannya ketika belum ada; melestarikan dan mempertahankannya sebagai institusi politik yang menerapkan Islam ke tengah-tengah umat, mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru dunia, serta menghadapi ancaman persatuan umat.
Budaya Islam sebagai pelayan problem vital harus terus-menerus diajarkan kepada mahasiswa, apapun pilihan kategori pendidikan tingginya. Dengan itu dihasilkan vitalitas dan fokus terhadap pikiran dan perasaan umat. Dihasilkan sarjana yang dibutuhkan, mujtahid, pemimpin, intelektual, hakim dan ahli hukum (fuqaha) sampai umat secara eksklusif berkembang, mengimplementasikan, memelihara dan membawa Islam ke sluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Rasulullah saw. bersabda, "Ada dua tipe orang yang jika mereka benar maka masyarakat akan benar, dan jika keduanya berlaku curang masyarakatpun akan curang: para ulama dan penguasa." (HR Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah).
Kedua: Menghasilkan gugus tugas yang mampu melayani kepentingan vital umat dan membuat gambaran rencana strategis jangka pendek dan jangka panjang. Termasuk kepentingan vital umat adalah mengamankan kebutuhan pokok, seperti air, makanan, akomodasi, keamanan, dan pelayanan kesehatan. Menghasilkan para peneliti yang cakap baik secara teoretis maupun secara praktis. Mereka ini bakal mampu berinovasi memajukan sarana dan model dalam lapangan pertanian dan air, keamanan dan berbagai kepentingan vital lainnya yang memungkinkan umat terus mengendalikan urusannya sesuai visinya sendiri dan tercukupi oleh diri sendiri. Ini dilakukan agar terhindar jatuh di bawah pengaruh negara yang tidak dapat dipercaya. Telah diingatkan Allah SWT (yang artinya): Allah sekali-kali tidak memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang beriman (TQS an-Nisa' [4]:141).
Pendidikan tinggi juga harus menghasilkan person politisi dan saintis yang mampu menghadirkan secara khusus studi dan proposal yang penting untuk menjaga kepentingan vital umat. Harus ada penekanan khusus tentang penggambaran rencana jangka panjang (strategis) yang dibutuhkan negara untuk melayani kepentingan ini.
Setidaknya ada dua tipe untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi. Tipe pertama: Study by Teaching (Mengajar lebih banyak dibandingkan dengan penelitian). Pengajaran diorganisir oleh fakultas dan universitas lewat mata kuliah, dosen dan jadwal pendidikan. Murid mendapatkan sertifikat "degree pertama", yang dikenal pada saat ini sebagai diploma, jika pendidikan ini teknis atau vokasional; atau sertifikat pendidikan kedua (ijazah), yang sekarang dikenal sebagai gelar sarjana atau bachelor dalam subjek tertentu dalam satu fakultas dari universitas.
Tipe kedua: Study by Research. Pendidikan ini adalah pendidikan yang riset lebih banyak daripada mengajar. Murid belajar untuk berinovasi riset saintifik dan terspesialisasi sains yang spesifik. Dia menjalani penelitian yang seksama dan terspesialiasi dalam rangka menemukan ide baru atau penemuan baru yang tidak ada sebelumnya. Murid akan menerima "degree internasional pertama (ijazah)", yang sekarang dikenal dengan "master" degree. Kemudian dia menerima "degree internasional kedua, "yang sekarang dikenal dengan "doctoral", dalam satu bidang penelitian budaya atau sains.
Pada masa Daulah Umayah, pendidikan mengalami perkembangan seiring dengan meluasnya wilayah Negara Islam. Di era tersebut, masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga berkembang menjadi pusat pendidikan, yang beberapa kemudian bertransformasi menjadi universitas terkemuka. Salah satunya adalah Universitas Al-Karaouine (Al-Qarawiyyin) yang didirikan pada tahun 859 dan dianggap oleh UNESCO serta Guinness Book of World Records sebagai universitas yang terus beroperasi dan tertua di dunia.
