WAJAH DEMOKRASI : DARI FUFUFAFA SAMPAI POPULISME KOSONG


 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Munculnya akun fufufaha yang berisi celotehan kasar, jorok, sadis dan penuh penghinaan, terlepas siapa yang memiliki akun itu adalah wajah busuk demokrasi. Begitulah narasi rendahan dalam melakukan persaingan politik demokrasi. Mestinya ada argumentasi dan program, bukan malah ngoceh jorok untuk menjatuhkan lawan, tapi inilah karakter asli demokrasi. Frasa wajah busuk demokrasi merujuk kepada berbagai aspek dari sistem demokrasi yang dianggap korup, tidak adil, atau tidak berfungsi sesuai harapan, penuh reorika kosong, dan perang verbal yang tidak bermutu.

 

Wajah buruk demokrasi juga diperlihatkan ketika para pemimpin atau partai politik menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok mereka, bukannya untuk kepentingan rakyat banyak. Ini bisa mencakup suap, nepotisme, atau penggelapan dana publik. Flexing para pejabat di tengah penderitaan rakyat juga menjadi gaya hidup para penikmat demokrasi.

 

Wajah buruk demokrasi juga ditunjukkan adanya proses pemilu yang tidak jujur, misalnya manipulasi suara, penghalangan partisipasi, atau kontrol media oleh pihak-pihak tertentu, sehingga hasil pemilu tidak mencerminkan kehendak rakyat sebenarnya. Kemenangan dalam pemilu demokrasi sangat mungkin merupakan kemenangan manipulatif, karena demokrasi itu sarat intrik dan penipuan.

 

Wajah buruk demokrasi lainnya adalah ketika kebijakan pemerintah lebih menguntungkan kelompok elit atau kaya, sementara kebutuhan masyarakat umum diabaikan. Ini menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial yang semakin lebar. Sebab sesungguhnya demokrasi itu medan perjudian para oligarki, sementara rakyat hanya jadi tumbalnya.

 

Wajah busuk demokrasi itu diperlihatkan dengan adanya pemimpin yang menggunakan retorika populis atau janji-janji manis untuk memenangkan dukungan rakyat, tetapi tidak menindaklanjuti janji-janji tersebut setelah berkuasa. Demokrasi yang idealnya melibatkan check and balance sering kali tidak berjalan efektif, sehingga cabang eksekutif pemerintah cenderung mendominasi dan menyalahgunakan kekuasaan. Demokrasi melahirkan populisme kosong.

 

Populisme kosong merujuk pada fenomena di mana seorang pemimpin atau politisi menggunakan retorika populis untuk meraih dukungan, tetapi tidak memiliki rencana konkret atau kebijakan yang berkelanjutan untuk memenuhi janji-janji tersebut. Istilah ini mengacu pada janji-janji yang tampak menarik dan menyasar kepentingan masyarakat umum (khususnya kelas bawah atau menengah), namun pada akhirnya tidak terealisasi atau hanya bersifat simbolis tanpa perubahan substansial.

 

Populisme kosong demokrasi biasanya ditandai dengan adanya retorika sederhana dan emosional. Pemimpin populis sering menggunakan bahasa yang sederhana dan emosional, yang mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Mereka menonjolkan masalah atau kekhawatiran yang populer di kalangan rakyat, seperti kemiskinan, ketidakadilan, atau ketimpangan ekonomi, namun solusinya biasanya tidak terukur atau dangkal.

 

Populisme kosong demokrasi bisa juga berupa janji-janji berlebihan. Pemimpin populis kosong sering kali menjanjikan solusi cepat dan mudah untuk masalah-masalah kompleks, seperti menghapus kemiskinan, memperbaiki ekonomi secara instan, atau menghentikan korupsi. Namun, janji-janji ini sering tidak disertai dengan rencana konkret yang realistis.

