POLITISASI ISLAM DAN ISLAMISASI POLITIK

Oleh : Ahmad Sastra

 

Sebagaimana lazimnya terjadi di negeri ini, tiap kali mendekati pemilu atau pilkada, para calon legeslatif atau kepala daerah berlomba menarik simpati rakyat. Secara sosiologi, Indonesia adalah negeri mayoritas muslim. Itulah mengapa para calon itu kemudian berusaha untuk mendapatkan simpati dari kaum muslimin.

 

Dari sinilah muncul politisasi Islam, yakni menjadikan Islam sebagai alat untuk mendapatkan simpati politik. Islam baik ajaran maupun symbol-simbolnya dimanfaatkan oleh mereka untuk tujuan politik pragmatis mereka. Jangan kaget kalau jelang pilkada banyak yang menggunakan busana muslim agar terlihat religius dan mendapatkan simpati pemilih muslim.

 

Dengan demikian, politisasi Islam adalah penggunaan Islam, baik nilai-nilai, simbol, ajaran, maupun identitas keagamaannya sebagai alat atau strategi untuk mencapai tujuan politik. Dalam konteks ini, Islam tidak hanya dipahami sebagai agama atau panduan spiritual, tetapi juga dimanfaatkan sebagai instrumen kekuasaan atau mobilisasi massa.

 

Politisi atau kelompok politik menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an, hadis, atau simbol-simbol Islam untuk membangun legitimasi politik atau menarik dukungan masyarakat merupakan salah satu contoh politisasi Islam. Apa yang dilakukan oleh Donald Trump misalnya dengan mengangkat isu perdamaian di Palestina adalah politisasi Islam untuk mendapatkan suara umat Islam Amerika. Setelah menang, dia kembali watak aslinya yakni mendukung penjajah Israel.

 

Banyak ulama, akademisi, dan tokoh masyarakat mengkritik politisasi Islam karena dianggap memanfaatkan agama untuk kepentingan pragmatis mereka. Agama, dalam hal ini Islam, seharusnya tidak dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan sekuler.

 

Politisasi Islam adalah fenomena yang memiliki implikasi mendalam dalam politik dan masyarakat. Di satu sisi, ia bisa memberikan suara pada umat Muslim dalam ruang politik. Namun, jika disalahgunakan, politisasi Islam dapat menimbulkan polarisasi, diskriminasi, dan penyalahgunaan nilai-nilai agama.

 

Ada juga sekelompok umat Islam yang terus berdakwah dan mengedukasi masyarakat agar memiliki kesadaran politik Islam. Islamisasi politik adalah proses menyadarkan agar masyarakat menjadikan Islam sebagai landasan aktivitas politik. Islamisasi politik juga adalah sebuah  proses di mana nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau simbol-simbol Islam diintegrasikan atau digunakan dalam sistem politik, kebijakan publik, atau pengelolaan negara.

 

Salah satu agenda islamisasi politik adalah usulan penerapan syariah Islam dalam hukum nasional atau kebijakan tertentu, seperti hukum pidana, ekonomi syariah, atau pendidikan berbasis Islam. Pemimpin atau calon pemimpin yang dianggap mewakili nilai-nilai Islam sering diprioritaskan karena dianggap "lebih Islami" atau "lebih otentik" dalam menjalankan pemerintahan.

 

Islamisasi politik mengarah kepada upaya membentuk sistem pemerintahan, misalnya melalui penerapan syariah secara formal dalam undang-undang atau struktur pemerintahan berbasis Islam.

 

Epistemologi politik Islam adalah cabang filsafat Islam yang membahas dasar-dasar pengetahuan dan konsep-konsep yang mendasari sistem politik Islam. Epistemologi ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: Apa dasar dan sumber pengetahuan dalam politik Islam?. Bagaimana hubungan antara agama dan politik?. Bagaimana konsep keadilan, kekuasaan, dan kedaulatan dalam Islam?

 

Dalam epistemologi politik Islam, sumber pengetahuan utama dan kerangka berpikir didasarkan pada ajaran Al-Qur'an, Sunnah Nabi, serta tradisi intelektual Islam yang berkembang dari pengalaman sejarah umat Muslim.

 

Sumber pengetahuan dalam politik Islam adalah Al-Qur'an yang memberikan panduan universal terkait keadilan, kepemimpinan, dan tata kelola masyarakat, misalnya prinsip syura (musyawarah), 'adl (keadilan), dan amanah (kepercayaan). Contoh:

 

Prinsip musyawarah dalam Al-Qur'an: "...dan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka..." (QS. Asy-Syura: 38). Konsep keadilan: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan..." (QS. An-Nahl: 90).

 

Pengalaman sejarah dari era Khulafaur Rasyidin, dinasti Umayyah, Abbasiyah, hingga kerajaan-kerajaan Muslim modern menjadi referensi penting dalam memahami implementasi politik Islam. Akal (rasionalitas) dan ijtihad memainkan peran penting dalam menafsirkan sumber-sumber primer sesuai dengan konteks zaman.

 

Konsep-konsepsi utama dalam epistemologi politik Islam diantaranya adalah tentang konsep kedaulatan Allah. Dalam politik Islam, kedaulatan tertinggi ada pada Allah. Pemerintah dan pemimpin hanyalah pelaksana hukum Allah. Konsep ini menekankan bahwa sistem politik harus sesuai dengan syariat. Inilah yang paling membedakan dengan demokrasi yang menempatkan manusia sebagai sumber kedaulatan.

 

Politik Islam bisa terlaksana dqalam institusi Islam, yakni khilafah Islam. Konsep khilafah merujuk pada tanggung jawab manusia sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi, baik secara individu maupun kolektif, untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan berdasarkan syariah Islam. .

 

Keadilan menjadi fondasi utama politik Islam. Pemimpin diwajibkan untuk berlaku adil kepada seluruh rakyat tanpa diskriminasi, baik Muslim maupun non-Muslim karena diperintahkan oleh Allah. Prinsip musyawarah menekankan pentingnya konsultasi dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Jika seorang khalifah melanggar syariat Islam, maka bisa dihentikan.

 

Semua kebijakan politik dalam Islam harus bertujuan untuk mencapai maslahah atau kesejahteraan umum. Konsep ini berakar pada tujuan syariat (maqasid syariah), seperti perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

 

Politik Islam tidak sekadar teokrasi yang hanya bergantung pada wahyu, tetapi juga mengintegrasikan rasionalitas manusia. Konsep ini berbeda dengan sekularisme yang memisahkan agama dari politik, sekaligus berbeda dengan teokrasi murni yang sepenuhnya berbasis dogma.

 

Epistemologi politik Islam mengakui adanya perubahan zaman, sehingga interpretasi hukum Islam harus relevan dengan konteks sosial-politik yang berubah, melalui ijtihad. Al-Qur'an memberikan prinsip-prinsip universal yang dapat diterapkan dalam berbagai konteks yang mampu memperbaiki segala bentuk zaman dan situasi. Bukan Islam mengikuti zaman, tapi zaman yang harus mengikuti Islam.

 

Epistemologi politik Islam adalah kerangka filosofis yang menekankan nilai-nilai transendental seperti keadilan, kedaulatan Allah, dan kesejahteraan masyarakat. Dengan sumber utama dari wahyu dan akal, epistemologi ini mencoba memberikan panduan normatif dan praktis bagi tata kelola yang adil dan berorientasi pada kepentingan umum.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 24/11/24 : 16.09 WIB)

 

 

 

 

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.