Oleh : Ahmad Sastra
Donald Trump resmi terpilih sebagai presiden ke-47 Amerika Serikat usai memenangkan Pilpres AS 2024, Rabu (6/11/2024). Trump yang berpasangan dengan JD Vence meraih 277 suara elektoral atau 51 persen. Sementara, pesaingnya dari Partai Demokrat Kamala Harris hanya mendapat 224 suara elektoral. Kemenangan ini mengantarkan Trump kembali ke kursi Presiden AS untuk kedua kalinya.
Berbeda dengan kampanye 2020 saat berhadapan dengan Joe Biden. Dalam kampanye 2024, Trump berusaha menarik hati komunitas muslim. Dalam kampanyenya Trump mengeklaim kampanyenya tengah membangun koalisi "pemecah rekor" dari para pemilih Arab dan Muslim di Michigan yang tertarik dengan janji perdamaiannya.
Menjelang pemilu, tim kampanye Trump dan Harris telah meningkatkan upaya mereka menjangkau warga Amerika Arab dan Muslim, terutama di Negara Bagian Michigan yang menjadi medan pertempuran, di mana suara komunitas tersebut dapat menjadi penentu. Apakah kaum muslim di Amerika bisa berharap kepada Trump ?.
Tempo.co, memberitakan hahwa presiden terpilih Donald Trump pada Senin menawarkan jabatan duta besar AS untuk PBB kepada Elise Stefanik, politisi Partai Republik asal New York. Tokoh pro-Israel yang tidak memiliki pengalaman diplomasi tersebut dilaporkan telah menerima tawaran tersebut, demikian konfirmasi sumber senior yang dekat dengan transisi kepresidenan kepada CBS News. The New York Post pertama kali melaporkan tawaran tersebut, dengan pernyataan dari Trump dan Stefanik. CNN juga memberitakan berita tersebut, mengutip dua sumber.
Stefanik termasuk di antara penanya yang paling keras terhadap tiga rektor perguruan tinggi yang memberikan kesaksian di depan Komite Pendidikan dan Ketenagakerjaan DPR pada Desember lalu tentang bagaimana mereka menangani insiden yang diklaim antisemit di kampus mereka setelah serangan 7 Oktober oleh Hamas terhadap Israel. Banyak anggota parlemen dari Partai Republik bersikeras bahwa presiden tidak berbuat banyak untuk membasmi unjuk rasa pro-Palestina.
Tempo.co, Jakarta, juga memberitakan bahwa Donald Trump diperkirakan akan menunjuk Senator AS Marco Rubio untuk menjadi menteri luar negeri Amerika Serikat, menurut sumber pada hari Senin seperti dilansir dari Reuters. Politikus kelahiran Florida itu akan menjadi orang Latin pertama yang menjabat sebagai diplomat tertinggi Amerika setelah Trump yang berasal dari Partai Republik itu menjabat sebagai presiden pada Januari. Marco Rubio adalah opsi paling agresif dalam daftar pendek Donald Trump untuk menteri luar negeri. Dalam beberapa tahun terakhir dia menganjurkan kebijakan luar negeri yang keras terhadap musuh-musuh Amerika, termasuk Cina, Iran dan Kuba.
Sementara itu, menteri pertahanan Israel yang baru Israel Katz pada Senin mengisyaratkan kemungkinan serangan militer terhadap fasilitas nuklir Iran. Ia juga menekankan bahwa perjanjian gencatan senjata di Lebanon tidak mungkin dilakukan. "Iran kini semakin rentan sehingga lebih mudah untuk menargetkan fasilitas nuklirnya," kata Katz, seraya menambahkan bahwa "tujuan utamanya dapat dicapai – untuk menggagalkan dan menghilangkan ancaman pemusnahan Israel."
Setiap empat tahun, saat pemilihan umum semakin dekat, gelombang antusiasme untuk memberikan suara membanjiri media arus utama, influencer media sosial, dan berbagai organisasi. Umat Muslim juga didorong untuk berpartisipasi, sering kali melalui organisasi Muslim setempat.
Selama lebih dari dua dekade, mereka telah didesak untuk memilih partai atau individu tertentu, dengan harapan memperoleh manfaat atau mencegah bahaya. Pada tahun 2000, umat Muslim didorong untuk memilih George W. Bush, yang kemudian meluncurkan Perang Melawan Terorisme, menghancurkan wilayah Muslim dan mengakibatkan kematian hampir 1 juta Muslim.
Pada tahun 2008, umat Muslim mendukung Barack Obama, dengan harapan perubahan positif. Sebaliknya, Obama memperluas program pengawasan dan penjebakan FBI yang menargetkan Muslim di Amerika dan mendukung diktator seperti Sisi di Mesir, yang selanjutnya memicu konflik di Timur Tengah.
