Oleh : Ahmad Sastra
Salah satu tantangan pendidikan dan dakwah Islam pada zaman modern ini adalah munculnya berbagai macam worldview barat atau isme-isme yang menyelisihi aqidah Islam. Berawal dari masalah inilah muncul yang namanya perang pamikiran atau ghazwul fikri.
Perang ini lebih rumit karena merupakan perang asimetris dimana tidak semua muslim memahaminya. Bahkan tidak jarang, kaum muslimin justru banyak yang menyebarkan isme-isme ini. Dalam tulisan ini, secara bertahap akan dikaji dan dikritisi, mengingat ragam isme sangat banyak. Dalam tulisan ini hanya akan dibahas tiga isme, yakni sekulerisme, liberalisme dan pluralisme, tentu saja dengan kaca mata Islam.
Paham sekulerisme adalah paham yang memisahkan antara ajaran agama dengan kehidupan publik dan berfokus pada rasionalitas dan duniawi. Agama Islam bagi seorang muslim seharusnya menjadi panduan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial. Sekulerisme, yang berupaya menjauhkan agama dari ranah publik, dinilai mengabaikan peran agama sebagai prinsip moral dan etika yang mendasari kehidupan manusia.
Paham sekulerisme dapat menyebabkan kemerosotan moralitas dalam masyarakat. Tanpa prinsip agama, yang berfungsi untuk menuntun dan memberikan petunjuk manusia pada kebaikan (khoir), masyarakat dapat terjebak dalam materialisme dan hedonisme. Dalam pandangannya, sekulerisme tidak menawarkan solusi bagi permasalahan moral yang ada dalam masyarakat, dan malah memperburuk krisis nilai-nilai sosial.
Paham sekulerisme cenderung mengabaikan dimensi spiritual dalam kehidupan manusia. Kehidupan yang hanya berfokus pada kebahagiaan duniawi tanpa mempertimbangkan tujuan akhir (akhirat) akan menjadikan manusia kehilangan arah dan tujuan hidup yang lebih tinggi.
Paham sekulerisme juga adanya dominasi rasionalitas dalam paham sekulerisme yang mengabaikan aspek-aspek yang bersifat transenden dan spiritual. Sebab, rasionalitas saja tidak cukup untuk menjelaskan dan memenuhi kebutuhan manusia yang lebih dalam, seperti pencarian makna hidup dan hubungan dengan Allah (idra' silla billah). Oleh karena itu, paham sekulerisme membatasi potensi manusia dengan hanya mengandalkan akal dan mengabaikan dimensi religius.
Paham sekulerisme juga seringkali mengarah pada pengesampingan agama dalam pembuatan kebijakan publik. Ia berpendapat bahwa kebijakan publik yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip agama dapat menyebabkan ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan kerusakan moral dalam masyarakat. Kebijakan public tanda landasan hukum Allah Yang Maha Adil akan cenderung zolim, semisal kebijakan kenaikan PPn 12 persen yang rencana diberlakukan tahun 2025.
Kedua adalah paham liberalisme yang berpotensi merusak tatanan sosial, moral, dan spiritual dalam masyarakat. Liberalisme, dengan penekanannya pada kebebasan individu, pasar bebas, dan hak-hak pribadi, adalah ideologi yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Gagasan kebebasan individu dalam liberalisme yang dianggapnya sering disalahpahami dan disalahgunakan. Kebebasan yang ditegakkan oleh liberalisme sering kali menjurus pada kebebasan tanpa batas, yang justru merusak harmoni sosial dan moralitas.
Kebebasan individu harus tetap berada dalam kerangka syariah yang berlandaskan agama dan nilai-nilai adab, bukan kebebasan tanpa batas yang cenderung mengarah pada perilaku hedonistik dan destruktif.
Paham liberalisme terlalu menekankan hak individu dan seringkali mengabaikan kewajiban sosial atau kolektif. Manusia tidak hanya memiliki hak-hak individu, tetapi juga memiliki tanggung jawab moral terhadap masyarakat dan negara. Paham liberalisme cenderung melupakan pentingnya kebersamaan, solidaritas sosial, dan kewajiban terhadap sesama yang merupakan inti dari ajaran agama dan tatanan sosial yang baik.
