TUGAS INTELEKTUAL MUSLIM DI TENGAH CARUT MARUT NEGERI


 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Koran tempo tanggal 16 Oktober mengangkat tema intelektual kelas kambing sebagai kritik atas sikap membebeknya kaum intelektual kepada penguasa. Sikap ini seolah mereka sedang mengalami disfungsi intelektual. Disfungsi intelektual akibat nafsu kekuasaan adalah metafora yang menggambarkan bagaimana nafsu kekuasaan atau ambisi berlebihan dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk membuat keputusan yang rasional dan beretika dengan memilih sikap membudak kepada kekuasaan.

 

Noam Chomsky memiliki pandangan yang kuat mengenai tugas kaum intelektual dalam masyarakat. Ia berpendapat bahwa kaum intelektual memiliki tanggung jawab untuk mempertanyakan kekuasaan dan mengkritik ketidakadilan. Menurutnya, mereka seharusnya tidak hanya menjadi pengamat, tetapi juga berfungsi sebagai suara bagi mereka yang terpinggirkan dan berjuang melawan penindasan.

 

Chomsky menekankan pentingnya penggunaan pengetahuan dan posisi yang dimiliki oleh kaum intelektual untuk mendorong perubahan sosial yang positif. Ia juga mengingatkan bahwa keberpihakan kepada kebenaran dan keadilan harus menjadi prioritas utama, bahkan jika itu berarti menantang norma-norma yang ada atau menghadapi konsekuensi yang tidak nyaman. Dengan demikian, tugas kaum intelektual adalah untuk berbicara dan bertindak demi kepentingan masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya untuk kepentingan elit atau kekuasaan yang ada.

 

Beberapa tanda-tanda bahwa seseorang mungkin mengalami "disfungsi intelektual akibat nafsu kekuasaan" meliputi, diantaranya mengabaikan perasaan dan kebutuhan orang lain, memaksakan kehendak sendiri tanpa mempertimbangkan masukan dari orang lain, menggunakan cara-cara manipulatif untuk mencapai tujuan pribadi dan menolak atau tidak mampu menerima kritik konstruktif. Kondisi ini disebabkan oleh nafsu kekuasaan yang sudah terlanjur menjeratnya. Disfungsi intelektual akan mematikan daya kritis, padahal tugas kaum intelektual bukanlah mendukung kekuasaan. Lebih berat lagi adalah tugas kaum intelektual muslim (ulil albab).

 

Indonesia, negeri zamrud katulistiwa yang dianugerahi Allah kekayaan alam yang sangat melimpah. Tidak ada negara di dunia yang memiliki kekayaan alam seperti di Indonesia. Itulah kenapa dari dulu Indonesia selalu menjadi incaran para kolonial, baik kolonialisme gaya lama maupun penjajahan gaya baru. Sementara Indonesia sendiri tidak pernah berdaulat secara ideologis yang menyebabkan bangsa ini mudah diintervensi bahkan dijajah oleh bangsa lain, dari dulu hingga sekarang. Inilah yang menyebabkan negeri ini tidak memiliki martabat. Dalam istilah  martabat terkandung nilai kemuliaan, keadaban, kemandirian, kehormatan, dan bahkan disegani oleh orang lain.  

 

Psikologi keterjajahan bangsa ini telah lama mengurat saraf dari generasi ke generasi. Dalam istilah lain bangsa ini dalam kubangan hegemoni dan intervensi kolonialisme. Strategi mencari jalan keluar dari hegemoni dan imperialisme asing inilah yang menjadi tugas pertama para cendekiawan muslim dengan gagasan dan pemikirannya. Sebab tugas pertama seorang mukallaf (muslim) menurut  Imam Syafi'i adalah memikirkan kemajuan agamanya. Dengan potensi sumber daya alam yang melimpah dan potensi cendekiawan muslim yang juga melimpah sudah semestinya Indonesia berdaulat dan bermartabat dari sejak dulu, namun faktanya hingga hari ini bangsa ini justru kian terjajah. Quo Vadis intelektual muslim ? 

