MENYOAL RUNNING TEXT AZAN : DARI INKONSISTENSI, INTOLERANSI SAMPAI DISKRIMINASI

Oleh : Ahmad Sastra

 

Sehubungan dengan adanya surat permohonan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika tentang peniadaan siaran azan maghrib dan diubah menjadi running text saat Misa bersama Paus Fransiskus. Surat permohonan ini didasarkan oleh surat Panitia Kunjungan Paus Fransiskus Nomor 350/PAN-EXTKP/VIII/2024 (terlampir) tanggal 9 Agustus 2024 dan Surat Kementerian Agama No B-86/DJ.V/BA.03/09/2024 tentang permohonan penyiaran azan Maghrib dan Misa bersama Paus Fransiskus.

 

Kata azan sendiri berasal dari kata ażina yang berarti "mendengar" atau "diberitahukan". Kata lainnya yang diturunkan dari ażina adalah użun , berarti "telinga" dengan kata lain disebut azan itu jika disuarakan untuk bisa didengarkan sebagai tanda panggilan pelaksanaan sholat bagi umat Islam. Begitulah seharusnya azan dilakukan dan hal ini sudah dilakukan sejak zaman Rasulullah, bukan dengan running text.

 

Azan merupakan panggilan pertama yang diperdengarkan dari masjid setiap salat lima waktu, dan dahulu dari menara masjid, sebelum diperkenalkannya pengeras suara. Panggilan kedua setelah azan dinamakan iqamah digunakan untuk memberitahu makmum bahwa ibadah salat akan segera dimulai. Hanya di Turki, ezan diperdengarkan dengan lima macam gaya berbeda pada tiap periode; saba, uÅŸÅŸak, hicaz, rast, segah.

 

Posisi Paus sebagai tamu dan Indonesia sebagai tuan rumah mestinya tidak ada yang merasa dirugikan atau dilecehkan. Antara tamu dan tuan rumah hendaknya saling memahami diantara keduanya. Perubahan azan menjadi running text saat acara misa adalah bentuk lain dari sikap intoleransi dan diskriminasi yang justru sering disuarakan oleh pemerintah.

 

Karena itu, masyarakat muslim harus mengutuk keras atas rencana mengubah siaran azan menjadi running text saat misa paus, sebab sikap ini bertentangan dengan undang-undang tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan serta bertentangan dengan syariah Islam tentang makna dan amalan azan.

 

Rencana perubahan siaran azan menjadi running text adalah sikap intoleransi dan diskriminasi atas ritual ibadah kaum muslimin. Lebih dari itu, perubahan siaran menjadi running text juga merupakan penyimpangan ajaran agama Islam karena telah mengubah tata cara pelaksanaan azan yang diatur dalam fikih Islam sebagai bagian dari ibadah. Penyimpangan ajaran Islam yang didasarkan oleh keputusan pemerintah, maka berpotensi sebagai tindakan penistaan ajaran agama.

 

Hingga saat ini, penghinaan terhadap agama di Indonesia masih mengacu pada Pasal 156a KUHP di atas. Tidak hanya itu, KUHP juga mengatur pasal-pasal yang masih berkaitan tentang delik terhadap kehidupan beragama sebagaimana diatur dalam Pasal 175, Pasal 176, Pasal 177, dan Pasal 503 KUHP. Sementara itu, dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu tahun 2026, terdapat beberapa pasal yang dapat menjerat pelaku penistaan agama, salah satunya diatur dalam Pasal 304 UU 1/2023.

 

Mengubah siaran azan menjadi informasi vis running text bertentangan dengan dasar negara yang berketuhanan Yang Maha Esa  pasal 29 ayat (1) yang berbunyi  "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa." dan ayat ayat (2) yang berbunyi "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."

 

Menyuarakan azan adalah bentuk kebebasan dan hak asasi manusia yang telah dijamin oleh konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia pasal Pasal 28E, Ayat (1) yang berbunyi "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali." dan ayat (2) yang berbunyi "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya."

 

Karena itu baiknya pemerintah memiliki kepekaan yang baik soal-soal agama yang memang sensitif ini. Mengapa pemerintah selalu memantik kegaduhan, sementara mereka selalu meneriakkan kedamaian. Sudah seharusnya kementerian Komunikasi dan informatika dan Kementerian Agama agar segera mencabut surat permohonan yang akan menimbulkan kegaduhan baru tersebut. Seluruh televisi nasional agar tetap menayangkan siaran azan sebagaimana biasanya.

 

Kementerian agama telah melakukan sikap inkonsistensi, sebab disatu sisi menghimbau dialog antariman dan toleransi, namun disisi lain justru bertindak intoleransi dan berpotensi menyakiti perasaan umat Islam karena ritual ibadahnya justru diubah hanya karena acara ritual agama lain. Apakah kementerian agama belum memahami arti toleransi ?.

