Oleh : Ahmad Sastra
Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menganggap rendahnya partisipasi pemilih Pilkada Serentak 2024 merupakan buah dari sejumlah hal sistemik yang perlu dibereskan. Titi memaparkan setidaknya ada tiga faktor rendahnya partisipasi rakyat dalam pilkada 2024. Pertama, adanya kelelahan di antara para pemilih serta penyelenggara pemilu dan partai politik karena menjalani pemilu nasional dan pilkada pada tahun yang sama.
Kedua, pencalonan kepala daerah masih amat sentralistis di tangan pengurus pusat partai politik. Ketiga, penegakan hukum terkait pelanggaran pidana pilkada yang tidak optimal. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dianggap tak menunjukkan progres penanganan pelanggaran yang signifikan. (Kompas.com)
Lembaga Parameter Politik Indonesia (PPI) merilis hasil hasil hitung cepat (quick count) Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. PPI mencatat angka partisipasi pemilih dalam Pilkada Jakarta 'hanya' sebesar 57,2%. (https://news.detik.com). Angka partisipasi pemilih pada pilkada Jakarta 2024 tercatat hanya mencapai sekitar 4,3 juta suara. Sementara jumlah daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 8,2 juta. Artinya, partisipasi pemilih ada di angka 53,05. Adapun pada pilkada 2007 dan 2012, partisipasi pemilih mencapai sekitar 65 persen. Sedangkan pilkada 2017 jumlahnya meningkat lebih dari 70 persen.
Berdasarkan pemantauan via Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU RI pada Jumat sore, dari 98,5 persen data yang masuk, tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak 2024 hanya 68,16 persen. Partisipasi pada Pilkada Sumatera Utara hanya 55,6 persen, sedangkan DKI Jakarta hanya 57,6 persen, terendah sepanjang sejarah. (Kompas.com)
Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dede Yusuf Macan Effendi, menilai kurang menariknya Tempat Pemungutan Suara (TPS) menjadi salah satu faktor turunnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) 2024. Selain itu, penempatan TPS yang kurang tepat juga jadi faktor rendahnya partisipasi masyarakat. Diketahui, terjadi penurunan partisipasi masyarakat dalam kontestasi lima tahunan sekali, khususnya di Jakarta, hingga mencapai 50 persen. (Liputan6.com)
Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengatakan bahwa pihaknya tengah mencermati implikasi penyelenggaraan Pilkada serentak 2024 dengan rendahnya tingkat partisipasi politik warga dalam menggunakan hak suaranya. (www.suara.com)
Saiful Bahri. M.AP di Kompasiana.com menulis dengan judul "Rendahnya Partisipasi Pilkada 2024: Kelelahan Pemilih atau Ketidakpercayaan pada Institusi Demokrasi?", Penurunan ini patut diduga sebagai akibat dari kelelahan pemilih akibat frekuensi pemilu yang semakin sering, yang menciptakan kejenuhan di kalangan pemilih, serta ketidakpercayaan terhadap institusi politik, terutama terkait dengan praktik politik uang, korupsi, dan kegagalan sistem untuk memenuhi harapan rakyat.
Saiful Bahri menambahkan bahwa penurunan partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 juga dapat dijelaskan melalui fenomena kelelahan pemilih yang muncul akibat seringnya penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Beberapa studi menunjukkan bahwa banyak pemilih, terutama pemilih muda, mulai merasa jenuh dengan proses pemilu yang berlarut-larut.
Sebagai contoh, sebuah studi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2019 menemukan bahwa lebih dari 60% pemilih muda merasa lelah dengan frekuensi pemilu yang terlalu sering, yang mengurangi antusiasme mereka untuk berpartisipasi dalam pemilu berikutnya. Survei Litbang Kompas juga menunjukkan bahwa hampir 40% responden merasa bosan dengan terlalu banyaknya pemilu yang diadakan dalam waktu dekat, yang berujung pada apatisme politik.
Kegagalan sistem demokrasi dalam memenuhi harapan rakyat menjadi faktor dominan, sehingga rakyat bosan dan muak tiap kali datang pemilu atau pilkada. Dalam bayangan rakyat, setelah pilkada, toh nasib mereka tak juga berubah menjadi lebih baik. Malah sebaliknya, rakyat semakin sengsara karena kenaikan harga-harga, kenaikan pajak dan bahkan kenaikan jumlah koruptor dan maling uang rakyat. Pemilu dianggap hanya menjadikan rakyat sebagai tumbal politik penguasa dan oligarki. Jadi faktor dominan rendahnya partisipasi rakyat dalam pilkada 2024 adalah karena kejenuhan, kebosanan dan rasa muak.
Dalam melihat dan merasakan kontestasi politik di negeri ini yang kian carut maruk, hiruk pikuk para koruptor dan penipu rakyat, silih berganti berkuasa dan berlomba dalam memohongi rakyat, maka berhak muak kepada situasi ini. Apalagi jika situasi buruk ini semakin menjadi-jadi dari waktu ke waktu. Muak politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan rasa jenuh, frustrasi, atau ketidakpuasan yang mendalam terhadap dunia politik di negeri ini.
