MENYOAL PARADIGMA TOLERANSI YANG MENABRAK BATAS AQIDAH ISLAM


 

Oleh : Ahmad Sastra  

 

Paradigma dalam disiplin intelektual memiliki arti cara pandang (worldview) orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual. 

 

Paradigma atau worldview biasanya digunakan kaum intelektual untuk membaca pandangan alam yang lain. Misalnya seorang muslim, dengan paradigma Islam dipakai untuk melakukan pembacaan atas isme-isme yang bertentanganan dengan Islam. Sebagai contoh adalah ketika paradigma Islam digunakan untuk membaca paham sekulerisme, liberalisme dan pluralisme agama, maka ketiganya adalah paham sesat dan haram hukumnya. 

 

Misalnya saat MUI menggunakan paradigma QS. Ali Imran [3]: 85 dan QS. Ali Imran [3]: 19) dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/Munas VII/MUI/11/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama dalam Musyawarah Nasional  MUI VII, Pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa ketiga paham di atas haram hukumnya. 

 

Kritik paradigmatik maknanya dalam tulisan ini maknanya paradigma Islam dijadikan sebagai timbangan pembacaan atas sebuah cara pandang atas realitas dengan paham tertentu. Dalam hal ini paradigma Islam akan dijadikan sebagai alat baca atas paradigma toleransi yang berkembang di tengah masyarakat. Toleransi dengan paradigma sekuler liberal sering kali justru bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini sering terjadi disaat perayaan natal atau agama-agama lainnya.  

 

Narasi toleransi dan radikalisme adalah wacana Barat untuk mendekonstruksi Islam dan menjebak kaum muslimin. Menjelang hari Natal misalnya, umat Islam diarahkan untuk ikut merayakannya, padahal jelas hukumnya haram. Bahkan ada beberapa sekte kristen seperti Saksi Yahuwa, Adventis [GMHK] dan Mormon tidak merayakan Natal karena dianggap bid'ah ajaran kafir, sebab diyakini tanggal 25 Desember adalah kelahiran dewa matahari, bukan kehaliran Yesus.

 

Problem epistemologis inilah yang kini sedang dikembangkan di negeri ini. Kata toleransi oleh Barat dimaknai sebagai paham pluralisme yang oleh fatwa MUI 2005 telah dinyatakan haram. Sebab pluralisme adalah paham yang mengakui kebenaran setiap agama. Konsep pluralisme Barat  memiliki dimensi teologis, sementara dalam Islam pluralitas itu berdimensi sosiologis.  Sebab Islam melarang kaum muslimin untuk mencampur aduk kebenaran dan kebatilan. Karena itu haram hukumnya mengucapkan salam pluralisme yang menyebutkan ucapan salam agama-agama secara bersamaan.

 

Barat tak henti-hentinya melakukan berbagai propaganda untuk menyerang Islam. Tujuannya adalah agar kaum Muslim tanpa sadar mengikuti arus yang sedang mereka konstruk. Salah satunya adalah wacana toleransi dan radikalisme sebagai alat untuk menstigmatisasi dan reduksi nilai Islam.

 

Narasi toleransi yang dibangun Barat berdasarkan asas demokrasi dan HAM telah berhasil menjerat kaum Muslim pada pemahaman yang salah salah-kaprah. Kaum Muslim akan dikatakan sebagai orang toleran jika mau melakukan apa yang diwacanakan Barat. Sebaliknya, jika tak sejalan dengan mereka, lantas dikatakan sebaliknya: intoleran atau radikal.

 

Karena itu, penyambutan yang dinilai berlebihan atas kehadiran Paus Fransiskus ke Indonesia menulai polemik di tengah kaum muslimin. Pasalnya serangkaian prosesi penyambutan yang dinarasikan sebagai misi perdamaian, kemanusiaan dan toleransi telah kebablasan dan menabrak batas-batas aqidah Islam.

 

Ironisnya, hal ini justru dilakukan oleh tokoh muslim yang semestinya menjadi panutan bagi umat Islam. Apakah jika ada umat Islam tak setuju dengan prosesi itu lantas disebut sebagai kaum radikal juga ?

 

Indonesia menjadi negara pertama yang dikunjungi Paus Fransiskus dalam rangkaian kunjungannya di Asia-Pasifik. Ia berikutnya melawat ke Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura. Kedatangan Paus ke Indonesia merupakan kunjungan yang pertama dalam 35 tahun setelah kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada 1989 silam.