Paham liberalisme yang mendukung sistem ekonomi pasar bebas, yang pada gilirannya memperburuk materialisme dan konsumerisme dalam masyarakat. Dengan mengutamakan keuntungan pribadi dan kebebasan pasar, liberalisme cenderung mendorong masyarakat untuk mengejar kepuasan materi dan kesenangan duniawi secara berlebihan, yang pada akhirnya mengabaikan dimensi spiritual dan moral. Dalam sistem liberal, manusia lebih fokus pada akumulasi kekayaan dan konsumsi daripada pengembangan diri dan kehidupan yang lebih bermakna.
Dalam liberalisme, terdapat kecenderungan untuk memperlakukan nilai-nilai moral sebagai sesuatu yang relatif, yang bisa berbeda-beda tergantung pada individu atau budaya tertentu. Relativisme etika ini sebagai ancaman terhadap dasar moral yang kuat dan universal, yang menurutnya seharusnya berlandaskan pada ajaran agama Islam. Tanpa dasar moral yang jelas dan kokoh, masyarakat akan terjerumus pada ketidakpastian dan kerusakan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati.
Paham liberalisme mengedepankan individualisme yang berlebihan, yang dapat merusak rasa kebersamaan dan solidaritas dalam masyarakat. Masyarakat yang terlalu fokus pada hak-hak individu dan kebebasan pribadi akan kehilangan esensi dari kebersamaan, kerjasama, dan saling peduli yang sangat ditekankan dalam ajaran agama dan tatanan sosial yang beretika. Hal ini dapat menyebabkan fragmentasi sosial dan lemahnya ikatan antarindividu dalam masyarakat. Sementara dalam Islam sangat mengutamakan nilai-nilai ukhuwah dan persatuan.
Paham liberalisme atas sikapnya yang sering kali cenderung mengurangi pengaruh agama dalam kehidupan sosial dan politik. Liberalisme, dengan prinsip sekulernya, berupaya untuk memisahkan agama dari urusan negara dan kebijakan publik, yang merupakan kesalahan besar. Agama, mestinya memiliki peran penting dalam membimbing kebijakan publik dan menjaga moralitas dalam kehidupan bersama.
Paham liberalisme tidak dapat memberikan tujuan hidup yang jelas dan bermakna bagi individu. Dengan mengutamakan kebebasan individu dan hak-hak pribadi tanpa mempertimbangkan tujuan hidup yang lebih tinggi, seperti hubungan dengan Allah SWT atau kebaikan bersama, liberalisme bisa menyebabkan individu terjerumus dalam pencarian yang kosong dan kehidupan yang kehilangan arah. Agama dan nilai-nilai spiritual seharusnya menjadi titik tolak dalam mencari makna dan tujuan hidup.
Ketiga adalah paham pluralisme, yakni sebagai pandangan yang menekankan keberagaman dan pengakuan terhadap berbagai agama, budaya, dan ideologi yang berbeda. Ada beberapa kelemahan dan potensi bahaya dalam konteks sosial dan agama.
Paham pluralisme adalah penerimaan terhadap pluralitas agama yang cenderung mendorong relativisme agama dan kebenaran. Dalam pandangan pluralisme, semua agama dianggap memiliki nilai yang setara dan sah dalam pandangan masing-masing pengikutnya.
Paham pluralisme ini dapat mengaburkan kebenaran yang sejati, yaitu Islam. Paham pluralisme, dengan menganggap semua agama sebagai jalan yang sah, menghilangkan pemahaman bahwa hanya ada satu kebenaran absolut yang dapat diterima, yaitu kebenaran yang datang dari Allah SWT. Ditegaskan dalam QS Ali Imran ayat 19 bahwa hanya Islam lah yang benar.
Paham pluralisme dapat melemahkan identitas muslim yang kokoh. Paham pluralisme dapat menyebabkan umat Islam menjadi ragu atau bahkan terpengaruh oleh ajaran agama lain, sehingga melemahkan keimanan dan kesetiaan terhadap ajaran agama Islam.
Sikap toleransi yang berlebihan terhadap perbedaan agama dalam pluralisme bisa menyebabkan kebingungan dalam memahami ajaran agama yang benar dan dapat memicu penurunan dalam praktik agama itu sendiri. Paham pluralisme bisa menjerumuskan pada praktek sinkretisme.
