PRESIDEN LENGSER : ANTARA POST POWER SYNDROME DAN ANCAMAN PENJARA


 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Ada banyak presiden yang justru dipenjara karena selama menjabat jadi pemimpin kerap melanggar aturan, menzolimi rakyat dan hanya memperkaya diri dengan berbagai tindak korupsi. Kekuasaan seringkali memang melalaikan akibat disorientasi sejak awal. Demokrasi dengan prinsip politik machiavellisme akan menjadikan penguasa sebagai musuh rakyat.

 

Ada beberapa contoh presiden yang dipersoalkan setelah lengser dari jabatan, dari jeratan hukum hingga berakhir di penjara. Misalnya, pertama, Ferdinand Marcos (Filipina). Setelah digulingkan pada tahun 1986, Marcos dan keluarganya dihadapkan pada berbagai tuduhan korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. Meskipun ia tidak dipenjara, banyak orang dekatnya yang ditangkap.

 

Kedua, Ali Abdullah Saleh (Yaman). Setelah digulingkan pada tahun 2011, Saleh menghadapi berbagai tuduhan dan berada dalam pengawasan sebelum meninggal pada tahun 2017. Ketiga, Jacob Zuma (Afrika Selatan). Meskipun tidak dipenjara langsung setelah lengser pada tahun 2018, Zuma dijatuhi hukuman penjara pada tahun 2021 karena penghinaan terhadap pengadilan.

 

Keempat, Omar al-Bashir (Sudan). Setelah dilengserkan pada tahun 2019, ia ditangkap dan dihadapkan pada berbagai tuduhan, termasuk korupsi dan kejahatan perang. Kelima, Mugabe (Zimbabwe). Setelah lengser pada tahun 2017, tidak ada proses penahanan resmi, tetapi beberapa mantan pejabat tinggi di era kepemimpinannya menghadapi masalah hukum. Presiden yang dipenjara setelah lengser sering kali berhubungan dengan konteks politik dan hukum yang kompleks di negara mereka masing-masing.

 

Kekuasaan dalam pandangan Islam adalah amanah yang mesti dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat dan Allah. Karena itu dalam Islam kekuasaan itu tidak layak diperebutkan. Namun dalam demokrasi, kekuasaan itulah yang justru menjadi perebutan. Para penguasa merasa mendapatkan keistimewaan duniawi saat berkuasa.

 

Karena salah tujuan inilah yang mengakibatkan gangguan jiwa bernama post-power syndrome atau sindrom pasca kekuasaan umumnya merujuk pada perasaan dan tantangan yang dialami individu atau pemimpin setelah kehilangan kekuasaan atau otoritas. Hal ini bisa terjadi akibat disorientasi kekuasaan akibat sistem demokrasi.

 

Seorang penguasa yang sibuk mencarikan pekerjaan anaknya untuk melanjutkan sebagai pemimpin, sementara dirisnya mendapatkan kecaman dari rakyat karena kezolimannya selama berkuasa adalah salah satu indikator bahwa pemimpin itu mengalami gangguan kejiwaan yang bernama post power syndrome. Ia berharap, kalo keluarganya berkuasa, maka dia tidak akan dipenjara karena kesalahannya. Mungkin manusia seperti ini lupa akan pengadilan Allah di akhirat.

 

Post power syndrome akan berdampak kepada masalah kejiwaan yang negative. Banyak pemimpin mengaitkan identitas mereka dengan posisi mereka, sehingga kehilangan peran tersebut dapat menyebabkan kebingungan tentang nilai diri dan tujuan. Transisi ini dapat mengakibatkan perasaan tidak berdaya atau kurang berarti, saat mantan pemimpin menghadapi dunia di mana pendapat mereka tidak lagi memiliki bobot.

 

Perasaan sedih, sakit hati, atau kemarahan sering muncul saat individu merenungkan masa jabatan mereka dan perubahan dalam status mereka. Menyesuaikan diri dengan peran baru atau kehidupan di luar kepemimpinan bisa menjadi tantangan, menyebabkan kecemasan tentang masa depan. Mantan pemimpin mungkin menemukan bahwa hubungan mereka berubah, dengan rekan dan kolega berinteraksi secara berbeda setelah mereka tidak lagi memegang kekuasaan.

 

Apakah presiden di negeri ini yang akan lengser tanggal 20 oktober 2024 akan berakhir dengan dijebloskan ke penjara karena berbagai tuntutan rakyat ? Entahnya, kita tunggu aja, sebab yang pasti, kita ini sedang hidup di negeri dagelan.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 14/10/24 : 08.32 WIB)

 

 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Categories