 

Peradaban Barat dengan landasan epistemologi sekuleristik dan ateisitik telah melahirkan manusia-manusia jahat, rakus dan  destruktif  demi memenuhi kehausan duniawi dan kekuasaan. Hasilnya adalah sebuah peradaban anti Tuhan yang lebih mengedepankan kebebasan tanpa batas di semua bidang kehidupan. Sains dan teknologi ala Barat sekuler hanya berorientasi materialisme dan mengabaikan nilai dan moral. Dari paradigma sains sekuler inilah awal dari kerusakan bumi dengan  sumber daya alamnya hingga kerusakan manusia dengan pemikiran, jiwa dan perilakunya. Allah dengan tegas telah memberikan ilustrasi fakta ini dalam surat ar Ruum : 41, " telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".

 

Ada sebuah pertanyaan yang mendasar sekaligus keprihatinan yang mendalam, kenapa bangsa  mayoritas muslim ini belum memiliki kedaulatan dan martabat. Umat Islam yang dahulu mencapai puncak kejayaan peradaban, kini hanya tinggal kenangan. Kaum muslimin  tak lagi menjadi bangsa  yang disegani, sebagaimana dahulu semasa Rasulullah. Islam dan kaum muslim saat itu dan beberapa abad setelahnya begitu disegani oleh siapapun karena kemajuan di bidang sains teknologi, ekonomi, budaya  dibawah kekuatan teologinya.

 

Padahal Rasulullah oleh Michael D Hart digambarkan sebagai sosok paripurna peletak peradaban agung, " …kesatuan tunggal yang tidak ada bandingannya dalam mempengaruhi sektor keagamaan dan duniawi secara bersamaan, merupakan hal yang mampu menjadikan Muhammad untuk layak dianggap sebagai sosok tunggal yang mempengaruhi sejarah umat manusia.." 

 

Hilangnya kedaulatan dan martabat  ini bermuara pada terpisahnya sains, kosmos dan teologi dari setiap diri muslim. Singkatnya adalah karena sekulerisasi yang telah merasuk ke dalam pikiran dan jiwa kaum  muslimin di semua bidang kehidupan seperti sains, politik, budaya, ekonomi,  pendidikan, dan sosial.  Keprihatinan inilah yang kemudian memunculkan ide untuk menyiapkan kader-kader umat terbaik yang akan meneruskan penegakan kembali peradaban Islam yang telah lama runtuh.

 

Kini umat sedang tidur, namun tidurnya terasa terlalu panjang. Mesti ada kader umat yang menjadi pelopor yang menggali dan mencari mutiara yang hilang. Pemikiran Islam yang dulu menguasai dunia adalah mutiara paling berharga yang harus 'direbut' kembali. Kader pelopor kebangkitan peradaban Islam inilah yang disebut cendekiawan muslim dalam arti yang luas.

 

Islam adalah manhaj kehidupan bagi kebaikan manusia seluruhnya sebab ia berasal dari sang Pencipta manusia. Islam adalah manhaj kehidupan yang realistik, dengan berbagai susunan, sistematika, kondisi, nilai, akhlak, moralitas, ritual dan begitu juga atribut syiarnya. Ini semuanya menuntut risalah ini ditopang oleh power kekuasaan yang dapat merealisasikannya. Ditopang oleh manusia-manusia amanah dengan ketundukan jiwa secara bulat kepadanya, disertai ketaatan dan pelaksanaan. Allah menegaskan kemuliaan hukumNya dalam surat Al Maidah ayat 50, " Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?

 

Karena itu tugas seorang yang menyandang gelar cendekiawan muslim tidaklah ringan di mata Islam. Seluruh cendekiawan muslim, ilmuwan muslim dan para ulama terdahulu telah dengan gamblang memberikan contoh bagaimana mereka menghabiskan waktu demi meraih kemuliaan dan martabat Islam dan kaum muslimin sebagai sebuah bangsa. Dengan seluruh potensi yang dimiliki, para pendahulu telah menoreh sejarah kegemilangan kemajuan Islam yang adil dan beradab bagi seluruh manusia tanpa memandang ras, agama, suku, warna kulit dan bahasa.

 

Usaha bijak dan pengorbanan yang cerdas para cendekiawan muslim pertama kali harus diorientasikan bagi pembangunan masyarakat yang baik. Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang dibangun di atas manhaj Allah. Hal ini relevan dengan kondisi masyarakat negeri ini yang semakin mengalami degradasi sains dan moral. Usaha ini memerlukan keimanan  dan pemahaman tentang realitas sebagai hakekat keimanan dan wilayahnya dalam sistem kehidupan. Para cendekiawan muslim harus berani memikul tanggungjawab besar ini tanpa menunggu imbalan duniawi jika masih ingin melihat bangsa ini bangkit dan bermartabat.