 

Populisme kosong demokrasi sering kali menyebabkan polarisasi masyarakat. Populisme kosong sering kali mengandalkan taktik "kami vs mereka" di mana masyarakat dipecah menjadi dua kelompok: rakyat yang "baik" melawan elit atau pihak tertentu yang dianggap "buruk." Meskipun ini efektif dalam membangkitkan dukungan, strategi ini jarang menghasilkan solusi nyata untuk masalah-masalah mendalam.

 

Populisme kosong hanyalah sebatas retorika, tidak ada implementasi kebijakan yang serius. Setelah meraih kekuasaan, pemimpin yang menggunakan populisme kosong sering kali gagal atau enggan menindaklanjuti janji-janji mereka. Kebijakan yang dijanjikan mungkin tidak pernah diterapkan atau hanya diterapkan secara minimal.  Pemimpin dengan pendekatan populis kosong sering lebih fokus pada mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan daripada benar-benar memperjuangkan perubahan bagi rakyat. Kepentingan pribadi atau partai lebih didahulukan daripada kesejahteraan masyarakat.

 

Retorika sederhana dan emosional dalam demokrasi adalah teknik komunikasi yang digunakan oleh politisi untuk menarik perhatian dan dukungan publik dengan cara yang mudah dimengerti dan menggugah perasaan. Teknik ini sering kali digunakan untuk memobilisasi massa, terutama dalam konteks kampanye politik atau saat ingin memenangkan dukungan untuk kebijakan tertentu. Dalam demokrasi, retorika semacam ini bisa menjadi alat yang efektif untuk menyampaikan pesan, namun juga bisa menjadi pisau bermata dua, tergantung bagaimana dan untuk tujuan apa retorika itu digunakan.

 

Politisi sering kali menggunakan bahasa yang sederhana dan ringkas, tanpa terlalu banyak detail teknis atau kompleksitas. Mereka mengemas pesan mereka dalam bentuk yang dapat dengan cepat dimengerti oleh audiens luas, yang mungkin tidak selalu memiliki akses atau pengetahuan tentang isu-isu mendalam. Contohnya alih-alih menjelaskan kebijakan ekonomi secara mendetail, seorang politisi mungkin hanya mengatakan, "Saya akan menciptakan lapangan kerja untuk semua orang," tanpa merinci bagaimana mereka akan melakukannya.

 

Retorika emosional sering kali memanfaatkan isu-isu yang bisa memicu perasaan seperti ketakutan, harapan, kemarahan, atau kebanggaan. Dengan menggugah emosi, politisi dapat menggerakkan orang untuk bertindak, baik dalam bentuk dukungan, protes, atau partisipasi aktif dalam pemilu. Menggunakan isu seperti imigrasi, keamanan nasional, atau korupsi untuk membangkitkan rasa takut atau marah terhadap kelompok tertentu atau pemerintah yang sedang berkuasa.

 

Isu-isu yang kompleks sering kali disederhanakan dalam retorika politik agar lebih mudah dipahami oleh khalayak luas. Penyederhanaan ini bisa mengarah pada solusi yang tampak sederhana tetapi tidak realistis atau tidak mencakup seluruh aspek dari permasalahan. Seorang politisi mungkin berkata, "Korupsi bisa diberantas dengan satu aturan tegas," tanpa menjelaskan langkah-langkah konkret yang lebih kompleks yang diperlukan untuk reformasi institusi.

 

Politisi sering menggunakan simbol atau metafora untuk menyampaikan pesan mereka secara emosional dan visual. Ini dapat membuat pesan mereka lebih kuat dan mudah diingat oleh audiens. Metafora seperti "pemberontakan rakyat" atau "perang melawan kemiskinan" mengandung kekuatan emosional yang bisa memobilisasi dukungan, meskipun sering kali tanpa penjelasan rinci tentang strategi nyata.

 

Politisi yang menggunakan retorika emosional sering membingkai pesan mereka dalam istilah "kami" dan "mereka" untuk membangun rasa kebersamaan dan identitas kolektif di kalangan pendukung mereka, sering dengan memecah kelompok lain sebagai lawan atau musuh bersama. "Kami, rakyat biasa, melawan elit yang korup!" Ini menciptakan perasaan solidaritas di antara para pendukung.