 

Polemik itu berawal dari surat yang dilayangkan oleh panitia kunjungan Paus Fransiskus tertanggal 9 Agustus 2024 kepada Kementerian Agama terkait permohonan dukungan kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia 3-6 September 2024. Sebagai tindak lanjut, Kementerian Agama bersurat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tertanggal 1 September 2024 perihal Permohonan Penyiaran Azan Magrib dan Misa bersama Paus Fransiskus.

 

Isi surat yang ditandatangani oleh Dirjen Bimas Islam dan Katolik itu diantaranya berisi,  pertama, saran agar Misa bersama Paus Fransiskus pada Kamis 5 September 2024 disiarkan secara langsung pada pukul 17.00 WIB – 19.00 WIB di seluruh televisi nasional. Kedua, agar penanda waktu maghrib ditunjukkan dalam bentuk running text sehingga misa bisa diikuti secara utuh oleh umat Katolik di Indonesia.

 

Selain sikap kontroversial Imam Besar Masjid Istiqlal yang mencium kening Paus Fransiskus sebagai bentuk penghormatan, ada juga agenda pembacaan Injil dan Al Qur'an. Lantunan ayat Al-Quran dan Injil menyambut kedatangan Pemimpin Gereja Katolik Dunia sekaligus Kepala Negara Vatikan, Paus Fransiskus, di Masjid Istiqlal Jakarta itu dilakukan oleh seorang muslimah difabel. Ia melantunkan Surat Al-Baqarah Ayat 62 dan Surat Al Hujurat Ayat 13.

 

Dalam kesempatan bersama Paus Fransiskus juga dilakukan penandatanganan dokumen kemanusiaan dengan tujuan untuk menguatkan opini seputar toleransi umat beragama di negeri ini. Namun, serangkaian prosesi penyambutan Paus ini justru telah dinilai sebagai gagal paham toleransi karena telah mengarah pada paham sinkretisme,  pluralisme, dan humanisme beragama.

 

Secara etimologis, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertian sinkretisme menurut istilah, adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang berbeda dan bertentangan. Sinkretisme beragama dalam arti mencampuraduk yang haq dan yang batil terlarang dalam Islam.

 

Larangan sinkretisme beragama ditegaskan dalam firman Allah : Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui (QS Al Baqarah : 42).

 

Sementara pluralisme agama yang telah difatwakan haram oleh Munas VII MUI tahun 2005 adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

 

Setidaknya ada empat hal yang bisa dijadikan kritik atas pemikiran pluralisme agama ini. Pertama, aspek normatif. Secara normatif, yaitu dari kacamata Aqidah Islamiyah, pluralisme agama bertentangan secara total dengan Aqidah Islamiyah, karena bertentangan dengan QS Ali Imran : 19 dan Ali Imran : 85 berikut :  

 

Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS Ali Imran : 19).  Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS Ali Imran : 85).

 

Kedua, aspek orisinalitas. Asal-usul paham pluralisme bukanlah dari umat Islam, tapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok. Ketiga, aspek inkonsistensi gereja. Andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentunya gereja harus menganggap agama Islam juga benar, tidak hanya agama Kristen saja yang benar, sehingga tidak melakukan misi kristenisasi kepada umat Islam. Keempat, aspek politis. Secara politis, wacana pluralisme agama dilancarkan di tengah dominasi kapitalisme yang Kristen, atas Dunia Islam. Maka dari itu, arah atau sasaran pluralisme patut dicurigai membawa misi imperialisme.

 

Sementara, paham humanisme muncul pada era Renaissance di Eropa, ketika banyak pemikir, seperti Petrarch, Erasmus, dan Pico della Mirandola, mulai memusatkan perhatian pada kebangkitan budaya klasik Yunani dan Romawi, serta menggali potensi manusia di luar dogma agama yang dominan saat itu. Sejak kelahirannya, paham humanisme ini justru ingin menghilangkan peran agama dalam kehidupan dengan menjadikan manusia pusat edar kehidupan dengan mengabaikan Tuhan dan agama.

 

Paham humanisme bertentangan dengan firman Allah : Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS Al An'am : 162).  

 

Terkait polemik ini, para tokoh umat, semestinya paham bahwa kebolehan kunjungan orang kafir ke dalam masjid menurut para ulama adalah untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslimin seperti menampakkan syiar dan dakwah Islam pada mereka. Bukan sebaliknya, justru mereka yang membawa misi kepada umat Islam. Sebab faktanya, agama Kristen sedang mengalami kebangkutan dengan semakin merosotnya jumlah penganutnya. Gereja di Eropa juga sedang menghadapi problem krusial karena adanya berbagai skandal pelecehan seksual dan korupsi di tubuh gereja, serta kebolehan pemberkatan LGBT oleh Paus Fransiskus.