 

Menjadikan Islam sebagai dasar manhaj berfikir dan bertindak menuju bangsa yang bermartabat bukanlah jalan yang pendek dan mudah. Usaha besar ini membutuhkan waktu yang panjang dan usaha yang berkesinambungan. Para cendekiawan muslim mesti berhenti sejenak untuk merenungkan langkah-langkah strategis fundamental yang genuine dan tidak terkontaminasi dengan nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam.

 

Jika konsisten, gerakan peradaban cendekiawan muslim ini, dengan izin Allah akan membawa bangsa ini lebih bermartabat dalam arti yang sesungguhnya. Meski harus disadari juga, bahwa sampai kapanpun kebangkitan peradaban Islam akan terus menuai hambatan dan ujian.

 

Berapa lama para cendekiawan muslim  di Indonesia khususnya akan mampu mengukir bangsa yang bermartabat tidaklah penting. Sebab Allah akan menilai prosesnya bukan hasilnya. Ada baiknya direnungkan apa yang dikatakan oleh Ahmad Y al- Hasan, " Marilah kita meletakkan skenario hipotesis : jika kekuasaan Islam tidak dilemahkan dan jika ekonomi negara-negara Islam tidak dihancurkan, dan jika stabilitas politik tidak diganggu, dan jika para ilmuwan muslim diberi stabilitas dan kemudahan dalam waktu 500 tahun lagi, apakah mereka akan gagal mencapai apa yang telah dicapai Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton?. Model-model planetarium Ibn al-Shatir dan astronomer-astronomer muslim yang sekualitas  Copernicus dan  yang telah mendahului mereka 200 tahun membuktikan bahwa sistem Heliosentris dapat diproklamirkan oleh saintis muslim, jika komunitas mereka terus eksis di bawah skenario hipotesis ini". 

 

Kesadaran mendalam untuk terus memberikan  arah dan pencerahan bagi seluruh bangsa ini merupakan amanah abadi yang harus terus dipikul oleh kaum cendekiawan muslim yang lurus. Dengan manhaj Islam yang agung ini, insyaallah bangsa ini akan bermartabat. Sebab bermartabat bukan hanya soal kemajuan dan kedaulatan, namun juga soal kemuliaan.

 

Kaum intelektual muslim harus peka atas penyebab carut marut negeri ini, lantas memberikan solusi Islam. Misi intelektual muslim adalah misi peradaban Islam. adalah naif jika ada kaum intelektual muslim justru membebek kekuasaan sekuler hanya karena tergiur dengan iming-iming duniawi. Harta dan tahta memang menjadi ujian berat bagi kaum intelektual muslim. Jika kaum intelektualnya membebek kekuasaan sekuler, maka negeri ini akan semakin carut marut.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 16/10/24 : 11.33 WIB)

 

 

Posting Komentar

1 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
  1. Masyaallah, dari artikel ini saya mendapatkan pelajaran bahwasanya memang saat ini indonesia bahkan dunia sedang membutuhkan para cendikiawan-cendikiawan muslim agar dunia ini kembali kepada era kejayaannya sebagaimana saat zaman Rasulullah, Sahabat, dan zaman Golden age. karena di zaman yang serba cepat dan modern ini tentu banyak sekali ujian-ujian yang datang terutama yang berkaitan tentang agama islam sehingga pentingnya peran 'alim ulama dan para cendikiawan muslim untuk mengembalikan kehormatan agama islam di tengah hiruk pikuknya zaman ini. Semoga kita bisa meneruskan warisan-warisan para cendikiawan islam terdahulu yaitu ilmu, dan dengan ilmu-ilmu tersebut kita bisa mengulang apa yang para ulama-ulama dulu perjuangkan dan mengembalikan era dimana Muslim menjadi agama yang sangat kuat dengan pengikut atau pemeluk agamanya yang hebat sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Swt dalam Qur'an surat Ali 'Imran ayat 110, "Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya Ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik" . Terimakasih Ustadz atas ilmu yang disampaikan dalam artikel ini. JazakAllah khairon katsiron

    BalasHapus

Categories