Ketika pemimpin politik atau partai yang berkuasa tidak memenuhi janji-janji mereka, atau terlibat dalam skandal, korupsi, atau kebijakan yang tidak populer, banyak orang merasa kecewa dan kehilangan kepercayaan, yang bisa memicu rasa muak. Rakyat berhak muak jika terus menerus ditipu oleh pemimpinnya sendiri yang telah dipilih saat pemilu.
Ketika politik menjadi sangat terpolarisasi, dengan perdebatan yang tajam dan konflik yang intens antara kelompok-kelompok yang berbeda, hal ini dapat membuat rakyat merasa lelah dan muak dengan ketegangan yang terus-menerus. Rakyat berhak muak saat melihat elit partai bertikai hanya untuk berebut kekuasaan, tanpa pernah memikirkan nasib rakyatnya.
Situasi politik yang tidak stabil atau penuh ketidakpastian, seperti perubahan kebijakan yang sering, pergantian pemimpin yang tidak terduga, atau krisis politik, dapat menyebabkan rasa cemas dan muak di kalangan masyarakat. Rakyat berhak muak saat kehidupan di negeri ini semakin susah. Pemimpin malah berkhianat dan bersekutu dengan para oligarki di atas penderitaan rakyat.
Rakyat berhak muak saat melihat perilaku pamer dan sombong dipertontonkan oleh para penguasa dan keluarganya. Pamer barang mewah di saat rakyat justru sedang perang melawan rasa lapar karena kemiskinan. Rakyat berhak muak saat melihat dagelan tidak bermutu yang dipertontonkan oleh pemimpin zolim.
Taktik manipulatif, propaganda, atau informasi yang menyesatkan dari politisi atau media dapat menyebabkan orang merasa lelah dan tidak percaya, yang kemudian berujung pada rasa muak terhadap politik secara keseluruhan. Entah mau berapa kali lagi rakyat selalu menjadi tumbal politik para pengkhianat bangsa ini ?.
Ketika orang merasa bahwa suara mereka tidak didengar atau bahwa mereka tidak dapat mempengaruhi perubahan melalui proses politik, mereka mungkin merasa muak dan apatis terhadap politik. Konon katanya, rakyat berdaulat di negeri ini, namun faktanya partailah yang berdaulat, bahkan ketua partailah yang berdaulat. Sementara ketua-ketua partai berkomplot dengan para cukong, maka rakyat berhak muak dengan semua ini.
Rasa muak karena pemimpin yang zalim adalah reaksi emosional yang muncul ketika seseorang merasa lelah, frustrasi, dan tidak tahan lagi dengan kepemimpinan yang tidak adil, sewenang-wenang, atau menindas. Pemimpin zalim biasanya menggunakan kekuasaan mereka untuk keuntungan pribadi, menindas rakyat, dan mengabaikan prinsip keadilan serta kesejahteraan publik.
Pemimpin zalim sering kali melakukan kebijakan atau tindakan yang secara terang-terangan tidak adil, seperti diskriminasi, penindasan terhadap kelompok tertentu, atau penggunaan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan. Ketidakadilan yang terus-menerus ini dapat memicu perasaan muak yang mendalam.
Ketika pemimpin menggunakan kekuasaan mereka untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, atau kelompok mereka, sementara rakyat menderita, hal ini dapat menimbulkan rasa muak. Korupsi yang merajalela mengikis kepercayaan publik dan menambah rasa frustrasi.
Pemimpin yang zalim sering kali tidak peduli dengan kesejahteraan rakyatnya, memprioritaskan kekuasaan atau kepentingan pribadi di atas kepentingan umum. Kebijakan yang merugikan rakyat, seperti pengabaian terhadap kesehatan, pendidikan, atau ekonomi, dapat memicu rasa muak yang besar.
Ketika seorang pemimpin menggunakan kekerasan, intimidasi, atau penindasan untuk mengendalikan rakyat atau menekan oposisi, hal ini dapat menimbulkan rasa takut dan muak yang mendalam. Rakyat yang merasa tertekan dan tidak bisa bebas mengekspresikan diri atau menuntut keadilan akan merasa sangat muak terhadap pemimpin semacam ini.
Pemimpin zalim sering kali tidak mau bertanggung jawab atas tindakan mereka. Mereka mungkin menutup-nutupi kesalahan, menolak kritik, atau menghukum orang-orang yang berusaha menegakkan keadilan. Ketidakmampuan untuk meminta pertanggungjawaban pemimpin seperti ini bisa membuat rakyat merasa muak dan tidak berdaya.
Rasa muak terhadap pemimpin yang zalim sering kali menjadi pendorong bagi gerakan perlawanan, protes, atau perubahan sosial. Rakyat yang merasa muak bisa mencari cara untuk melawan ketidakadilan, baik melalui protes damai, kampanye politik, atau bahkan revolusi dalam kasus yang ekstrem.
Rasa muak politik sering kali diiringi oleh keengganan untuk terlibat dalam diskusi politik, mengikuti berita politik, atau bahkan berpartisipasi dalam pemilihan umum atau pilkada, seperti pada tahun 2024 ini. Ini bisa menjadi tanda dari ketidakpuasan yang mendalam terhadap sistem politik yang ada, dan dalam beberapa kasus, bisa mendorong gerakan untuk perubahan atau transformasi. Jadi jika sekarang rakyat banyak yang memilih golput, mungkin mereka sudah sangat muak, muak sekali.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 30/11/24 : 21.09 WIB)
Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad