Oleh : Ahmad Sastra
Epistemologi politik yang berkembang di negeri ini sangat dipengaruhi oleh paham machiavelisme, sehingga ketika umat Islam berpolitik, banyak yang kemudian salah paham dan pahamnya salah yang berakhir pada perpecahan umat akibat sikap pragmatisme dan transaksional serta disorientasi.
Prinsip politik Machiavelli, yang diambil dari karya utamanya "Il Principe" (Sang Pangeran), sering dihubungkan dengan pandangan realis dan pragmatis tentang kekuasaan dan politik. Niccolò Machiavelli, seorang pemikir politik dari Italia pada abad ke-16, mengemukakan beberapa prinsip utama yang telah mempengaruhi cara pandang politik hingga kini.
Machiavelli menekankan pentingnya menghadapi politik dengan realisme, bukan idealisme. Menurutnya, seorang pemimpin harus memahami dunia sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya. Politik harus dijalankan berdasarkan realitas yang ada, termasuk mengenali dan mengelola kekuatan, kelemahan, dan ancaman. Dengan prinsip ini, maka seorang politikus muslim tidak memiliki orientasi keislaman dalam berpolitik. Ini kesalahan pertama.
Menurut Machiavelli, kekuasaan adalah inti dari politik, dan seorang pemimpin harus siap melakukan apa saja untuk mendapatkan dan mempertahankannya. Ini termasuk menggunakan kekuatan, manipulasi, dan strategi licik jika diperlukan. Dia berpendapat bahwa tujuan (mempertahankan negara) sering kali dapat membenarkan cara-cara yang digunakan (permisivisme). Jika muslim berpolitik menggunakan cara ini, maka yang terjadi adalah permusuhan diantara sesama muslim gegara berebut harta dan tahta. Ini kesalahan kedua.
Salah satu prinsip paling kontroversial dari Machiavelli adalah pandangannya bahwa pemimpin tidak harus selalu bertindak sesuai dengan moralitas tradisional, apalagi moralitas agama. Dia berargumen bahwa pemimpin yang terlalu terikat pada moralitas ideal bisa kehilangan kekuasaan. Sebaliknya, pemimpin harus bersedia melanggar prinsip moral jika itu diperlukan untuk kebaikan negara. Itulah mengapa banyak muslim yang menggunakan cara ini, menggunakan cara-cara amoral dalam berpolitik, seperti menipu, korupsi, suap-menyuap, dan fitnah bahkan hingga menyingkirkan lawan politik. Ini kesalahan ketiga.
Machiavelli memperkenalkan konsep "virtù," yang mengacu pada kualitas seorang pemimpin seperti kecerdasan, keberanian, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi. "Fortuna" mengacu pada keberuntungan atau nasib. Menurutnya, seorang pemimpin yang hebat adalah mereka yang bisa mengendalikan nasibnya dengan memanfaatkan virtù untuk mengatasi perubahan dan tantangan. Hal ini bisa berakibat memanfaatkan apa saja yang dia mau untuk mempertahankan kekuasaan bagi politisi muslim, meski harus melanggar prinsip-prinsip agama. Ini kesalahan keempat.
Machiavelli menekankan bahwa penampilan seringkali lebih penting daripada kenyataan dalam politik. Pemimpin harus terlihat kuat, tegas, dan bijaksana di mata rakyatnya, bahkan jika di balik layar mereka harus bertindak licik atau kejam. Publikasi citra yang positif bisa menjadi alat penting dalam mempertahankan kekuasaan. Inilah mengapa marak pencitraan dan gimik hanya untuk menarik simpati, padahal aslinya jahat dan licik. Jika muslim demikian, maka ini kesalahan keempat.
Machiavelli tidak mendukung kekejaman yang sembarangan, tetapi dia mengakui bahwa terkadang kekejaman yang terukur dan tepat sasaran dapat diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan dan ketertiban. Kekejaman harus diterapkan secara strategis untuk mencapai stabilitas politik dan mencegah lebih banyak kekacauan. Apakah ada politisi muslim yang kejam, tentu saja banyak, karena dipengaruhi paham Machiavelli ini. Ini kesalahan kelima.
Memecah belah dan menguasai (divide et impera) juga merupakan ajaran Machiavelli dalam berpolitik. Salah satu strategi yang dikenal dalam politik Machiavelli adalah memecah kekuatan lawan atau rakyat agar lebih mudah dikuasai. Dengan mencegah musuh-musuhnya bersatu, seorang pemimpin dapat mengontrol situasi dengan lebih efektif. Itulah mengapa kaum muslimin di negeri ini terpecah belah gegara percaturan politik. Ini kesalahan keenam.
Menganggap bahwa politik tidak hanya ada dalam dua kutub yang berlawanan (misalnya kiri dan kanan) tanpa memahami nuansa dan kompleksitas yang ada di antaranya. Prinsip ini memberikan jalan kompromi diantara partai politik, meskipun secara ideologi berbeda, sebab dipertemukan oleh kepentingan pragmatis yang sama. Hal ini sangat berbahaya bagi politisi muslim, karena Allah melarang mencampur aduk antara yang haq dan bathil. Berkompromi dengan kebatilan dalam berpolitik adalah kesalahan ketujuh.
Mengaitkan isu politik dengan individu tertentu dan bukan dengan kebijakan atau ideologi. Misalnya, mendukung atau menolak suatu kebijakan hanya karena afiliasi politik tokoh yang mengusulkannya, bukan berdasarkan manfaat atau dampaknya adalah sebuah kesalahan. Sebab politik hanya fokus kepada figuritas, bukan sistem dan ideologi. Ini berbahaya, sebab jika figus yang dijadikan pertimbangan, maka bisa jadi hari ini didukung, besuk dihina. Ini kesalahan kedelapan.
