KEKUASAAN ITU BERAT KAWAN


 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Sekjen PKS Aboe Bakar Al Habsyi mengatakan bahwa kekuasaan adalah hal yang indah di hadapan seluruh kader dan elite PKS saat penutupan Rakernas di Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Minggu (22/9). Awalnya Aboe menyinggung soal rompi PKS yang dikenakannya memiliki bahan yang panas juga oleh-oleh darinya untuk para kader.

 

"Pokoknya setiap abis acara-acara Sekjen tidak akan lupa memberi oleh-oleh untuk zikroyat kita semua. Kalau kurang banyak ya memang kurang banyak, kurang cantik ya memang kurang cantik. Pada waktunya nanti ketika kita berkuasa lebih gila nanti model bentuknya. Memang kekuasaan itu indah kawan-kawan," kata Aboe disambut meriah oleh para kader.

 

Dia menilai, PKS tak kehabisan kader berkualitas bahkan untuk disiapkan menjadi presiden sekalipun. Walaupun sampai saat ini, hal itu belum terwujud. "Dokter Hidayat [Nur Wahid] pantas lah daripada yang ada ini, ini, ini, lebih bagus bro, ya lebih berkelas ya," katanya.

 

Setelah itu Aboe mengatakan bahwa PKS melalui Wakil Majelis Syura, Sohibul Iman, sudah berikhtiar untuk mendatangkan sosok terbaik di republik, Aboe tidak menyebut secara gamblang siapa sosok yang dimaksud. "Sudah ikhtiar saudara kita Wakil Ketua Majelis Syura, Sohibul Iman untuk mendatangkan figur terbaik di republik ini tapi memang nampaknya ada sesuatu yang perlu waktu ya, mungkin lagi menunggu yang sebelah satu lagi dan sebagainya," kata Aboe.

 

Agak sulit memang untuk membangun interpretasi soal ucapan bahwa kekuasaan itu indah. Kalau dilihat dari sisi keistimewaan penguasa dimana rakyat, bahwa penguasa itu dihormati dimana-mana, punya kekayaan yang lebih dibandingkan dengan kebanyakan rakyatnya, punya kebijakan dan kewenangan mengatur orang lain atau rakyat, dilayani oleh banyak pembantunya dalan lainnya. Jika indah itu yang dimaksud adalah hal semacam itu, memang betul, di dunia, kekuasaan itu nampak indah.


Allah sendiri telah memberikan penegasan dalam Al Qur'an : "Dijadikan indah dalam pandangan manusia cinta kepada apa yang diinginkan, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kenikmatan hidup di dunia, dan Allah memiliki tempat kembali yang baik." (QS Ali Imran : 14).

 

Namun dalam sudut pandang Islam, kekuasaan itu justru merupakan amanah yang sangat berat, meski memiliki keistimewaan tersendiri. Keistimewaan para penguasa sering kali terletak pada kemampuan mereka untuk memimpin dan mengelola masyarakat. Mereka memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan kebijakan, menjaga keamanan, dan memajukan kesejahteraan rakyat. Selain itu, penguasa juga diharapkan memiliki visi yang jelas dan kemampuan untuk mengambil keputusan yang bijaksana.

 

Kekuasaan dalam ajaran Islam adalah dimana penguasa harus menjalankan kekuasaannya dengan keadilan, transparansi, dan tanggung jawab, karena pada akhirnya mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka, baik di dunia maupun di akhirat. Beratnya amanah kekuasaan inilah yang menjadikan para sahabat dan ulama terdahulu justru berusaha keras untuk menerima amanah kekuasaan.

 

Beratnya kekuasaan bagi seorang muslim juga terletak pada ideologi yang diterapkan di negeri ini, dimana umat Islam justru dalam persimpangan jalan. Sebab, siapapun yang menjadikan dirinya terlibat dalam sistem ini, maka mau tidak mau harus mengikuti aturan main demokrasi. Sementara aturan main demokrasi seringkali bertentangan dengan syariah Islam. Jadi, seorang muslim yang menjadi penguasa dalam sistem demokrasi justru beratnya berlipat dua kali, dibandingkan jika ada dalam sistem Islam.

 

Sayyid Qutb (1906–1966), seorang pemikir Islam dari Mesir, adalah contoh penting dari cendekiawan yang pesimis terhadap demokrasi. Menurutnya, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang menjauhkan masyarakat dari hukum Tuhan. Qutb menyebut sistem politik Barat, termasuk demokrasi, sebagai "jahiliyyah modern" (kebodohan atau kegelapan modern) karena memisahkan kehidupan sosial dan politik dari prinsip-prinsip syariah.

 

Abul A'la Maududi (1903–1979), seorang pemikir politik Islam dari Pakistan, menolak demokrasi dalam bentuk Barat karena dianggap mengabaikan prinsip-prinsip moral dan agama. Menurut Maududi, demokrasi hanya benar jika didasarkan pada kedaulatan Tuhan dan bukan kedaulatan rakyat. Demokrasi yang beroperasi berdasarkan kehendak mayoritas tanpa panduan ilahi akan menghasilkan kezaliman terhadap kelompok minoritas dan mendorong kerusakan moral.

 

Hasan al-Banna (1906–1949), pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir, berargumen bahwa sistem demokrasi tidak mampu mengatasi ketidakadilan ekonomi dan sosial yang dihadapi oleh masyarakat Muslim. Menurutnya, Islam memiliki solusi yang lebih adil dan komprehensif untuk mengatasi masalah-masalah ini, seperti melalui sistem zakat dan hukum ekonomi Islam, yang memastikan distribusi kekayaan yang lebih adil.