 

Dilansir oleh Salam-Online.com, bahwa di salah satu kawasan paling putih di New York City, Gereja Episkopal St John  telah ditinggalkan selama hampir satu dekade karena terus kehilangan penganutnya. Kawasan Bay Ridge di Brooklyn itu mengalami penyusutan komunitas Kristen. Sementara jumlah komunitas Arab dan muslimnya makin menjamur. Pada tahun 2020, sekelompok Muslim berhasil mengumpulkan $2,6 juta, lalu membeli bangunan gereja tersebut dan mengubahnya menjadi masjid.

 

Rasulullah sebagai teladan kaum muslimin justru menampakkan syiar dan dakwah Islam kepada para pemimpin negara lain. Rasulullah mengirimkan utusan kepada Kaisar Romawi, Raja Persia, Raja Muqawqis Agung, Raja Qibti Mesir dan juga Raja Habasyah dengan surat yang berisi ajakan masuk Islam.

 

Inilah isi surat Rasulullah sangat tegas kepada para raja : Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasulullah kepada Raja Agung Persia, semoga keselamatan  atas siapa saja yang mengikuti jalan , dan beriman kepada Allah dan utusanNya, dan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah yang satu tiada sekutu, bahwa Muhammad adalah hamba dan RasulNya. Aku menyeru dengan seruan Allah, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada seluruh manusia, untuk memperingatkan orang yang hidup dan membenarkan perkataan kepada orang-orang kafir. Masuklah Islam, maka anda akan selamat. Jika anda mengabaikan seruan ini, bagi anda dosa orang-orang majusi. (Ath-Thabari, Tarikhul Umam wa Al Mulk (2/123), Al Khatib Al Baghdadi, Tarikh Baghdad (1/132). Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul Umal (11302).

 

Seorang muslim yang sengaja mengagungkan non muslim (apalagi pemimpin mereka), jika hal itu untuk tujuan duniawi (cari muka, cari harta, dll), maka dia berdosa dan fasik, wajib bertobat seketika. Namun, jika hal itu dia lakukan untuk meninggikan/mengangkat agama mereka (non muslim), maka dia murtad, diminta taubat tiga kali. Jika dia bertaubat (mata tidak dihukum mati, dan jika tidak maka dihukum mati. (Fath al 'Aly al Malik, 1/393)    

 

Konsep toleransi dalam Islam bukan mengarah kepada paham sinkretisme, pluralisme dan humanisme yang merusak aqidah, namun memberikan pembiaran dan tidak mengganggu ibadah dan kepercayaan agama lain. Hal ini digambarkan dengan jelas dalam firman Allah :

 

Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku". (QS Al Kafiruun : 1-6).

 

Konsep toleransi dalam Islam terwujud indah dalam peradaban Islam dibawah naungan sistem khilafah. Peradaban Islam sangat menghargai kemanusiaan dan menaungi umat dan bangsa. Khilafah Islam memberikan kesenangan berupa hak yang diberikan kepada siapa saja yang sampai kepadanya. Semua itu dikarenakan peradaban Islam tegak atas dasar bahwa manusia adalah hal penting dan paling mulia dari makhluk Allah.

 

Secara historis, praktek pertama toleransi antaragama yang didasarkan oleh firman Allah di atas telah dibangun dan dijalankan oleh Rasulullah SAW di Daulah Madinah Al Munawarah dengan sangat indah.  Toleransi antaragama dalam Islam juga terbangun indah di pada masa kekhilafahan Islam di Spanyol, dimana lebih dari 800 tahun pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen hidup berdampingan dengan tenang dan damai. Di India sepanjang kekhalifahan Bani Ummayah, Abbasiyah dan Ustmaniyah, muslim dan hindu hidup rukun selama ratusan tahun. Di Mesir umat Islam dan Kristen hidup rukun ratusan tahun sejak masa khulafaur Rasyidin.

 

Keindahan praktek toleransi dalam Islam sejalan dengan misi diutusnya Rasulullah kepada seluruh manusia untuk menebarkan rahmat, sebagaimana firmanNya : Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS Saba : 28). Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS Al Anbiya : 107).

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 14/09/24 : 07.40 WIB)

 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Categories