Membuat generalisasi berlebihan tentang kelompok politik tertentu berdasarkan tindakan beberapa anggotanya. Ini bisa memicu stereotip dan kesalahpahaman yang memperburuk perpecahan. Mestinya partai itu dilihat dari sisi ideologi yang diembannya, bukan semata dari perilaku anggotanya. Jika ada muslim bermaksiat, bukan berarti Islamnya yang salah. Generasisasi inilah yang sering memicu perpecahan umat makin menajam. Ini kesalahan kesembilan.
Setiap negara memiliki sistem politik yang berbeda. Kesalahan terjadi ketika seorang politikus muslim bergabung dengan sistem bathil yang diharamkan Allah dengan alas an jika masuk sistem bisa mencari celah untuk dakwah. Hal seperti ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Rasulullah menolak bergabung di parlemen kafir Quraisy dan dan mambangun peradaban Islam sendiri di madinah. Jadi jika ada partai Islam justru berbaur dengan sistem jahiliyah demorkasi sekuler, maka ini adalah kesalahan fatal kesepuluh dalam berpolitik. Politik hanya dipandang sebagai mekanisme kompromi dan consensus belaka demi kepentingan prahmatis.
Mestinya politikus muslim memahami betul bagiamana Islam mengajarkan politik, sebagaimana tertera dalam Al-Qur'an, Hadis, dan praktik para sahabat Nabi Muhammad. Dalam Islam, kedaulatan tertinggi adalah milik Allah. Semua hukum dan keputusan politik harus merujuk pada hukum-hukum Allah yang termaktub dalam Al-Qur'an dan Hadis. Prinsip ini menekankan bahwa manusia tidak berdaulat mutlak, tetapi harus tunduk pada kehendak dan perintah Allah.
Politik dalam Islam adalah kepengurusan rakyat dengan landasan syariah Islam untuk mewujudkan keadilan. Keadilan merupakan salah satu nilai utama dalam politik Islam. Pemerintah dan pemimpin harus bertindak adil kepada semua orang tanpa memandang status sosial, agama, atau etnis. Keadilan dalam Islam mencakup aspek sosial, ekonomi, dan hukum. Keadilan adalah disaat seluruh hukum didasarkan oleh syariat Islam dalam menjalankan pemerintahan, sebab Allah adalah sumber keadilan.
Musyawarah atau konsultasi adalah prinsip penting dalam pengambilan keputusan politik. Pemimpin diharapkan untuk berkonsultasi dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan dan hikmah sebelum membuat keputusan yang dihukumi mubah. Ini mencerminkan pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses politik dalam Islam. Sementara hukum yang sudah jelas dari Allah, maka tinggal dilaksanakan saja.
Pemimpin dalam Islam (khalifah) adalah amanah (titipan) dari Allah dan masyarakat. Mereka harus bertindak dengan jujur, transparan, dan bertanggung jawab atas tindakan mereka karena harus dipertanggungjawabkan dunia akhirat. Akuntabilitas adalah kunci dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin dengan menjaga sikap sidiq amanah, tabligh dan fathonah. Pemimpin dalam Islam juga harus muslim, laki-laki, berakal, baligh, mampu, dan adil.
Islam menekankan kesetaraan semua manusia di hadapan Allah. Dalam konteks politik, ini berarti semua warga negara harus diperlakukan sama dan tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, suku, atau status sosial. Persaudaraan dan solidaritas sesama muslim juga menjadi landasan dalam membangun komunitas yang kuat. Karena itu dalam politik Islam mesti ada penerapan syariah, terwujudkanya ukhuwah dan berjalannya dakwah dalam naungan daulah bernama khilafah.
Politik dalam Islam harus diarahkan untuk mencapai kesejahteraan umum dan mencegah kerusakan (mafsadah). Kebijakan yang diambil harus selalu mempertimbangkan hukum syariah (maqosid syariah) yang lebih besar bagi umat dan mencegah hal-hal yang merugikan mereka.
Dalam Islam, politik memiliki makna yang lebih luas dan mendalam dibandingkan dengan pengertian politik dalam konteks sekuler. Politik dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan kekuasaan atau pemerintahan, tetapi juga mencakup pengelolaan kehidupan manusia sesuai dengan ajaran Islam.
Kata "siyasah" dalam bahasa Arab, yang sering diterjemahkan sebagai politik, pada dasarnya berarti "pengelolaan" atau "pengurusan." Dalam Islam, politik adalah pengelolaan urusan publik sesuai dengan hukum-hukum Allah. Ini mencakup segala aspek kehidupan, termasuk pemerintahan, ekonomi, hukum, dan hubungan sosial.
Politik dalam Islam bertujuan untuk menerapkan hukum-hukum Allah (syariah) dalam kehidupan individu dan masyarakat. Syariah menjadi pedoman utama dalam pengambilan keputusan politik dan pengaturan masyarakat, dengan tujuan utama untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan bagi semua.
Dalam Islam, pemerintahan dan kegiatan politik dilihat sebagai bentuk ibadah jika dilakukan sesuai dengan syariat. Mengatur urusan umat dengan adil dan menjaga kemaslahatan umum adalah bagian dari pengabdian kepada Allah dan merupakan tanggung jawab yang besar. Politik Islam juga menekankan pentingnya persatuan dan solidaritas di antara umat Islam. Perpecahan dan konflik dianggap merusak tatanan sosial dan menghalangi tercapainya tujuan-tujuan syariah.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 03/09/24 : 12.16 WIB)