Pada tahun 2020, umat Muslim memilih Joe Biden, yang telah mendukung dan mendanai genosida di Gaza sambil memajukan agenda LGBTQ di dalam negeri. Bahkan protes damai terhadap genosida oleh mahasiswa dari semua latar belakang dihancurkan dengan dukungan dari Partai Demokrat, sementara Partai Republik mendesak lebih banyak tindakan represif.
Peristiwa di Gaza mengungkap realitas tatanan dunia saat ini. Genosida di sana, yang didukung oleh negara-negara kuat, menunjukkan bagaimana sistem "demokratis" dapat mendukung penindasan. Kebebasan berpendapat hanya dirayakan jika mendukung sistem yang ada.
Pola sejarah menunjukkan bahwa, terlepas dari pilihan rakyat, keputusan sering kali sejalan dengan kepentingan elit penguasa, dan janji-janji pemilu yang mengancam kepentingan tersebut dengan cepat dibuang. Rakyat dibiarkan dengan sistem terkendali yang menguntungkan pihak yang berkuasa sambil mengesampingkan perubahan sejati.
Berharap Donald Trump berubaha juga ilusi.
Mengingat jejak rekam Donald Trump saat menjadi presiden Amerika yang punya kecendungan kuat secara terbuka menunjukkan permusahannya terhadap Islam dan umat Islam. Kebijakan Donald Trump terhadap Islam dan negara-negara mayoritas Muslim ditandai dengan beberapa keputusan penting yang berdampak signifikan pada hubungan AS dengan dunia Muslim.
Pendekatannya sering kali mencampurkan kekhawatiran keamanan, kepentingan ekonomi, dan sikap kuat pro-Israel. Berikut adalah elemen utama dari kebijakan Trump terhadap Islam dan negara-negara mayoritas Muslim: Salah satu tindakan paling kontroversial Trump adalah penerapan "Muslim Ban" pada 2017, yang memberlakukan pembatasan terhadap warga dari beberapa negara mayoritas Muslim. Awalnya, larangan ini berlaku untuk warga negara dari Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman. Alasan yang disampaikan adalah untuk keamanan nasional, khususnya dalam mencegah terorisme.
Pada Desember 2017, Trump mengumumkan keputusan kontroversial untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem pada Mei 2018. Langkah ini dikutuk oleh banyak negara mayoritas Muslim, karena Yerusalem adalah kota yang sangat sensitif dalam tradisi Islam, Yahudi, dan Kristen.
Pada 2020, pemerintahan Trump mengungkapkan rencana perdamaian "Peace to Prosperity", yang dikenal sebagai "Deal of the Century", yang bertujuan menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Rencana ini sangat dikritik oleh para pemimpin Palestina dan banyak negara Muslim, karena dianggap sangat berpihak pada Israel.
Rencana tersebut mencakup pengizinkan Israel untuk mencaplok sebagian besar Tepi Barat dan memberikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang tidak terbagi. Sebagian besar pemimpin Palestina menolaknya karena tidak memenuhi tuntutan mereka akan negara yang berdaulat dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
Sementara kondisi Palestina saat ini semakin memprihatinkan. Ditulis oleh Tempo.co, Jakarta, Itimad al-Qanou, seorang ibu Palestina di Gaza yang berjuang memberi makan ketujuh anaknya. Ia merasa ditinggalkan oleh semua orang. Dilansir dari Reuters, dia terkadang merasa bahwa kematian adalah cara terbaik untuk mengakhiri penderitaan keluarganya. Setahun perang mengubah Gaza menjadi tanah terlantar yang dibom dan dilanda kelaparan.
"Biarkan mereka menjatuhkan bom nuklir dan mengakhirinya. Kami tidak menginginkan kehidupan yang kami jalani ini. Kami sedang sekarat perlahan-lahan. Kasihanilah kami. Lihatlah anak-anak ini," kata ibu dari tiga anak laki-laki dan empat anak perempuan berusia antara delapan dan 18 tahun itu.
Jadi, kemenangan Trump jelas akan memperpanjang penderitaan bangsa Palestina, karena Amerika akan terus mendukung zionis Israel melakukan penjajahan dan genosida atas penduduk Palestina. Sementara di negeri Islam lainnya, Amerika akan terus mempertahankan sistem demokrasi dan akan terus menekan kebangkitan Islam.
Diberitakan oleh tirto.id, bahwa Presiden Prabowo Subianto akan melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Amerika Serikat (AS), Joseph R. Biden Jr (Joe BIden) di Gedung Putih, Washington DC, Selasa (12/11/2024). Juru Bicara Gedung Putih, Karine Jean-Pierre, mengatakan, kedua kepala negara akan membahas tentang isu demokrasi, pluralisme, ketahanan pangan serta stabilitas regional di masing-masing negara. "Mereka akan berkoordinasi mengenai pendekatan berkelanjutan terkait ketahanan pangan, transisi energi bersih, demokrasi dan pluralisme, perdamaian dan stabilitas regional, dan hubungan antar masyarakat," kata Karine Jean-Pierre dalam keterangan pers, Senin (11/11/2024)
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 12/11/24 : 14.17 WIB)