 

Narasi toleransi dan radikalisme adalah wacana Barat untuk mendekonstruksi Islam dan menjebak kaum muslimin. Menjelang hari Natal misalnya, umat Islam diarahkan untuk ikut merayakannya, padahal jelas hukumnya haram. Bahkan ada beberapa sekte kristen seperti Saksi Yahuwa, Adventis [GMHK] dan Mormon tidak merayakan Natal karena dianggap bid'ah ajaran kafir, sebab diyakini tanggal 25 Desember adalah kelahiran dewa matahari, bukan kehaliran Yesus.

 

Problem epistemologis inilah yang kini sedang dikembangkan di negeri ini. Kata toleransi oleh Barat dimaknai sebagai paham pluralisme yang oleh fatwa MUI 2005 telah dinyatakan haram. Sebab pluralisme adalah paham yang mengakui kebenaran setiap agama. Konsep pluralisme Barat  memiliki dimensi teologis, sementara dalam Islam pluralitas itu berdimensi sosiologis.  Sebab Islam melarang kaum muslimin untuk mencampur aduk kebenaran dan kebatilan. Karena itu haram hukumnya mengucapkan salam pluralisme yang menyebutkan ucapan salam agama-agama secara bersamaan.

 

Barat tak henti-hentinya melakukan berbagai propaganda untuk menyerang Islam. Tujuannya adalah agar kaum Muslim tanpa sadar mengikuti arus yang sedang mereka konstruk. Salah satunya adalah wacana toleransi dan radikalisme sebagai alat untuk menstigmatisasi dan reduksi nilai Islam. Narasi toleransi yang dibangun Barat berdasarkan asas demokrasi dan HAM telah berhasil menjerat kaum Muslim pada pemahaman yang salah salah-kaprah. Kaum Muslim akan dikatakan sebagai orang toleran jika mau melakukan apa yang diwacanakan Barat. Sebaliknya, jika tak sejalan dengan mereka, lantas dikatakan sebaliknya: intoleran atau radikal.

 

Islam mengajarkan toleransi pada ranah pluralitas sosiologis dalam pengertian bahwa fakta sosiologis memang beragam, baik suku, ras dan khususnya agama. Berbagai agama yang diakui di negeri ini oleh Islam dibiarkan, bukan diganggu, begitupun semestinya agama lain membiarkan ritual yang dilakukan oleh Islam. Tidak boleh ada intervensi atas ajaran agama lain, apalagi mengganggunya. Masing-masing agama melaksanakan ibadah dan keyakinan, tidak perlu melakukan ibadah bersama, kebablasan namanya.

 

Paradigma toleransi dalam Islam adalah konsepsi paling sempurna, sebagaimana firman Allah : Katakanlah (Muhammad), Wahai orang-orang kafir! (1) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah (2) Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah (3) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah (4) Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah (5) Untukmu agamamu, dan untukku agamaku (6) (QS Al Kafirun : 1-6)


Melansir dari tafsir Al Quran Kementerian Agama (Kemenag), isi kandungan lengkap surat Al Kafirun ayat 1-6 dapat dirangkum menjadi tiga poin bahasan utama di dalamnya. Berikut poin-poin inti dari surat ini : Allah hendak menjelaskan bahwa terdapat perbedaan besar antara sifat-sifat Tuhan yang disembah oleh umatnya Nabi Muhammad SAW dan Tuhan yang disembah oleh orang-orang kafir.

 

Sebab Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa dan tidak beranak maupun diperanakkan. Berkaitan dengan perbedaan sifat Tuhan dari keduanya, hal ini pun menjelaskan bahwa adanya perbedaan dalam bentuk pelaksanaan ibadah. Melalui surat Al Kafirun, Allah SWT menekankan perihal toleransi antar umat beragama. Hal ini dilakukan melalui pengerjaan ibadah sesuai dengan ketentuan agama masing-masing tanpa mencampur adukkan urusan keduanya.

 

Mencampur aduk aqidah dan keyakinan agama atas nama toleransi adalah paham pluralisme yang telah diharamkan MUI. Tolerasi berpaham pluralisme dipengaruhi oleh paham bahwa semua agama sama. Padahal faktanya semua agama itu berbeda-beda, baik soal konsepsi tentang Tuhan, maupun tata cara beribadatannya. Pluralisme adalah sesat logika, sebab yang sudah jelas berbeda tapi dianggap sama, bahkan kadang dipaksakan oleh negara yang akhirnya menjerumuskan umat Islam pada paradigma toleransi yang menyesatkan.