Padahal Allah sangat melarang umat Islam sinkretisme, yakni mencampur aduk antara yang haq dan yang bathil, sebagaimanya firmanNya : Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui (QS Al Baqarah : 42)
Paham pluralisme bisa mengaburkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama Islam, seperti konsep tauhid (keesaan Tuhan) dan ajaran-ajaran moral yang jelas. Pluralisme, yang berusaha mengharmoniskan perbedaan agama, sering kali tidak sejalan dengan ajaran Islam yang tegas mengenai kebenaran yang datang hanya dari wahyu Allah SWT.
Paham pluralisme cenderung mereduksi ajaran agama menjadi hal yang lebih cair dan fleksibel, padahal agama (terutama Islam) memiliki prinsip-prinsip dasar yang harus diterima tanpa kompromi. Padahal, terkait aqidah, umat Islam harus eksklusif, tidak boleh inklusif. Keyakinan atas ketuhanan Allah adalah harga mati dan harus 100 persen. Haram hukumnya mengakui ketuhanan agama lain.
Pluralisme juga dapat menyebabkan pembauran identitas sosial yang akhirnya merusak keutuhan dan kesatuan umat. Dalam masyarakat yang sangat plural, sering kali terjadi ketegangan antara kelompok agama yang berbeda karena adanya pemahaman yang tidak sinkron mengenai keyakinan dan nilai-nilai dasar.
Sebagai contoh, umat Islam, yang memiliki keyakinan berbeda dengan agama-agama lain, bisa kehilangan kekhasan ajaran dan tradisi mereka jika terlalu terlibat dalam upaya menciptakan kesetaraan dengan agama lain.
Paradigma toleransi yang diusung oleh pluralisme sering kali tidak sehat. Konsep toleransi dalam pluralisme seringkali hanya dipahami sebagai pengakuan terhadap segala bentuk perbedaan tanpa mempertimbangkan kebenaran atau konsistensi ajaran agama.
Dalam konteks Islam, toleransi bukan berarti menerima dan mengakui segala bentuk ajaran agama lain sebagai sama sahnya, tetapi lebih kepada sikap saling membiarkan kepada pemeluk agama untuk menjalankan agama dan keyakinannya masing-masing. Mengakui kebenaran agama lain justru bertentangan dengan Islam. Menghina agama lain juga dilarang dalam Islam.
Terkait konsep toleransi, Allah telah memberikan rumus dalam QS Al Kafirun ayat 1-6 : Katakanlah: "Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".
Paham pluralisme sering kali membangun nilai-nilai agama berdasarkan konsensus sosial atau pandangan mayoritas. Dalam pluralisme, ada kecenderungan untuk merumuskan ajaran agama berdasarkan kesepakatan sosial, yang bisa mengabaikan prinsip-prinsip agama yang lebih mendalam. Semestinya ajaran agama Islam tidak boleh dipahami hanya berdasarkan perspektif sosial atau konsensus, tetapi harus berdiri teguh pada wahyu dan teks-teks keagamaan yang asli.
Dalam masyarakat yang pluralistik, ada kecenderungan untuk menghindari kritik terhadap ajaran agama lain demi menjaga kedamaian sosial. Padahal hal ini menghalangi kebebasan untuk mendalami kebenaran agama dan berani mengkritik ajaran yang dianggap sesat atau bertentangan dengan nilai-nilai agama yang diyakini.
Islam mengajarkan umatnya untuk mempertahankan dan menyebarkan kebenaran agama dengan keyakinan yang kuat, dan ini seharusnya tidak dibatasi hanya karena alasan pluralisme. Paham pluralisme bisa menjadikan dakwah Islam mati, karena akan dianggap melanggar HAM dan keyakinan. Padahal Rasulullah sendiri berdakwah mengajak kaum kafir untuk masuk Islam, meski tidak dengan memaksanya.
Paham pluralisme dapat melemahkan spiritualitas dan keimanan individu. Ketika seseorang mulai menganggap semua agama sebagai jalan yang sah, ia mungkin akan kehilangan keyakinan kuat dalam ajaran agamanya sendiri dan merasa bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara agama-agama tersebut. Hal ini dapat mereduksi nilai-nilai spiritual yang seharusnya menjadi dasar kehidupan bagi seorang muslim. Sebab bagi seorang muslim, Islam adalah harga mati.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 23/11/24 : 08.25 WIB)
Bismillah...
BalasHapusSemoga kita bisa menjauhi faham isme-isme yang memang sudah terbukti bertentangan dengan ajaran Islam....