Oleh : Ahmad Sastra
Sudah sangat lazim dipahami, bahwa politik demokrasi adalah politik yang pragmatis transaksional. Politik pragmatis transaksional adalah pendekatan dalam praktik politik yang berfokus pada kepentingan langsung, keuntungan praktis, dan pertukaran kepentingan secara nyata (transaksi).
Suap menyuap adalah tindakan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan tujuan agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya. Tindakan ini merupakan salah satu jenis tindak pidana korupsi yang paling banyak ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam konteks ini, keputusan atau tindakan politik sering kali didasarkan pada apa yang dapat diperoleh secara langsung daripada pada nilai, prinsip, atau visi jangka panjang. Dalam bahasa jawa : wani piro. Diantara contoh suap-menyuap dalam politik adanya serangan fajar.
Pragmatisme transaksional politik demokrasi karena berbagai faktor. Keputusan politik diambil berdasarkan manfaat langsung untuk pihak tertentu, baik itu individu, kelompok, atau partai, artinya berbasis kepentingan individu atau partai. Politik menjadi arena tawar-menawar, di mana dukungan politik, jabatan, atau sumber daya sering dipertukarkan untuk keuntungan tertentu.
Politik wani piro atau tawar menawar melahirkan keputusan dan tindakan politik yang tidak sepenuhnya didasarkan pada ideologi, tetapi lebih pada manfaat praktis. Dalam konteks ini, aktor politik cenderung cepat membuat kompromi untuk mencapai tujuan, bahkan jika itu bertentangan dengan komitmen atau prinsip yang dipegang sebelumnya dengan tawar menawar materi.
Orientasi kekuasaan jangka pendek, seperti kemenangan pemilu, penguasaan jabatan strategis, atau perolehan dukungan publik akan menumbuhkan suburnya praktek suap menyuap. Dalam pembentukan koalisi, partai atau tokoh politik menawarkan posisi tertentu (seperti menteri atau kepala lembaga) kepada pihak lain demi mendapatkan dukungan.
Politisasi bantuan sosial atau janji-janji spesifik kepada kelompok tertentu menjelang pemilu. Membuat kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu dengan imbalan dukungan politik, meski kebijakan tersebut bisa jadi bertentangan dengan kebutuhan publik secara umum.
Dalam pandangan Islam, suap-menyuap atau yang dikenal sebagai risywah memiliki hukum yang tegas, yaitu haram. Perbuatan ini bertentangan dengan prinsip keadilan, kejujuran, dan amanah yang diajarkan dalam Islam.
Allah SWT melarang segala bentuk pengambilan hak secara tidak benar, termasuk suap-menyuap. Firman-Nya dalam Al-Qur'an: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 188)
Rasulullah SAW secara khusus mengutuk perbuatan suap-menyuap : Allah melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadis ini menunjukkan bahwa dosa risywah tidak hanya berlaku pada pemberi suap, tetapi juga penerima suap. Bahkan dalam riwayat lain, perantara atau orang yang membantu proses suap juga dilaknat.
Risywah adalah pemberian sesuatu (uang, barang, atau jasa) kepada seseorang yang memiliki kekuasaan atau kewenangan dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang tidak semestinya. Jenis-jenisnya meliputi, misalnya suap untuk memenangkan perkara yang batil. Misalnya, membayar hakim agar memutuskan perkara yang tidak adil. Kedua, suap untuk meloloskan kepentingan pribadi. Misalnya, memberikan uang kepada pejabat untuk memperoleh izin tanpa prosedur yang benar. Ketiga, suap untuk memperoleh jabatan. Rasulullah SAW juga melarang seseorang membeli jabatan dengan cara menyuap.
Tradisi suap-menyuap dalam pemilu, yang sering disebut dengan istilah politik uang atau money politics, adalah fenomena yang sering terjadi dalam proses pemilihan umum. Dalam konteks Islam, praktik ini memiliki dampak buruk terhadap moralitas, integritas, dan kesejahteraan masyarakat. Berikut adalah analisisnya.
Islam melarang keras segala bentuk suap, termasuk dalam konteks pemilu karena bisa merusak prinsip keadilan. Dalam Islam, pemimpin dipilih berdasarkan kualitas, amanah, dan kejujuran, bukan karena uang atau keuntungan pribadi. Suap dalam pemilu mengubah proses tersebut menjadi tidak adil dan korup. Rasulullah SAW bersabda: "Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran." (HR. Bukhari)
Selain pemberi dan penerima, pihak yang mendukung atau memfasilitasi praktik politik uang juga termasuk dalam dosa ini. Mereka semua dianggap turut merusak tatanan masyarakat. Misalnya tim sukses yang ditugaskan untuk membagikan berbagai macam barang atau uang kepada calon pemilih dengan tujuan calon yang menyuap dipilih.
Pemimpin yang terpilih karena uang biasanya tidak kompeten dan lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Pemimpin yang memperoleh jabatan melalui suap cenderung mengembalikan biaya kampanyenya melalui korupsi. Tradisi ini mengajarkan masyarakat untuk mengutamakan uang daripada prinsip.
Masyarakat perlu dididik tentang pentingnya memilih pemimpin berdasarkan kualitas, bukan imbalan materi. Kesadaran agama dapat membantu mereka menolak suap. Islam mendukung penerapan hukuman yang adil bagi pelaku politik uang, baik pemberi maupun penerima, untuk mencegah penyebaran praktik ini.
Jika sistem pemilu penuh dengan korupsi, umat Islam dianjurkan untuk memperbaikinya atau menjauh dari keterlibatan dalam praktik-praktik yang melibatkan dosa. Masyarakat memiliki tanggung jawab besar dalam menolak politik uang.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman." (HR. Muslim)
Tradisi suap-menyuap dalam pemilu atau politik uang adalah haram dalam Islam karena bertentangan dengan nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan amanah. Untuk mencegahnya, diperlukan kesadaran kolektif, pendidikan, sanksi hukum yang tegas, dan upaya memilih pemimpin yang sesuai dengan ajaran Islam. Memutus rantai politik uang adalah bagian dari perjuangan melawan kezaliman dan korupsi dalam masyarakat.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 26/11/24 : 23.00 WIB)