 

Kalimat, untukmu agamamu, dan untukku agamaku dalam QS Al kafirun ayat 6 adalah paradigma paling tepat untuk memaknai toleransi. Makna ayat ini bahwa toleransi adalah masalah pluralitas sosiologis, bukan pluralisme teologis. Toleransi itu membiarkan peribadatan agama lain, bukan merayakan ibadah agama lain secara bersama-sama. Doa lintas agama juga merupakan praktek pluralisme teologis yang menyesatkan. Perayaan natal bersama dengan umat Islam juga merupakan pluralisme teologis yang diharamkan. Mengucapkan selamat hari raya kepada agama lain dalam arti menyakini kebenaran agama lain juga diharamkan dalam Islam.

 

Hal diatas sejalan dengan firman Allah : Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran [3]: 85). Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.... (QS. Ali Imran [3]: 19). Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku". (QS. al-Kafirun [109] : 6). Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan  yang mu'min, apabila Allah dan Rasul- Nya telah menetapkan suatu ketetapan,  akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)  tentang urusan mereka. Dan barangsiapa  mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka  sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. al-Ahzab [33]: 36).

 

Toleransi yang mendasarkan kepada pluralisme teologis jelas sesat dan menyesatkan. Menurut M Shiddiq Al Jawi setidaknya ada empat hal yang bisa dijadikan kritik atas pemikiran pluralisme agama ini. Pertama, aspek normatif. Secara normatif, yaitu dari kacamata Aqidah Islamiyah, pluralisme agama bertentangan secara total dengan Aqidah Islamiyah.

 

Sebab pluralisme agama menyatakan bahwa semua agama adalah benar. Jadi, Islam benar, Kristen benar, Yahudi benar, dan semua agama apa pun juga adalah sama-sama benar. Ini menurut Pluralisme. Adapun menurut Islam, hanya Islam yang benar (Qs. Ali-Imran [3]: 19), agama selain Islam adalah tidak benar dan tidak diterima oleh Allah SWT (Qs. Ali-Imran [3]: 85).

 

Kedua, aspek orisinalitas. Asal-usul paham pluralisme bukanlah dari umat Islam, tapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok. Misalnya pada 1527, di Paris terjadi peristiwa yang disebut The St Bartholomeus Day's Massacre. Pada suatu malam di tahun itu, sebanyak 10.000 jiwa orang Protestan dibantai oleh orang Katolik.

 

Peristiwa mengerikan semacam inilah yang lalu mengilhami revisi teologi Katolik dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Semula diyakini bahwa extra ecclesiam nulla salus (outside the church no salvation), tak ada keselamatan di luar gereja. Lalu diubah, bahwa kebenaran dan keselamatan itu bisa saja ada di luar gereja (di luar agama Katolik/Protestan). Jadi, paham pluralisme agama ini tidak memiliki akar sosio historis yang genuine dalam sejarah dan tradisi Islam, tapi diimpor dari setting sosiohistoris kaum Kristen di Eropa dan AS.

 

Ketiga, aspek inkonsistensi gereja. Andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentunya gereja harus menganggap agama Islam juga benar, tidak hanya agama Kristen saja yang benar. Tapi, fakta menunjukkan bahwa gereja tidak konsisten. Buktinya, gereja terus saja melakukan kristenisasi yang menurut mereka guna menyelamatkan domba-domba yang sesat (baca: umat Islam) yang belum pernah mendengar kabar gembira dari Tuhan Yesus. Kalau agama Islam benar, mengapa kritenisasi terus saja berlangsung? Ini artinya, pihak Kristen sendiri tidak konsisten dalam menjalankan keputusan Konsili Vatikan II tersebut.

 

Keempat, aspek politis. Secara politis, wacana pluralisme agama dilancarkan di tengah dominasi kapitalisme yang Kristen, atas Dunia Islam. Maka dari itu, arah atau sasaran pluralisme patut dicurigai dan dipertanyakan, kalau pluralisme tujuannya adalah untuk menumbuhkan hidup berdampingan secara damai (peacefull co-existence), toleransi, dan hormat menghormati antar umat beragama. Menurut Amnesti Internasional, AS adalah pelanggar HAM terbesar di dunia. Sejak Maret 2003 ketika AS menginvasi Irak, sudah 100.000 jiwa umat Islam yang dibunuh oleh AS.

 

Oleh karena itu, umat Islam harus semakin memahami ajaran agamanya sendiri, terutama soal akidah. Jangan sampai terseret kepada kemusyrikan yang dipropagandakan Barat dengan program pluralisme agama, terutama menjelang perayaan natal tahun ini. Umat Islam membiarkan umat nasrani merayakan hari besarnya, tidak mengganggunya, tidak ikut merayakan dan tidak juga mengucapkan hari rayanya, itulah toleransi yang benar. Umat Islam harus bisa membedakan antara toleransi dalam arti pluralitas sosiologis dengan pluralisme teologis, sebab keduanya berbeda, yang satu dibolehkan, sementara yang kedua diharamkan.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 04/09/24 : 08.50 WIB)

 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Categories