 

Meskipun efektif, retorika sederhana dan emosional bisa berbahaya ketika digunakan untuk memanipulasi publik atau memecah belah masyarakat. Ketika retorika hanya berfokus pada emosi dan mengabaikan fakta atau solusi nyata, ia bisa menyesatkan dan menghambat dialog yang sehat dalam demokrasi.

 

Serangan verbal kepada lawan politik dalam demokrasi adalah taktik retorika di mana politisi secara sengaja menggunakan kata-kata yang tajam, merendahkan, atau menghina untuk mendiskreditkan atau melemahkan kredibilitas lawan mereka. Akun fufufafa yang akhir-akhir ini mencuat adalah contoh paling jelas bagaimana retorika murahan digunakan untuk melakukan penyerangan verbal kepada lawan politik. Entah milik siapa akun busuk itu, yang pasti menyerang para pejabat tinggi di negeri ini atau partai-partai lawan.

 

Serangan verbal sering kali berbentuk ad hominem, yaitu ketika politisi menyerang karakter pribadi lawannya alih-alih argumen atau kebijakan yang diajukan. Ini bisa berupa penghinaan langsung, pencemaran nama baik, atau insinuasi tentang moralitas atau integritas lawan. Mengatakan bahwa lawan politik adalah "pembohong" atau "pengkhianat" tanpa memberikan bukti konkret, hanya untuk melemahkan reputasinya di depan publik. Bahkan apa yang ditulis oleh akun fufufafa lebih tak bermutu dan tak bermoral lagi.

 

Serangan verbal juga sering kali mengkategorikan lawan politik sebagai "musuh rakyat" atau sebagai bagian dari elit yang korup dan tidak peduli pada kesejahteraan umum. Ini adalah upaya untuk memisahkan lawan dari dukungan rakyat dengan menggambarkan mereka sebagai pihak yang tidak relevan atau bahkan berbahaya.

 

Dalam serangan verbal, politisi mungkin menggunakan taktik menakut-nakuti dengan menggambarkan lawan politik mereka sebagai ancaman besar terhadap masa depan negara. Ini bisa melibatkan klaim berlebihan tentang bagaimana kebijakan lawan akan merusak keamanan, ekonomi, atau nilai-nilai sosial masyarakat.

 

Politisi kerap memberi label atau julukan merendahkan kepada lawan mereka, yang dapat dengan mudah diingat oleh publik dan terus digunakan untuk menyindir atau merendahkan lawan. Julukan semacam ini berfungsi untuk menyederhanakan kompleksitas perdebatan politik menjadi sesuatu yang bisa dijadikan olok-olok.

 

Serangan verbal bisa melibatkan penyebaran informasi yang salah atau menyesatkan untuk menjatuhkan lawan. Ini sering dilakukan melalui media sosial atau pidato publik di mana fakta-fakta diputarbalikkan atau diambil di luar konteks untuk membuat lawan tampak tidak kompeten atau tidak jujur.

 

Serangan verbal kepada lawan politik sering kali dirancang untuk membangkitkan emosi masyarakat, seperti kemarahan atau rasa takut, sehingga memobilisasi massa untuk menentang lawan tersebut. Taktik ini bisa memperdalam perpecahan dan memperburuk polarisasi dalam masyarakat.

 

Penting untuk membedakan antara serangan personal dan kritik kebijakan. Kritik kebijakan adalah bagian sehat dari debat politik di mana politisi mempertanyakan atau menantang ide-ide atau tindakan lawan mereka berdasarkan argumen logis. Namun, serangan verbal biasanya melibatkan serangan pribadi yang tidak berhubungan dengan kebijakan, tetapi lebih pada karakter, kehidupan pribadi, atau penampilan fisik.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 12/09/24 : 16.15 WIB)

 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Categories