 

Ada kisah menarik yang bisa dijadikan pelajaran bagi umat Islam, terkait kepemimpinan. Kisah Harun Al-Rasyid yang masuk ke rumah Al-Fudhail bin 'Iyadh untuk mendapatkan nasihat tentang kepemimpinan. Al-Fudhail lantas meniup lentera di depannya hingga padam agar dia tidak dapat melihat wajah sang khalifah. Harun Al-Rasyid kemudian mengulurkan tangannya dan disambut tangan Al-Fudhail yang kemudian berucap, "Betapa lembut dan halus tangan ini! Kiranya tangan ini terhindar dari api neraka!"

 

"Tuan Guru! Berilah aku nasihat,"ujar Harun Al-Rasyid. "Leluhurmu, paman Rasulullah Saw (Al-'Abbas bin 'Abdul Muththalib), pernah meminta kepada Nabi Saw. agar dirinya dijadikan pemimpin bagi sebagian umat manusia. Apa jawaban Rasulullah Saw? "Paman, bukankah aku pernah mengangkat engkau untuk sesaat sebagai pemimpin dirimu sendiri?" Dengan jawaban itu Rasulullah Saw. memaksudkan bahwa sesaat mematuhi Allah adalah lebih baik daripada seribu tahun dipatuhi umat manusia. Kemudian Rasulullah Saw. menambahkan,"Kepemimpinan akan menjadi sumber penyesalan di Hari Kebangkitan kelak."

 

"Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu," pinta Harun Al-Rasyid. "Ketika diangkat sebagai penguasa, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz lantas memanggil Abu 'Umar Salim bin 'Abdullah bin 'Umar bin Al-Khaththab, Abu Al-Miqdam Raja' bin Haiwah bin Jarwal Al-Kindi, dan Abu Hamzah Muhammad bin Ka'b bin Salim bin Asad Al-Qurazhi. 'Umar mengatakan kepada mereka, "Hatiku sangat gundah dengan musibah ini. Apakah yang harus kulakukan? Aku tahu, kedudukan tinggi ini merupakan musibah, walau orang-orang lain memandang kedudukan sebagai karunia."

 

"Abu Al-Miqdam Raja' bin Haiwah menyahutnya, "Amir Al-Mukminin! Jika engkau ingin terlepas dari hukuman Allah di akhirat kelak, pandanglah setiap muslim yang lanjut usia laksana ayahandamu sendiri, setiap muslim yang usia muda laksana saudaramu sendiri, setiap muslim yang masih kanak-kanak laksana putramu sendiri. Dan, perlakukanlah mereka sebagaimana seharusnya seseorang memperlakukan ayahanda, saudara, dan putranya."

 

"Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu,"kata Harun Al-Rasyid. "Abu Al-Miqdam Raja' bin Haiwah lebih lanjut berucap, "Wahai Amir Al-Mukminin! Anggaplah negeri yang engkau pimpin laksana rumahmu sendiri dan penduduknya laksana keluargamu sendiri. Jenguklah ayahandamu, hormatilah saudaramu, dan bersikap baiklah kepada putramu. Kusayangkan jika wajahmu yang tampan ini akan terbakar hangus di neraka. Takutlah kepada Allah dan taatilah perintah-perintah-Nya.

 

Berhati-hatilah dan bersikaplah bijak karena di Hari Kebangkitan kelak Allah akan meminta pertanggungjawabanmu seputar setiap Muslim yang engkau pimpin dan Dia akan memeriksa apakah engkau telah berlaku adil kepada setiap orang. Ingatlah, manakala ada seorang perempuan uzur yang tertidur dalam keadaan lapar, di hari kebangkitan kelak dia akan menarik pakaianmu dan memberikan kesaksian yang akan memberatkan dirimu!"

 

"Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu!" "Abu Hamzah Muhammad bin Ka'b kemudian tampil memberikan nasihat, "Amir Al-Mukminin! Engkau memiliki keberanian. Andai dirimu terdapat kekurangan dan kekhilafan, kita akan mengobatinya. Pegang teguhlah agama dan pikiran yang rasional, semua itu akan menopang dirimu dan menjadi kendali dirimu. Waspadalah terhadap orang yang mencintaimu karena ada pamrih terhadap dirimu. Karena manakala pamrih itu telah terpenuhi, cintanya akan sirna. Manakala engkau melakukan suatu kebaikan, peliharalah betul kebaikan itu. Dan, jadikanlah dunia sebagai tempatmu berpuasa dan akhirat sebagai tempatnya berbuka."

 

"Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu!". "Abu 'Umar Salim bin 'Abdullah kemudian tampil memberikan nasihat, "Amir Al-Mukminin! Buatlah rakyat rela dengan sesuatu yang dirimu rela terhadap sesuatu itu. Juga, buatlah mereka tidak menyukai sesuatu yang dirimu tidak menyukai sesuatu itu, Dengan demikian, engkau selamatkan mereka dan mereka menyelamatkan engkau."

 

Dengan kisah di atas maka, istilah kekuasaan itu indah tidak pernah diajarkan dalam Islam. Islam justru mengajarkan bahwa kekuasaan itu sangat berat yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat di dunia dan dihadapan Allah di akhirat. Namun, bagaimanapun kekuasan tetap akan menjadi daya tarik kuat bagi manusia pada umumnya, karena merupakan naluri setiap orang. Maka yang terbaik adalah, jika menjadi penguasa, terapkan Islam secara kaffah, jangan menerapkan demokrasi yang bertentangan dengan Islam.

 

Ini hanya tulisan renungan dan nasihat untuk kita semua, semoga kita bisa mengambil pelajaran.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 24/09/24 : 10.03 WIB)

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Categories