KPK TAKUT SIAPA ?


 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK membatalkan permintaan klarifikasi terhadap Kaesang Pangarep terkait dugaan gratifikasi penggunaan jet pribadi. Petinggi KPK memiliki pendapat berbeda terkait panggilan klarifikasi terhadap anak bungsu Presiden Joko Widodo atau Jokowi tersebut.

 

Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan, KPK membatalkan permintaan klarifikasi terhadap Kaesang terkait dugaan gratifikasi. Dia memastikan, KPK tak menerima tekanan dari pihak luar terkait pembatalan klarifikasi tersebut.

 

Mahfud MD mengungkit kasus yang menimpa Rafael Alun (RA). Kasus ini dimulai dari gaya hedon anaknya, Mario Dandy Satrio. Melalui unggahan akun Instagramnya, Mahfud mengatakan bahwa ia tidak bisa memaksa KPK untuk memanggil Kaesang. Namun ia mengoreksi pernyataan KPK yang tidak memanggil Kaesang karena bukan penyelenggara negara..

 

Pertama, kata Mantan Menko Polhukam itu, pendapat seperti itu ahistoris. Dia menuturkan banyak koruptor yang terlacak setelah anak atau isterinya yang bukan pejabat diperiksa. Mahfud mencontohkan misalnya kasus RA, seorang pejabat Eselon III Kemkeu sekarang mendekam di penjara justru ketahuan korupsi setelah anaknya yang hedon dan flexing ditangkap. Anak RA dengan mobil mewah menganiaya seseorang. KPK melacak kaitan harta dan jabatan ayah si anak, ternyata hasil korupsi. KPK memproses, lalu RA dipenjarakan," jelasnya. 

 

Kedua, lanjut Mahfud, kalau alasan hanya karena bukan pejabat (padahal patut diduga) lalu dianggap tak bisa diproses, maka nanti bisa setiap pejabat meminta pemberi gratifikasi untuk menyerahkan ke anak atau keluarganya.  "Ini sudah dinyatakan oleh pimpinan KPK via Alex Marwata dan Pimpinan PuKat UGM," jelasnya.

 

Menurut Alex Marwata, kondisi KPK saat ini akan mengecewakan masyarakat meski siapa pun pimpinannya.Sebab saat ini, masalah korupsi tidak ditangani KPK secara mandiri, tetapi ada lembaga lain yang juga menangani. Alex menegaskan Jangan terlalu berharap kepada KPK, sebab nanti bisa kecewa.

 

"Siapa pun pimpinannya, se-independen apa pun pimpinan. Kenapa? Ada 3 lembaga di sini yang melakukan penanganan perkara korupsi; Kepolisian, Kejaksaan, KPK," tuturnya. Hal ini dinilai Alex sangat berbeda dengan negara lain seperti Hong Kong dan Singapura. Mereka hanya terpusat pada satu lembaga untuk mengurus perkara korupsi.

 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga independen di Indonesia yang bertugas memberantas tindak pidana korupsi. KPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Maka, di tangan KPK sesungguhnya amanah besar memperbaiki bangsa ini diemban. Idelanya KPK itu tidak takut kepada siapapun, kecuali kepada Tuhan.

 

Korupsi di Indonesia telah menjadi masalah besar sejak lama hingga sekarang. Pada era Orde Baru, korupsi menjadi semakin sistematis dan merata di berbagai level pemerintahan dan sektor swasta. Ketika Presiden Soeharto lengser pada tahun 1998, Indonesia memasuki era reformasi yang ditandai dengan upaya keras untuk mengatasi korupsi yang meluas.

 

Pada masa awal reformasi, beberapa lembaga telah dibentuk untuk memerangi korupsi, seperti Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) pada tahun 1999. Namun, upaya lembaga-lembaga tersebut dinilai kurang efektif karena kendala-kendala politik dan birokrasi. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat sipil mulai mendesak perlunya sebuah lembaga yang lebih independen dan memiliki kewenangan yang kuat untuk memberantas korupsi.

 

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada peningkatan kasus korupsi yang terjadi sepanjang 2022. Menurut ICW juga, korupsi terjadi hampir di seluruh sektor pemerintahan, baik lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif (Cnbcindonesia, 24/3/2023).

 

ICW pun memantau tren penindakan kasus korupsi BUMN sepanjang tahun 2016–2021. Jumlah kasus korupsi di lingkungan BUMN yang disidik oleh aparat penegak hukum mencapai 119 kasus dengan 340 tersangka. Tercatat sedikitnya 9 kasus pada tahun 2016, 33 kasus pada 2017, 21 kasus pada 2018, 20 kasus pada tahun 2019, 27 kasus pada tahun 2020, dan 9 kasus pada 2021.

 

Berdasarkan data yang dihimpun, 119 kasus korupsi di lingkungan BUMN tersebut menyebabkan kerugian negara hingga Rp 47,9 triliun. Di sektor pendidikan, kasus korupsi juga banyak terjadi. Terdapat 240 korupsi pendidikan sepanjang Januari 2016 hingga September 2021 (Antikorupsi.org, 19/11/2021).

 

Pada tahun 2002, pemerintah Indonesia membentuk KPK. Pembentukan ini diwujudkan melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU ini memberikan KPK wewenang yang lebih besar dibandingkan lembaga-lembaga sebelumnya, termasuk kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus-kasus korupsi.