Pada masa Khilafah Abbasiyah, sekolah-sekolah dalam bentuk wakaf berkembang dengan pesat. Di antaranya ada yang khusus untuk mengajarkan al-Quran, tafsir, hadis dan fiqih. Ada pula madrasah untuk ilmu kedokteran. Juga madrasah untuk anak-anak yatim. Masa ini juga menyaksikan kelahiran madrasah-madrasah Nizhamiyah di Baghdad, Naisabur dan Thus yang didirikan oleh Wazir Seljuk, Nizham Al-Mulk (w. 485H/1092M). Sistem tunjangan keuangan dan pelayanan khusus untuk guru dan murid diberikan secara sama. Disebutkan bahwa Nizham al-Mulk menginfakkan 600.000 dinar untuk pendidikan. Nilai wakaf Nizhamiyah Baghdad saja diperkirakan 60.000 dinar, dengan penghasilan tahunan 15.000 dinar.
Pada masa Khulafaur Rasyidin, perhatian Negara terhadap pendidikan semakin besar sejalan dengan makin luasnya wilayah Negara Islam. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. telah memerintahkan untuk memberikan tunjangan bagi para guru. Seperti yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Al-Wadhin bin 'Atha' yang berkata: "Ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak, dan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. memberikan nafkah kepada masing-masing dari mereka 15 dirham setiap bulan.
Pada masa Khulafaur Rasyidin, perhatian Negara terhadap pendidikan semakin besar sejalan dengan makin luasnya wilayah Negara Islam. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. telah memerintahkan untuk memberikan tunjangan bagi para guru. Seperti yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Al-Wadhin bin 'Atha' yang berkata: "Ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak, dan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. memberikan nafkah kepada masing-masing dari mereka 15 dirham setiap bulan.
Kesejahteraan guru dalam sistem pendidikan Islam sangat dihargai dan dipandang penting, baik dari segi materi (gaji dan fasilitas) maupun non-materi (penghargaan, kehormatan, dan spiritualitas). Dalam Islam, guru dianggap sebagai salah satu profesi yang sangat mulia karena peran mereka dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan mendidik umat.
Perhatian khalifah pada masa Khilafah Abbasiyah terhadap pendidikan termasuk dari aspek pembiayaan juga sangat besar. Diriwayatkan oleh Ibnu Khalikah, bahwa ketika Khalifah Harun ar-Rasyid tiba di Kufah, ia memerintahkan untuk memberikan dua ribu dirham kepada setiap qari' yang masyhur. Meskipun demikian, karena kezuhudan terhadap dunia, tidak semua menerimanya. Salah satunya adalah Dawud ath-Tha'i. Dia dengan rendah hati menolak menerima uang itu.
"Berikanlah hak kepada orang yang berhak, dan berikanlah hak kepada orang yang memberikan hakmu." (HR. Bukhari). "Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, karena sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu." (HR. Abu Dawud). "Sebaik-baik kamu adalah yang belajar Al-Qur'an dan mengajarkannya." (HR. Bukhari).
Dalam Islam, negara wajib menyediakan pendidikan secara gratis kepada rakyatnya tanpa memandang agama, suku, ras, dan status ekonomi dan sosial mereka. Tunjangan diberikan kepada guru-guru secara layak. Khalifah juga mengutus para ulama ke berbagai wilayah Islam dengan dukungan finansial yang sangat memadai. Dengan model pendidikan tersebut, lahirlah para ulama yang menghasilkan karya-karya intelektual yang tinggi, tidak hanya terbatas pada tsaqaafah Islam, tetapi juga mencakup berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi dunia seperti kedokteran, kimia dan astronomi. Semua itu adalah buah ketika ideologi Islam menjadi dasar politik pendidikan negara.
Kesimpulannya, untuk transformasi Indonesia, maka harus ganti sistem pendidikan, dari sekulerisme ke sistem pendidikan Islam. Semua sisi ajaran Islam (syari'ah) merupakan solusi terbaik bagi berbagai problem manusia. Mulai dari problem ekonomi, sosial, hukum, politik, pendidikan dan sebagainya. Solusi tersebut berasal dari Allah SWT, Zat Yang paling mengetahui kondisi manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 18/11/24 : 14.17 WIB)