Oleh : Ahmad Sastra
Intelektualitas menjadi faktor paling fundamental dari kemajuan peradaban suatu bangsa. Tak ada sejarah kemajuan peradaban yang tidak ditopang oleh intelektualitas. Kaum intelektual adalah sumber daya strategis, jika dibandingkan dengan sumber daya alam. Logikanya, sumber daya alam hanya bisa dikelola oleh sumber daya manusia. Tanpa sumber daya manusia, kekayaan alam suatu negeri taka da artinya apa-apa.
Cattel (dalam Clark, 1983) menegaskan bahwa intelektualitas merupakan kombinasi sifat-sifat manusia yang terlihat dalam kemampuan memahami hubungan yang lebih kompleks, semua proses berfikir abstrak, menyesuaikan diri dalam pemecahan masalah dan kemampuan memperoleh kemampuan baru.
Relasi intelektualitas dengan kemajuan peradaban sebuah bangsa adalah daya analitik dan problem solving. Bagi David Wechsler intelektualitas adalah totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungan secara efektif.
Tugas dan tanggungjawab kaum intelektual memang sangat berat. Di satu sisi, mereka bertanggungjawab atas kemajuan suatu bangsa karena kemampuannya melakukan berbagai riset dan pemecahan komplesitas masalah sosiologis dan ekologis. Sementara di sisi lain, kaum intelektual juga bertanggungjawab memberikan arah jalan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Noam Chomsky memiliki pandangan yang kuat mengenai tugas kaum intelektual dalam masyarakat. Ia berpendapat bahwa kaum intelektual memiliki tanggung jawab untuk mempertanyakan kekuasaan dan mengkritik ketidakadilan. Menurutnya, mereka seharusnya tidak hanya menjadi pengamat, tetapi juga berfungsi sebagai suara bagi mereka yang terpinggirkan dan berjuang melawan penindasan.
Kaum intelektual wajib berpikir kritis atas apapun yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat, tidak boleh membebek. Sebab mereka memiliki kompetensi untuk mengevaluasi argumen, mengidentifikasi bias, dan menarik kesimpulan logis. Kompetensi ini dimiliki, karena kaum intelektual adalah seorang pembelajar sejati. Inilah yang membedakan dengan masyarakat awam.
Kaum intelektual adalah mereka yang berkontribusi kepada kehidupan sosial dengan ilmu yang dimilikinya. Mereka mengetahui dan memahami berbagai disiplin ilmu, serta dapat menghubungkan pengetahuan dari berbagai bidang. Mereka juga mampu menyampaikan pemikiran dan ide dengan jelas dan persuasif, baik secara lisan maupun tulisan. Mereka adalah kelompok kecil yang mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi dan terus menerus mencari pengetahuan baru.
Kaum intelektual pada suatu bangsa memang tidak banyak jumlahnya, semacam creative minority. Namun demikian, meskipun merupakan bagian kecil dari masyarakat yang lebih besar, mereka memiliki pengaruh besar terhadap budaya, ide, dan inovasi. Di Indonesia, per 2023, jumlah profesor atau guru besar mencapai sekitar 2,61% dari total 311.163 dosen aktif, yang berarti ada sekitar 8.118 profesor di seluruh Indonesia.
Sementara yang bergelar doktor, sampai saat ini, capaian di Indonesia baru 16 persen dari total jumlah dosen. Data tahun 2022 Kementerian Dalam Negeri menunjukkan, Indonesia hanya memiliki 0,03% lulusan doktor (S3) dari total penduduk usia produktif. Kondisi ini bisa dipahami, sebab tidak semua orang bisa menempuh gelar doktor atau profesor karena berbagai faktor, baik kapasitas maupun finansialitas. Namun demikian, dengan kapasitas pengetahuan yang dimiliki, meski minoritas, kaum intelektual bisa memberikan pengaruh signifikan.
Chomsky menekankan pentingnya penggunaan pengetahuan dan posisi yang dimiliki oleh kaum intelektual untuk mendorong perubahan sosial yang positif. Ia juga mengingatkan bahwa keberpihakan kepada kebenaran dan keadilan harus menjadi prioritas utama, bahkan jika itu berarti menantang norma-norma yang ada atau menghadapi konsekuensi yang tidak nyaman. Tugas kaum intelektual menurutnya adalah untuk berbicara dan bertindak demi kepentingan masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya untuk kepentingan elit atau kekuasaan yang ada, apalagi hanya untuk kepentingan individu.
Koran tempo tanggal 16 Oktober mengangkat tema intelektual kelas kambing sebagai kritik atas sikap membebeknya kaum intelektual kepada penguasa. Sikap ini seolah mereka sedang mengalami disfungsi intelektual. Disfungsi intelektual akibat nafsu kekuasaan adalah metafora yang menggambarkan bagaimana nafsu kekuasaan atau ambisi berlebihan dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk membuat keputusan yang rasional dan beretika dengan memilih sikap membudak kepada kekuasaan.
Disinilah kemudian menjadi penting adanya faktor orientasi intelektual dan etikanya. Bisa dibayangkan dampak buruk yang akan ditimbulkan jika kaum intelektual suatu bangsa justru mengidap disorientasi dan melanggar etika akademik. Jika kaum intelektualnya palsu atau istilah lainnya psudo intellectual, maka yang menoritas inilah yang justru akan merusak peradaban bangsa. Jika kaum intelektualnya berbohong dengan risetnya, maka dia telah menjerumuskan masyarakat banyak yang mengikutinya.
Ironis memang yang terjadi di negeri ini, selain adanya kasus plagiarisme yang dilakukan oleh kaum intelektual di kampus-kampus, ada juga kaum intelektual yang justru membebek kepada penguasa hanya karena tergiur tahta dan harta. Imam Al Ghazaly menyarankan bahwa sebaiknya kaum intelektual (ulama) menjauhi posisi kekuasaan atau jabatan politik karena hal itu dapat mengganggu independensi intelektual dan moral mereka.
Beberapa kampus seperti UGM, Universitas Parahyangan, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Kristen Maranatha Bandung pernah tersandung kasus plagiarisme yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosennya. Bahkan belum lama, Universitas Indonesia juga mendapatkan sorotan tajam setelah meluluskan doktor yang dinilai tidak wajar.
Tak sampai disitu, bahkan Dewan Guru Besar Universitas Indonesia menggelar rapat untuk membahas kasus pemberian gelar doktor dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) kepada seorang pejabat yang baru meraih gelar doktor. Pemberikan gelar dinilai tak wajar karena ditempuh dalam waktu singkat ada dugaan plagiarisme dalam disertasinya.
Pseudo Intellectual bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, peneliti memanipulasi atau mengubah data agar sesuai dengan hipotesisnya, misalnya dengan menghapus data yang tidak mendukung. Kedua, peneliti mengambil ide, tulisan, atau data dari orang lain tanpa memberikan kredit yang tepat, yang dapat merusak keaslian penelitian. Ketiga, peneliti melakukan studi tanpa persetujuan atau tanpa memperhatikan etika, seperti tidak melindungi subjek penelitian. Keempat, kaum intelektual yang mengalami disorientasi, menyalahgunakan ilmunya untuk kepentingan negatif. Kelima, menggunakan joki dalam penulisan karya ilmiah akademik.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 22/10/24 : 07.42 WIB)