 

KPK didirikan dengan tujuan utama untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satu kewenangan utama yang dimiliki KPK adalah dapat mengambil alih kasus korupsi yang sedang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan jika lembaga-lembaga tersebut dianggap tidak mampu atau tidak serius dalam menangani kasus tersebut.

 

Tugas utama KPK antara lain, pertama, koordinasi dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya dalam pemberantasan korupsi. Kedua, Supervisi terhadap instansi penegak hukum dalam penanganan kasus korupsi. Ketiga, penindakan berupa penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi. Keempat, pencegahan melalui upaya-upaya preventif agar korupsi tidak terjadi. Dan kelima, monitoring terhadap penyelenggaraan negara untuk memastikan tidak terjadi korupsi.

 

KPK memiliki sejumlah kewenangan khusus yang membedakannya dari lembaga lain, seperti : melakukan penyadapan terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat korupsi, mengeluarkan surat perintah penangkapan dan penyitaan asset, membekukan atau memblokir rekening bank. Dan kewenangan untuk bekerja sama dengan berbagai lembaga internasional dalam rangka pemberantasan korupsi lintas negara.

 

KPK sejak awal berdirinya telah menangani berbagai kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi negara, anggota legislatif, hingga pengusaha. Namun, perjalanan KPK tidak selalu mulus. KPK sering kali menghadapi tekanan politik dan berbagai upaya pelemahan, termasuk melalui revisi undang-undang yang mengurangi kewenangannya, seperti yang terjadi pada revisi UU KPK tahun 2019.

 

Sebab bagaimanapun, KPK adalah produk politik, maka politik itu berjalan dinamis, sesuai dengan dinamika kepentingan kekuasaan. Jadi benar kata Alex, rakyat Jangan berharap kepada KPK, sebab nanti bisa kecewa.

 

Sementara, dalam pandangan syariah Islam, korupsi termasuk perbuatan khianat. Orangnya disebut khâ`in. Korupsi adalah tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh seseorang, yaitu menggelapkan harta, yang memang diamanatkan kepada dirinya (Lihat: Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-'Uqûbât, hlm. 31).

 

Pada dasarnya, faktor utama penyebab korupsi adalah faktor ideologi. Ini berarti, langkah paling utama dan paling penting yang paling wajib dilakukan adalah menghapuskan pemberlakuan ideologi demokrasi-kapitalis. Selanjutnya, diterapkan syariah Islam sebagai satu-satunya sistem hukum yang semestinya berlaku di negeri ini. Penerapan syariah Islam akan sangat efektif untuk membasmi korupsi, baik terkait pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).

 

Secara preventif paling tidak ada 6 (enam) langkah untuk mencegah korupsi. Pertama: Rekrutmen SDM aparat negara wajib yang amanah serta berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Tentang sikap amanah, Allah SWT telah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian. Padahal kalian tahu (TQS al-Anfal [8]: 27).

 

Di antara sekian banyak amanah, yang paling penting adalah amanah kekuasaan. Rasulullah saw. bersabda: Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari).

Lalu terkait profesionalitas dan integritas, Rasulullah antara lain pernah bersabda, "Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat." (HR Bukhari). Kedua: Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Rasul saw. mencontohkan hal itu. Tidak ada yang meragukan ketakwaan Sahabat Muadz bin Jabal ra. Namun, tatkala Rasul saw. mengutus Muadz ke Yaman menjadi 'âmil (kepala daerah setingkat bupati) dan ia sudah dalam perjalanan, Rasul saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil Muadz agar kembali. Lalu Rasul saw. bersabda kepada Muadz, "Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulûl (khianat). Siapa saja yang berkhianat, pada Hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu (TQS Ali Imran [3]: 161). Karena inilah aku memanggilmu. Sekarang, pergilah untuk melakukan tugasmu." (HR at-Tirmidzi dan ath-Thabarani).

 

Ketiga: Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Nabi saw. bersabda, "Siapa saja yang bekerja untuk kami, tetapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Jika tak punya istri, hendaklah dia menikah. Jika tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan." (HR Ahmad).

 

Keempat: Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Rasul saw. bersabda: Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulûl (HR Abu Dawud dan al-Hakim).

 

Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi saw. berkata, "Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran." (HR Ahmad). Berdasarkan ini harta yang diperoleh aparat, pejabat dan penguasa selain pendapatan (gaji) yang telah ditentukan, apapun namanya (hadiah, fee, pungutan, suap, dsb), merupakan harta ghulûl dan hukumnya haram.

 

Kelima: Islam memerintahkan untuk melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab ra. biasa menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Jika Umar ra. mendapati kekayaan seorang wali atau 'âmil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitul Mal. Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan juga Amr bin al-'Ash (Ibnu 'Abd Rabbih, Al-'Iqd al-Farîd, I/46-47).

 

Keenam: Pengawasan oleh negara dan masyarakat. Pemberantasan korupsi tentu akan menjadi lebih sempurna jika disertai dengan kontrol dari masyarakat, khususnya para ulama.

 

Adapun secara kuratif maka membasmi korupsi dilakukan dengan cara penerapan sanksi hukum yang tegas dan tanpa tebang pilih. Dalam Islam hukuman untuk koruptor masuk kategori ta'zîr, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim/penguasa. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan seperti teguran dari hakim; bisa berupa penjara, pengenaan denda atau pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhîr); bisa hukuman cambuk; hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman ta'zîr ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-'Uqûbât, hlm. 78-89).

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 10/09/24 : 12.10 WIB)

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Categories